• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

ASAS NON SELF INCRIMINATION

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

ADITYA NOR PRATAMA NIM. E 0006052

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

ASAS NON SELF INCRIMINATION

Oleh :

ADITYA NOR PRATAMA E0006052

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing

Kristiyadi, S.H., M.Hum

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

ASAS NON SELF INCRIMINATION

Oleh :

ADITYA NOR PRATAMA E0006052

Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 25 Januari 2011

DEWAN PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ………….…………..

Ketua

2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. :………

Sekertaris

3. Kristiyadi, S.H., M.Hum :………

Anggota

Mengetahui :

Dekan

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum)

(4)

commit to user

iv

HALAMAN PERNYATAAN

Nama : Aditya Nor Pratama

NIM : E 0006052

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF

INCRIMINATION adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam

daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan

hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 17 Januari 2011

Yang menyatakan

(Aditya Nor Pratama)

(5)

commit to user

v ABSTRAK

Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION.

Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik

pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self

incrimination.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond

reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada

Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination).

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Fakultas Hukum UNS.

Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik

pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self

incrimination.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond

reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada

Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination).

(7)

commit to user

vii MOTTO

Kemungkinan terbesar adalah berusaha membuat kemungkinan

pada ruang ketidakmungkinan

Kebenaran dan keadilan tak pernah bisa ditegakkan dengan kebencian.

Kebenaran dan keadilan bagi kebahagiaan kehidupan hanya dapat ditegakkan

dengan kasih sayang. Karna kasih sayang, seperti kemerdekaan, berasal dari

Tuhan, dan kebencian, seperti belenggu, berasal dari setan.

(A. Mustofa Bisri)

 

Kebahagiaan diri kita tidak tergantung pada apa yang orang lain pikirkan dan

cara mereka bertindak, tetapi sangat tergantung kepada apa yang kita pikirkan

dan cara kita bertindak. Sesungguhnya kita masing-masing bisa memerankan

peranan penting dalam menentukan masa depan kita sendiri.

(Daug Hooper)

Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan

biarkan diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya

pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna

(Hellen Keller).

Memecahkan masalah itu mengenal masalah lebih sulit, tetapi menemukan

masalah jauh lebih sulit

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan kepada :

™

Bapak Ibuku Tercinta

Terima kasih ya Allah, aku telah diberi orang tua seperti mereka....

Terima kasih atas segala ketulusan dan kasih sayangmu...

Terima kasih atas semua do’a dan kesabaranmu...

Semoga aku dapat membahagiakan kalian...

™

Teman Teman & Sahabatku

Without you I’m Nobody, with you I’m Somebody...

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala

rahmad dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada

penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “PENERAPAN

SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION dapat terselesaikan tepat waktu.

Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam

menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan

dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua

pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak

langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan

kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini.

2. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang

telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini.

3. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum UNS.

4. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu

Hukum Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan

Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima

kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan

6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan

Pembimbing Proposal Skripsi ini.

7. Bapak Dr.Hari Purwadi,S.H, M.Hum. selaku Pembimbing Akademik

penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak

dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada

(10)

commit to user

x

9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas

Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta

kesempatankesempatan yang telah diberikan.

10.Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS

11.Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang

yang diberikan.

12.Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas

semua bantuan baik materiil maupun imateriil.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna,

untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca

yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Surakarta, 17 Januari 2011

Aditya Nor Pratama

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAN ... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

A. Kerangka Teori... 11

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi... 11

a) Pengertian Korupsi... 11

b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 12

2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian... 14

a) Pengertian Pembuktian... 14

b) Teori – Teori Pembuktian... 16

c) Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP... 18

d) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian... 19

e) Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi... 20

3. Tinjauan Umum Tentang Asas Pembuktian Terbalik... 21

a) Pengertian Asas Pembuktian Terbalik... 21

b) Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik... 22

4. Tinjauan Umum Tentang Asas Non Self Incrimination... 24

(12)

commit to user

xii

B. Kerangka Pemikiran... 26

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 28

A. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi di Indonesia...……… 28

B. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi terkait Asas Non Self Incrimination………... 44

BAB IV PENUTUP... 54

SIMPULAN ... 54

SARAN ... 55

(13)

commit to user

xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan kearah kemajuan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor

kehidupan seperti, sektor sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi

dll, namun disamping adanya perkembangan yang cukup baik tersebut, ternyata

Indonesia mengalami perkembangan lain yang cukup memprihatinkan. Akibat

dari kemajuan tersebut ternyata membawa pengaruh terhadap pola perilaku

masyarakat yang negatif antara lain adanya kemajuan itu adalah tindak kejahatan.

Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan strukturstruktur sosial ekonomi

yang tengah berlangsung

Salah satu jenis/bentuk kejahatan yang ada adalah korupsi. Korupsi

merupakan bentuk kejahatan yang sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan

kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa / Extraordinary

Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi sendi kehidupan

berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan bentuk kejahatan

tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan

menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional,

mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan

berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya

(Widodo T Novianto, 2007:1).

Korupsi itu sendiri merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi

yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan

dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana

yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga

memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat

menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional

maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan

dukungan manajemen tata laksanan pemerintahan yang baik dan kerja sama

internasional, termasuk pengambalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana

korupsi.

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu

(14)

commit to user

xiv

masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton dalam

H.M. Arsyad Sanusi, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge,

Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia

menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”

(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup

secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi. 2009:83).

Lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001

sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971. Terdapat banyak ketentuan baru

mengenai korupsi, baik hukum materiil maupun hukum formalnya semangat

bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi dapat dilihat juga dari sebagian

program kerja 100 hari tahun 2009 dari Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono, tekad Pemerintah SBY guna memberantas korupsi di Indonesia

sampai keakar-akarnya. Harapan kedepan pembuktian perkara korupsi akan lebih

baik dan dapat menjunjung nilai keadilan. Strategi penegakkan hukum tersebut

menjadi semakin relevan berhubung dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun

2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Perkembangan praktik korupsi yang semakin menyulitkan ini dalam proses

penyidikannya, kini disikapi serius oleh beberapa negara. Penelitian oleh negara

maju memunculkan alternatif asas pembuktian baru yang dipandang tidak

bertentangan dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Strategi

hukum ini dinilai sangat efektif dalam menguak asal usul harta kekayaan yang

diduga diperoleh karena korupsi. Teori pembuktian korupsi dan tindak kriminal

lain yang selama ini digunakan di Indonesia adalah asas pembuktian ‘beyond

reasonable doubt’. Teori ini digunakan karena dinilai tidak bertentangan dengan

prinsip ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocence). Namun penggunaan

teori ini dalam regulasi hukum untuk tindak pidana korupsi sering kali

menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi

Salah satu kendala utama dalam upaya pengungkapan perkara korupsi secara

tuntas, adalah berkaitan dengan masalah pembuktian di pengadilan. Pelaksanaan

pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi,

bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tindak Pidana korupsi adalah tindak

pidana yang mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut

umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang

(15)

commit to user

xv

bebas bagi terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang mengandung

tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian

Di tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para

pelaku korupsi kehadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan

beban pembuktian oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi

tingkat kesulitan pembuktian. Terlebih lagi, sampai detik ini kita semua

menyadari akan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia

Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau

dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan

pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence"

dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku.

Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination. Dalam

menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak

“untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya

atau dipaksa mengaku bersalah” Prinsip ini dalam KUHAP tercermin secara

parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban

kewajiban pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban

Jaksa Penuntut Umum, Pasal 189 ayat (3) bahwa keterangan Terdakwa hanya

dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.

Penulisan hukum ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan

relevan dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas

non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di

satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu

harus menghormati asas praduga tak bersalah. Asas non-self incrimination itu

sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses

peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau

berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya

menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan

membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu.

Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara

itu. Tetapi disisi lain dalam memberlakukan pembuktian terbalik terdakwa

mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

(16)

commit to user

xvi

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai

sistem pembuktian terbalik dengan asas non self incrimination, oleh karena itu

peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang

berjudul “PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA

TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF

INCRIMINATION”.

