SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Disusun Oleh : DONY RACHMAWAN
NPM : 0541010016
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
Di susun Oleh :
DONY RACHMAWAN NPM : 0541010016
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 10 November 2010
Pembimbing Tim Penguji : 1.
Dra. Ertien Rining N., M.Si
NIP. 196801161994032001 Drs. Pudjo Adi, M.Si NIP. 030 134 568
2.
Dra. Ertien Rining. N, M.Si NIP. 196801161994032001
3.
Dra. Sri Wibawani, M.Si NIP. 196704061994032001
Mengetahui, Dekan
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si.
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Skripsi ini dengan judul“Pembinaan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Terhadap PKL Lapangan Karah Surabaya”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum
Program Studi Administrasi Negara, Fakultas iLmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Ertien Rining N., M.Si, sebagai dosen pembimbing. Tak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan sehingga penyusunan skripsi ini diantaranya :
1. Ibu Dra.Ec.Hj. Suparwati, MSi, selaku Dekan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak DR. Lukman Arif, MSi, selaku Ketua Program Studi Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
“Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Diana Hertati, MSi, selaku sekretaris Program Studi Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
“Veteran” Jawa Timur.
i
Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya.
6. Bapak Markum, S.sos, Selaku Staf Bidang Usaha Kecil dan Menengah di
Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerinyah kota
Surabaya.
7. Orang tua dan saudara-saudara saya yang selalu memberikan Doa dan
memotivasi dalam mengerjakan Skripsi ini.
8. Buat COMPAX and GEPUK LOVER’S dan untuk sahabat dan
teman-temanku yang tidak dapat kusebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Dan seluruh teman-teman Progdi ILMU ADMINISTRASI NEGARA 2005.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari para
pembaca. Skripsi ini dapat memberikan manfaat dari penulis dan khususnya bagi
para pembaca.
Sidoarjo, November 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan ... 6
1.4.Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8
2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori ... 12
2.2.1. Pengertian Pembinaan ... 12
2.2.2. Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 16
2.2.3. Sektor Informal ... 24
2.2.4. Peran Sektor Infromal ... 24
2.2.5. Pembinaan (PKL)... 30
2.3. Kerangka Berpikir ... 32
iii
3.3. Lokasi Penelitian ... 36
3.4. Sumber Data ... 37
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 38
3.6. Analisa Data ... 41
3.7. Keabsahan Data ... 44
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1.Gambaran Umum Objek Penelitian ... 48
4.1.1. Sejarah Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 48
4.1.2. Letak Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 49
4.1.3. Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 49
4.1.4. Tujuan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 50
4.1.5. Strategi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah... 51
4.1.6. Tugas dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 51
iv
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota
Surabaya ... 54
4.1.9. Karakteristik Jumlah Pegawai ... 65
4.1.10.Tujuan, Sasaran dan Strategi Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 68
4.1.11.Sarana dan Prasarana Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 71
4.1.12.Gambaran Umum PKL Lapangan Karah Surabaya .... 73
4.2. Hasil Penelitian ... 76
4.2.1. Pembinaan Dinas Koperasi dan UMKM Terhadap PKL Lapangan Karah Kota Surabaya ... 76
4.3. Pembahasan ... 95
4.3.1. Pembinaan Bintek Produksi dan Kesehatan ... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108
5.1. Kesimpulan ... 108
5.1.1. Pembinaan ... 108
5.2. Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA
MATRIK
LAMPIRAN
v
Gambar 2. Kerangka Berpikir ... 33
Gambar 3. Analisis Interaktif Menurut Miles and Huberman ... 44
Gambar 4. Struktur Organisasi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah Pemerintah Kota Surabaya ... 53
Gambar 5. Struktur Organisasi Paguyuban PKL Lapangan Karah
Surabaya ... 73
Gambar 6. Dinas Koperasi Melakukan Pembinaan Terhadap PKL
Lapangan Karah Surabaya ... 77
Gambar 7. Para Pedagang Mengikuti Pembinaan yang Dilakukan Dinas
Koperasi ... 78
Gambar 8. Akses Pencucian Peralatan di PKL Lapangan Karah ... 79
Gambar 9. Bahan Makanan Di Dalam Etalase ... 82
Gambar 10. Tempat Pembuangan Sampah PKL Lapangan Karah
Surabaya ... 84
Gambar 11. Konstruksi atau Tempat Dagang PKL Lapangan Karah
Surabaya ... 86
Gambar 12. Bahan Makanan Dalam Kondisi Segar ... 88
Gambar 13. Bahan Berbahaya Borak dan Formalin ... 90
Gambar 14. Makanan dan Minuman yang Belum Kadaluarsa PKL di
Lapangan Karah Surabaya ... 93
vi
Tabel 4.2. Karakteristik Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan 66
Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67
Tabel 4.4. Karakteristik Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur ... 67
Tabel 4.5. Sasaran Dinas Dalam Pembinaan Tahun 2006-2009 ... 69
Tabel 4.6. Sarana dan Prasarana ... 72
Tabel 4.7. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Surabaya ... 75
Tabel 4.8. Jumlah Jenis Usaha Pedagang Kaki Lima Lapangan Karah Surabaya ... 75
vii
Lampiran 2. Pedoman Wawancara.
Lampiran 3. Daftar Hadir Rapat Bintek Produksi dan Kesehatan PKL
Lapangan Karah Surabaya
Lampiran 4. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Bintek Produksi dan Kesehatan.
Lampiran 5. Surat Perintah Dinas Koperasi UMKM Pemerintah Surabaya.
Lampiran 6. Surat Undangan PKL Lapangan Karah Surabaya.
Lampiran 7. Matrik Data.
viii
ix
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada fenomena dimana masih ditemukan adanya kendala mekanisme dalam pembinaan PKL Lapangan Karah Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan di PKL Lapangan Karah Surabaya, semakin banyaknya PKL Lapangan Karah Surabaya menimbulkan masalah yang mengganggu yaitu kemacetan sehingga Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Kecamatan Jambangan melakukan pembinaan untuk melakukan kesadaran PKL dalam menjaga lingkungan dengan melakukan pembinaan bintek dari Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya yaitu: 1) akses pencucian peralatan yang memadai telah dilaksanakan, 2) tidak terdapatnya lalat atau hewan pengganggu lainnya sudah dilaksanakan, 3) tersedia pembuangan air limbah yang tertutup mengalir lancar dan tidak berbau telah terlaksana, 4) Kontruksinya memudahkan untuk di bersihkan sudah terealisasi, 5) bahan makanan dalam kondisi segar tidak busuk atau rusak sudah dilaksanakan, 6) tidak mengandung bahan berbahaya seperti borak dan formalin sudah terelaisasi, dan 7) bahan makanan kemasan tidak kadarluarsa sudah terlaksana.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Pembinaan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya terhadap PKL Lapangan Karah Surabaya.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, data sekunder dan dokumentasi foto pada kegiatan pembinaan PKL Lapangan Karah Surabaya.
