• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam. Khusus mengenai pembangunan hukum, diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum.1

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku dalam perekonomian nasional telah merambah hampir pada semua sector usaha/industri, seperti: jasa keuangan (perbankan, asuransi), pertambangan, perikanan, perkebunan, perlistrikan, telekomunikasi transportasi, perdagangan, konstruksi, dan lain lain. Tujuan didirikannya BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Pasal 2 Ayat (1) adalah mencari keuntungan, namun penjelasan Pasal 2 huruf b disebutkan meskipun pendirian BUMN adalah mencari keuntungan, dalam hal-hal tertentu untuk melakukan

1 Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menangah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014

(2)

pelayanan umum, persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip–prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Sejalan dengan hal tersebut, kedudukan dan peranan BUMN harus ditata berdasarkan 3 bentuk: department goverment enterprise (Perjan), statutory public corporation (Perum), commercial companies (Persero) yang

merupakan beberapa pelaku ekonomi nasional, disamping swasta dan koperasi. Untuk kebutuhan tersebut diperlukan sinkronisasi dari berbagai peraturan, seperti undang-undang BUMN, Perseroan terbatas, koperasi, penanaman modal dan pasar modal.2

Berdasarkan data yang ada pada Kementerian BUMN jumlah BUMN sebanyak 141 perusahaan yang bergerak pada 18 sektor.3 Terkait dengan pengelolaan BUMN, permasalahan dan tantangan dalam pembinaan dan pengawasanya adalah sebagai berikut: (a) masih terdapatnya ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan penafsiran yang berpengaruh terhadap kepastian hukum di bidang pengurusan, pengawasan, dan pembinaan BUMN; (b) kondisi ekonomi baik nasional, regional, maupun global yang sedang dalam tahap pemulihan; (c) persaingan usaha yang makin ketat; (d) pelaksanaan otonomi daerah yang sering tidak kondusif bagi pengembangan usaha; serta (e) pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance).4

2 Ibrahim R., 2007, Landasan Filosofis Dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Vol. 26, hlm. 5

3 Website Kementerian BUMN, http://www.bumn.go.id/daftar-bumn

4 Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menangah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014

(3)

Salah satu permasalahan dan tantangan dalam pembinaan dan pengawasan yang disebutkan dalam RPJM tahun 2010-2014 adalah masih terdapatnya ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan penafsiran yang berpengaruh terhadap kepastian hukum di bidang pengurusan, pengawasan, dan pembinaan BUMN. Dalam menjalankan usahanya BUMN baik yang bergerak di bidang perbankan maupun non perbankan tidak terlepas dari persoalan piutang bermasalah yang akhirnya piutang tersebut dinyatakan macet. BUMN dalam upaya penyelesaian piutang yang dinyatakan macet tunduk pada ketentuan terkait yang mengatur hal tersebut.

Program penghapusan piutang terhadap kredit macet secara umum sudah lazim dilakukan oleh kalangan perbankan di seluruh dunia.

Penghapusan kredit macet dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menyiasati tingginya angka rasio NPL (Non Performing Loan) atau kredit bermasalah, karena tingginya angka rasio NPL dapat menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Meskipun tindakan semacam itu tergolong umum dan lazim, namun program penghapusan piutang terhadap kredit macet pada perbankan harus tetap mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : UU Perbankan, UU Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia dan UU Perseroan Terbatas. Khusus untuk BUMN perbankan yang mayoritas sahamnya dipegang oleh negara/pemerintah, maka pelaksanaannya harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu : Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara,

(4)

Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang- Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.

19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah No.

14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006.

Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006, pengelolaan piutang BUMN masih banyak diatur oleh pemerintah sehingga dalam banyak hal terdapat tindakan yang dapat mempengaruhi kinerja BUMN. Dimana pengurusan piutang macet BUMN dilaksanakan oleh PUPN berdasarkan Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Dengan dasar hukum tersebut, PUPN bersama-sama DJKN melakukan penagihan dengan Surat Paksa dan upaya-upaya lainnya untuk mempercepat penyelesaian piutang macet tersebut antara lain melakukan pencegahan bepergian ke Luar Negeri, melakukan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan debitor, dan/atau melakukan paksa badan.5 Paradigma penyelesaian piutang macet BUMN yang disamakan penyelesaiaannya dengan piutang negara telah berpengaruh terhadap efektifitas penyelesaian piutang macet dimaksud.

Kenyataan inilah yang kemudian mendasari pemerintah secara bertahap memberikan kemandirian penuh kepada BUMN termasuk bank BUMN untuk mengelola usahanya secara mandiri sesuai mekanisme korporasi yang kemudian diimplementasikan oleh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang

5 Media Kekayaan Negara, Zero Outstanding 2014, Edisi No. 05 Tahun II/2011, hlm. 6

(5)

Negara/Daerah guna mendorong kemandirian BUMN, termasuk bank BUMN agar dapat menyelesaikan piutang macet yang dimilikinya secara mandiri tanpa perlu melibatkan Panitia Penguruan Piutang Negara (PUPN).

Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2006 merupakan revisi PP No. 14 Tahun 2005 yang berlaku sejak 6 Oktober 2006, mengatur pengurusan piutang BUMN (termasuk piutang bank BUMN) tidak lagi melibatkan Pemerintah (Menteri Keuangan cq PUPN) dan DPR, tetapi cukup ditangani oleh masing–masing BUMN sesuai mekanisme korporasi yaitu setelah disahkan oleh RUPS sebagaimana diatur dalam Pasal 75-91 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Pasal 14 UU No. 19 Tahun 2007 tentang BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Kondisi yang diharapkan dengan adanya peraturan tersebut adalah terciptanya suatu kepastian hukum dalam rangka optimalisasi upaya penanganan kredit bermasalah dan adanya level of playing field yang sama dengan bank-bank swasta, dalam penyelesaian

NPL khususnya kewenangan untuk melakukan hapus tagih dan penjualan NPL.

Tujuan utama dari PP No. 33 Tahun 2006 adalah untuk mendongkrak kinerja BUMN terutama di sektor perbankan karena dengan menghapuskan piutang macet pada perbankan akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) mulai dari kenaikan nilai buku perusahaan hingga potensi peningkatan

harga saham. Kemampuan penggalangan dana juga akan lebih besar, sehingga kemampuan kredit bisa meningkat. Namun seharusnya diikuti dengan peraturan lain yang mendukung upaya dimaksud baik dari Bank Indonesia

(6)

maupun Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan dampak multiplier tersebut, terutama peraturan yang berkaitan dengan prosedur penghapusan piutang dalam penyelesaian kredit bermasalah yang saat ini semakin meningkat jumlahnya. Ketidakleluasaan bank BUMN melakukan penghapusan piutang dalam penyelesaian kredit macet mengakibatkan tingkat pengembalian aset bank BUMN menjadi rendah. Akibatnya kredit bermasalah pun semakin menumpuk, sementara itu bank-bank swasta dengan mudah dan leluasanya melakukan penghapusan buku kredit macet. Meskipun pemerintah sudah memberikan keleluasaan kepada pengurus BUMN untuk melakukan penghapusan piutang sampai saat ini tidak ada yang berani melakukan penghapusan piutang macet atau kredit macet karena PP No. 33 Tahun 2006 tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa pengelolaan Piutang Negara dalam PP No. 14 Tahun 2005 masih menggunakan dasar hukum UU No. 49 Prp tahun 1960, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Selama ini, landasan hukum pengurusan Piutang Negara adalah Undang-Undang Nomor 49 Prp.

Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-Undang tersebut memuat materi yang sangat ringkas sehingga tidak paripurna memberikan landasan hukum dalam pengurusan Piutang Negara.

Kelemahan tersebut pada gilirannya, menjadi penyebab Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi pada sistem kelembagaan negara, pengelolaan

(7)

keuangan pemerintahan Negara Republik Indonesia, dan perubahan paradigma di dalam masyarakat yang menuntut adanya perhatian atas hak asasi manusia, asas keadilan, kepastian hukum, pemulihan hak negara, serta asas transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaran negara.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut pengertian Piutang Perusahaan Negara masih dianggap sebagai bagian dari piutang negara sehingga pengelolaan piutang perusahaan negara/BUMN masih harus melibatkan PUPN/DJKN/KP2LN.

Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 definisi piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. Dalam penjelasannya piutang negara sebagai hutang yang langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah serta terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya.

Ada perbedaan yang mendasar defenisi piutang negara pada Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Dalam undang-undang perbendaharaan negara, defenisi Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak

(8)

Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Dalam undang-undang perbendaharaan, piutang negara tidak termasuk dalam piutang yang dimiliki oleh Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara.

Dalam penyelesaian piutang negara yang dilakukan oleh PUPN, khususnya piutang negara yang diserahkan oleh Bank-bank Negara dan Perusahaan Terbatas Negara, pada tahun 2011 sejumlah perusahaan (PT Sarana Apalindo Padang, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Medan Aspalindo, PT Perintis Aspalindo Curah, PT Karya Aspalindo Cirebon dan PT Sentra Aspalindo Riau) melakukan pengujian materiil kewenangan PUPN tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Adapun salah satu latar belakang adanya uji materiil ini dikarenakan adanya kepastian hukum yang tidak adil dan pelakuan yang tidak sama dihadapan hukum akibat adanya Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang PUPN, salah satu contohnya adalah para pemohon kehilangan haknya untuk memperoleh pemotongan hutang pokok dari Bank BUMN selaku kreditur, sedangkan jika nasabah dari Bank Swasta dapat menikmati pemotongan hutang pokok padahal sama-sama nasabah Bank yang bentuk Perseroan Terbatas.