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk

mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga penelitian akan lebih terarah

pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk

mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang

dapat memudahkan peneliti dalam mengumpulkan, menyusun, dan

menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan

yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam

perkara tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam proses

pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self

incrimination ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan

masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat

dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang

dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang

ingin dicapai melalui penelitian ini .Adapun tujuan obyektif dan subyektif

yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik

pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bagaimana sistem pembuktian

terbalik pada tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan asas non self

(17)

commit to user

xvii 2. Tujuan Subyektif

a) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang Hukum

Acara Pidana khususnya mengenai penerapan sistem pembuktian

terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bila dikaitkan

dengan asas non self incrimination.

b) Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi

dalam rangka memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar

SI dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat

diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang

Hukum Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai

penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi

dikaitkan dengan asas non self incrimination, guna pengembangan

ilmu pengetahuan.

b) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk

mengetahui lebih jauh mengenai penerapan sistem pembuktian

terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self

incrimination, dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya.

2. Manfaat Praktis

a) Menambah ilmu dan pengalaman peneliti di bidang penelitian

karya ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum.

b) Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas

permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian

ini.

c) Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak

yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi

masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum

(18)

commit to user

xviii

terbalik pada tindak pidana korupsi terkait dengan asas non self

incrimination.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

antara lain sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud

Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 35). Penelitian

hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:

a. Doctrinal Research;

b. Reform-Oriented Research;

c. Theoretical Research;

d. Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki,

2007: 32 33).

Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu

Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented

Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doctrinal

sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu

Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33).

Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena

keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai

norma sosial bukan gejala sosial.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif

dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum,

konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan

ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu

rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki.

(19)

commit to user

xix

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan

preskripsi mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak

pidana korupsi yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan asas non

self incrimination.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).

b. Pendekatan kasus (Case Approach).

c. Pendekatan historis (Historical Approach).

d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2007:93-94).

Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang - undangan

(Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Undang

Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum

Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,

mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal

adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif ,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

a. Batang Tubuh UUD RI tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

d. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak

(20)

commit to user

xx b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,

2005:141) Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang

digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis

para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya

yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran

mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang

dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang -

undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan

perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik

kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan

konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006:393)

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data

dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan

tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Lexi

J. Moleong, 2009:103). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik

analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data,

mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan

dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

F. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan

(21)

commit to user

xxi

dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam

bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana

tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk

memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun

penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang

terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang

terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam

kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang

tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang

pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian

terbalik serta tinjauan tentang asas non self incrimination.

Sedangkan kerangka pemikiran berisi pemikiran

mengenai bagaimana keberlakuan sistem pembuktian

terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi

penyalahgunaan asas non self incrimination.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan

pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian

terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas

non self incrimination.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang

berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan

pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

(22)

commit to user

xxii

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai

dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara

dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian

korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan

zaman.

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus.

Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata

Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah

Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption,

Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (korruptie.

(Lilik Mulyadi:2000:16)

Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah:

“The act of doing something with an intent to give some

advantage in consistent with official duty and the rights of

others; a fiduciary’s of official’s use of a station or office to

procure some benefit either personally of for someone else,

contrary to the rights of others” (BryanGarner, 1999).

Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina

atau memfitnah (Andi Hamzah, 1984: 9), sedangkan menurut Kamus

Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau

penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan

pribadi atau orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1990: 462).

Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang

menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:

1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan

dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.

2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya

(23)

commit to user

xxiii

3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif

dan efisien.

4. Modernisasi.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari

hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang

berbeda dengan hukum pidana umum, sepeerti adanya penyimpangan

pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka

secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan

seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan

perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin

penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan

pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga

lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan

pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat

dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan

Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan

dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai

suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus

dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan

sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus

dipenuhi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang

dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1) Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara.”

2) Pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan

(24)

commit to user

xxiv

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka

dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi,

yaitu:

Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang

menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang

menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas

termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk

korporasi.

Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun

material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari

itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur

dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah

ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.

Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa

upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum

terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun

jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga

telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.

Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi

adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana

korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu

korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya

(25)

commit to user

xxv

lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset

berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan

keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara

melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi,

juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau

orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau

hubungan-hubungan lainnya.

Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak

pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu

adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya

unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan

timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah

kerugian negara.

2. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian.

Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim

adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak

pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi

dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di

depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa

yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran

peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang

pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik

sentral dalam hukum acara pidana.

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan

yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undangundang untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa (Yahya Harahap:1986:36).

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan

hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk

(26)

commit to user

xxvi

lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga

melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti

menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan

dalam perkara pidana (Bambang Poernomo: 1985 :38)

Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari

hukum pembuktian adalah :

1. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang

memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh

undang-undang

2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang

boleh digunakan hakim dan diakui undangundang yang digunakan

untuk membuktikan kesalahan terdakwa

3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara

menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari

masing-masing alat bukti.

b. Teori Teori Pembuktian

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

positif (positief wettelijke bewijs theorie).

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada

dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar

undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya

didasarkan kepada Undang - Undang. Artinya jika telah terbukti

suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut

undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele

bewijstheori).

Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah,

bahwa system atau teori pembuktian berdasar undang-undang

secara positif (positiefwettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan

(27)

commit to user

xxvii

ketat menurut peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah

:1996:269).

2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif.

Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang sehingga hakim

memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:

247-253). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya

bukti bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan

cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang

itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut

masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya.

3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas.

Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti

yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan

terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan

dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction

intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup

bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan

memidana terdakwa.

4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan

yang logis (La Confiction Raisonnee)

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah atas dasar keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus

berpijak pada dasar dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan

(conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan

pembuktian tertulis tertentu.

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar

pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah ke dua

jurusan. Yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar

keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan

yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara

(28)

commit to user

xxviii

Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas

keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa

adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.

Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal

tolakpada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan

pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak

didasarkan kepada undangundang tetapi ketentuan-ketentuan

menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya

sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia

pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada

aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh

undangundang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim

(Andi Hamzah, 1996:262).

c. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal

diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232

KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut

pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan Undang-Undang atau

Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk

Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada

terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah

berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat

bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu

:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. (Andi Hamzah,

1991: 102)

Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah

haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184

KUHAP, yaitu :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

(29)

commit to user

xxix d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya

KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau

tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum.

Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum berwenang

melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan

suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan

perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP

maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi

minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa

ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem

beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada

beban Jaksa Penuntut Umum.

d. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu

Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori

hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut

Undang – Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian

menurut Undang – undang secara negative. Ketiga,Teori system atau

pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut

keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut

berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji

dari prespektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)

teori tentang beban pembuktian, yaitu :

1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa

Penuntut Umum harus mempersiapkan alat – alat bukti dan barang

bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah

meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis

beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas

praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan

(30)

commit to user

xxx

Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Pembuktian seperti ini merupakan pembuktian biasa atau

konvensional.

2) Beban Pembuktian pada Terdakwa

Dalam konteks ini , terdakwa berperan aktif menyatakan

bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu

terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan

segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka

terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada

dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori “pembalikan

beban pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau reversal of

Burden of Proof). Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori

beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi

pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni.

3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun

terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di

depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan

kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat

Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana yang di dakwakan. (Djoko Sumaryanto, 2009 : 88).

e. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi..

Berpijak dari pengertian sistem pembuktian dan sistem

pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam

hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan

pembuktian (burden of proof).

Hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara 3

(tiga) sistem pembuktian, yaitu:

(31)

commit to user

xxxi

Dimana beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk

membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana

suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00

(sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan

terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada

hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).

2. Pembuktian terbalik terbatas atau berimbang terbalik

Dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa

maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek

pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A)

3. Sistem konvensional

Dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada

Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana

suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp.

10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b)

dan tindak pidana korupsi pokok.

3. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik a. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik

Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwa harus

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan

atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini

merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap

"presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun

bertentangan dengan asas yang berlaku.

Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus,

yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang – Undang

Nomor 21 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua

teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat

terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian

negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori

pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori

(32)

commit to user

xxxii

Dalam penjelasan atas Undang - Undang no. 31 tahun 1999

dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan

berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benada istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaaannya.

