MENGURANGI KEMISKINAN DI DAERAH PARIWISATA DENGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAN: Tinjauan Wilayah Badung bagian Selatan
Oleh: GPB Suka Arjawa
Abstrak
Kemiskinan merupakan fenomena yang selalu ada di masyarakat. Keadaan ini tidak bisa
diberantas secara tuntas karena berkait dengan berbagai faktor. Lingkungan, manusia, keluarga
dan pemerintah sangat menentukan kondisi kemiskinan tersebut. Di wilayah yang secara umum
dikatakan makmur, justru masih dijumpai adanya keluarga-keluarga miskin. Bahkan rumah
tangga miskin itu berdampingan dengan rumah tangga yang dipandang makmur. Penelitian ini
dilakukan di Kabupaten Badung bagian selatan, Propinsi Bali. Daerah ini dipandang sebagai
lokasi paling makmur. Tetapi secara kualitatif masih dijumpai cukup banyak keluarga miskin.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, dengan tujuan untuk mengetahui apa yang
menjadi faktor utama penyebab kemiskinan tersebut di tingkat keluarga atau masyarakat. Dengan
metode kualitatif akan mampu digali berbagai informasi baik dengan melihat langsung di
lapangan maupun pendapat dari anggota keluarga tentang munculnya tingkat kemiskinan
tersebut. Penelitian ini mencoba melihat secara teoritik tentang struktur sosial yang berpengaruh
kepada keadaan sosial di masyarakat. Temuan di lapangan meemperlihatkan bahwa kemiskinan
yang terjadi wilayah Badung bagian selatan disebabkan oleh tidak adanya perhatian mendalam
dari korporasi meningkatkan tanggungjawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Juga ditemukan bahwa mental untuk meningkatkan diri secara ekonomi itu masih lemah yang
ditopang oleh rendahnya tingkat pendidikan.
Kata Kunci: Kemiskinan, Kemakmuran, Tanggungjawab Sosial.
Abstract
Poverty is the general fenomena in society. That fenomena can’t be solved clearly because the
problem have any factor. Environment, human, government and family are the factors that have
influenced to the poverty. Even, the poverty can we seen side by side with the rich family.This
research is conducted in Badung Regency, especially at the south of that region. The Southern of
Badung is seeing as the prosperous region in Bali. But in that region we can find enough poverty
family. This research conducted with qualitative method in order to find the main caused of that
poverty lying in any family at the region. With qualitative method, it could be find the
Keynotes: Poverty. Properity, Sosial Responsibility
Proses Perubahan Sosial
Kemiskinan sebagai sebuah fenomena sosial, merupakan masalah cukup besar bagi negara-negara yang berada dalam masa transisional. Yang dimaksudkan dengan masa transitional itu adalah adanya proses perubahan dari negara yang miskin ke negara berkembang atau negara berkembang menjadi negara maju. Proses itu meliputi perubahan cara masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru setelah adanya gejala yang memungkinkan perubahan tersebut. Globalisasi merupakan gejala atau kenyataan baru yang memungkinkan terjadinya proses perubahan tersebut. Karena globaalisasi itu melingkup seluruh dunia, maka setiap negara digerakkan untuk berubah. Perubahan sikap masyarakat negara untuk menghadapi globalisasi inilah yang memungkinkan terjadinya kemiskinan tersebut karena tidak semua elemen mampu mengikutinya dengan cara yang sama. Keterampilan, pengetahuan, sampai dengan seni untuk menghadapi perubahan itu tidak dimiliki secara utuh dan dengan kualitas yang sama pada tingkat masyarakat. Globalisasi memungkinkan cepatnya pertukaran barang dan jasa, yang dicirikan semakin pentingnya hubungan saling ketergantungan antara orang-orang di berbagai macam belahan dunia dalam hal sosial, ekonomi, budaya dan politik (Hennida, 2012:5)
Terhadap globalisasi, Indonesia mau tidak mau menghadapi fenomena ini secara langsung. Sebagai negara yang sejak jaman Orde Baru disebut sebagai negara sedang berkembang, maka globalisasi yang sedang terjadi di dunia ini membuat Indonesia mencoba beranjak dari negara sedang berkembang menuju negara maju. Predikat sebagai negara berkembang terlihat misalnya dengan
masuknya Indonesia menjadi anggota G-20, atau ikut dalam pertemuan Selatan Selatan yang dimasa Orde Baru sering melakukan pertemuan. Satu indikator lain lagi adalah tergabungnya Indonesia ke dalam negara Gerakan Non-Blok.