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan ... 6
1.4.Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8
2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori ... 12
2.2.1. Pengertian Pembinaan ... 12
2.2.2. Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 13
2.2.3. Sektor Informal ... 21
2.2.4. Peran Sektor Infromal ... 24
2.2.5. Pembinaan (PKL)... 27
2.3. Kerangka Berpikir ... 29
BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Fokus Penelitian ... 32
3.6. Analisa Data ... 36
3.7. Keabsahan Data ... 40
DAFTAR PUSTAKA
v
Sektor Informal PKL di Perkotaan ... 18
Gambar 2 Kerangka Berpikir ... 30
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada fenomena dimana masih ditemukan adanya kendala mekanisme dalam pembinaan PKL Lapangan Karah Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan di PKL Lapangan Karah Surabaya, semakin banyaknya PKL Lapangan Karah Surabaya menimbulkan masalah yang mengganggu yaitu kemacetan sehingga Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Kecamatan Jambangan melakukan pembinaan untuk melakukan kesadaran PKL dalam menjaga lingkungan dengan melakukan pembinaan bintek dari Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya yaitu: 1) akses pencucian peralatan yang memadai telah dilaksanakan, 2) tidak terdapatnya lalat atau hewan pengganggu lainnya sudah dilaksanakan, 3) tersedia pembuangan air limbah yang tertutup mengalir lancar dan tidak berbau telah terlaksana, 4) Kontruksinya memudahkan untuk di bersihkan sudah terealisasi, 5) bahan makanan dalam kondisi segar tidak busuk atau rusak sudah dilaksanakan, 6) tidak mengandung bahan berbahaya seperti borak dan formalin sudah terelaisasi, dan 7) bahan makanan kemasan tidak kadarluarsa sudah terlaksana.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Pembinaan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya terhadap PKL Lapangan Karah Surabaya.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, data sekunder dan dokumentasi foto pada kegiatan pembinaan PKL Lapangan Karah Surabaya.
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara-negara berkembang saat ini sedang melakukan pembangunan
dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat, demikian juga Negara
Indonesia dimana dalam melaksanakan pembangunan tersebut mempunyai
tujuan untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan seluruh rakyat serta
meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya.
Masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi saat ini menganut rezim
ekonomi kapitalis, akan terjadi adalah kontraksi antara pasar tenaga kerja
dan pertumbuhan pencari kerja. Bila hal tersebut yang terjadi maka rakyat
kecil berusaha mencari cara lain untuk bisa mempertahakan hidupnya.
Seperti keadaan para pedagang kaki lima yang merupakan suatu fenomena
kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akibat dari fenomena tersebut,
akhir-akhir ini banyak sekali dilakukan penataan terhadap PKL di beberapa
wilayah Surabaya. Pemerintah kota Surabaya saat ini sedang menggulirkan
program pembersihan kawasan atau jalan dari unsur pedagang kaki lima.
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sektor informal
ternyata sangat membantu pemerintah dalam hal penyesuaian lapangan kerja
dan mengatasi masalah dan menanggulangi pengangguran. Oleh karena itu
peran pemerintah kota maupun Kabupaten dalam menunjang sektor sangat
diperlukan, seperti penyediaan lokasi yang layak untuk berdagang.
Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) dikota-kota besar merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Kehadiran PKL di
kota mempunyai peranan dalam memberikan penghasilan yang relative
cukup bagi penduduk “marginal” maupun sebagai produsen-produsen
barang-barang dan jasa yang diperlukan masyarakat kelas bawah. Faktor
timbulnya PKL sendiri disebabkan prosedur pendirian usaha ini relative
mudah, tidak memerlukan biaya dan waktu yang lama serta modal yang
relatif kecil pula.
Selain memiliki peranan dan fungsi yang menopang perekonomian
rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar di
identifikasikan telah memunculkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial,
budaya, lingkungan dan pendidikan. Permasalahan ekonomi yaitu PKL
merupakan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil dan bermodal relative
kecil, permasalahan sosial budaya antara lain lokasi pemukiman dari rumah
tangga PKL ini umumnya di daerah-daerah yang kumuh di perkotaan.
Permasalahan lingkungan antara lain mengganggu ketertiban dan kelancaran
lalu lintas kota, keindahan dan kebersihan kota serta kenyamanan dan
keamanan lingkungan.
Contoh permasalahan PKL yang menggunakan bahu jalan sebagai
tempat berdagang yang dapat menganggu fasilitas umum. Seperti yang
dimuat dalam harian surya, Selasa 18 Mei 2010;
Hal ini juga terjadi di daerah kawasan Tugu Pahlawan seperti yang
dimuat di harian Jawa Pos, Senin 31 mei 2010 :
“Pedagang dikawasan Tugu Pahlawan tidak mudah menata PKL dikawasan Tugu Pahlawan, meski mendapat toleransi boleh membuka dagangan hingga pukul 10.00 WIB. Banyak pedagang yang nekat berjualan melebihi batas waktu yang disepakati. Kondisi itu kerap dikeluhkan penguna jalan lantaran pedagang memakan badan jalan, dan menimbulkan kemacetan jalan. Selain itu, pembeli memarkir kendaraan seenaknya.”
Permasalahan PKL diatas banyak ditemui di Surabaya, hal ini juga
dihadapi PKL Ikan Segar di lapangan Karah Kota Surabaya. Masalah
kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan lahan
untuk lokasi usaha.
Pedagang kaki lima ikan segar di Lapangan Karah Kota Surabaya,
jumlahnya semakin hari semakin banyak sehingga perlu lokasi yang lebih
besar, dengan memanfaatkan trotoar bahu jalan sekitar jembatan sehingga
mengurangi estetika kota dan menyebabkan kemacetan lalu lintas yang
dapat dilihat setiap hari khususnya pada pagi dan sore hari.
Dinas koperasi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot
Surabaya bekerja sama dengan Kecamatan Jambangan memberikan
kebijaksanaan untuk berjualan pada waktu pagi hari yaitu pukul 04.00 –
07.00 WIB dan sore hari + 16.00 WIB dengan catatan tidak menggunakan
trotoar dan bahu jalan dan harus bertanggung jawab atas keberhasilan
disekitar lapangan Karah Kota Surabaya.
Usaha mewujudkan kota tertib, sehat, rapi dan indah serta untuk
Perda Nomor 17 Tahun 2003 Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima.
Dalam mewujudkan keindahan Kota Surabaya Dinas Koperasi
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot Surabaya mempunyai
kebijakan dalam mempunyai tugas serta fungsi dalam memberikan penataan
dan pengembangan PKL yang dimana Dinas Koperasi UMKM
(Usaha Mikro Kecil Menengah) mempunyai tujuan antara lain :
a. Mewujudkan PKL sebagai pelaku usaha kecil yang terdaftar dan berhak
mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga dapat melakukan
kegiatan usahanya pada lokasi yang ditetapkan.
b. Mengembangkan ekonomi sektor informal melalui pembinaan PKL
serta mewujudkan harmonisasi keberadaan PKL dengan lingkungannya.
Selain itu Dinas Koperasi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot
Surabaya mempunyai sasaran penataan dan pemberdayaan antara lain :
1. Terciptanya ketertiban umum
2. Terwujudnya tertib umum.
3. Terciptanya keseimbangan, keselarasan dan keserasian
4. Meningkatkan kinerja usaha PKL menjadi kelompok yang resmi sebagai
sasaran binaan.
5. Terwujudnya dukungan ruang bagi keberadaan PKL
6. Terciptanya keberadaan PKL yang harmonis dengan kegiatan usaha lain.
Dinas Koperasi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot
pembinaan berupa penataan PKL ikan segar maksud dan tujuan memberikan
kesempatan berjualan bagi PKL dan menata keindahan jalan di pinggir
jembatan Karah yang dimanfaatkan Pedagang kaki Lima pada pagi hari dan
sore. Arah kebijakan penataan ini diarahkan dalam kondisi yang tidak
membuat lingkungan menjadi kumuh, dalam hal ini harus dilakukan
penanganan secara terpadu oleh dinas-dinas terkait khususnya dinas
koperasi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot Surabaya berjalan
sejak tahun 2008 sampat saat ini.
