• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Orientasi Belajar Denganh Motivasi Berprestasi Mahasiswa Psikologi Gunadarma. Yulifa Taslima. Awaluddin Tjalla, Dr.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Orientasi Belajar Denganh Motivasi Berprestasi Mahasiswa Psikologi Gunadarma. Yulifa Taslima. Awaluddin Tjalla, Dr."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Orientasi Belajar Denganh Motivasi Berprestasi Mahasiswa Psikologi Gunadarma

Yulifa Taslima Awaluddin Tjalla, Dr.

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran motivasi berprestasi mahasiswa. Disamping itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan orientasi belajar dengan motivasi berprestasi mahasiswa psikologi.

Penelitian ini dilakukan terhadap 70 mahasiswa Psikologi Universitas Gunadarma Depok, dengan kriteria: mahasiswa psikologi Gunadarma, dengan usia 20 – 23 tahun, angkatan 2003, 2004 dan 2005 yang masih aktif kuliah (tidak cuti).

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner dan teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling.

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan orientasi belajar dengan motivasi berprestasi. Hal ini juga dapat diketahui dari tabel correlations, dimana nilai dari pearson correlation +, 557**

sedangkan nilai Sig. (1-tailed) sebesar 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan orientasi belajar dengan motivasi berprestasi mahasiswa. Orientasi belajar mahasiswa yang tinggi akan mengakibatkan motivasi berprestasi mahasiswa tinggi, demikian pula sebaliknya orientasi belajar mahasiswa rendah maka motivasi berprestasi mahasiswa juga rendah, diterima.

Kata kunci : Orientasi Belajar, Motivasi Berprestasi dan Mahasiswa Psikologi PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan aspek penting bagi setiap Negara, terutama bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Tak terkecuali dalam dunia kerja, dimana banyak perusahaan yang menuntut pegawainya yang berpendidikan minimal sarjana, sehingga individu berusaha untuk

menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Namun akhir-akhir ini muncul suatu gejala yang cukup mengkhawatirkan didalam dunia pendidikan dengan adanya permasalahan yang dikemukakan oleh Winkel (1991) yang adanya “krisis motivasi” dengan gejala yang ditunjukkan seperti berkurangnya perhatian pada waktu belajar, kelalaian

(2)

dalam mengerjakan tugas-tugas, pekerjaan rumah, menunda persiapan bagi ulangan atau ujian, serta pandangan asal lulus, asal cukup dan sebagainya.

Jenjang pendidikan yang cukup dikhawatirkan dengan adanya krisis ini adalah jenjang Perguruan Tinggi, karena sebagai individu yang telah menjadi mahasiswa dianggap sudah cukup dewasa untuk mengatur dirinya sendiri.

Berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya, seperti SMU (Sekolah Menengah Umum), SMP (Sekolah Menengah Pertama dan SD (Sekolah Dasar), dimana siswa lebih terkontrol karena waktu belajar yang harus mereka jalani lebih teratur. Di samping itu fungsi pengajar bukan hanya sebagai guru saja, tetapi juga berfungsi sebagai pembimbing dan pengawas yang terus memantau kedisiplinan serta hasil belajar yang diperoleh setiap siswa.

Pada jenjang Perguruan Tinggi mahasiswa lebih diberikan kebebasan untuk memilih banyaknya jumlah kredit

matakuliah yang diambil walaupun dibatasi dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), begitu pula dengan waktu atau jadwal kuliah yang dapat disusun sendiri oleh mahasiswa sesuai dengan waktu yang dimiliki mahasiswa. Dengan adanya kebebasan-kebebasan lainnya yang diberikan, tidak jarang membuat mahasiswa menjadi tidak disiplin terutama dalam hal kehadiran pada perkuliahan atau kehadiran dikelas. Ada beberapa matakuliah yang memungkinkan mahasiswa untuk tidak disiplin, dimana mahasiswa dapat menitipkan daftar hadir (absent) kepada temannya yang hadir pada perkuliahan.

