• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ery Khaeriyah Analisis Semantik Tentang Istri Istri Nabi SAW Dalam Al Qur'an.bak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ery Khaeriyah Analisis Semantik Tentang Istri Istri Nabi SAW Dalam Al Qur'an.bak"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister

Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

ERY KHAERIYAH NIM : 99.2.00.1.05.01.0108

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ery Khaeriyah N I M : 99.2.00.1.05.01.0108 Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 21 Februari 1975

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an adalah benar-benar karya asli saya. Apabila di kemudian hari terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Juli 2005 Yang Menyatakan,

Ery Khaeriyah

(3)

Tesis dengan judul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM : 99.2.00.1.05.01.0108 disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

Tanggal………. Tanggal……….………..

(4)

Tesis yang berjudul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM : 99.2.00.1.05.01.0108 telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam sidang Munaqasyah Tesis tanggal 21 Juli 2005.

Penguji I Penguji II

Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. Dr. Fuad Jabali, M. A.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

(5)

Pedoman Transliterasi yang digunakan dalam tesis ini mengacu kepada Buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987, Nomor 0543 b/u/1987 Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, Jakarta 2003. Namun dikarenakan hal teknis, maka terdapat modifikasi pada Pedoman Transliterasi dan Singkatan ini menjadi sebagaimana berikut:

I. Konsonan

أ

= a

ط

= th

 

ب

= b





ظ

= zh

ت

= t

ع

= ‘

ث

= ts

غ

= gh

ج

= j

ف

= f

ح

= h

ق

= q

خ

= kh

ك

= k

د

= d

ل

= l

ذ

= dz

م

= m

ر

= r

ن

= n

ز

= z

و

= w

س

= s

ه

= h

ش

= sy

ء

= ’

ص

= sh

= y

ض

= dh

ة

= t

(6)

â = a panjang î = i panjang

û = u panjang

وا = au

يا = ai

III. Alif Lam ( لا )

Alif lam ( لا ) dalam sebuah kalimat yang bersambung dengan huruf

Qamariyah, tetap ditulis al- (misal al-kitab). Sedangkan alif lam ( لا ) dalam kalimat,

yang bersambung dengan huruf Syamsiyah, ditulis sesuai dengan bunyinya yaitu huruf l diganti dengan huruf yang sama dengan huruf awal kata tersebut (misal al-Sunnah menjadi as-Sunnah).

IV. Singkatan-singkatan

swt = subhânahu wata‘âla

saw = shallallâhu ‘alaihi wasallam

r.a. = radhiyallâhu ‘anhu/ha/huma

H = Hijriyah M = Masehi

W = wafat

Q. S. = Al-Qur’ân Sûrah

h. = halaman

(7)

Tesis ini pada dasarnya mencari pembahasan dalam Al-Qur'an yang mengupas tentang kehidupan istri-istri Nabi Muhammad SAW, khususnya mengkaji tentang kedudukan mereka dalam Al-Qur’an. Tentunya mereka terpilih menjadi istri Nabi Muhammad SAW dikarenakan keimanan dan ketakwaan mereka. Kehadiran mereka sebagai istri seorang Nabi yang mempunyai tugas menyampaikan wahyu sebagai sumber ajaran Islam tentunya membutuhkan keterlibatan dan peran serta mereka untuk mendukung peran Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Karena itu, sebagai istri seorang Nabi utusan Allah yang harus menjadi teladan bagi manusia, maka selayaknya istri-istrinyapun menjadi teladan pula di samping menjadi penyambung lidah Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam.