Salah satu sisi globalisasi yang bisa ditangkap di Indonesia, adalah terjadinya peningkatan lalu lintas wisatawan. Arus lalu lintas wisatawan ini merupakan gejala paling kelihatan tentang masuknya wrganegara dari satu negara ke negara lain, dengan modal yang dibawa. Modal dalam bentuk uang maupun barang itu, pada akhirnya berpindah dari satu negara menuju negara lain. Sebagai akibat ikutan dari efek transnasional itu adalah berpindahnya investasi dari satu negara ke negara lain. Dalam hal pariwisata, investasi itu yang paling utama adalah berbentuk hotel. Lebih kecil dari lingkup itu adalah berupa bisnis berupa persewaan dan pembangunan villa, mendirikan bisnis transportasi dan biro perjalanan sampai dengan mendirikan lembaga pengarah wisatawan (guide).
Akibat dari Perubahan Sosial
mementingkan kesetiaan kepada kantor ketimbang pada tradisi, memperlihatkan bahwa praktik globalisasi telah muncul di Bali dan proses perubahan sosial kea rah itu telah ada. Cara-cara kerja masyarakat yang beradaptasi dengan pola kerja internasional tersebut telah memungkinkan terjadinya upaya perubahan masyarakat menuju masyarakat lebih maju. Inilah transisional masyarakat negara dari negara sedang berkembang menjadi masyarakat negara maju.
Akan tetapi, dalam konteks penyebaran rejeki pariwisata ini bagi masyarakat di Bali, ternyata tidak bisa dikatakan diserap secara adil. Dilihat dari geografisnya, daerah di Bali yang paling banyak mendapatkan kontribusi pariwisata itu adalah Bali bagian selatan. Sedangkan di bagian utara dan tengah, relatif tidak ada keuntungan yang mampu diraih. Kemiskinan masyarakat di Bali bagian tengah dan bagian utara terlihat demikian nyata, apalagi dilihat di daerah pegunungan di Bali bagian tengah.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan yang terjadi di Bali bagian selatan. Meskipun di daerah ini sarana pariwisata itu paling lengkap, tetapi lokasi sarana pariwisata itu justru terpusat di daerah Kabupaten Badung. Apabila dilihat lebih khusus lagi, di Kabaupaten Badung pun persebaran rejeki pariwisata tersebut tidak merata. Kebanyakan rejeki pariwisata itu ada di daerah Badung bagian selatan yang meliputi kecamatan Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan. Kabupaten Badung bagian tengah, yang meliputi Kecamatan Mengwi, mungkin relatif mampu menikmati keuntungan pariwisata ini karena sebagian dari destinasi pariwisata itu ada di daerah itu, seperti misalnya Pura Taman Ayun. Sedangkan wilayah Badung bagian utara yang meliputi kecamatan Petang dan Abian Semal, boleh dikatakan tidak mendapatkan keuntungan pariwisata yang berarti. Tetapi harus dicatat bahwa jalan raya utama yang menghubungkan wilayah Badung bagian utara menuju bagian tengah dan selatan, sudah bagus.
Di wilayah Badung bagian selatan sendiri persebaran rejeki pariwisatanya juga tidak terlalu merata. Secara umum boleh dikatakan, di wilayah ini persebaran rejeki pariwisata tersebut bagus karena pembangunan hotel, dan sarana lainnya sudah mencapai hampir seluruh wilayah. Akan tetapi, di wilayah-wilayah ini masih dijumpai ribuan keluarga miskin, baik di Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta maupun Kecamatan Kuta Selatan. Rumah tangga miskin yang ada di wilayah ini cukup mengenaskan karena terlihat dengan mata telanjang, kontras dengan kehidupan lainnya yang demikian dominan. Dari sisi bangunan misalnya, terlihat berdampingan antara bangunan modern yang ddiperlihatkan oleh hotel-hotel mewah dan kontemporer itu dengan perumahan gubuk kumal yang ada bersebelahan. Dari sisi pekerjaan, masih terlihat antara mereka yang bekerja sebagai manejer hotel dengan mobil mewah dengan mereka yang bekerja sebagai pengumpul barang bekas dan petani atau pekebun yang masih berjalan kaki menuju ladangnya. Dari sisi pengorgaanisasian rumah, masih dijumpai adanya penduduk yang masih memelihara sapi di belakang rumah dengan tempat tinggal nyaman yang sudah terkoordininasi dengan baik antara rumah utama, kebun tertata dengan kamar mandi. Kontradiksi ini masih banyak terlihat di wilayah Badung bagian selatan.