Kata-kata “bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37

dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa

“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti

terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum

masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya. (Martiman

Prodjomidjojo, 2001 : 107).

b. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik

Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi

dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri

ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian

terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan

positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat

pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru.

Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap

bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak

diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).

Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun

ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak

secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal

(33)

commit to user

xxxiii

hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki

kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1),

dikatakan bahwa, “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal

terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan

sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada

Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian

terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang

kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber

penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian

terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian

terbalik tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum,

meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal

tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa,

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan

Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang

ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann

dakwaannya”.

Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28

(34)

commit to user

xxxiv

dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan

amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya

apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam Pasal 17 ayat

(2) huruf e, disebutkan bahwa,

“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

4. Tinjauan Asas Non Self Incrimination. a. Pengertian Asas Non Self Incrimination.

Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs)

berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem

kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk

menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak

memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut.

Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada

tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak

memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di

muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak

memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam

proses persidangan ( the right to remain silent)

(http://www.pn-banjarmasin.go.id).

Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah ialah hak seseorang

tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan

pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)

sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi

formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk

”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak

dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).

Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat

(35)

commit to user

xxxv

Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam

Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004),

dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,

dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak

bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan

dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),

yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang

untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal

14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan

tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk

tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau

mengaku bersalah (non self incrimination)”.

B. Kerangka Pemikiran

KUHAP LEX SPECIALIS UU TIPIKOR

Akusator Inkuisitor Terdakwa PT

Pelanggaran Asas Non Self Incrimination

Potensi Penyalahgunaan Asas Non Self Incrimination Proses

Pembuktian Tindak Pidana

Korupsi

(36)

commit to user

[image:36.612.147.511.212.463.2]

xxxvi

Gambar.1: Skematik kerangka pemikiran

Penjelasan :

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu extra ordinary crime, dan

sesuai dengan sifatnya yang extra ordinary penanganan tindak pidana inipun

sepertinya layak jika sedikit berbeda dengan penanganan tindak pidana pada

umumnya yang bersifat ordinary crime. Salah satu kekhususan dalam

penanganan tindak pidana korupsi terletak pada sistem pembuktiannya di

pengadilan yang mengenal sistem pembuktian terbalik terbatas. Sistem

pembalikan pembuktian ini dapat dikatakan telah melanggar hak terdakwa

dalam kaitannya dengan Asas non-self incrimination yang seharusnya menjadi

suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan

pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau

berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu seseorang

menjadi in a crime.

Sistem ini lebih memudahkan Penuntut Umum, namun jelas membebani

seseorang terdakwa untuk menyangkal kesalahannya itu, mestinya Seseorang

yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara untuk

membuktikan kesalahan itu. Tetapi hal ini yang terjadi pada proses

pembuktian tindak pidana korupsi, asas akusatorial yang dianut KUHAP

sepertinya melunak dan kembali menganut asas inkuisatorial, karena memaksa

terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika demikian

apakah dalam proses penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah

menerapkan sistem pembuktian terbalik? Dan apakah dengan di

berlakukannya sistem pembuktian terbalik ini dapat menimbulkan potensi

penyalahgunaan asas non self incrimination? Hal inilah yang akan dikaji lebih

lanjut dalam penulisan hukum ini untuk memecahkan masalah mengenai

polemik penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia.

(37)

commit to user

xxxvii BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Dalam mengemukakan mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik

dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, maka penulis

mengetengahkan pemikiran dengan tata urutan sebagai berikut :

I. Sejarah Asas Pembalikan Beban Pembuktian

Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah

satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari

sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal

burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi

“pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan

menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian

terbalik. Tetapi menurut Oemar SenoAdji adalah pergeseran (Shifting of

burden proof) bukan pembalikan beban pembuktian (Reversal of burden of

proof).

Makna Shifting of burden proof adalah suatu “pergeseran beban

pembuktian” yang dianut oleh Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Oemar SenoAdji

pada periode Undang - Undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban

pembuktian karena asas ini berpotensi bertentangan dan melanggar HAM,

khususnya terhadap perlindungan hak – hak Terdakwa. Beban pembuktian

pada periode ini tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum.