Jika hal itu dilakukan oleh mahasiswa maka motivasi mahasiswa untuk mengikuti pelajaran akan menurun, sehingga membuat mahasiswa tidak siap dalam menghadapi ulangan maupun ujian dan cenderung untuk menumpuk bahan pelajaran dan baru belajar jika ulangan atau ujian sudah dekat. Hal-hal

(3)

diatas dapat merupakan penyebab terjadinya masalah “krisis motivasi”.

Walaupun pokok permasalahan yang dihadapi sudah jelas yaitu masalah motivasi, namun apakah motivasi itu sendiri, seperti apa motivasi yang harus dimiliki mahasiswa. Motivasi merupakan perubahan tenaga didalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan afektif dan reaksi-reaksi untuk mencapai suatu tujuan (Donald dalam Hardjo & Badjuri, 2004). Sedangkan menurut Gage & Barliner (1992) menyatakan bahwa motivasi merupakan hal-hal yang mendorong dan mengarahkan aktifitas seseorang.

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkah laku manusia yang ditampilkan untuk mencapai tujuan tertentu digerakkan dan diarahkan oleh motivasi. Sedangkan motivasi yang harus dimiliki oleh mahasiswa adalah motivasi untuk mencapai prestasi belajar

yang baik dan motivasi seperti itu biasa disebut dengan motivasi berprestasi.

Harapan orang tua untuk anak- anak mereka juga penting dalam perkembangan motivasi berprestasi (Eccles & Morgan dalam Prabowo, 1998). Orang tua mengharapkan anak- anak mereka bekerja keras dan berusaha untuk sukses, mereka akan mendorong anak-anak mereka untuk melakukan hal itu dan memuji atau menghargai mereka untuk perilaku yang mengarah ke prestasi. Serangkaian harapan orang tua yang berhubungan dengan motivasi berprestasi berkenaan dengan gagasan- gagasan ketika anak-anak harus menjadi mandiri dalam suatu keterampilan.

McCllelland, (1987) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai keinginan untuk sukses dalam kompetisi, yang berkeinginan untuk mengungguli orang lain dengan mencapai suatu prestasi atau suatu standar tertentu yang dianggap berhasil. Penelitian yang dilakukan McCllelland kalangan mahasiswa

(4)

membuktikan bahwa motivasi berprestasi memberikan kontribusi sampai dengan 64% terhadap prestasi belajar mahasiswa (dalam Elfizar, 2002).

Sedangkan Winkel (1991) mengemukakan “achievement motivation” ialah daya penggerak dalam diri mahasiswa untuk mencapai taraf yang setinggi mungkin , adapun ukuran mengenai taraf yang setinggi mungkin itu ditentukan oleh individu sendiri.

Apabila taraf prestasi itu tercapai ia akan merasa puas dan memberikan pujian kepada dirinya, kalau tidak ia akan kecewa dan mencela dirinya sendiri.

Motivasi berprestasi itu tidak berdiri sendiri dalam menghasilkan prestasi belajar yang baik, tetapi harus melalui proses dan usaha-usaha yang harus dilakukan. Sehubungan dengan kegiatan belajar-mengajar maka cara yang diperlukan untuk memperoleh nilai akademik yang baik adalah dengan cara belajar.

Membangun komunitas belajar yang produktif dan mahasiswa yang termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas belajar yang bermakna merupakan tujuan utama dari pengajaran. Salah satu sasaran penting dari pembelajaran adalah memiliki anak yang mampu mengembangkan motivasi intrinsik (Desyanti, 2002). Sekolah merupakan tempat berlangsungnya proses belajar secara formal. Dalam dunia pendidikan formal, belajar tidak lepas dari tujuan belajar. Mengapa seseorang mau belajar di lembaga pendidikan formal, tidak lepas dari tujuannya untuk belajar. Setiap orang memiliki orientasi belajar yang berbeda, tergantung pada hasil yang ingin dicapai. Orientasi belajar menentukan bagaimana seseorang belajar dan usaha yang dilakukannya untuk mencapai hasil yang diinginkannya (Ames & Archer, 1998).

Entwistle dan Wilson (dalam Suardhika, 2004) mendefinisikan

(5)

orientasi belajar dapat sebagai motivasi belajar mahasiswa yang berpengaruh terhadap pendekatan belajarnya dan strategi belajar mahasiswa tersebut.