Dari fenomena yang telah diuraikan melihat kondisi Pedagang Kaki
Lima Ikan segar lapangan Karah Kota Surabaya, hal ini mendorong penulis
untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan judul penelitian
“Pembinaan Dinas Koperasi Terhadap PKL Lapangan Karah Kota Surabaya”
1.2. Perumusan Masalah
Banyaknya pedagang kaki lima disekitar tempat fasilitas umum yang
berada di sekitar yang perlu dibina secara kontinyu dan berkesinambungan
dengan memberikan masukan atau wawasan kepada mereka agar mereka
tidak menganggu ketertiban umum. Karena fasilitas usaha mereka adalah
fasilitas umum yang juga diperlukan oleh orang lain. Melihat keadaan itu
maka permasalahan yang akan diteliti ini adalah “Bagaimana pola
Pemkot Surabaya dalam membina pedagang kaki lima di lapangan Karah
Kota Surabaya ?
1.3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah tersebut
diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk
mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis pembinaan Pedagang Kaki
Lima (PKL) di lapangan Karah Kota Surabaya yang dilakukan oleh Dinas
Koperasi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Pemkot Surabaya.
1.4. Kegunaan Penelitian
a. Bagi Penulis
Merupakan atau alat sarana yang baik untuk menerapkan teori
yang sudah diperoleh di bangku perkuliahan dengan penerapannya di
masyarakat atau dengan kenyataan yang ada.
b. Bagi Instansi
Memberikan gambaran mengenai karakteristik dan
permasalahan yang dihadapi PKL sebagai masukan positif untuk
Pemerintah Kota Surabaya khususnya Dinas Koperasi UMKM (Usaha
Mikro Kecil Menengah) dalam pelaksanaan kebijakan pembinaan
c. Bagi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk memberikan tambahan referensi atau perbendaharaan di
perpustakaan sehingga merupakan bahan bagi mahasiswa FISIP maupun
2.1. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian kali ini akan disampaikan beberapa penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan obyek penelitian ini, antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2003) jurusan Administrasi
Publik dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur,
Surabaya, yang berjudul “Peranan Program Pembinaan Pedagang Kaki
Lima terhadap Kesejahteraan Sosial Pedagang Kaki Lima di Wilayah
Kecamatan Gubeng Kotamadya Dati II Surabaya.”
Berdasarkan kerangka berfikir dan landasan teori, maka hipotesa
penelitian yang diajukan adalah diduha ada peranan program pembinaan
pedagang kaki lima terhadap kesejahteraan sosial pedagang kaki lima di
wilayah Kecamatan Gubeng Kotamadya Surabaya. Penelitian ini
menggunakan metode analisa kuantitatif dengan jenis penelitian
komparatif, data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam
yaitu data primer dan sekunder.
Sedangkan teknik sampling yang digunakan yaitu teknik sample random
sampling terhadap sample sebanyak 120 orang PKL. Selanjutnya
digunakan analisa uji jenjang bertanda (Wilcoxon Match pairs Test).
Dan disimpulkan bahwa program pembinaan pedagang kaki lima
berperan terhadap kesejahteraan sosial PKL di wilayah kecamatan
Gubeng Kotamadya TK. II Surabaya.
Beda penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati
adalah penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan
hanya menggunakan satu variabel saja sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Nurhayati menggunakan metode penelitian kuantitatif
dan menggunakan lebih dari satu variabel.
2. Oscar Dedik (2008), http//tesis-skripsi.blogspot.com. Penelitian ini
bertujuan untuk 1) ingin mengetahui kondisi pedangang kaki lima di
Kota Malang Nomor 1 Tahun 2000;3 Ingin menganalisis faktor-faktor
yang menghambat dan mendukung pendekatan penelitian deskriptif
kualitatif, sehingga metode yang digunakan menekan pada proses
penelusuran data/informasi hingga dirasakan telah cukup digunakan
untuk membuat suatu interpretasi. Sampel diambil dari Populasi dengan
metode total sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui
interview, observasi dan dokumentasi, yang terdiri dari data primer dan
data sekunder. Selanjutnya data dianaliis secara teknik deskriptif
eksplanatif, yaitu dengan model interaktif dengan tahapan yaitu
melakukan reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dan
analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Pemerintah Kota Malang
bersikap tidak tegas dan masih bersikap mendua dalam upaya menata
ekonomi daerah yaitu dalam mewujudkan pemberdayaan usaha-usaha
ekonomi kecil seperti Pedagang Kaki Lima ;2) Pola pembinaan yang
dibuat belum efektif dan terpadu yang disebabkan adanya berbagai
kepentingan dari unit-unit pelaksana teknis sebagai implementor Perda
Nomor I Tahun 2000 ; 3) Pelaksanaan Pembinaan masih dilakukan
secara insidentil dan tidak berkesinambungan.
3. Winarno (2003), Jurusan administrasi Publik dari Universitas
Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur, dengan judul
“Hubungan Penataan PKL dengan Tingkat Pengembangan Usaha di
Kecamatan Waru Kabupaten Daerah Tk. II Sidoarjo.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitif terhadap 2 (dua) variabel
yaitu variabel bebas (X) penataan PKL tentang keadaan lokasi, manfaat
penetapan dan manfaat pemberian penyuluhan serta variabel terikat (Y)
tingkat pengembangan usaha yang terdiri dari perluasan unit,
pertambahan modal usaha, penyerapan konsumen dan penyerapan
tenaga kerja.
Pengumpulan data dilakukan cara observasi, dokumentasi, kuisioner dan
wawancara kepada responden dan populasi penataan PKL di Kecamatan
Waru sebanyak 245 orang, terpilih menjadi responden sebanyak 81
orang dengan teknik random sampling.
Dari kerangka berpikir yang mengkaji variabel bebas (X) penataan
pedagang kaki lima dan variabel terikat (X) tingkat pengembangan
penataan PKL dengan tingkat pengembangan usaha. Hipotesa penelitian
tersebut kemudian diuji dengan analisa Rho Sper Man dan uji t pada
taraf kesalahan 10 %.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan positif
antara penataan PKL dengan tingkat pengembangan usaha di kecamatan
Waru Kabupaten Daerah Tk. II Sidoarjo. Dengan nilai koefisien kolerasi
sebesar 0,8547 yang artinya apabila penataan PKL ditingkatkan maka
tingkat pengembangan usaha akan meningkat pula.
Beda penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Winaryo,
penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan menitik
beratkan pada penataan PKL sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Winaryo sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati yaitu
menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan lebih dari satu
2.2. Landasan teori
2.2.1. PengertianPembinaan
Pengertian pembinaan menurut Thoha (2003 : 7), merumuskan
pembinaan adalah suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi
lebih baik. Ada dua unsur dari pengertian ini yakni pembinaan itu sendiri
bisa berupa suatu tindakan, proses, atau pernyataan dari suatu tujuan, dan
kedua pembinaan itu bisa menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu.
1. Bentuk Pembinaan
Metode Pembinaan Dinas Koperasi UMKM Pemkot Surabaya
terhadap PKL :
1) Bimbingan Teknis (Bintek) produksi dan kesehatan :
Untuk meningkatkan kesadaran Pedagang Kaki Lima (PKL) akan
seterillisasi peralatan produksi makanan serta untuk menjaga para
konsumennya. Adapun Bentuk pembinaan itu sendiri terdiri dari :
1.Akses Pencucian Peralatan Yang Memadai. Menurut Sihombing
dalam Khairuddin (2002:127), adalah “partisipasi dalam
konteks pembangunan yang memerdekakan bukan semata –
mata kebaikan hati para elit pemgambil keputusan, akan tetapi
partisipasi adalah hak dasar yang sah dari umat manusia untuk
turut serta merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan
pembangunan yang menyajikan harapan pemerdekaan
dirinya”.
