• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aedes aegypti Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta/Hexapoda Subkelas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aedes aegypti Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta/Hexapoda Subkelas"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aedes aegypti

Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta/Hexapoda Subkelas : Pterygota

Divisi : Endopterygota/Holometabola Ordo : Diptera

Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (Palgunadi dan Rahayu, 2011)

Nyamuk Ae. aegypti merupakan hewan antropofilik, hidupnya berada di dekat manusia, baik di dalam maupun di luar rumah, lebih senang berada di genangan wadah dari pada genangan tanah, dan berkembang biak dengan baik di tempat gelap, terbuka lebar, dan terlindungi dari cahaya matahari secara langsung (Rahayu dan Ustiawan, 2013). Nyamuk ini tidak mampu hidup di dataran tinggi karena adanya thermoreseptor dan kemampuan metabolisnya harus pada suhu yang berada di dataran rendah (Jati dan Antara, 2019).

Nyamuk Ae. aegypti memliki siklus hidup yang sempurna, dimulai dari telur, jentik, pupa, hingga nyamuk dewasa. Spesies ini meletakkan telurnya pada permukaan air yang bersih secara individual. Telurnya berbentuk elips, berwarna hitam, dan terpisah satu dengan yang lain. Waktu yang diperlukan telur untuk menetes adalah 1-2 hari, selanjutnya berubah menjadi jentik (Susanti dan Suharyo, 2017). Perkembangan jentik menjadi instar pada nyamuk Ae. aegypti melalui 4 tahap, yaitu perkembangan instar 1 menjadi instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Jentik atau larva yang akan menjadi instar 4 berubah menjadi pupa, yaitu jentik memasuki masa dorman. Pupa bisa bertahan selama 2 hari sebelum menjadi nyamuk dewasa. Perkembangan mulai telur hingga nyamuk dewasa

(2)

7

membutuhkan waktu 8-10 hari, tetapi bisa lebih lama pada kondisi lingkungan tidak mendukung (WHO, 2009).

Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama pembawa virus dengue yang menjadi penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) (Asep, 2014).

Spesies lain, seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes scutellaris menjadi vektor sekunder (Kusuma, 2016 dan Halomoan, 2017). Habitat masing- masing faktor pembawa ini berbeda, tetapi nyamuk yang menyerang manusia adalah Ae. aegypti karena hidupnya di pemukiman manusia dan suka menghisap darah manusia (Fatmawati dan Windarto, 2018).

Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti betina ini biasanya terjadi pada musim penghujan atau pancaroba, ditandai dengan gejala demam tinggi secara terus menerus selama 2-7 hari pada manusia (Nusyirwan dan Purnama, 2019). Masa inkubasi virus dengue adalah 3-14 hari sebelum gejala muncul, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (pada tubuh nyamuk) adalah 8-10 hari sebelum ditularkan ke manusia (Candra, 2010). Penyebaran virus dengue terjadi ketika nyamuk menggigit dan menginjeksikan air liurnya pada luka gigitan ketika menghisap darah manusia (WHO, 2009).

2.1.2 Pengendalian Vektor Dengue

Pengendalian vektor merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menekan populasi vektor hingga berada di batas kemampuannya untuk menularkan penyakit di suatu wilayah. Metode pengendalian vektor berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1592) adalah sebagai berikut:

1. Pengendalian Metode Fisik

Pengendalian vektor metode fisik adalah cara pengendalian menggunakan atau menghilangkan material fisik agar populasi vektor dan hewan penyebab penyakit menurun, antara lain dengan mengubah pH air, memasang perangkap, menggunakan raket listrik, dan menggunakan kawat kassa.