Faktor Penyebab Kemiskinan
telah dilihat dan diperkenalkan oleh ekspatriat pada waktu itu. Pada tahun 1930-an misalnya turis asal Belanda, Rudolf Bonnet telah mulai memperkenalkan lukisan modern disana (MacRae, 2005:38). Wilayah Badung bagian selatan bukanlah menjadi sasaran utama. Obyek pariwisata ada juga ada di Bali bagian tengah seperti Ubud, Kintamani, atau Bedugul, Bali bagian timur seperti Pura Besakih, Ujung Karangasem dan Tirta Gangga. Tanah Lot dan Perncak di Bali bagian Barat. Badung bagian selatan hanya memiliki satu potensi, yaitu Pantai Kuta.
Akibatnya, perhatian dan persiapan masyarakat di Badung bagian selatan tidak ada sama sekali. Kosentrasi pekerjaan mereka masih berkutat pada petani dan membuat garam. Wilayah Badung bagian selatan dengan tanahnya yang keras, dengan batu kapur dan relative jarang turun hujan, masih sangat miskin pada waktu itu. Mereka bertani tadah hujan atau hanya bisa mengandalkan garam sebagai
penghasilan pokok. Dikenal misalnya pada waktu itu, pedagang garam dari bukit yang berjalan berpuluh kilometer ke Kabupaten Tabanan untuk menjual garam. Mereka juga bercocok tanam menanam jagung. Padi gogo juga tidak terlalu bisa diandalkan di wilayah ini. Dengan konteks demikian, bisa dikatakan bahwa masyarakat Badung Selatan memang tidak siap dengan adanya perubahan sosial berupa model pekerjaan baru dan aktivitas baru di lingkungannya sendiri. Lingkungan yang kering, tanah berkapur dan jauh darialiran sungai, memberikan keterkejutan sendiri ketika harus menghadapi globalisasi yang terjadi hanya dalam kurun waktu dua puluh tahun.
Dalam pandangan John Scott, dalam masyarakat modern, dunia publik dilandasi oleh pasar semuanya ditentukan oleh rasionalitas sehingga menjadi semakin disiplin dan terorganisasi dalam standar formal dan impersonal (Scott, 2012:273). Masyarakat di wilayah Badung bagian selatan, tidak semuanya mampu bertindak dalam batasan rasional seperti itu. Perkembangan pariwisata di Badung bagian selatan dimulai pada awal deka de delapanpuluhan, ketika tahun 1982 dibangun proyek pertama hotel berbintang lima, yaitu Hotel Nusa Dua. Sebelumnya, hotel-hotel untuk menginap bagi wisatawan internasional hanya ada di wilayah Denpasar, kota yang sebelumnya menjadi bagian dari Badung bagian tengah. Tiga hotel berbintang pada waktu itu adalah Hotel Bali Beach yang menjadi rujukan bagi para wisatawan asing, Hotel Bali yang merupakan peninggalan jaman Belanda dan Hotel Bali Hyatt, yakni hotel pertama di Bali yang dioperasikan oleh jaringan internasional. Di tahun 1980-an ini juga jalan lebar langsung (bypass) yang menghubungkan secara langsung antara pusat pemerintahan di Denpasar dengan berbagai kompleks wilayah tujuan wisata di Bali juga di bangun. Jalan bypass Ngurah Rai ini, tidak saja
menghubungkan secara langsung pusat perhotelan yang ada di Nusa Dua dengan Denpasar sebagai ibukota Bali tetapi juga akses langsung menuju jalan utama, yakni Gilimanuk dan Padang Bay. Jalur Gilimanuk-Denpasar-Padang Bay ini merupakan jalan utama di Bali yang langsung menghubungkan antara Jawa, Sumatra sampai dengan Nusa Tenggara. Secara sosial, pada saat itu tidak ada asset untuk memperbaiki dan memberikan informasi kepada masyarakat di daerah Badung bagian selatan untuk meningkatkan dirinya menjadi seorang insutriawan, khususnya keterampilan yang bergerak pada bidang industry pariwisata.