Mahasiswa dengan orientasi belajar, menunjukkan ciri bahwa mahasiswa tersebut melihat universitas sebagai tempat untuk berkompetisi. Motif belajar yang dominan adalah motivasi berprestasi. Karenanya memainkan peran sebaik mungkin sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa dengan orientasi belajar ini biasanya menaruh perhatian yang besar dalam mengorganisasikan cara belajar mereka sebaik mungkin.

Peserta didik bukan menguasai berbagai mata pelajaran atau matakuliah yang diajarkan dalam arti sesungguhnya melainkan hanya sekedar mengetahui, memiliki cara menjawab soal, sehingga dalam ujian dapat menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan. Proses belajar-mengajar didominasi oleh tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin

guna menghadapi ujian atau tes, dimana pada kesempatan tersebut peserta didik harus mengeluarkan apa yang dihafalkan (Desyanti, 2002). Pengertian sederhananya adalah tolok ukur keberhasilan belajar yang digunakan adalah nilai tes yang diperoleh peserta didik, bahkan yang lebih buruk, keadaan dan kebiasaan ini berlangsung sampai di Perguruan Tinggi.

Kegiatan belajar akan bermakna dan berhasil jika individu itu merasa senang dalam menjalankan tugas belajarnya.

Keinginan ataupun usaha yang dilakukan oleh dirinya itu merupakan tenaga yang mendorong dan menggerakkan aktivitas untuk belajar yang lebih berdaya guna dan tepat guna.

Ini berarti merupakan modal pertama individu untuk memperoleh keberhasilan. Keberhasilan yang diterima oleh individu akan menambah semangat untuk meneruskan perjuangan semangat belajarnya sebaliknya kegagalan akan menjadi cambuk untuk

(6)

mendapatkan keberhasilan yang belum didapat.

TINJAUAN PUSTAKA Orientasi Belajar

Teori orientasi belajar diciptakan oleh para ahli psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan (Pintrich & Garcia, Nicholls, Bandura &

Dweck, Ames & Archer, Elliot, dalam Midgley, 2001) untuk menjelaskan proses belajar dan performa siswa pada tugas-tugas akademik. Teori ini dapat diaplikasikan untuk memahami dan memperbaiki proses serta pemberian instruksi dalam belajar.

Ames (1998) mengemukakan definisi orientasi belajar yaitu suatu orientasi dimana belajar sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan lain dan pembelajaran itu sendiri. Dengan kata lain belajar merupakan suatu sarana yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Namun disisi lain, belajar dapat dipersepsikan sebagai

tujuan akhir (yaitu belajar dan menguasai pelajaran).

Teori orientasi tujuan diungkapkan Ames & Archer (1998) dan Dweck & Legget (1988) dalam dua dimensi, yaitu Learning Goal dan Performance Goal. Berbeda dengan Pintrich & Schunk (2002) mereka membedakan orientasi tujuan dalam Mastery Learning dan Performance Goal, dan kedua orientasi ini paralel dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik.

Hal yang membedakan orientasi tujuan dengan motivasi menurut kedua tokoh ini adalah pada orientasi tujuan, lebih bersifat kognitif-spesifik, situasional dan tergantung konteks, sedangkan motivasi ekstrinsik lebih bersifat seperti karakteristik kepribadian umum, lebih organismik dan tidak kontekstual.

Dari beberapa definisi yang diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa orientasi belajar merupakan strategi yang digunakan dalam melakukan aktivitas belajar,

(7)

misalnya bagaimana cara belajar dan suasana seperti apa yang mendukung di dalam belajar.

Karakteristik orientasi belajar Menurut Ames & Archer (1998), ada dua jenis orientasi belajar, yaitu :

1). Orientasi tujuan penguasaan (Mastery Goal)

Orientasi tujuan penguasaan merupakan suatu orientasi motivasional yang dimiliki individu, yang menekankan diperolehnya pengetahuan dan perbaikan diri. Woolfolk (2004) memaksudkan orientasi ini sebagai intensi pribadi untuk memperbaiki kemampuan dan memahami apa yang dipelajari, tanpa memperdulikan buruknya performa yang ditampilkan seorang individu yang memiliki orientasi tujuan penguasaan akan memfokuskan diri pada kegiatan belajar itu sendiri, berusaha menguasai tugas, mengembangkan keterampilan baru, memperbaiki kompetensinya,

menyelesaikan tugas yang menantang dan berusaha untuk memperoleh pengalaman terhadap apa yang dipelajari.