2. Pengendalian Metode Biologi

Pengendalian vektor metode biologi merupakan pengendalian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan organisme predator dan organisme yang

(3)

8

menghasilkan toksin atau tanaman. Organisme predator tersebut antara lain ikan kepala timah, ikan cupang, ikan nila, ikan sepat, nimfa capung, berudu katak, larva nyamuk Toxorhynchites sp., Copepoda, dan lainnya. Organisme penghasil toksin antara lain Bacillus thuringiensisisraelensis, Bacillus sphaericus, virus, jamur, parasit, dan lainnya. Metode biologi dianjurkan dilakukan berkelanjutan dan berkesinambungan agar didapatkan hasil sangat optimal karena tidak menyebabkan dampak lingkungan.

3. Pengendalian Metode Kimia

Pengendalian vektor metode kimia merupakan metode yang digunakan untuk menurunkan populasi vektor dan hewan pembawa penyakit menggunakan bahan kimia (pestisida), tetapi perlu dipertimbangkan implementasinya karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan dan resistensi vektor sasaran. Penggunaan pestisida harus selalu dimonitor dan dievaluasi agar tepat pada spesies target sasaran, habitat sasaran, pengaplikasian dosis, metode, waktu, dan standar alat yang digunakan.

Penggunaan suatu jenis pestisida secara menyeluruh, peningkatan dosis aplikasi yang tidak dianjurkan, dan penggantian pestisida baru bisa menyebabkan resistensi vektor dan hewan pembawa penyakit, serta menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan organisme yang bukan sasaran.

4. Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan adalah memodifikasi lingkungan (bersifat permanen) dan memanipulasi lingkungan (bersifat sementara). Modifikasi lingkungan dilakukan dengan menimbun habitat perkembangbiakan vektor dan hewan penyebab penyakit, mendaur ulang habitat yang potensial, menutup celah pada bangunan, pengaliran air (drainase), dan pengelolaan sampah.

Manipulasi lingkungan dilakukan dengan mengangkat lumut dan menguras tempat penyimpanan air bersih secara berkala.

(4)

9

2.2 Insektisida Yang Digunakan Dalam Pengendalian Vektor Dengue 2.2.1 Pengertian Insektisida

Insektisida merupakan bahan kimia atau bahan lain yang digunakan untuk memberantas hewan yang menyebabkan penyakit pada manusia (Kemenkes RI, 2012). Insektisida kesehatan masyarakat digunakan untuk mengendalikan vektor, antara lain adalah nyamuk, kecoa, lalat, tikus, dan lainnya yang diaplikasikan di daerah pemukiman endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat umum lain (WHO, 2009).

2.2.2 Jenis Insektisida

Jenis insektisida yang digunakan untuk vektor dengue diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Organofosfat

Organofosfat termasuk insektisida paling toksik terhadap nyamuk dengan menghambat kerja sistem saraf pusat dan enzim asetilkoliesterase (AChE) dengan stabil yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin atau asetilkolin tidak terhidrolisis (Chen et al., 2011). Insektisida golongan organofosfat berperan sebagai racun kontak, racun pernapasan, dan racun saraf yang salah satunya adalah malathion (Astuti dan Juliawati, 2010).

2. Organoklorin

Organoklorin merupakan insektisida yang mekanisme toksisitasnya fokus pada neurotoksin dan otak. Organoklorin yang paling umum digunakan adalah Dichloro-diphenyl-trichloroethan (DDT) yang memiliki sifat tidak larut dalam air dan larut dalam pelarut organik (Safar, 2010). Insektisida golongan organoklorin memiliki tingkat persistensi (daya tahan terhadap proses degradasi) sangat tinggi, yaitu mencapai 30 tahun (Anshori dan Prasetiyono, 2016).

3. Karbamat

Insektisida golongan karbamat termasuk racun saraf yang bekerja menghambat sistem saraf pusat dan enzim asetilkolinesterase (AchE) yang sifatnya reversible (Astuti dan Juliawati, 2010). Insektisida golongan

(5)

10

karbamat mudah terurai oleh lingkungan dan tidak terakumulasi jaringan lemak (Djojosumarto, 2008).

