• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP FRAKTUR HIDUNG DENGAN ANESTESI LOKAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP FRAKTUR HIDUNG DENGAN ANESTESI LOKAL."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP FRAKTUR HIDUNG

DENGAN ANESTESI LOKAL

Oleh:

Ade Ari Sutradewi, Agus Rudi Astutha Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

Fraktur hidung merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma pada wajah, ditandai dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominutif dan sering menyebabkan sumbatan pada hidung.1 Fraktur hidung terjadi akibat benturan langsung pada wajah yang paling sering didapatkan dengan insiden sekitar 40%. Bentuk struktur hidung yang menonjol dan rapuh mengakibatkan hidung sangat rentan mengalami trauma benturan. Kesalahan penanganan fraktur hidung mengakibatkan deformitas cukup bermakna secara kosmetik maupun fungsional.1,2

Fraktur hidung dapat ditemukan bersamaan dengan fraktur tulang lainnya pada wajah. Fraktur hidung sering tidak terdiagnosis dan tidak mendapat penanganan karena pada beberapa pasien sering tidak menunjukkan gejala klinis. Jenis fraktur hidung bergantung arah benturan dan pukulan yang mengenai hidung. Fraktur hidung pada orang dewasa banyak ditemukan pada kasus trauma akibat olahraga, jatuh, perkelahian, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan bekerja. Deformitas, edema, epistaksis dan ekimosis periorbital memberi kesan ada suatu fraktur tulang hidung sedangkan krepitasi tulang dan mobilitas segmen hidung merupakan tanda diagnostik.3,4

(2)

2 memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Pada sebagian besar pasien teknik anestesi lokal dapat ditoleransi dengan baik sebesar 95,5% sampai 96%.5

Dilaporkan satu kasus pada laki-laki berumur 33 tahun dengan diagnosis fraktur hidung dan telah mendapatkan penatalaksanaan reduksi tertutup dengan anestesi lokal di ruang tindakan poklinik THT-KL RSUP Sanglah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi pada bagian tulang hidung.6

2.2 Epidemiologi

Fraktur hidung menduduki peringkat ketiga tersering dalam semua insiden fraktur. Insiden di Amerika Serikat sekitar 39-45% pada fraktur wajah. Prevalensi laki-laki dua kali lebih banyak dibanding perempuan. Pada laki-laki dikaitkan dengan trauma dan lebih umum terjadi pada usia 12-25 tahun sedangkan pada perempuan yang sering terjadi kecelakaan pribadi akibat jatuh pada pasien diatas usia 60 tahun.5 Insiden meningkat pada umur 15-30 tahun disebabkan oleh perkelahian 34%, kecelakaan lalu lintas 28% atau cedera akibat olahraga 23%.5,6

2.2. Etiologi

(3)

3 2.3. Anatomi

Hidung merupakan bagian wajah yang paling sering mengalami trauma karena berada paling depan dan menonjol dari wajah. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan bagiannya dari atas ke bawah: 1)pangkal hidung atau nose bridge, 2)dorsum nasi, 3)puncak hidung, 4)ala nasi, 5)kolumela dan 6)lubang hidung atau nares anterior. Hidung luar terdiri dari kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.6,7 Kerangka tulang dari: 1)os nasalis ,2)prosesus frontalis os maksila, dan 3)prosesus nasalis os frontal sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu: 1)sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum. 2,6,7

Gambar 1. Anatomi hidung.8

(4)

4 perpendikularis os etmoid, 2)os vomer, 3)krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum atau lamina kuadrangularis dan kolumela. Septum dilapisi oleh lapisan perikondrium pada tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan di bagian luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.6 Bagian dinding lateral terdapat empat buah konka yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, kemudian konka media, konka superior sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.6

Bagian bawah hidung mendapat aliran darah dari cabang a. maksilaris interna diantaranya a. palatina mayor dan a. sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat aliran darah dari cabang-cabang a. fasialis.6,9 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoidalis anterior cabang dari a. oftalmika, a. labialis superior dan a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach atau little’s area. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.3,10