Menurut Sediaoetama (2006 : 154), pada jaman saat ini masalah
hewan serangga sangat mengganggu masyarakat setempat,
masyarakat telah mengetahui dari pengalaman bahwa jenis-jenis
makanan tersebut mengandung bahan beracun, tetapi mereka
telah mengonsumsinya karena berbagai sebab.
3.Tersedia Pembuangan Limbah yang Tertutup,Mengalir Lancar
dan Tidak Berbau.
Menurut Khiatuddin (2003 : 168),di daerah aliran sungai, perlu
diciptakan lahan yang direboisasi yang berfungsi sebagai
wilayah rasapan/tangkapan air, mulai dari hulu sampai ke hilir
sungai.
4.Kontruksinya Memudahkan Untuk di Bersihkan.
Seperti yang diungkapakan oleh Simanjuntak (2005 : 51),
menyebutkan bahwa salah satu pembinaan PKL adalah revolusi
penempatan PKL di lokasi yang baru, hal ini dapat diartikan
bahwa dengan penempatan PKL yang baru juga harus
memperhatika kondisi PKL untuk dapat berubah menjadi baik.
5.Bahan Makanan dalam Kondisi Segar,Tidak Busuk atau Tidak
Rusak.
Menurut Departemen Gizi dan Kesehan Masyarakat Universitas
Indonesia (2008 : 15). Bahan makanan juga sering dikenal
sebagai bahan pangan atau dalam perdagangan dikenal sebagai
seperti daging, sayur, buah, beras, dll. Bila bahan makanan
dalam kondisi yang rusak atau busuk tidak dapat dikonsumsi
manusia karena akan merusak fungsi pencernaan pada manusia.
6.Tidak Mengandung Bahan Berbahaya Seperti Borak dan
Formalin.
Formalin adalah zat yang berbahaya bagi tubuh manusia,
merupakan zat beracun, karsinogen (menyebabkan kanker)
mutagen (menyebabkan perubahan sel dan jaringan tubuh dan
bersifat korosif serta iritatif). Formalin banyak digunakan untuk
mengawetkan bahan makanan seperti bakso, tahu, mie basah
dan ikan. Dengan direndam dalam beberapa tetes formalin yang
dicampur dengan air, maka bahan-bahan tersebut akan lebih
tahan lama dan lebih kenyal (www.sobatmuda.multiply.com).
Sedangkan Boraks juga merupakan bahan terlarang untuk
dicampurkan pada makanan sebagai pengawet dan pengenyal.
Banyak digunakan dalam pembuatan bakso agar awet dan
kenyal. Zat ini bukan merupakan BTP (Bahan Tambahan
Pangan) dan Food Grade. Bahkan boraks ini merupakan bahan
pengawet kayu dan rotan. Selain itu juga digunakan untuk
menghaluskan gelas, dan juga bahan pengontrol kecoa.
7.Bahan Makanan Kemasan tidak Kadarluarsa
Menurut Ir. Udjang Sumarwan, Ph.D (Dosen mata kuliah
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Institut Pertanian
Bogor) dalam Lokakarya Hukum Perlindungan Konsumen bagi
Dosen Praktisi Hukum yang Diselenggarakan: Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengungkapkan :
Pada zaman modem ini, masih banyak masyarakat yang kurang
mengerti dan tidak memperdulikan batas kadaluarsa makanan
yang dikonsumsinya. Hal demikian banyak terjadi di
daerah-daerah dimana makanan pada umumnya diolah secara sederhana
yang pada umumnya mempunyai masa simpan yang relatif
pendek. sehingga meskipun makanan tersebut telah kadaluarsa
mereka tetap mengkonsumsinya. Hal tersebut disebabkan karena
pengetahuan yang kurang. Keadaan demikian sering
dimanfaatkan oleh sebagian pedagang atau produsen makanan
untuk menjual makanan kadaluarsa dengan harga murah. Hal
inilah yang banyak disambut oleh orang-orang yang kurang
pengetahuannya dan pada umumnya banyak menimpa golongan
ekonomi lemah.
2. Manfaat Pembinaan
Menurut Burhanudin (1993 : 48) manfaat pembinaan adalah :
1) Mengembangkan potensi.
2) Sebagai wahana untuk memotivasi karyawan agar
mengembangkan bakat dari kemampuannya.
4) Memberikan kepastian hari depan.
5) Sebagai usaha untuk mendukung organisasi dalam rangka
memperoleh tenaga-tenaga yang cakap dan terampil dalam
melaksanakan program.
3. Karakteristik Pembinaan
Sifat dan karakteristik pembinaan yang amat menonjol French dan
Bell dalam Thoha (2003 : 17) antara lain :
1) Lebih memberikan penekanan walaupun tidak eksklusif pada proses
kelompok dan organisasi dibandingkan dengan isi yang subtantif.
2) Memberikan penekanan pada kerja tim sebagai suatu kunci untuk
mempelajari lebih efektif berbagai macam perilaku organisasi.
3) Memberikan penekanan pada manajemen yang kolaboratif dari
budaya kerja tim.
4) Memberikan penekanan pada manajemen yang berbudaya sistem
keseluruhan.
2.2.2. Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sedangkan Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:14)
mengemukakan PKL adalah pola kegiatannya tidak teratur, dalam artian
waktu, permodalan maupun penerimanya, tidak tersentuh oleh peraturan
atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, modal peralatan dan
perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas
Timbulnya sektor informal atau pedagang kaki lima(PKL)
sebagai sumber kesempatan kerja merupakan manifestasi dari tidak
sebandingnya pertumbuhan angkatan kerja dan kesempatan kerja pada
satu pihak dan ketidakmampuan sektor formal untuk menampung
kelebihan tenaga kerja di lain pihak. Berkembangnya kesempatan kerja
sektor informal di kota sekurang-kurangnya dapat dijelaskan melalui
tingginya pengangguran di kota yang pada gilirannya menimbulkan suatu
respon yang berupa membengkaknya sektor informal.
Sektor informal di kota dapat bertindak sebagai suatu katup
pengaman bagi sejumlah sektor informal di daerah perlu mendapat
penanganan yang lebih intensif, dalam arti bisa ke arah pengembangan.
Dengan demikian, sektor ini lebih berfungsi sebagai kesempatan kerja
bagi kaum pengangguran dan masyarakat berpenghasilan rendah di kota.
Adapun karakteristik sektor informal menurut Hidayat (1995:426)
sebagai berikut :
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya unit
usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia
di sektor formal.
2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha
3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun
jam kerja
4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan
5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor satu ke sub sektor
lain
6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga
relatif kecil.
8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena
pendidikan yang diperlukan dari pengalaman sambil kerja.
9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan
sendiri usahanya dan buruh berasal dari keluarga
10.Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau
dari lembaga-lembaga yang tidak resmi.
11.Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota
atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga
yang berpenghasilan menengah.
Sedangkan menurut Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan
dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya, Pedagang Kaki Lima adalah
pedagang ekonomi lemah yang menggunakan bagian dari
fasilitas-fasilitas umum sebagai tempat kegiatan usahanya dengan menggunakan
peralatan bergerak atau tidak bergerak.
Dari pengertian diatas disimpulkan pedagang kaki lima adalah
mereka yang dalam melakukan kegiatan dagang dan menjalankan
usaha serta tempat lain yang bukan miliknya. Sarana ataupun
perlengkapan dagang yang dipergunakan relative sederhana.