4. Piretroid

Insektisida golongan piretroid merupakan insektisida yang bekerja mempengaruhi saraf serangga dengan cepat dan menimbulkan paralisis yang sifatnya sementara, contohnya cypermethrin dan transfluthrin (Buyang dan Pasaribu, 2014). Insektisida ini umumnya disemprotkan, dibakar, dan elektrik. Insektisida golongan piretroid tergolong insektisida bahaya sedang (kelas II) yang mengakibatkan propoxur sehingga tidak diperbolehkan sebagai insektisida rumah tangga (WHO, 2009).

2.2.3 Cara Kerja Insektisida

Cara kerja insektisida di dalam tubuh vektor biasa dikenal dengan mode of action dan mode of entry. Mode of action merupakan cara kerja yang memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) dalam tubuh vektor, bisa berupa enzim atau protein. Mode of entry merupakan cara kerja insektsida dalam tubuh vektor melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut), dan pernapasan (racun pernapasan).

Prinsip kerja insektisida dalam pengaplikasian untuk pengendalian vektor diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Mempengaruhi Sistem Saraf

Insektisida yang bekerja mempengaruhi sistem saraf serangga diantaranya adalah organofosfat, karbamat, dan piretroid dengan mengikat Voltage-gated sodium channel (VGSC) yang berperan mengatur denyut impuls saraf. Hal tersebut menyebabkan impuls saraf mengalami stimulasi secara terus-menerus sehingga serangga mengalami gejala tremor/gemetar dan gerakannya tidak terkendali (Hasibuan, 2012).

2. Menghambat Produksi Energi

Mekanisme insektisida yang menghambat produksi energi bekerja dengan mengganggu proses respirasi sehingga metabolisme terhambat dan mengakibatkan produksi energi serangga menjadi rendah (Wirasuta, 2007).

(6)

11

3. Mempengaruhi IGR (Insect Growth Regulator)

Insektisida yang mempengaruhi IGR terdapat dua jenis, yaitu insektisida yang mempengaruhi sistem endokrin dan insektisida yang menghambat sintesis kitin (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014). Sistem endokrin pada serangga berfungsi mengatur metabolisme organik, H2O, dan keseimbangan elektrolit, sebagai pengontrol reproduksi, mengatur produksi sel darah, serta mengatur perkembangan dan pertumbuhan insekta (Trisyono, 2019). Jika kinerja sistem endokrin terganggu, maka reproduksi serangga, pengaturan produksi sel darah, metabolisme, serta pertumbuhan dan perkembangan serangga menjadi terganggu. Kitin berfungsi untuk morfogenesis dinding sel dan sebagai pembangun eksoskeleton nyamuk. Insektisida yang menghambat sintesis kitin menyebabkan eksoskeleton nyamuk rusak yang mengakibatkan proses pertumbuhan dan metabolisme nyamuk terganggu sehingga dapat menyebabkan kematian (Yasmin dan Fitri, 2013).

4. Menghambat Keseimbangan Air Tubuh

Insektisida yang berperan menghambat keseimbangan air tubuh diantaranya adalah insektisida yang berbahan asam borat, diatom, dan silica aerogel dapat menyerap lapisan lilin/lemak pada serangga yang berfungsi mencegah hilangnya air dari tubuh serangga. Hal tersebut menyebabkan serangga kehilangan air yang banyak dan megalami desikasi sehingga dapat menyebabkan kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

5. Merusak Jaringan Pencernaan

Insektisida dengan bahan aktif mikroorganisme Bacillus thuringiensis (Bti) dapat merusak jaringan pencernaan serangga karena Bti akan membentuk endotoksin yang bersifat asam yang akan terlarut dan merusak sel-sel pencernaan sehingga dapat menyebabkan kematin (Hasibuan, 2012).

2.2.4 Malathion

Malathion merupakan salah satu insektisida golongan organofosfat yang bisa melumpuhkan serangga dengan cepat, sangat berbau, korosif, dan termasuk alifatik (Sucipto, 2011). Kerja malathion pada tubuh nyamuk diantaranya mode of action bekerja menghambat enzim kolinesterase terhadap asetilkolin dan

(7)

12

mode of entry bekerja sebagai racun kontak dan racun perut (Hamzah, 2011).