Persarafan hidung berasal dari cabang-cabang serabut saraf. Permukaan luar bagian atas mendapat persarafan dari nervus supratroklear dan infratroklear dan bagian inferior mendapat persarafan dari cabang nervus infraorbital dan nervus etmoidalis anterior. Hidung bagian dalam mendapat persarafan dari ganglion etmoidalis anterior dan ganglion sfenopalatina.3,9,10

(5)

5 2.4 Patofisiologi

Cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan ke hidung bervariasi sesuai dengan faktor: 1)usia, berhubungan dengan fleksibilitas jaringan, 2)jumlah kekuatan yang diterapkan, 3)arah gaya, dan 4)sifat dari objek yang mencolok.3

Pola fraktur hidung bervariasi sesuai dengan arah trauma. Beban 25-75 pon per inci persegi diperlukan untuk menghasilkan fraktur hidung, trauma dari arah lateral 16-66 kilopascal (kPa) dan lebih besar dari arah depan 114-312 kPa.3

Fraktur tulang hidung berhubungan dengan tulang rawan septum. Fraktur hidung tanpa disertai fraktur septum nasi terjadi pada cedera dengan benturan kekuatan lemah. Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan fraktur kominutif tulang hidung yang berhubungan dengan deformitas bentuk “C” pada septum nasi. Deformitas ini biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasi dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os etmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.5

Sebagian besar klasifikasi klinis didasarkan pada tingkat dan arah trauma, dikarakteristikkan sebagai cedera dari arah depan dan lateral berbagai tingkatan. Fraktur hidung dari arah lateral paling sering dijumpai, jenis fraktur ini dapat menyebabkan fraktur depresi tulang hidung ipsilateral yang melibatkan setengah bagian bawah hidung, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi os piriformis.3,7

Fraktur hidung dari arah depan oleh Stranc dan Robertson dibagi menjadi tiga bidang yang berbeda ditentukan oleh kedalaman cedera dari bagian bawah hidung. Fraktur dari arah lateral dapat terjadi ringan hingga berat dengan prognosis lebih baik dari arah depan.3,5,7

(6)

6

Gambar 3. Fraktur piramid tulang hidung bagian medial, fraktur dari arah depan dan dari arah lateral.3

Klasifikasi fraktur tulang hidung: tipe I. Lurus sederhana unilateral atau bilateral tanpa deviasi septum, tipe II. Deviasi sederhana unilateral atau bilateral dengan deviasi septum, tipe III. Kominutif tulang hidung, tipe IV. Berat, terjadi deviasi hidung dan patah tulang septum, tipe V.Kompleks dengan fraktur tulang hidung dan fraktur septum Luka berat termasuk laserasi dan trauma jaringan lunak, saddle nose akut, cedera terbuka dan avulsi jaringan.5,22

(7)

7 2.5 Diagnosis

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui waktu terjadinya trauma serta memperkirakan arah dan besarnya kekuatan dari benturan yang terjadi sangatlah penting. Trauma hidung dibagi berdasarkan: 1)waktu, berdasar atas pembentukan kalus, bila trauma baru kalus belum terbentuk, 2)hubungan dengan dunia luar, trauma tertutup dan trauma terbuka. Trauma tertutup ialah cedera hidung tanpa terdapat luka pada jaringan, terkadang hanya terdapat laserasi sedikit serta sedikit perdarahan dari hidung, 3)arah trauma, dari depan atau dari lateral, dan 4)lokasi. Deformitas hidung akan menyulitkan penilaian antara trauma lama dan trauma baru yang akan mempengaruhi penatalaksanaan. Edema dapat menutupi garis deformitas hidung dan krepitasi. Perlu mengetahui riwayat keluhan hidung dan bentuk hidung sebelumnya. Keluhan utama fraktur hidung adalah rasa nyeri di hidung setelah cedera, hidung tersumbat, keluar darah dari hidung, dan edema atau hematoma di hidung dan sekitarnya.1,2,4,7,10

Pemeriksaan fisik tidak hanya memusatkan perhatian pada hidung yang mengalami kecelakaan lalu lintas atau suatu perkelahian. Pukulan substansial yang mengenai daerah wajah bagian tengah akan mengakibatkan cedera kepala dan trauma tulang belakang, oleh karena itu dokter harus mempunyai pertimbangan klinis dalam melakukan tindakan dengan tidak mengesampingkan trauma tulang belakang. Penilaian awal harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dengan ventilasi optimal. Fraktur hidung sering dihubungkan dengan trauma kepala leher yang bisa mempengaruhi jalan nafas.7