Ide untuk memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik secara total

dan absolut telah diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan

alasan tersebut di atas. Karenanya meskipun dalam Undang - Undang

Nomor 3 Tahun 1971 terdapat perumusan bahwa Terdakwa dapat

membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi , namun kewajiban

(38)

commit to user

xxxviii

tangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran

(Shifting of burden proof) bukanya suatu pembalikan beban pembuktian

(Reversal of burden of proof).

Begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang - Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan

pembuktian sebagai suatu pergeseran saja, bukan pembalikan beban

pembuktian sehingga istilah yang populer dalam Undang - Undang Nomor

31 Tahun 1999 adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Yang

Terbatas atau Berimbang. “Terbatas” karena memang pembalikan beban

pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolut terhadap semua

delik yang ada pada Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1999 . Sedangkan

“berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak

pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Karena Banyak pendapat bahwa implementasi asas pembalikan

beban pembuktian pada kedua produk perundang – undangan itu hanyalah

gerakan simbolis yang tidak memiliki daya represi terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi.

II. Peraturan PerUndang-Undangan yang Mengatur Sistem Pembuktian Terbalik.

a. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003).

Pembalikan beban pembuktian diatur juga dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003)

khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53

huruf (b) KAK 2003. Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam

Pasal 31 ayat (8) ditujukan terhadap pembekuan (freezing),

perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) dari pelaku tindak

pidana korupsi yang menyebutkan, bahwa:

(39)

commit to user

xxxix

Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang

pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang

diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat

dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan

prinsip-prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari

proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Dari ketentuan KAK

2003 maka pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui

jalur keperdataan (civil procedure) ini juga telah dipergunakan di

beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan

sebagainya.

Selain ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang

secara tegas menentukan, bahwa:

”Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut”

Pada dasarnya, ketentuan konteks di atas merupakan pembalikan beban pembuktian terhadap pengembalian aset (asset recovery) secara

langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara

setempat atau ketempatan (custodial state) memerintahkan kepada

pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti

rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat dari tindak pidana

korupsi tersebut. Prinsipnya, apabila dicermati lebih intens hakikatnya

ketentuan pembalikan beban pembuktian ini menimbulkan

permasalahan krusial bagaimana mungkin akan diterapkan

pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain

akibat dari tindak pidana korupsi tersebut jikalau pelaku (offender)

tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan

kepadanya.

(40)

commit to user

xl

bahwa “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan

cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset

yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama

internasional dalam pengembalian aset.”

Apabila dianalisis ternyata ketentuan tersebut di atas berkaitan dengan landasan filosofis dalam mukadimah, para 3 KAK 2003

tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan

berk

Gambar

Gambar.1: Skematik kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertemuan pertama dan kedua dari hasil pengamatan observer sesuai dengan indikator pengamatan aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran tari pendek

Peluang dari PS D-III UPW yaitu perkembangan industri pariwisata di Jember, kerjasama dengan berbagai instansi dalam pemberian beasiswa, globalisasi informasi dalam menjangkau

tidak sekedar berpartisipasi, tidak sekedar sebagai mitra sejajar melainkan bersama-sama Perum Perhutani sebagai pelaku utama dalam melakukan pengelolaan sumber daya

Selain itu, komunikasi merupakan bagian dari strategi politik untuk membangun citra partai yang inklusif dan menghilangkan citra partai yang eksklusif, menghilangkan stigma miring

Spora FMA jenis Glomus halonatum yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini tersebar di tiga lokasi penelitian yaitu CA Lamedai, hutan alam Tanggetada, keduanya di

Berbeda dengan penggunaan anatomi hewan pada perancangan karya yang memiliki kelemahan tersebut, penggunaan perilaku hewan untuk menarasikan kondisi atau ekspresi

Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu ditetapkan tarif atas jenis

Idealnya, peran pendidik (dosen) dalam hal ini lebih pada menciptakan lingkungan belajar yang menggugah ilham atau inspirasi, idealisme, memfasilitasi