Malathion memiliki dua gugus ester carboxylic acid sehingga senyawa ini bisa dihidrolisis oleh enzim karboksil esterase. Enzim karboksil esterase hanya bisa menghidrolisis salah satu dari dua gugus karbioksilat penyusun malathion. Jika ada perubahan gugus karboksilat pada malathion, maka senyawa insektisida malathion ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Gupta, 2006). Resistensi serangga terhadap malathion disebabkan oleh aktivitas enzim pada serangga menghalangi senyawa insektisida menuju sisi targetnya (Widiastuti dan Ikawati, 2016).

Malathion termasuk insektisida yang penggunaannya dilakukan dengan pengasapan (fogging) dalam bentuk aerosol yang merupakan partikel halus (Hendri, Kusnandar, dan Astuti, 2016). Insektisida malathion memiliki jenis senyawa inaktif, yaitu kemampuan toksisitas pada manusia bisa sama dengan pada insekta bergantung pada perubahannya menjadi metabolit aktif (malaokson). Toksisitas malathion sangat tinggi dibanding insektisida yang lain sehingga dapat menyebabkan resistensi nyamuk Ae. aegypti jika penggunaannya tidak sesuai dengan anjuran yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kawatu, Soenjono, dan Watung, 2019).

2.3 Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Insektisida 2.3.1 Pengertian Resistensi

Resistensi merupakan kemampuan vektor bertahan terhadap dosis insektisida yang diberikan pada keadaan normal dan seharusnya dapat membunuh serangga tersebut (WHO, 2009). Resistensi termasuk fenomena evolusi akibat seleksi hama serangga yang diberi perlakuan insektisida dengan dosis tertentu secara terus-menerus (Hendri et al., 2016). Resistensi adalah tingkat kepekaan organisme sasaran terhadap suatu insektisida yang menyebabkan insektisida menjadi tidak efektif lagi untuk mengendalikan organisme (Menteri Pertanian RI, 2011).

2.3.2 Proses Terjadinya Resistensi

Proses terjadinya resistensi bisa berlangsung cepat atau lambat dalam kurun waktu bulan hingga tahun berdasarkan frekuensi penggunaan insektisida.

(8)

13

Resistensi dapat disebabkan oleh penggunaan insektisida sejenis secara terus- menerus, penggunaan bahan aktif yang memiliki aktivitas sama, efek residual yang lama, dan keadaan biologis spesies vektor (WHO, 2013). Faktor terbesar penyebab resistensi serangga adalah penyemprotan residual karena lebih banyak peluang kontak antara vektor dan bahan aktif. Penggunaan insektisida yang sama terhadap semua stadium pertumbuhan vektor juga menjadi alasan proses terjadinya resistensi (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

2.3.3 Mekanisme Resistensi

Mekanisme resistensi digolongkan menjadi 3, diantaranya sebagai berikut:

1. Biokimiawi

Mekanisme biokimiawi berkaitan dengan dua hal, yaitu enzimatik dan gen knock-down resistance (kdr). Mekanisme biokimiawi yang berkaitan dengan fungsi enzimatik adalah mekanisme resistensi yang terjadi ketika molekul insektisida masuk ke dalam tubuh vektor berinteraksi dengan molekul target yang seharusnya interaksi tersebut menyebabkan kematian vektor (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Namun, molekul insektisida terurai oleh enzim manooksigenase (enzim detoksifikasi) dengan jumlah sangat banyak yang berfungsi mengurai molekul insektisida menjadi molekul tidak toksik dengan jumlah sangat banyak (Widiastuti, Sunaryo, Pramestuti, dan Martini, 2015). Mekanisme biokimiawi yang berkaitan dengan gen knock-down resistance adalah mekanisme resistensi yang terjadi akibat gen kdr bertindak pada tingkat neuron dengan menurunkan sensitivitas saraf terhadap toksikan (WHO, 2013).