Bagi perencana kota tumbuhnya pedagang kaki lima banyak
mengundang masalah karena pedagang kaki lima terutama yang
beroperasi ditempat strategis di kota dapat mengurangi keindahan. Kota
dan diduga sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan menurunnya
lingkungan hidup dikota. Karena itu perencanaan kota harus mampu
untuk berupaya mencari cara terbaik untuk memecahkan masalah yang
semakin membengkaknya pedagang kaki lima di perkotaan.
1. Faktor Timbulnya Pedagang Kaki Lima
Timbulnya Perdagangan Jalanan (PKL) disebabkan oleh
beberapa faktor. Mereka yang melibatkan diri di sektor informa, pada
dasarnya berkaitan dengan etos kewiraswastaan yang mereka miliki.
Faktor penyebab ini tampak sekali massa usaha informal yang berasal
dari etnis Cina. Mereka tertarik masuk ke sektor ekonomi ini karena 3
(tiga) hal, Pertama, hampir tiadanya prosedur resmi dalam pendirian
sektor usaha ini, karena hampir tidak memerlukan biaya dan waktu yang
lama, Kedua, persyaratan modal relative kecil. Ketiga, potensi
keuntungannya cukup baik.
Ini berarti sektor informal di pandang sebagai lapangan usaha
yang relative menggiurkan, dapat dipakai sebagai arena untuk melakukan
Selain itu, kegiatan sektor informal ini merupakan ciri ekonomi
kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hajat hidup orang
banyak mempertimbangkan keadaan dan potensi tersebut, selayaknya
pola penanganan dan pembinaan kegiatan pedagang kaki lima harus
didasarkan pada konsep perilaku dan karakteristik berwawasan
lingkungan agar isi pengaturannya tepat sebagian besar pedagang kaki
lima di kawasan perkotaan dan sekitarnya adalah bukan penduduk asli
(pendatang dari desa atau luar provinsi) dan bukan merupakan pilihan
pertama sebagai mata pencahariannya.
2. Karakteristik dan Masalah yang dihadapi Pedagang Kaki Lima
Dalam merencanakan sebuah model pengembangan PKL di
perlukan informasi-informasi tentang karakteristik dan permasalahan
yang muncul dari PKL. Selain itu juga dibutuhkan
pengetahuan-pengetahuan yang kompleks tentang karakteristik dan ide-ide alternative
untuk memecahkan permasalahan PKL. Dengan berbekal informasi dan
pengetahuan yang memadai tentang PKL, maka dapat direncanakan
sebuah model pengembangan sektor informal di bidang PKL yang lebih
realistis. Menurut Firdaus dalam Alisjahbana (2004 : 220-222)
mengatakan karakteristik yang dimiliki dalam permasalahan yang
dihadapi oleh sektor informal PKL dapat dikelompokkan dalam 4
Gambar 1
Karakteristik dan Permasalahan yang di hadapi
Sektor informal PKL di perkotaan
Karakteristik usaha PKL :
+ Aspek Ekonomi
- Meliputi berbagai kegiatan usaha yang luas.
- Akses mudah dimasuki
pengusaha baru
- Bermodal relative kecil
- Konsumen lokal dan
berpendapatan menengah kebawah
- Teknologi sederhana/tanpa teknologi
- Jaringan usaha terbatas
+ Aspek Sosial – budaya - Para migran
- Jam kerja relative lama - Jumlah anggota rumah
Tangga besar
- Bertempat tinggal di daerah kumuh di kota
+ Aspek Lingkungan
- Berlokasi ditempat yang padat lalu lintasnya
- Kurang mengutamakan
kebersihan
+ Aspek Pendidikan
- Tingkat pendidikan rendah
Permasalahan ekstern PKL :
- Banyaknya pesaing usaha
sejenis
- Sarana dan pra sarana
perekonomian yang tidak memadai
- Belum adanya pembinaan yang memadai
- Akses terhadap kredit masih sukar dan terbatas
Permasalahan intern PKL :
- Lemah dalam struktur
permodalan
- Lemah dalam bidang
organisasi dan manajemen
- Terbatas dalam jumlah
komoditi yang dijual - Tidak ada kerja sama usaha - Pendidikan/ketrampilan usaha
yang rendah
- Rendahnya layanan pada
konsumen
- Kualitas SDM yang kurang memadai
3. Dampak Positif dan Negatif Keberadaan PKL.
Keberadaan suatu pedagang kaki lima selain memberikan
kontribusi yang besar dalam penyedia lapangan kerja di sektor formal,
ternyata keberadaan PKL juga memberikan dampak positif dan negatif.
Menuurt Aditya Perkasa dalam sebuah catatannya memaparkan dampak
positif dan negatif keberadaan PKL.
Dampak positif :
1. PKL menjadi katup pengaman bagi masyarakat perekonomian yang
lemah baik sebagai profesi maupun bagi konsumen untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, terutama akibat krisis ekonomi.
2. PKL menyediakan kebutuhan barang dan jasa yang relative murah
bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah.
3. Jumlah yang besar, ragam bentuk usaha dan keunikan merupakan
potensi yang besar untuk menghias wajah kota, apabila ditata dan
diatur dengan baik.
4. PKL tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya dan eksistensinya
tidak dapat dihapuskan.
5. PKL menyimpan potensi pariwisata yang cukup besar.
Dampak negatif :
1. Media dagang yang tidak estetis dan tidak tertata dengan baik
menimbulkan kesan semrawut dan kumuh, akibatnya menurunkan
kualitas visual kota.
2. Tempat atau lokasi berdagangnya PKL yang memakai fasilitas
3. Menggeser fungsi ruang public.
4. Menganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya
yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan
di depan toko.
4. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi PKL
Menurut Firdausy dalam Alisjahbana (2004:220-221) bahwa
permasalahan yang dihadapi sektor informal PKL dapat dikelompokkan
dalam 4 (empat) aspek yaitu :
1. Aspek Ekonomi
PKL merupakan kegiatan usaha ekonomi berskala kecil
(micro-scale) bermodal relative kecil, mudah dimasuki oleh pengusaha baru,
input tenaga kerja tidak memerlukan syarat-syarat khusus, pasar
tidak teratur, baik dalam arti konsumen, maupun lokasi usahanya,
kegiatan usaha dikelola oleh satu orang. Jenis komoditi yang
diperdagangkan cenderung komoditi yang cepat terjual, tidak tahan
lama dan kebanyakan adalah jenis makanan dan minuman.
2. Aspek Sosial dan Budaya
Kegiatan usaha para migran dengan usaha produktif antara lain
24 sampai 34 tahun, jumlah anggota keluarga yang relative besar
(rata-rata 4 orang anggota keluarga), dan jumlah jam kerja cenderung
tidak menentu. Lokasi pemukiman dari rumah tangga PKL ini
hidup dengan menyewa rumah bersama kerabat sekampungnya yang
biasanya berusaha dalam kegiatan PKL sejenis.
3. Aspek Lingkungan
Kegiatan usaha yang menganggu ketertiban dan kaelancaran lalu
litas kota, keindahan dan kebersihan kota, serta kenyamanan dan
keamanan lingkungan.
4. Aspek Pendidikan
Merupakan aspek yang paling menentukan bagi keberhasilan sector
informal PKL. Dimana dengan tingkat pendidikan yang rendah, akan
lebih sulit diberi pengertian tentang kebijakan tata kota.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL ini tidak semata-mata
terjadi akibat dari kebiasaan PKL saja., Tetapi juga akibat dari
permasalahan penataan dan keterbatasan yang dihadapi PKL serta
kebijakan yang tidak terlaksana dengan baik.
2.2.3. Sektor Informal
Menurut Kartono dalam Ali Achsan (2008:41), selain konflik
tanah, penggusuran, dan permukiman kumuh, salah satu persoalan serius
yang dihadapi berbagai kota besar dewasa ini adalah keberadaan sector
informal, khususnya pedagang kaki lima.