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menerangkan bahwa tugas PUPN dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 mengenai pengawasan terhadap piutang-piutang yang telah dikeluarkan oleh badan- badan negara. Untuk itu terhadap ketentuan tersebut, telah mengalami

(9)

tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Termasuk juga tumpang tindih juga terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa:

1. Frasa “atau badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini”, dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960

adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Frasa “badan-badan negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Frasa “atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960

adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

4. Frasa “atau badan-badan negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang- Undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan adanya keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang bersifat final ini, maka memberikan akibat hukum yang mengikat semua pihak. Akibat hukumnya antara lain adalah bahwa frasa

(10)

“badan-badan” yang terdapat Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya bahwa seluruh piutang negara yang telah diserahkan oleh

“badan-badan” kepada PUPN tidak dapat lagi penyelesainnya dilakukan oleh PUPN. Dengan demikian berarti seluruh piutang negara yang sudah diserahkan ke PUPN harus dikembalikan kepada pihak yang telah menyerahkannya. Selanjutnya penyelesaian piutang tersebut menggunakan mekanisme yang berlaku dalam pasar sesuai dengan undang-undang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana efek/dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 terhadap penanganan perkara penyelesaian piutang perbankan BUMN?

2. Bagaimana penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, akan tetapi pernah ada penelitian yang serupa, yaitu:

(11)

1. Tesis yang ditulis oleh Fairuz6 pada tahun 2009 yang berjudul ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA BANK BUMN

KAITANNYA DENGAN KEKAYAAN NEGARA YANG

DIPISAHKAN (Studi Kasus Di PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) yang merupakan penelitian Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah mengapa piutang dari kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan dapat dikategorikan sebagai piutang negara, apakah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan, serta bagaimana seharusnya menurut hukum penyelesaian kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan.

2. Tesis yang ditulis oleh Budi7 pada tahun 2010 yang berjudul, ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PT BANK MANDIRI (PERSERO) TBK DALAM PENYALURAN KREDIT SEBAGAI RISIKO BISNIS (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1145K/Pid/2006) yang merupakan penelitian Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah sejauh mana tanggung jawab direksi atas keputusan penyaluran kredit, mengapa kredit macet Bank Mandiri yang berpotensi merugikan pihak

6 Fairuz, 2009, Analisis Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Kaitannya Dengan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan (Studi Kasus Di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta

7 Budi, Analisis Yuridis Tanggung Jawab Direksi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dalam Penyaluran Kredit Sebagai Risiko Bisnis (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1145K/Pid/2006), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta

(12)

bank dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara, bukan sebagai risiko bisnis, serta bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap direksi dalam hal terjadi kerugian akibat adanya kredit macet

3. Tesis yang ditulis oleh Lupita8 pada tahun 2010 yang berjudul, PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK BRI CABANG KATAMSO YOGYAKARTA yang merupakan penelitian Tesis S-2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah bagaimana cara penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta, bagaimana upaya Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta terhadap terjadinya pelanggaran undang-undang fidusia dalam hal debitur menjual benda jaminan kepada pihak lain, serta bagaimana peran notaris dalam pengikatan jaminan fidusia di BRI Cabang Katamso Yogyakarta.

Berbeda dengan kedua hasil penelitian tersebut di atas, yaitu penelitian pertama lebih memfokuskan pada penyelesaian kredit macet. Penelitian kedua lebih memfokuskan pada tanggung jawab direksi dalam penyaluran kredit.

Penelitian ketiga lebih memfokuskan pada penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih memfokuskan pada penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian ini adalah penelitian asli.

8 Lupita, 2010, Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia Di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

(13)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kenotariatan yang terkait dengan penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mengkaji efek/dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 terhadap penanganan perkara penyelesaian piutang perbankan BUMN

2. Untuk mengetahui dan mengkaji penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

d) Selama pemanasan, level boiler drum akan bergejolak. Jika level boiler drum terlalu tinggi dapat dibuang melalui blowdown valve. e) Tutup secara perlahan main steam drain

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Dibandingkan dengan katalis alkali tanah oksida yang lain, pemanfaatan CaO untuk memproduksi biodiesel mempunyai lebih banyak keuntungan seperti CaO mempunyai kekuatan basa yang

Hasil penelitian menunjukan hasil tes akhir/pos tes dengan menggunakan model pembelajaran langsung berbasis proyek terhadap hasil belajar konsep perubahan wujud benda

Hasil penelitian variabel suku deposito, SBI, kurs dan inflasi secara simultan mempunyai pengaruh terhadap harga saham sedangkan secara parsial adalah suku bunga

Rumah Peradaban dilakukan di Badung untuk memperkenalkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bali di wilayah Kabupaten Badung.. Penelitian arkeologi

Begitu juga dalam abjad Melayu-Arab atau tulisan Jawi yang telah dipaparkan diatas, bahwa bunyi ‘ga’ dalam abjad Arab-Berber ditandai dengan huruf kaf bertitik satu ﺎآ titik

Tindakan mengawal paras air di tasik empangan boleh menyebabkan aliran sungai di hilir berubah secara tiba-‐tiba dan menjadi tidak menentu. Di kawasan luar bandar yang