2. Fisiologis

Resistensi fisiologis bawaan terjadi karena daya absorb serangga yang sangat lambat, serangga mampu menyimpan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, daya ekskresinya cepat sehingga insektisida tidak sampai mempengaruhi tubuh (Hasibuan, 2012).

(9)

14 3. Perilaku

Resistensi perilaku bisa terjadi karena faktor perubahan habitat yang kemudian perilaku tersebut dipertahankan oleh generasi berikutnya sehingga menghindar dari insektisida yang dikenali (Wirasuta, 2007).

Sebagian serangga mengalami perubahan perilaku setelah perlakuan insektisida, seperti nyamuk yang tidak mau lagi hinggap di tempat yang sudah disemprot dengan insektisida tertentu (Trisyono, 2019).

2.3.4 Faktor Resistensi 1. Faktor Genetik

Gen yang membawa sifat resisten terhadap insektisida tertentu adalah faktor utama penyebab resistensi serangga. Jika individu pembawa sifat resisten lebih dominan, maka perkembangan resisten akan semakin cepat (Kemenkes RI, 2010). Serangga yang sensitif terhadap insektisida, kemudian mengalami mutasi setelah beberapa ratus atau ribuan tahun bisa berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida dan keturunannya juga akan resisten (Soedarto, 2011).

2. Faktor Biologi-Ekologi

Perkembang biakan serangga resisten yang cepat mengakibatkan semakin cepatnya perkembangan resistensi serangga. Proses resistensi berlangsung cepat jika serangga resisten memiliki keturunan yang banyak (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014). Resistensi serangga akan terhambat ketika serangga yang masih peka masuk ke dalam populasi serangga yang sedang mengalami proses resistensi. Namun, hal tersebut bisa menyebabkan peningkatan serangga resisten karena terdapat interaksi antara serangga dengan gen pembawa sifat resisten dan serangga dengan gen yang tidak resisten (Suharmiati dan Handayani, 2007).

3. Faktor Operasional 1. Paparan Insektisida

Insektisida yang digunakan terus-menerus dapat menyebabkan resistensi serangga berlangsung cepat dibanding jika menggunakan insektisida secara bergantian dari kelompok kimia dan cara kerja yang

(10)

15

berbeda (Trisyono, 2019). Aplikasi insektisida dengan dosis terlalu tinggi menyebabkan serangga lebih cepat resisten karena kemampuan enzim dalam tubuh serangga mendetoksifikasi insektisida meningkat, tetapi jika dosis yang digunakan terlalu rendah dapat menyebabkan serangga toleran terhadap insektisida (Wirasuta, 2007).

2. Spesies Vektor

Resistensi dapat berkembang pada serangga dalam spesies vektor melalui generasi atau seleksi setelah serangga terpapar insektisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014).

3. Lama Penggunaan Insektisida

Insektisida sejenis yang digunakan dalam jangka waktu lama dan terus-menerus dapat menyebabkan resistensi vektor sebab hal tersebut merangsang perubahan gen larva menjadi gen yang resisten (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

4. Frekuensi Penggunaan Insektisida

Insektisida pada dasarnya memberi keefektifan untuk membunuh vektor, tetapi jika frekuensi melebihi anjuran yang telah ditetapkan dapat menyebabkan vektor resisten terhadap insektisida yang diberikan (Wirasuta, 2007).

5. Cara Aplikasi

Cara aplikasi yang memiliki peluang lebih besar terhadap resistensi vektor adalah penyemprotan residual karena lebih banyak peluang kontak antara vektor dan bahan aktif (Suharmiati dan Handayani, 2007).