Pendidikan yang Kurang
untuk menempuh pendidikan bahkan sekolah dasar. Pembukaan sekolah menengah atas juga boleh dikatakan terlambat. Beberapa sekolah menengah atas yang berdiri di wilayah tersebut baru didirikan dalam satu dekade terakhir. Ini boleh dikatakan lambat apabila dihubungkan dengan pendirian dari hotel dan sejenisntya. Pembangunan dua lokasi perguruan tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Pariwisata dan
Universitas Udayana, masih belum mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat tersebut. Seharusnya sebelum membuat keputusan untuk menetapkan daerah Badung bagian selatan sebagai daerah lokasi sarana pariwisata, harus dilakukan pembangunan pendidikan terlebih dahulu dengan memberikan prioritas kepada anak-anak setempat untuk menempuh pendidikan dan memberikan kesempatan lebih banyak kepada warga setempat untuk mengetahui perkembangan dalam industry kepariwisataan.
Kebanyakan masyarakat miskin yang terlihat di wilayah tersebut, tingkat pendidikannya rendah. Masyarakat yang berusia dewasa (menjadi orang tua), kebanyakan mendapatkan pendidikan hanya sampai tingkat sekolah dasar. Dalam wawancara yang dilakukan, mereka kesulitan mengikuti pendidikan karena jarak sekolah jauh, tidak mampu menanggung biaya pendidikan atau tidak mampu mengikuti pendidikan karena beban hidup dipandang berat. Setelah sekolah berjalan kaki, harus mengembala sapi terlebih dahulu. Itupun tanpa harus makan siang terlebih dahulu.
Akibat pendidikan yang masih kurang ini, mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan untuk ikut berkompetisi di dalam memperebutkan posisi pekerjaan yang ditawarkan oleh hotel dan perusahan-perusahan yang bergerak pada bidang pariwisata. Masyarakat daerah Badung bagian selatan yang mempunyai pendidikan rendah itu, tidak berani melamar pekerjaan. Dan kalaupun melamar pekerjaan, mereka hanya mendapatkan jatah sebagai tukang kebun yang banyak mengandalkan kekuatan fisik. Disini juga muncul persoalan. Sebagai masyarakat tradisionil dengan pengetahuan yang masih minim, mereka terikat dengan kebudayaan dan kebiasaan yang berlangsung di kampungnya. Pada masyarakat seperti ini, tradisi masih sangat dipelihara. Tradisi gotong-royong, upacara agama dan sejenisnya masih banyak dijumpai pada masyarakat di Badung bagian selatan. Hal ini menimbulkan kontradiksi cukup dalam di masyarakat karena berhadapan dengan pola kerja modern di hotel yang mengharuskan pekerjaan selesai sore hari. Inilah yang membuat mereka tidak kuat bekerja secar aformal sebagai pekerja di hotel, dan kemudian memilih berhenti untuk kembali menjadi petani. Akhirnya, mereka kembali menjadi miskin dan tidak mampu merebut pekerjaan yang ditawarkan oleh hotel dan perusahan yang terkait dengannya. Pilihan pekerjaan hanya dilakukan pada pekerjaan yang lebih longgar, misalnya tukang sapu jalan,, pemungut barang bekas atau menjadi tukang. Terhadap masyarakat yang mempunyai posisi sosial seperti ini, seharusnya ada kebijakan-kebijakan pemerintah yangmemberikan keterampilan kepada anggota masyarakat agar mampu mandiri di rumahnya sendiri.
Tidak mampu Berkomunikasi secara Baik
berbicara yang sopan. Dengan memakai pembicaraan kasar, akan menimbulkan rasa jengkel dan malas memberikan informasi tentangpekerjaan tersebut.