(8)

8 hidung. Deformitas hidung akibat trauma baru, seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasi sangatlah khas sedangkan deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. 7,10

Gambar 4. Tanda fraktur hidung.6

Pada pasien dengan hematoma septum tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah pada satu atau kedua sisi, merupakan indikasi absolut untuk insisi drainase segera.7,8

Gambar 5. Hematoma septum.5,7

Fraktur tulang etmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur hidung fragmental berat dengan piramid hidung remuk dan melebar telah terdorong ke belakang dalam labirin etmoid yang menyebabkan telekantus disertai rusaknya ligamen kantus medial, aparatus lakrimalis dan lamina kribriformis sehingga terjadi rinorea serebrospinalis.10

(9)

9 tidak dicurigai adanya fraktur tulang hidung dengan komplikasi pemeriksaan penunjang jarang diindikasikan.10,11 Pada kenyataannya foto polos os nasal view kurang sensitif dan spesifik sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosis. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan para ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagai fraktur yang disertai dislokasi. 11,12

Gambar 6. Foto nasal lateral3, Foto Water’s, dan CT scan potongan aksial koronal kepala fokus hidung sinus paranasalis.11

CT scan dapat digunakan untuk menegakan diagnosis fraktur hidung setelah dilakukan pemeriksaan klinis jika dicurigai terjadinya trauma wajah yang lain.11,12,13 Ketika pada pemeriksaan klinis ditemukan gejala klinis seperti rinorea serebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi dapat mengindikasikan adanya fraktur hidung. 3,12

(10)

10 2.7 Penatalaksanaan

Tindakan penyelamatan kegawatdaruratan dengan memperhatikan jalan nafas, tanda vital, dan perdarahan. Pasien dengan perdarahan hidung yang hebat biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal, jika tidak berhasil pasang tampon pita, katerisasi balon atau ligasi pembuluh darah mungkin diperlukan walaupun jarang dilakukan. Tampon hidung dipasang pada daerah perdarahan untuk menekan suplai pembuluh darah, umumnya dilepaskan 2-5 hari kemudian. Pada kasus akut pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi edema. Antibiotika diberikan untuk mengurangi risiko infeksi dan analgetika berperan simptomatis mengurangi rasa nyeri.3,7,5,12

Penatalaksanaan berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk hidung. Tindakan mengembalikan fungsi hidung untuk mencegah terjadinya komplikasi. Pada fraktur hidung sederhana yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang hidung penanganan pembedahan tidak dibutuhkan karena dapat sembuh spontan dan hanya diperlukan observasi, tetapi pada proses penyembuhannya dapat menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak.7 Penatalaksanaan fraktur tulang hidung memiliki tiga pertimbangan yang utama, yaitu: 1)reduksi tertutup atau reduksi terbuka, 2)menggunakan anestesi lokal atau anestesi umum, dan 3)penentuan waktu reduksi.5

(11)

11 perencanaan operasi dalam prosedur waktu, risiko terkait dengan anestesi umum serta rasa nyaman pasien.16

(12)

12 Tabel 2. Algoritma trauma hidung.3

(13)

13 samping hidung. Tekanan kuat pada hidung berguna untuk mempertahankan posisi hidung agar berada pada posisi anatomis.12

Gambar 7. Bidai eksternal berbentuk “T”.8

Gambar 8. Teknik anestesi lokal reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung.8

(14)

14 melalui vestibulum dengan ujung jarum melewati bagian dalam jaringan lunak wajah ke titik tepat dibawah midportion tepi orbita; dan blok saraf nasopalatina infiltrasi di dasar kolumela dan puncak hidung serta rongga hidung.2,3,4,5,7,8,11 Reduksi fraktur hidung dilakukan dengan anestesi lokal atau umum tergantung pada pilihan dokter bedah.10 Namun penatalaksanaan pada anak, dewasa muda atau pasien yang tidak kooperatif lebih dianjurkan untuk anestesi umum.1,5,16