6. Status Endemisitas

Status endemisitas dapat mendorong resistensi vektor sebab daerah endemis tinggi biasanya melakukan penyemprotan insektisida sebagai upaya penurunan insiden yang cepat sebab adanya kejadian luar biasa (KLB). Terdapat 80% atau lebih tinggi persentase pengendalian vektor di daerah endemis tinggi melakukan upaya penurunan insiden dengan fogging dan hal inilah yang mendorong resistensi vektor (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

(11)

16 2.4 Sumber Belajar

Sumber belajar memiliki peran penting untuk mempermudah proses pembelajaran. Sumber belajar biologi dapat diperoleh dari sekolah atau kampus maupun di luar sekolah atau kampus. Umumnya ada dua cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber belajar, baik di sekolah maupun kampus, yaitu membawa sumber belajar ke dalam kelas atau membawa siswa ke lapangan tempat sumber belajar tersebut berada (Susilo, 2013).

Sumber belajar (learning resources) merupakan segala bentuk sumber yang terdapat di luar diri siswa dan berfungsi untuk memudahkan proses pembelajaran.

Berbagai sumber belajar memungkinkan perubahan pada diri siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tidak terampil menjadi terampil (Nurcahyo, 2007).

Sumber belajar yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pembelajaran memiliki jenis dan bentuk beraneka ragam. Sumber belajar bukan hanya dalam bentuk buku cetak, buku teks, tetapi sumber belajar bisa berupa radio pendidikan, televisi, komputer, e-mail, video interaktif, dan teknologi multimedia lainnya yang bertujuan meningkatkan interaksi dan menimbulkan adanya umpan balik antara guru dengan siswa (Supriadi, 2015).

Sumber belajar menjadi alat bagi pesesrta didik untuk berinteraksi dengan materi pembelajaran sehingga memungkinkan untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan. Pengetahuan dan keterampilan tentang strategi, menganalisis, memilih, dan memanfaatkan sumber belajar oleh tenaga pengajar umumnya belum cukup memadai, sehingga tenaga pengajar perlu memperluas wawasan untuk memanfaatkan sumber belajar yang ada agar siswa dapat mencapai target dalam kegiatan pembelajaran. Fungsi sumber belajar menurut Nurcahyo (2007) diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan mempercepat laju belajar dan membantu guru menggunakan waktu secara lebih baik dan mengurangi beban guru dalam menyajiakan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina serta mengembangkan gairah belajar siswa.

(12)

17

2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang lebih individual dengan mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional serta memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.

3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan mengadakan perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis dan pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian.

4. Lebih mudah memantapkan pembelajaran dengan meningkatkan kemampuan sumber belajar serta penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.

5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang bersifat kongkrit serta memberikan pengetahuan langsung.

6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, yaitu penyajian informasi yang mampu menembus batas geografis.

(13)

18 2.5 Kerangka Konseptual

: tidak diteliti : diteliti

Pengendalian

Organofosfat Organoklorin

Karbamat Piretroid

Malathion

Resistensi

Sumber Belajar Vektor Aedes aegypti

Keterangan:

Penyakit DBD menjadi masalah kesehatan dunia, termasuk kabupaten malang

Metode Fisik

Penyakit DBD

Metode Biologi

Metode Kimia

Pengelolaan Lingkungan

Insektisida Perilaku Masyarakat Virus dengue

Gambar 2.1 Kerangka konseptual

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka konseptual

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sub DAS yang menunjukkan kriteria kualitas perairan yang paling baik yaitu pada sub DAS Cisukabirus dengan rata-rata nilai 3,96 dengan kriteria ‘sangat baik’, hal ini

Maka Pejabat Pengadaan Bidang Perumahan dan Permukiman Pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kab... Harga Hasil Negosiasi

Salah satu perubahan yang tampak saat seseorang memasuki masa remaja adalah perubahan nilai, apa yang mereka anggap penting pada masa anak-anak akan dapat

Is the use of “ story skeleton ” able to improve students’ writing skill in narrative text at the tenth grade students at MAN Ngawi?...

1) Tahap mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke dalam kelompok. Para siswa memilih beberapa topik yang sudah disiapkan. Para siswa bergabung dengan

6 Menyanyi lagu dengan teknik, postur, ekspresi dan cara yang betul..

AI-Neural Network –Learning methods Classification of Learning