Ormrod, 2000 (dalam Desyanti, 2002) dari berbagai hasil penelitian, memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai karakteristik siswa dengan orientasi mastery sebagai berikut:

(a). Percaya bahwa kompetensi dapat berkembang melalui latihan dan usaha.

(b). Memilih tugas-tugas yang dapat memaksimalkan kesempatan untuk belajar.

(c). Bereaksi terhadap tugas yang mudah dengan perasaan yang bosan dan kecewa.

(d). Memandang usaha sebagai sesuatu yang

penting untuk

(8)

meningkatkan kompetensi.

(e). Lebih termotivasi secara intrinsik untuk mempelajari materi pelajaran.

(f). Menampilkan perilaku dan belajar yang lebih bersifat Self-Regulated.

(g). Menggunakan strategi belajar yang mengarah pada pemahaman materi yang sesungguhnya (misalnya belajar yang bermakna, dan monitoring pemahaman.

(h). Mengevaluasi kinerja sendiri dalam kerangka kemajuan yang sudah dibuat.

(i). Memandang kesalahan sebagai sesuatu yang normal dan bagian yang bermanfaat dalam proses belajar, memanfaatkan

kesalahan untuk membantu perbaikan kinerja.

(j). Merasa puas terhadap kinerja jika sudah berusaha keras, meskipun usaha tersebut mengalami kegagalan.

(k). Menginterpretasikan kegagalan sebagai tanda bahwa diperlukan usaha yang lebih keras.

(l). Memandang guru sebagai sumber daya dan

penuntun untuk

membantu individu belajar.

2). Orientasi tujuan performa (Performance Goal)

Dari berbagai literatur dan penelitian mengenai orientasi belajar, tampak bahwa orientasi ini akan mempengaruhi kognisi dan perilaku individu dalam konteks belajar (akademik). Karakter individu dengan

(9)

orientasi performance digambarkan Ormrod, 2000 (dalam Desyanti, 2002) sebagai berikut :

(a). Percaya bahwa kompetensi merupakan karakteristik yang bersifat stabil. Ada orang yang memilikinya dan ada yang tidak.

(b). Memilih tugas yang memaksimalkan

kesempatan untuk mendemonstrasikan kompetensi, menghindari tugas dan tindakan (misalnya bertanya) yang

membuat mereka

kelihatan tidak kompeten.

(c). Bereaksi terhadap tugas yang mudah dengan perasaan bangga.

(d). Memandang usaha sebagai tanda kompetensi yang rendah, beranggapan bahwa orang yang

berkompeten seharusnya tidak perlu berusaha keras.

(e). Lebih termotivasi secara ekstrinsik, seperti penguat dan hukuman eksternal, cenderung menyontek untuk mendapatkan nilai yang tinggi.

(f). Kurang menampilkan belajar dan perilaku yang self-regulated.

(g). Menggunakan strategi belajar yang hanya bersifat rote learning (misalnya pengulangan, mencontoh, mengingat kata per kata).

(h). Mengevaluasi kinerjanya

dalam kerangka

perbandingan dengan orang lain.

(i). Memandang kesalahan sebagai tanda kegagalan dan tidak kompeten.

(10)

(j). Merasa puas dengan kinerja hanya jika berhasil.

(k). Menginterpretasikan kegagalan sebagai tanda rendahnya kemampuan dan karena itu meramalkan kegagalan berulang di waktu yang akan datang.

(l). Memandang guru (pengajar) sebagai penilai, pemberi hadiah atau hukuman.

Motivasi Berprestasi

Gage dan Berliner (1992), mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah usaha untuk meraih sukses dan menjadi yang terbaik dalam melakukan sesuatu. Lebih lanjut dikatakan bahwa motivasi ini dipengaruhi oleh budaya dan pekerjaan seseorang. Motivasi ini juga dapat muncul pada semua orang

yang berasal dari lingkungan budaya atau jenis pekerjaan apapun.

Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Berprestasi

Menurut Edwards (dalam Azwar, 2006) ciri-ciri orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, yaitu:

a. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.

b. Melakukan sesuatu dengan sukses.

c. Mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan.

d. Ingin menjadi penguasa yang terkenal atau terpandang dalam suatu bidang tertentu.

e. Mengerjakan sesuatu yang sangat penting.

f. Melakukan suatu pekerjaan yang sukar dengan baik.

(11)

g. Menyelesaikan teka-teki dan sesuatu yang sukar dengan baik.

h. Melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain.

i. Menulis novel atau cerita yang hebat dan bermutu.

METODOLOGI PENELITIAN Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang akan dianalisis, yaitu:

1. Variabel Bebas (Independent):

Orientasi Belajar

2. Variabel Terikat (Dependent):

Motivasi Berprestasi

Partisipan

Partisipan penelitian adalah seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, peneliti melakukan kontrol terhadap subjek yang akan menjadi sampel penelitian ini.

Pengontrolan ini dilakukan dengan

memilih subjek yang sesuai dengan karakteristik subjeknya telah ditetapkan.

Tujuannya adalah untuk memperoleh sampel penelitian yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan tujuan.

Karakteristik penelitian ini adalah : 1. Mahasiswa psikologi

Universitas Gunadarma Depok Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, dimana peneliti melakukan penelitian ini di Universitas Gunadarma Depok, maka yang menjadi sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan Universitas Gunadarma Depok yang masih aktif kuliah (tidak cuti kuliah).

2. Usia 20 sampai 23 tahun

Dengan asumsi bahwa usia tersebut adalah usia aktif sebagai seorang mahasiswa- mahasiswi. Dengan perkataan lain bahwa usia 18 tahun menurut tugas perkembangan

(12)

diharapkan sebagai siswa SMU (sekolah menengah umum) telah menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan keperguruan tinggi.

Masa aktif kuliah sebagai mahasiswa adalah paling lambat 7 tahun atau 14 semester. Oleh karena itu maka penulis membatasi usia sampel dari 20 sampai 23 tahun.

3. Tahun angkatan

Tahun angkatan dari 2003, 2004 dan 2005 dengan jumlah subjek penelitian 70 subjek. Hal ini didasari bahwa mahasiswa psikologi semakin tinggi tingkat semesternya semakin banyak matakuliah yang diambil dan tugas yang dipelajarinya.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu teknik sampling berdasarkan ketersediaan subjek yang memenuhi karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya yang

dapat mewakili keseluruhan populasi yang ingin diteliti (Sugiyono, 1999).

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala orientasi belajar dan skala motivasi berprestasi.

Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Agar skala yang digunakan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, harus mampu memberikan informasi yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria tertentu.

1. Validitas (Kesahihan)

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil

(13)

ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud yang dikenakannya tes tersebut. Konsep validitas adalah kecermatan pengukuran kriteria koefisien validitas yang dianggap memuaskan yaitu 0,3 telah memberikan kotribusi yang baik (Azwar, 2005). Uji validitas dalam penelitian ini adalah validitas isi (content) dengan menggunakan teknik analisis Product Moment Pearson (Azwar, 2005). Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS for Windows versi 12.0.

2. Reliabilitas (Keandalan)

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Anastasia & Urbina, 2003). Reliabilitas alat ukur menunjukkan sifat suatu alat ukur dalam pengertian apakah suatu alat ukur cukup akurat, stabil atau konsisten dalam mengukur apa yang ingin diukur (Nazir, 2003). Reliabilitas yang digunakan untuk menguji kedua alat ukur dalam penelitian ini menggunakan

metode konsistensi internal, yaitu reliabilitas yang didapatkan dengan cara satu kali pengujian dan hasil pengujian tersebut akan diolah dengan formula tertentu (Azwar, 2005). Mengukur reliabilitas, digunakan formula Alpha Cronbach yang memiliki kriteria reliabilitasnya lebih dari 0,7 (Azwar, 2005). Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS for Windows versi 12.0.