Menurut Evens & Korff, definisi pedagang kaki lima adalah bagian
dan sector informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang
dan jasa diluar control pemerintah dan tidak terdaftar. Diberbagai kota
penyangga kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap di sector formal,
tetapi juga memiliki peran yang besar yang menggairahkan dan
meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat perkotaan. Sebagai
bagian dari system ekonomi rakyat jelata (lumpen proletariat economical
system), daya serap sector informal yang involutif bukan saja terbukti
mampu menjadi sektor penyangga (buffer zone) yang sangat lentur dan
terbuka, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan
jasa di tingkat bawah dan bahkan menjadi ujung tombak pemasaran yang
potensial.
Rata-rata pedagang kaki lima menggunakan sarana atau
perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan, dan sering
kali menggunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya.
Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima yang perlu dikenali adalah
sebagai berikut : Pertama, pola persebaran pedagang kaki lima umumnya
mendekati pusat keramaian dan tanpa izin menduduki zona-zona yang
semestinya menjadi milik public (depriving public space). Kedua, para
pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi social yang sangat
lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penerbitan. Ketiga, sebagai
sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki
mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangar longgar.
Keempat, sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migrant, dan
proses adaptasi serta eksistensi mereka di dukung oleh bentuk-bentuk
didasarkan pada ikatan factor kesamaan daerah asal (locality sentiment).
Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki keterampilan dan
keahlian alternative untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar
sector informal kota.
Adapun pengertian pedagang kaki lima sebagai bagian dari sector
informal dapat dijelaskan melalui cirri-ciri secara umum yang
dikemukakan oleh Kartono, dkk, sebagai berikut :
a. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus berarti
produsen.
b. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari
tempat yang satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta
dorong, tempat atau stan yang tidak permanent serta bongkar pasang).
c. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang konsumsi lainnya
yang tahan lama secara eceran.
d. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi
pemilik modal dengan dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai
imbalan atau jerih payahnya.
e. Kualitas barang yang diperdagangkan relative rendah dan biasanya
tidak berstandar.
f. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya
g. Usaha skala kecil bias berupa family enterprise, dimana ibu dan
anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
h. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan relasi cirri
yang khas pada usaha perdagangan kaki lima.
i. Dalam melaksanakan pekerjaan ada yang secara penuh, sebagian lagi
melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula
yang melaksanakan secara musiman.
j. Barang yang dijual biasanya merupakan convenience goods jarang
sekali speciality goods.
k. Dan seringkali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi
perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim
Penertiban Umum (TEBUM) dan Satpol PP sebagai aparat
pemerintah daerah.
2.2.4. Peran Sektor Informal
Peran sektor informal pedagang kaki lima dimaksud mendudukkan
peran paa posisi konseptual yang mapan atau dengan kata lain sebagai
sebuah entitas akademik, dimana dalam dimensi dan waktu bekerja
atasnya, sedangkan apa dan bagaimananya entitas tersebut bergeser atau
berubah merupakan kajian perubahan. Menurut Merton banyak pakar yang
menyatakan bahwa peran merupakan paket hak yang diterima secara sosial
dan kewajiban yang memiliki eksistensi obyektif, terpisah dari perilaku
Namun ada sebagian lagi yang mengungkapkannya bahwa peran
harus dikonseptualisasikan sebagai gaya adopsi individual yang sangat
khusus terhadap orang yang memiliki posisi, sehingga lebih mengikat pada
kerja individu dari pada harapan kolektif. Dalam hal tersebut peran
diartikan sebagai paket hak dan kewajiban yang telah banyak diketahui
yang menentukan apa yang diharapkan seseorang yang memiliki posisi
dalam suatu hubungan sosial.
Peran juga merupakan pola tingkah laku yang dihubungkan dengan
kedudukan seseorang pelaku atau aktor. Lebih jelas lagi peran ialah
sebagian yang dimainkan seseorang pelaku sebagai akibat dari jabatan dan
statusnya dalam kehidupan sehingga peran dapat dikatakan merupakan
aspek dinamis dari kedudukan (status) seseorang. Peran merupakan
implementasi dari kedudukan seseorang maka setiap orang dapat
memainkan lebih dari satu peran akibat dari jabatan yang dimiliki, tetapi
beberapa peran tidak dapat digantikan orang yang satu oleh orang yang
lain.
Berdasarkan pengertian peran tersebut di muka meskipun peran
lebih diletakkan dalam keadaan yang given by society (diletakkan oleh
sistem sosialnya) dan seolah menafikan atau meniadakan pilihan bebas
individu atau pelaku yang pandangan ini khas strukturalis setidaknya dapat
dikatakan bahwa konsep peran pedagang kaki lima merupakan hal keadaan
yang dihubungkan dengan status sekaligus pilihan-pilihan yang mungkin
dilakukan dan tidak dapat dilakukan atau dengan kata lain perilaku
pedagang kaki lima sebagai individu yang otonom sekaligus bagian dari
masyarakat modern perkotaan.
Berdasarkan uraian tersebut maka peran pedagang kaki lima
perkotaan paling tidak dapat dipisahkan dalam peran ekonomi dan peran
sosial yang lebih umum. Mengenai peran ekonomi dimaksudkan selain
dapat meningkatkan pendapatan para pelaku pedagang kaki lima. Juga
dapat berperan dalam struktur makro ekonomi seperti distribusi
pendapatan perkapita serta pemasukan perekonomian negara. Peran sosial
pedagang kaki lima dapat dilihat dari peran sosial budaya dan sosial
politik melalui perubahan perilaku dan gaya hidup yang pinggiran atau
marjinal yang penuh kepekaan perasaan dan guyub ke tengahan atau kota
yang rasional dan patembayan.
Perubahan peran pedagang kaki lima perkotaan terjadi karena
perubahan kegiatan atau aktivitas dari yang rutin menjadi kurang rutin
yang mengarah pada “profesionalisme” sejalan dengan keberadaan dan
keterlibatan mereka dalam perkembangan masyarakat yang semakin
kompleks, rumit dan beragam. Pedagang kaki lima berangsur angsur
mendefinisikan ulang peran secara cerdas dan kreatif agar lebih dapat
menyesuaikan diri terhadap kebutuhan orang lain pada masyarakat modern
perkotaan.
Tuntutan pedagang kaki lima dalam kehidupan masyarakat modern
hidup yang selalu diliputi ketakutan oleh terancamnya kegiatan usaha oleh
penerbitan Tim Ketertiban Kota dari Satpol PP, tetapi juga pada
pengembangan aktivitas usaha dan keberadaan mereka pada struktur
masyarakat perkotaan.
Dengan kata lain perubahan peran pedagang kaki lima perkotaan
dapat diamati melalui perubahan peran sosial ekonomi dan perubahan
peran sosial budaya dan politik, baik karena upaya kreatif dari dalam
(faktor dalam) maupun karena respon atas perkembangan yang
berlangsung (faktor luar).
2.2.5. Pembinaan PKL
Menurut Perda No. 17 tahun 2003 tentang Penataan dan
Pemberdayaan PKL di kota Surabaya.
Pembinaan adalah untuk memberikan kepastian usaha,
perlindungan serta pengembangan usaha pedagang kaki lima yang tertib,
teratur, aman, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungannya.