Instrumen tindakan reduksi tulang hidung yang sering digunakan, ialah: lampu, elevator tumpul (Boies elevator nasal fracture), forsep Asch, forsep Walsham, spekulum hidung pendek dan spekulum hidung panjang (Killian), dan pinset bayonet.8,10,15 Deformitas hidung akibat fraktur direduksi dengan Forsep Walsham penggunaanya satu sisi dimasukkan dalam kavum nasi dan sisi lain di luar hidung diatas kulit yang dilindungi dengan karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung dengan forsep Ash digunakan dengan cara memasukkan masing-masing bilah ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. 12,15

(15)

15

Gambar 10. Reduksi tertutup dengan menggunakan forsep Asch.7

Sesudah fraktur tulang hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon dalam rongga hidung untuk menghindari terjadinya kolaps setelah reduksi tertutup serta menunjang struktur yang fraktur secara internal. Tampon dilumuri dengan salep antibiotika dan dibuka setelah 2-5 hari. Fiksasi luar atau gips dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yag dibentuk seperti huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari.10,14

2.8 Komplikasi

Hematoma septum merupakan komplikasi awal yang sering dari trauma hidung, ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial yang akan menekan kartilago di bawahnya dan mengakibatkan nekrosis septum. Prosedur yang harus dilakukan adalah insisi dan drainase segera disertai dengan pemberian antibiotika setelah drainase. Komplikasi awal lainnya edema, ekimosis, epistaksis selalu terjadi spontan, cairan rinorea serebrospinal dan terkadang terjadi ephisema paru. Komplikasi terlambat bila hematoma septum yang tidak ditangani mengakibatkan fibrosis subperikondrial, kalsifikasi tulang rawan septum trauma berulang, sinekia, osteitis residual, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan malunion.

2.9 Prognosis

(16)

16 tertutup dapat mengembalikan fungsional hidung pasien. Follow up secara berkala dilakukan selama 6 minggu dan pasien diedukasi untuk menghindari kontak fisik dengan hidung.7 Reposisi yang menghasilkan malunion atau cacat mungkin memerlukan reduksi dan rekonstruksi lebih lanjut, tergantung pada beratnya cedera dan kesulitan melakukan reduksi pada cedera utama. Septorinoplasti tetap menjadi standar penatalaksanaan untuk hasil kurang memuaskan dan sering diperlukan dalam kasus reposisi fraktur hidung yang mengalami kegagalan.13

III. LAPORAN KASUS

Penderita IND, laki-laki berusia 33 tahun datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 27 Agustus 2013 merupakan rujukan RSUD Negara. Penderita dengan riwayat trauma terkena benturan kayu saat bekerja memotong kayu 12 hari yang lalu. Penderita mengatakan terkena benturan kayu dari arah samping kanan wajahnya langsung mengenai hidung, penderita mengalami perdarahan di lubang hidung kanannya yang telah mendapat perawatan perdarahan di IRD RSUD Negara sesaat setelah kejadian. Penderita tetap dalam kondisi sadar saat kejadian. Riwayat mual dan muntah tidak ada. Saat ini penderita mengeluh rasa nyeri pada tulang hidung dan hidung sebelah kanan dikeluhkan tersumbat yang menetap setelah kejadian. Perdarahan di hidung saat ini tidak ada. Riwayat mimisan dan hidung tersumbat sebelumnya disangkal. Riwayat pilek dan panas badan disangkal.

(17)

17 Pemeriksaan fisik keadaan umum penderita komposmentis dengan tanda vital tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 84x/menit, respirasi 22x/menit, dan temperatur aksila 36,4°C. Status lokalis THT: telinga dalam batas normal; hidung tampak edema minimal dorsum nasi, palpasi teraba krepitasi dan nyeri tekan. Pemeriksaan rinoskopi anterior tampak hematoma septum pada kavum nasi kanan dengan deviasi septum ke kanan, kavum nasi kiri tampak lapang, tidak tampak perdarahan aktif, tidak tampak stolsel, konka kanan dan kiri dekongesti dan tidak ada sekret; dan tenggorok dalam batas normal.

Gambar 12. foto nasal lateral dan foto Water’s penderita.