HASIL PENELITIAN

UJI ASUMSI Uji Normalitas

Untuk uji normalitas sebaran skor digunakan uji Kolmogrof Smirnov dan Shapiro Wilk. Dari hasil uji normalitas menggunakan Kolmogrof Smirnov pada skala orientasi belajar diketahui nilai statistik sebesar 0,064 dengan nilai signifikansi sebesar 0,200 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa

(14)

distribusi skor orientasi belajar pada subjek penelitian adalah normal.

Sedangkan hasil uji normalitas pada skala motivasi berprestasi diketahui nilai statistik sebesar 0,110 dengan nilai signifikansi sebesar 0,037 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi skor motivasi berprestasi pada subjek penelitian adalah normal.

Sedangkan dari hasil uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk pada skala orientasi belajar diketahui nilai statistik sebesar 0,989 dengan nilai signifikansi 0,784 (p<0,001). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi skor orientasi belajar pada subjek penelitian adalah normal.

Sedangkan hasil uji normalitas pada skala motivasi berprestasi diketahui nilai statistik sebesar 0,966 dengan nilai signifikansi sebesar 0,055 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi skor motivasi berprestasi pada subjek penelitian adalah normal.

UJI HIPOTESIS

Dari hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson (1-tailed) diketahui nilai koefisien korelasi sebesar r = +,557 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, artinya ada hubungan yang positif (+) dan signifikan orientasi belajar dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa psikologi dimana orientasi belajar mahasiswa tinggi maka motivasi berprestasinya juga tinggi, sebaliknya jika orientasi belajar rendah maka motivasi berprestasinya juga rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Ames&Archer. (1998). Achievement goals in the classroom: Students Learning Strategies and Motivation Processes. Journal Of Educational Psychology, 23, 64-66.

Anastasi, A., & Urbina. S. (2003). Tes psikologi. Alih bahasa: Robertus H. Imam. Jakarta: PT Indeks Gramedia Grup.

(15)

Atkinson, J. W. (1964). An introduction to motivation. Canada: P. Van Norstrand. Co. Inc.

____________. (1978). Introduction to motivation (2nd ed). New York:

Litton Educational Publishing, Inc.

Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian.

Jakarta: UMM Press.

Azwar, S. (2004). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta. Penerbit:

Pustaka Pelajar.

________. (2005). Sikap manusia: Teori dan pengukuranya. Edisi ke-2.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaplin. J. P. (2005). Kamus lengkap psikologi. Edisi Revisi. Alih Bahasa : Kartono, K. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.

Desyanti. (2002). Hubungan antara persepsi siswa terhadap struktur kelas dan orientasi tujuan belajar siswa. Tesis. Depok:

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Elfizar. (2002). Saya dosenmu (!) [Online] .Available :Http//:www.geocities.com/Bah ana_tetap/kolom 1001.htm.

Eggen, P. Kauchak, D. (1997).

Educational psychologi : Window on Classrooms (3 rd ed). Prentice Hall, Inc.

Fransisca. (2000). Hubungan antara persepsi yang mengancam dengan kecemasan pada masyarakat jakarta. Skripsi.

Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Gage, N.L., Berliner, D.C. (1992).

Educational psychologi (5th ed).

Boston: Houghton Mifflin Company.

Hadi, S. (2004). Statistik. Edisi ke-2.

Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hamidah. (2001). Hubungan antara persepsi mengenai harapan orang tua terhadap orientasi belajar dengan goal orientation pada siswa SD. Skripsi. Depok:

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Hollander. (1981). Principle and menthod of social psychology (4th ed). New York: Oxford University Press.

Leavitt, H. J. (2006). Psikologi manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga.

McClelland. (1987). The achievement motive. New York: Appleton- Century Crofts, Inc.

Midgley, dkk. (2001). Performance- approach goals: Good for what, For Whom, Under What Circumstances, and At What Cost?. Journal Of Educational Psychology, 37, 63-65.

Morgan. (1998). An introduction to psychology, 7ed. Singapore, Mc Grow Hill Book, Co.