Alisjahbana (2004:241) pembinaan yang harus dilakukan
pemerintah terhadap Pedagang Kaki Lima antara lain :
a. Pembinaan Ketrampilan
Dalam hal ini pemerintah melalui bagian terkait melakukan
pembinaan PKL baik itu dalam ketrampilan membuat produk
misalnya bagaimana agar merasakan menjadi lebih lezat, menarik
atau yang lain
Pembinaan kelembagaan dimaksudkan agar PKL mempunyai suatu
wadah untuk menampung segala kegiatannya, sehingga kegiatan
PKL lebih ringan dan lancar. Dalam hal ini pemerintah memotivasi
agar PKL membentuk suatu badan yang mampu menampung
aspirasi dan kegiatan PKL misalnya, Paguyuban, Koperasi.
c. Pembinaan Permodalan
Pembinaan permodalan dimaksudkan untuk membantu PKL dalam
mendapatkan tempat usaha dan mengembangkan usahanya.
Pembinaan PKL di Surabaya dilakukan berdasar Perda Kota
Surabaya No. 17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan
pedagang kaki lima dari kota Surabaya.
a. Bahwa dalam upaya mengembangkan usaha dan pertumbuhan
lapangan kerja bagi pedagang kaki lima, serta upaya mencegah dan
sekurang-kurangnya memperkecil permasalahan ketertiban umum dan
gangguan lalu lintas yang diakibatkan pedagang kaki lima yang
menempati ruang publik, lahan prasarana kota dan fasilitas umum
lainnya, perlu dilakukan penataan, pemberdayaan dan pengembangan
bagi pedagang kaki lima secara terpadu;
b. Bahwa penataan lokasi/ruang dan pemberdayaan bagi pedagang kaki
lima harus mencerminkan pertumbuhan ekonomi kota dan dapat
dikendalikan terutama pada aspek keindahan, ketertiban, kebersihan
lingkungan, kenyamanan, keselamatan dan keamanan serta kepastian
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan b, maka dalam
rangka pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17
Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima.
2.3 Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori diatas, penelitian ini merupakan satu variabel
yaitu pengaturan tempat usaha dan pembinaan Pedagang Kaki Lima di
sekitar lapangan karah kota Surabaya. Hal ini dapat dilihat pada susunan
Gambar 2
Kerangka Berpikir
Perda No. 17 tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan
pedagang kaki lima
Dinas Koperasi (UMKM) Pemkot Surabaya
Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pelatihan Bintek Produksi dan kesehatan
Tujuan :
- Peningkatan kualitas pedagang kaki lima (PKL) yang bersih dan sehat dalam penyajian makanannya.
- Peningkatan kualitas kesadaran pedagang kaki lima (PKL) dalam menjaga mutu dagangannya.
Sumber : Perda No. 17 tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek
penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin
memperoleh gambaran yang komperehensif dan mendalam tentang penataan
PKL di sekitar Lapangan Karah Kota Surabaya. Secara teoritis, menurut
Bagdan dan Taylor dalam Moelong (2002 : 3) penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Sedangkan definisi lain penelitian kualitatif menurut (Kirk dan Miler
dalam Moleong, 2007 : 4) adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut, dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya
Sedangkan menurut Denzin dan Loncoln dalam Moleong (2007:5)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada.
Menurut Richie dalam Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah
upaya untuk menyajikan dunia social dan perspektifnya didalam dunia dari
segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
menggambarkan dan memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain,
secara holistik dan dengan cara-cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
metode ilmiah.
3.2.Fokus Penelitian
Fokus penelitian pada dasarnya adalah masalah. Masalah dalam hal ini
adalah keadaan yang membingungkan akibat adanya dua faktor atau lebih
faktor (Moleong, 2007 : 386). Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif
merupakan batas yang harus dilalui oleh seorang penulis dalam melaksanakan
penelitian, dengan merumuskan masalah sebagai fokus penelitian untuk
mencari pemecahannya.
Dalam penelitian kualitatif digunakan variabel mandiri tanpa
membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain.
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah pengaturan
Pola pembinaan Dinas Koperasi UMKM terhadap PKL di Lapangan
Karah Kota Surabaya dan tidak ada satu pun yang dapat di lakukan tanpa
adanya fokus, adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
Pembinaan yang dilakukan Dinas Koperasi UMKM Surabaya adalah :
A. Pelatihan Bintek Produksi dan Kesehatan yang terdiri dari :
1. Terdapat akses pencucian peralatan yang memadai.
2. Tidak terdapat lalat atau hewan pengganggu lainnya.
3. Tersedia pembuangan limbah yang tertutup, mengalir lancar dan tidak
berbau.
4. Kontruksinya memudahkan untuk dibersihkan.
5. Bahan makanan dalam kondisi segar, tidak busuk atau tidak rusak.
6. Tidak mengandung bahan berbahaya seperti Borak dan Formalin.
7. Bahan makanan kemasan tidak kadaluarsa.
3.3.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna
memperoleh data yang akurat. Agar dapat memperoleh data yang akurat atau
mendekati kebenaran yang sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi
batasan masalah maka lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Dinas Koperasi dan UMKM Pemkot Surabaya. Untuk mengetahui
2. PKL Lapangan Karah Kota Surabaya. Untuk mengetahui hasil
pelaksanaan pembinaan.
Lokasi yang dipilih adalah PKL di Lapangan Karah Kota Surabaya
karena PKL di Lapangan Karah Kota Surabaya sudah dibina langsung oleh
Dinas Koperasi (UMKM) Kota Surabaya.
3.4.Sumber Data
Menurut Lofland dalam Moleong (2007:157), sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah berasal dari informan yang berupa kata-kata
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain
Sumber data adalah tempat penelitian dapat menemukan data dan informasi
yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini yang diperlukan melalui
informasi, peristiwa dan dokumen.
1. Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah Bapak
Markum SH, dimana pemilihannya secara purposive dan diseleksi
didasarkan atas subjek yang meguasai permasalahan, memiliki data dan
didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan
bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten
dengan masalah penelitian yakni berupa keterangan, cerita atau kata-kata
yang bermakna, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
membangun teori.selanjutnya dalam penelitian ini yang akan di ambil
informan berasal dari:
2) Pedagang Kaki Lima di Lapangan Karah Kota Surabaya.
2. Tempat dan Peristiwa yaitu dimana fenomena yang terjadi berkaitan
dengan fokus penelitian antara lain meliputi masalah-masalah penataan
pedagang kaki lima Kota Surabaya, yakni tentang pembinaan tempat
usaha yang meliputi penetapan waktu berdagang, tempat usaha, jenis
barang dagangan dan peralatan yang digunakan.
3. Dokumen sebagai sumber data yang lain yang sifatnya melengkapi data
utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian antara lain
ketentuan kebijakan yang dibuat berupa kesepakatan bersama yang
meliputi pembinaan tempat usaha yang meliputi penetapan waktu
berdagang, tempat usaha, jenis barang dagangan dan peralatan yang
digunakan.
3.5.Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan bagian terpenting dalam penelitian, karena hakekat
dari peneliti adalah mencarai data yang nantinya diinterpertasikan dan
dianalisis dalam penelitian kebijakan pengumpulan data diperlukan suatu
teknik untuk memudahkan dalam upaya – upaya mengumpulkan data di
lapangan.
Dalam pengumpulan data, terdapat 3 (tiga) proses kegiatan yang
dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :
Pada teknik ini, peneliti mengadakan tatap muka dan berinteraksi tanya
jawab langsung dengan pihak responden atau subjek untuk memperoleh
data.