Pemeriksaan penunjang foto nasal lateral dari RSUD Negara dengan kesan tampak fraktur tulang hidung dan foto Water’s tidak tampak kelainan. Penderita didiagnosis fraktur tulang hidung sederhana. Dipersiapkan reposisi tulang hidung dengan teknik reduksi tertutup menggunakan anestesi lokal. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan faal hemostasis penderita dengan hasil dalam batas normal.

(18)

18 Dilakukan reduksi tertutup, fragmen tulang hidung direduksi dengan menggunakan elevator dan forsep Walsham. Kemudian pada septum nasi dilakukan reposisi dengan tenaga yang terkontrol menggunakan forsep Asch agar septum pada posisi anatomi kemudian dilakukan evaluasi tulang hidung dan septum sudah dalam posisi anatomi dilanjutkan perawatan perdarahan. Dipasang tampon pita yang telah diberikan salep antibiotika pada kedua kavum nasi dan dibuat bidai gipsum berbentuk “T” dipasang untuk fiksasi tulang hidung pada dorsum nasi. Tindakan selesai.

Terapi yang diberikan pasca tindakan reduksi berupa antibiotika, analgetika dan dekongestan. Penderita disarankan kontrol 3 hari lagi ke poliklinik THT-KL.

(19)

19

Gambar 14. Dipasang tampon anterior dan bidai gipsum.

Pada tanggal 31 Agustus 2013 penderita datang kontrol dengan keluhan terasa nyeri pada hidung. Tampon anterior dilepaskan kemudian dilakukan evaluasi kavum nasi kanan dan kiri tampak lapang dengan oedem minimal dan tak tampak perdarahan aktif, septum pada posisi anatomi tidak tampak deviasi. Sekret minimal, konka dekongesti, dan stolsel tidak ada. Dilakukan pemeriksaan radiologi foto kontrol pasca tindakan reduksi tertutup.

Gambar 15. Tampon hidung penderita dilepaskan 3 hari pasca tindakan.

(20)

20 Gambar 16. Penderita setelah minggu kedua pasca tindakan.

IV. PEMBAHASAN

Fraktur wajah yang paling sering dijumpai pada kasus trauma sekitar 40% adalah fraktur hidung. Insiden pada laki-laki dua kali lebih sering dibanding perempuan dimana terjadi 39-45% dari kasus yang dilaporkan pada orang dewasa. Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung atau wajah. Hanya sedikit kekuatan benturan diperlukan untuk menimbulkan fraktur hidung yaitu 25-75 pon per inci persegi diperlukan untuk menghasilkan fraktur hidung.3,12 Pada kasus dilaporkan penderita laki-laki dewasa dengan fraktur hidung yang disebabkan oleh benturan kayu, trauma dari arah lateral wajah mengenai hidung saat bekerja memotong kayu.

Palpasi adanya krepitasi dan mobilitas pada tulang merupakan tanda terjadinya fraktur, dilakukan evaluasi rinoskopi anterior untuk melihat adanya deformitas, deviasi septum dan hematoma septum.7,8,14 Sebagian besar fraktur tulang hidung berhubungan dengan fraktur septum nasi. Pada kasus ini juga disertai fraktur septum. Hematoma septum merupakan penyulit untuk menegakkan diagnosis, sehingga perlu penatalaksanaan insisi dan drainase segera. Pada kasus ini didapatkan hematoma septum pada kavum nasi sebelah kanan.3

(21)

21 Diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik saja. Pada kasus ini foto nasal lateral dilakukan di RSUD Negara memberi kesan tampak fraktur tulang hidung.