Nazir, M. (2003). Metode penelitian.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Oktarina, A. (2002). Hubungan persepsi siswa terhadap dukungan social ortu, guru dan teman dengan motivasi berprestasi pada siswa SLTP peringkat atas dan bawah.

Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

(16)

Ormrod, J, E. (2003). Educational psychology: Developing learners (4th ed). New Jersey:

Merril Prentice Hall, Inc.

Parson, R, D. (2001). Educational psychology: A practicioner – researcher model of teaching.

Canada: Woodsworth.

Pintrich&Schunk. (2002). Motivation in educational: Theory, research, and applications. New Jersey:

Prentice Hall, Inc.

Prabowo, H. (1998). Pengantar psikologi lingkungan. Depok:

Universitas Gunadarma.

Rahmat, J. (2000). Psikologi komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Robbins, S. P. (2001). Organizational behavior (9th ed): San Deago State University: Prentice-Hall.

Santrock. J. W. (2001). Psychology, the science of mind and behavior. Io wa : W. C. Brom Publisher.

Sarwono, S. W. (1999). Psikologi sosial.

Jakarta: Balai Pustaka.

Slavin, R.E. (1994). Educational psychology: Theory dan practice. (4th ed). Boston: Allyn dan Bacon.

Setawati, T, N. (1997). Hubungan antara intelegensi, kreativitas dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar pada mahasiswa SMU 8. Skripsi. Depok:

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Solmon. (1996). Impact of motivational climate on students’ behaviors

and perceptions in a physical education setting. Journal Of Educational Psychology.

Suardhika, G. D. (2004). Karakteristik orientasi belajar mahasiswa fakultas psikologi universitas indonesia dalam kaitannya dengan prestasi akademis dan persepsi terhadap aspek-aspek perguruan tinggi. Skripsi.

Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sugiyono. (1999). Metode penelitian administrasi. Bandung: CV Alfabeta.

Suryabrata, S. (2000). Pengembangan alat ukur psikologis.

Yogyakarta: ANDI.

Widyasari, P. (2005). Hubungan antara interaksi kelas dengan motivasi berprestasi pada murid SMA negeri peringkat atas. Depok:

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Winkel, W. S. (1991). Psikologi pengajaran. Jakarta: PT Grasindo.

Woolfolk, A. (2004). Educational psychology (9th ed). Boston:

Allyn&Bacon.

Wulan, R. (1998). Tes frostig untuk mengukur kemampuan visual anak berumur 4-8 tahun. Jurnal Psikologi. No.

1,35-43. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

http://202.159.18.43/Ip/12 Srihardjo.

htm www.gunadarma.co.id

Referensi

Dokumen terkait

Terlaksananya jasa administrasi perkantoran 1.500.000 276.042.000 76.400.000 2 3 4 5 6 Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Program Peningkatan Pengembangan Sistem

Terima kasih kepada pihak Museum Nasional yang telah memberikan informasi dan dukungan yang penuh untuk proyek atau tugas akhir kami untuk membuat kios informasi yang

Hasil penelitian menemukan bahwa: (1) SPBS baru diinstruksikan pada lingkungan SKPD saja dalam bentuk Kamis berpakain kasumedangan dan berbahasa Sunda, (2) belum

Majlis Permusyawaratan Ulama adalah sebuah lembaga yang berjalan dalam struktur pemerintahan Aceh dalam rangka membantu memfatwakan, mengambil kebijakan dan

Untuk membuat jadwal yang sebenarnya dilakukan dengan melibatkan proporsi jumlah pelanggan pada tiap interval waktu, yaitu dengan membagi proporsi interval waktu

Hal-hal lain yang tidak tercantum dalam T.O.R tugas ini boleh ditentukan sendiri selama menggunakan standarisasi atau ketentuan perencanaan dan perancangan arsitektur yang

PENERAPAN MODEL MEMORIZATION TERHADAP KEMAMPUAN DAYA INGAT GERAK SISWA PADA PEMBELAJARAN SENI TARI DI SMP PASUNDAN 4 BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

6) untuk Informasi yang berkaitan dengan uang, dicantumkan mata uang, keterangan apakah nilai tersebut sudah dipotong/dipungut pajak, tarif pemotongan/pemungutan