Padahal indutsri pariwisata yang melibatkan hotel beserta jaringannya tersebut, justru
memerlukan pekerja yang mampu luwes berbicara. Dalam kasanah komunikasi, harmoni dan kompromi tersebut sangat ditentukan oleh komunikator (Sumadiria, 2014: 114). Pencari kerja ketika menghadap direktur adalah seorang komunikator. Inilah yang gagal dilakukan oleh mereka yang tidak mampu berwacana secara baik. Demikian juga halnya dengan berbicara memakai bahasa tubuh. Kesopanan menjawab pertanyaan dengan sikap tubuh yang sopan akan memberikan pandangan positif bagi
pekerjaan yang diperlukan kalangan pariwisata. Dalam dunia yang serba cepat sekarang, komunikasi yang menekankan pada relasi dengan pihal lain sangat diperlukan. Relasi ini adalah untuk membentuk jaringan yang memang diperlukan dalam dunia kerja saat ini. Hal-hal itu sangat tidak diperhatikan oleh
masyarakat setempat sehingga mereka seolah tidak mengerti dan justri dijauhi oleh masyarakat yang menguasai informasi tentang pekerjaan.
Dalam teori perilaku individu disebutkan bahwa perilaku individu yang berkaitan dengan struktur sosial, menyatakan bahwa perilaku individu tertentu akan menempatkan individu bersangkutan dalam struktur sosial tersendiri (Sheradden 2006, :51). Bisa dikatakan bahwa kemampuan berbahasa dari masyarakat memperlihatkan perilakunya juga dalam struktur masyarakat di Badung daerah selatan. Orang-orang yang tidak mampu menguasai bahasa dengan baik itu, kelihatan menduduki struktur sosial yang lebih rendah secara ekonomi.
Menjauhnya Posisi Korporasi
Di wilayah Badung bagian selatan, jumlah hotel berbintang merupakan yang terbanyak di Bali. Setelah pembukaan Nusa Dua sebagai daerah tempat pariwisata, hal demikian kemudian meluas sampai ke daerah-daerah lainnya. Ini misalnya terjadi di Jimbaran, Uluwatu, Ungasan dan daerah lainnya yang ada di wilayah Badung bagian selatan. Daerah Kuta sudah menjadi lokasi hotel-hotel berbintang sebelumnya. Disamping hotel, juga banyak restoran wara laba dan sejenisnya beroperasi di wilayah tersebut. Akan tetapi dari sekian banyak korporasi yang beroperasi di wilayah itu, tidak terlalu banyak yang memperlihatkan kepedulian sosialnya dengan membantu memberikan sumbangan kepada masyarakat. Mereka tidak ada yang mendatangi masyarakat langsung ke lapangan untuk melihat keadaannya. Hotel dan korporasi juga tidak memberikan jatah khsus kepada daerah-daerah yang ada anggota keluarga miskinnya untuk dididik dan kemudian diberikan pekerjaan yang sesuai dengan wilayah operasional dari perusahan tersebut.
Kesimpulan
Kemiskinan di wilayah Badung bagian selatan disebabkan oleh beberapa hal:
Kurangnya persiapan masyarakat dalam menghadapi industry pariwisata di wilayah tersebut. Pemerintah tidak melakukan persiapan sebelumnya, tidak melakukan pendidikan yang dibutuhkan untuk menyongsong era industry pariiwisata tersebut.
Tidak aktifnya perusahaan dalam menyumbangkan tenaganya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Ini dilihat dari jarangnya perusahan yang melakukan jemput bola langsung ke tengah masyarakat untuk mengetahui keadaan sekaligus melakukan pelatihan keterampilan.****
Daftar Pustaka
Hennida, Citra, 2012, State Capitalism, Surabaya, Citra Studi Global Strategis
Mac Rae, Graeme, 2005, “Art and peace in the Safest Place in the World: A Culture of Apoliticism in Bali”, in Reuter A. Ed., Thomas, 2005, Inequality, Crisisand Social Change in Indonesia: The
Muted Worlds of Bali, London, RoutledgeCurzon.
Scott, John, Lazuardi, Ahmad, Lintang (Terj.), 2012, Teori Sosial: Masalah-Masalah Pokok dalam
Sosiologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sherraden, Michael, Abbas, Sirrojudin, dkk., (Terj.), 2006, Aset untuk Orang Miskin:perspektif Baru
usaha Pengentasan Kemiskinan, Jakarta, RajaGrafindo Persada.