Fraktur tulang hidung sederhana yang telah direduksi kembali ke posisi anatomis menggunakan sebuah bidai eksternal selama proses penyembuhan, karena integritas septum hidung penting untuk pertumbuhan tulang hidung dan rahang atas anterior.13 Dalam kasus ini terjadi trauma tertutup fraktur tulang hidung sederhana yang disebabkan benturan dari arah lateral, dilakukan penatalaksanaan dengan teknik reduksi tertutup. Teknik manipulasi reduksi tertutup merupakan satu teknik yang digunakan untuk mereduksi fraktur tulang hidung yang baru terjadi baik unilateral maupun bilateral dengan nasal bridge yang melebar. Teknik reduksi dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana tindakan ini masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Sekitar2-3 minggu setelah trauma akan terbentuk jaringan fibrotik pada fragmen tulang di posisi yang tidak seharusnya yang menyebabkan reduksi tertutup tidak mungkin dilakukan. Kegagalan dalam penatalaksanaan fraktur hidung yang tidak adekuat adalah fraktur tulang hidung disertai cedera septum.3,5,7,12 Tindakan reduksi tertutup yang dilakukan pada penderita 13 hari sesudah trauma. Telah banyak studi dilakukan yang mendukung bahwa reduksi tertutup merupakan modalitas utama dalam penanganan fraktur tulang hidung. Studi yang dilakukan Crowther dan O’Donoghue pada tahun 1988 menyatakan 85 pasien dilakukan teknik reduksi tertutup sebesar 85% menyatakan kepuasannya dan hanya 9% memerlukan septorinoplasti dikemudian hari. Illum pada tahun 1986 juga menyatakan total 88 pasien fraktur hidung dengan 91% menyatakan puas dengan hasilnya.5,16 Pada kasus ini digunakan teknik reduksi tertutup menggunakan forsep Walsham dan forsep Asch karena trauma terjadi pada rentang waktu kurang dari 2 minggu menggunakan anestesi lokal di ruang tindakan poliklinik THT-KL RSUP Sanglah.

(22)

22 nyeri pada pasien. Beberapa penelitian yang membandingkan penggunaan anestesi lokal dengan anestesi umum dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung, diantaranya: Watson, dkk17 pada tahun 1988 dari 40 pasien dengan fraktur tulang hidung, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan hasil secara kosmetik dan patensi jalan nafas; Cook,dkk18 pada tahun 1990 mempertimbangkan lokal anestesi banyak keuntungan dari anestesi umum, penelitian prospektif secara acak dari 50 pasien dengan fraktur tulang hidung membandingkan hasil reduksi tertutup dibawah anestesi lokal dibanding anestesi umum, didapatkan tidak ada perbedaan yang ditemukan antar kelompok perlakuan untuk patensi jalan nafas atau hasil secara kosmetik dan tingkat nyeri pada kedua kelompok; Hung, dkk19 pada tahun 2007 dari keseluruhan pasien yang berjumlah 62 pasien secara signifikan hanya 29% yang menyatakan ketidakpuasan terhadap hasil reduksi tertutup dengan lokal anestesi karena terjadi 13% deformitas, 11% penampilan kosmetik, 21% patensi jalan nafas dan 29% menyatakan akan melakukan rekonstruksi; dan penelitian yang dilakukan oleh Wild, dkk20 pada tahun 2003 dari 43 pasien dengan fraktur tulang hidung yang dilakukan reduksi tertutup dengan lokal anestesi, sebanyak 25 pasien yang di follow up selama 3 bulan sebesar 80% yaitu 20 pasien menyatakan kepuasaannya dengan hasil reduksi tertutup menggunakan lokal anestesi. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Javaid, dkk pada tahun 2013 secara deskriptif selama satu tahun pada pasien fraktur tulang hidung dan septum dengan anestesi lokal dilakukan reduksi tertutup, umumnya pasien puas dengan hasil reduksi tertutup.21 Pada kasus penderita juga memilih penatalaksanaan reduksi tertutup menggunakan anestesi lokal dengan pertimbangan faktor biaya dan waktu penatalaksanaan. Penderita mendapat hasil yang memuaskan.

V. KESIMPULAN

(23)

23 dikerjakan di ruang tindakan poliklinik THT-KL RSUP Sanglah dengan hasil yang memuaskan.

Dapat disimpulkan bahwa metode lokal anestesi dapat diterima oleh pasien dari penilaian hasil reduksi tertutup. Faktor seperti biaya, alokasi sumber daya rumah sakit, durasi di rumah sakit dan cuti pekerjaan harus dipertimbangkan ketika memutuskan penatalaksanaan fraktur tulang hidung sederhana dibawah anestesi lokal atau anestesi umum.

(24)

24

1. Wilson Kent S. Trauma Rahang Wajah. Dalam Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Alih

bahasa Wijaya Caroline. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. 27.

h 509-521.