Wawancara dalam penelitian ini, khususnya pada taraf permulaan
biasanya tak terstruktur. Tujuannya ialah memperoleh keterangan yang
terinci dan mendalam mengenai pandangan orang lain. Pada mulanya
belum dapat dipersiapkan sejumlah pertanyaan yang spesifik karena
belum dapat diramalkan keterangan apa yang akan diberikan oleh
responden, belum diketahui dengan jelas ke arah mana pembicaraan akan
berkembang, belum mengetahui apa fokus penelitiannya. Karena itu
wawancara tak berstruktur, artinya responden mendapat kebebasan dan
kesempatan untuk mengeluarkan buah pikiran, pandangan dan
perasaannya tanpa diatur ketat oleh peneliti. Akan tetapi, setelah peneliti
memperoleh sejumlah keterangan, peneliti dapat mengadakan wawancara
yang lebih berstruktur yang disusun berdasarkan apa yang telah
disampaikan oleh responden.
Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan informen yang berasal :
a. Dinas Koperasi (UMKM) Pemkot Surabaya
b. PKL di Lapangan Karah Kota Surabaya
Peneliti mengadakan pengumpulan data dengan cara pengamatan
langsung atau dekat dengan obyek penelitian. Observasi dilakukan
terhadap keseharian responden yang ada kaitannya dengan obyek
penelitian.
Dan observasi berupa deskriptif yang faktual, cermat dan terinci
mengenai usaha pembinaan pedagang kaki lima di sekitar Lapangan
Karah Kota Surabaya.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapat data yang dilaksanakan
dengan cara mengumpulkan data dalam pembinaan PKL di Lapangan
Karah Surabaya yang berhubungan dengan pembinaan PKL dalam
3.6.Analisis Data
Menurut Sugiyono (2005 : 85), analisis data adalah proses mencari
dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara
catatan laporan, dan dokumen, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka setelah data terkumpul, proses
selanjutnya adalah menyederhanakan data yang diperoleh kedalam bentuk
yang mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan yang ada hakekatnya
merupakan upaya mencari jawaban atas permasalahan yang ada sesuai
dengan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Karena itulah data yang diperoleh
selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif, artinya dari data yang ada
dianalisa serinci mungkin dengan dengan jalan mengabstraksikan secara teliti
setiap informasi yang diperoleh di lapangan, sehingga diharapkan dapat
diperoleh kesimpulan yang memadai.
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan
sepanjang proses berlangsung. Teknik analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model analisa interaktif (interactive model of analysis)
yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1993 : 15-21) sebagai
1. Pengumpulan data
Hal ini dilakukan wawancara dengan pihak yang terkait antara lain pihak
Satuan Polisi Pamong Praja Kec. Jambangan-Surabaya dan Dinas
koperasi UMKM Pemkot Surabaya, pihak paguyuban PKL Lapangan
Karah Surabaya, para pengunjung atau konsumen dan warga setempat.
2. Reduksi data
Data yang diperoleh dari lokasi penelitian data lapangan dituangkan
dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan
oleh peneliti reduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan
pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui
penyuntingan, pemberian kode dan pentabelan). Reduksi data ini
dilakukan terus menerus selama proses penelitian ini berlangsung.
3. Penyajian data
Penyajian data (display data) dimaksudkan agar memudahkan bagi
peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian
data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya yang
lebih utuh.
4. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Verifikasi data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki
lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk
dengan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering
timbul yang dituangkan dalam kesimpulan-kesimpulan tentative.
Proses analisis data secara interaktif dapat disajikan dalam bentuk skema
Gambar 3
Analisis Interaktif Menurut Miles dan Huberman
Sumber : Miles dan Huberman (1993 : 15-21) Pengumpulan Data
Penyajian Data Reduksi Data
Kesimpulan / Verifikasi
3.7.Keabsahan Data
Dalam setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajad
kepercayaan atau kebenaran dari hasil penelitiannya. Dalam penelitian
kualitatif standar tersebut disebut dengan keabsahan data. Menurut Lincoln
dan Guba dalam Moleong (2002 : 173-174) untuk menjamin keabsahan data
diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan
atas sifat kriteria yang digunakan yaitu sebagai berikut :
1. Derajat Kepercayaan (Credibility)
Pada dasarnya penerapan criteria derajda kepercayaan menggantikan
konsep validitas dari non kualitatif. Kriteria ini berfungsi untuk
kepercayaan penemuannya dapat dicapai serta menunjukkan derajad
kepercayaan hasil-hail penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti
pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam hal ini adalah :
a. Memperpanjang Masa Observasi
Yaitu peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk kepentingan
pengumpulan data tentang pengaturan tempat usaha dan pembinaan
pedagang kaki lima di sekitar Lapang Karah Kota Surabaya. Peneliti
melakukan wawancara dengan informan dan peneliti
memperpanjang masa observasi karena ingin meyakinkan bahwa
penelitian ini sudah mencapai tahap akhir yaitu keabsahan data, dan
dapat ditarik sebuah kesimpulan.
b. Membicarakan dengan orang lain (peer debriefing). Sebagai usaha
untuk berdiskusi dengan orang lain yang memiliki pengetahuan
tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang diterapkan.
c. Melakukan Triangulasi
Tujuan triangulasi adalah untuk memeriksa kebenaran data tertentu
dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber
lain ada berbagai fase penelitian lapangan pada waktu yang berlainan
dan dalam penelitian ini metode tersebut digunakan untuk menguji
data pada informan dengan dokumen yang ada.
d. Mengadakan member check, yaitu memeriksa ulang secara garis
2. Keteralihan (Transferbility)
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara
konteks pengirim dan penerima untuk melakukan pengalihan, tersebut
seorang peneliti mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang
kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab untuk
menyediakan data deskriptif secukupnya. Data ini berupa catatan-catatan
lapangan, peraturan-peraturan, petunjuk-petunjuk, laporan pelaksanaan
dari hasil wawancara dengan informan. Keteralihan data dilakukan
dengan konfirmasi ulang kepada pihak Satuan Polisi Pamong Praja
Sidoarjo terhadap hasil penelitian yang kemudian disusun dalam bentuk
skripsi.
3. Standar Ketergantungan (Dependability)
Dalam hal ini yang dilakukan adalah memeriksa antara lain proses
penelitian dan taraf kebenaran data serta tafsiran. Untuk itu peneliti harus
menyediakan bahan-bahan sebagai berikut :
a. Data Primer, seperti catatan lapangan sewaktu observasi dan
wawancara, dokumen, dan lain-lain yang disajikan dalam bentuk
laporan lapangan
b. Hasil analisis data, berupa rangkuman, konsep-konsep dan
sebagainya
c. Hasil sistesis data, seperti tafsiran, kesimpulan, definisi, tema, pola
d. Catatan mengenai proses data yang digunakan yakni tentang
metodologi, desain, strategi, prosedur, rasional, usaha-usaha agar
penelitian tercapai, serta upaya melakukan audit trail (memeriksa
dan melacak suatu kebenaran).
4. Kepastian (Conformability)
Dalam upaya mewujudkan kepastian atas penelitian, maka peneliti
mendiskusikan dengan dosen pembimbing, setiap tahap penulisan
penelitan maupun konsep yang dihasilkan dari lapangan. Dengan
demikian diperoleh masukan untuk menambah kepastian dari hasil
penelitian, disamping untuk menguji, ini untuk memenuhi syarat
kepastian.
Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaslah bahwa data yang diperoleh di
lapangan tidak dibuktikan dengan angka-angka tetapi berisikan uraian-uraian
sehingga menggambarkan hasil yang sesuai dengan data yang teranalisa
kemudian diinterpertasikan. Masalah yang dihadapi diuraikan dengan
berpatokan pada teori-teori serta temuan yang diperoleh pada saat penelitian
tersebut, kemudian dicarikan kesimpulan dan seorang peneliti dapat membuat
keputusan yang tepat tentang data yang dikumpulkan dan mana yang tidak