2. Kern Eugene B. Penyakit-Penyakit dan Kelainan-Kelainan Hidung. Dalam Penyakit

Telinga, Hidung, dan Tenggorok. Edisi 13. Alih Bahasa Samsudin Sonny. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993. 12. h.194-211.

3. Byron J Bailey,et all. Nasal Fracture. In Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th

ed. Philadelpia:2006. Lippincott Williams & Wilkins. 71A. p996-1008.

4. Tardy M Eugene. Koreksi Bedah Kerusakan Wajah. Dalam Ballenger JJ. Penyakit

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Alih bahasa Staf Ahli Bagian THT

RSCM-FKUI. Jakarta:Binarupa Aksara. 1994. h.28-99.

5. Reddy likith V and Elhadi Haitem M. Nasal Fractures. Fonseca Marciani Turvey. In

Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed. St. Louis: 2009. Saunders Elsevier. Chapter

16. p.270-282.

6. Ross Adam T, Nasal and Septal Fractures. Available at.

http://emedicine.medscape.com/ article/878595-overview#showall. Acsessed on

March 18, 2014.

7. Chegar Burke E. and Tatum Sherad A. Nasal Fractures. Cumming Charles W.et al.

In Cumming Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Baltimore: Mosby Inc.

2005. Chapter 41.

8. Kucik Corry J, et all. Management of Acute Nasal Fractures. In AAFP Journal’s.

2004.Oct.1;70(7):1315-1320.

9. Mountain Roudney E. Surgical Correction of Nasal Fractures. Bleach Nigel et al.In

Operative Otorhino-Laryngology. Oxford: Blackwell Science Ltd.1997.22.

h.161-164.

10. Munir Masrin dkk. Trauma Muka dan Leher. Soepardi Efiaty Arsyad, dkk, Dalam

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.

Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h. 199-207.

11. Smith J.E, et all. Nasal Fracture Imaging. Available at http://emedicine.

(25)

25

12. Anonim. Trauma Fraktur Nasal Maksilofasial. Dalam Kumpulan Artikel Ilmu

Bedah. Available at

http://ilmubedah.info/definisi-diagnosis-penatalaksanaan-fraktur-nasal-makalah-20110203.html.Accessed on March, 2014.

13. Lalwani Anil K. Nasal. Nasal Trauma. In. Current Diagnosis and Treatment

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second ed. New York: Lange Mc

Graw-Hill Companys. 2007. Chapter 11.

14. Soetjipto Damayanti, Wardhani Retno S. Trauma Muka. Dalam Studi Plastik dan

Rekontruksi. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia.Jakarta:2003. hal.82.

15. Ario Kentjono Widodo. Penatalaksanaan Trauma Maksilofasial.PKB IX Ilmu

Kesehatan THT-KL. Penatalaksanaan Kegawadaruratan di Bidang Telinga Hidung

Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher. Editor Ario Kentjono Widodo dkk.

Departemen/SMF Ilmu kesehatan THT-KL FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo

Surabaya:2011. hal.165-181.

16. Powell O, Doshi D. Should Nasal Fractures Br Manipulated Under Local

Anaesthesia?. Cork University Hospital. Ireland, 2008.

17. Cook JA, Duncan R. ARandomised Comparison of Manipulation of The Fractured

Nose Under Local and General Anaesthesia. Clin Otolaryngol 1990;15:343-6.

18. Watson DJ, Parker AJ, Slack RWT, et al. Griffths Local Versus General Anaesthetic

In The Management of The Fracture Nose. Clin Otolaryngol 1988;13:491-4.

19. Hung T, Chang W, Vlantis AC, et al. Patient Satisfaction After Closed Reduction of

Nasal Fractures. Arch Fac Plast Surg 2007;9:40-3.

20. Wild DC, El Alami MA, Conboy PJ. Reduction of Nasal Fractures Under Local

Anaesthesia: An Acceptable Practice? Surgeon 2003;1:45-7.

21. Javaid M, Ahmad N, Khan N, et al. Outcome of Closed Reduction In Nasal Bone

Gambar

Gambar 1. Anatomi hidung.8
Gambar 2. Aliran darah pada hidung dan persarafannya.3
Gambar 3. Fraktur piramid tulang hidung bagian medial, fraktur dari arah depan
Gambar 5. Hematoma septum.5,7
+7

Referensi

Dokumen terkait