Istri-istri Nabi Muhammad SAW yang dalam al-Qur’an mendapat gelar

Ummahât al-Mu’minîn ternyata mempunyai beberapa keistimewaan dan keutamaan dalam Al-Qur’an. Di antara keistimewaan dan keutamaan mereka adalah mendapatkan balasan yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia (surga), kedudukan yang tidak sama dengan wanita lain, dan rumahnya adalah tempat dibacakan wahyu Allah (Al-Qur’an) dan sumber Sunnah Nabi. Selain mendapatkan keistimewaan dan keutamaan, mereka juga mempunyai beberapa kewajiban serta hak sebagai istri Nabi dan teladan umat. Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan kesucian diri, melaksanakan kewajiban agama seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat, ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan hak-hak yang didapat Ummahât al-Mu’minîn adalah jaminan mendapatkan pemeliharaan kesucian diri, Nabi tidak dibolehkan menikah lagi setelah menikahi Ummahât al-Mu’minîn, mereka haram dinikahi orang lain setelah Nabi saw wafat, dan adanya etika tertentu yang harus dipegang oleh kaum mu’minin apabila bergaul dengan istri-istri Nabi dalam rumah kenabian. Adanya keutamaan dan keistimewaan bagi Ummahât al-Mu’minîn dikarenakan mereka adalah para pendamping Nabi saw dalam menjalankan misi risalah dan dakwah Islam. Selain itu, mereka adalah wanita pilihan yang telah rela memilih keridhoan Allah dan rasul-Nya sehingga rela hidup dalam kesederhanaan.

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada pengetahuan ilmiah yang mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara tematik. Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah

karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu

(8)

Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi. Maka tesis ini berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun nama-nama mereka tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap penting mengingat tingginya derajat mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka.

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang tema tertentu, maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini, penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian dicari hadits-hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang penulis teliti.

Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.

Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk Transliterasi, selain mengacu kepada buku tersebut, penulis memodifikasinya dikarenakan alasan teknis pengetikan.

(9)

Al-hamdulillah, Segala puji bagi Allah swt, karena atas nikmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, Rasul pilihan Allah swt.

Dalam keadaan yang penuh keterbatasan, tentunya tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, saran, masukan, dorongan, support dan do’a dari banyak pihak dalam proses penulisan dan penyelesaiannya. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M. A. dan Bapak Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketelitian. 3. Bapak Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Fuad Jabali, M. A sebagai penguji

yang telah memberikan saran, masukan, dan kritik dalam perbaikan tesis ini. 4. Para Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali

ilmu kepada penulis dan memberikan bimbingan dan pengarahan.

5. Orang Tua Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dorongan dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis untuk senantiasa menuntut ilmu. Begitu pula seluruh keluarga besar yang telah memberi dorongan dan dukungannya.

(10)

mendorong penulis, begitu pula dengan keluarga besar Perpustakaan, Pusat Studi Gender (PSG), dan Pusat Pengembangan Tilawatil Qur’an (PPTQ) STAIN Cirebon yang telah memberikan dorongan, dukungan, dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Keluarga Besar Yayasan Al-Kamal di mana penulis pernah bernaung, yang telah mendampingi dan memberikan pengertian. Secara khusus kepada teman-teman terdekat Penulis yang telah membantu secara langsung, mendorong dan mendukung Penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang untuk terselesaikannya tesis ini, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu namun mempunyai peran yang sangat berarti.

Semoga Allah swt membalas kebaikan mereka dan mencatatnya sebagai amal sholeh.

Tesis ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran penulis nantikan demi perbaikan. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, Juli 2005 Penulis,

Ery Khaeriyah

(11)

Halaman Judul ……..………….……….………. i

A. Keistimewaan dan Keutamaan Istri-istri Nabi saw ….....….…. 107

(12)

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan pedoman dan tuntunan hidup. Bahkan Al-Qur’an menamakan dirinya “petunjuk bagi manusia” (hudan li an-nâs, Q.S. 2: 185). Al-Qur’an membimbing manusia dari kegelapan kepada terang benderang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.1 Al-Qur’an berisi pesan-pesan yang sarat makna bagi kehidupan manusia agar manusia berada pada jalan yang benar.

Al-Qur’an sebagai kitab suci mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman.2 Problem-problem itu akan terpecahkan apabila al-Qur’an dipelajari makna dan

1Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tmp: Mansyurât ‘Ashr al-Hadîts, 1973), h. 9

(13)

Bila dipelajari lebih jauh, Al-Qur’an mempunyai aspek pembahasan yang luas mencakup berbagai sendi kehidupan, duniawi maupun ukhrawi sehingga bila diteliti, banyak sekali tema yang dibicarakan Al-Qur’an. Fazlurrahman3 dalam bukunya yang berjudul “Tema-tema Pokok Al-Qur’an”4 setidaknya mengungkapkan ada beberapa tema yang dibahas dalam al-Qur’an, yaitu Tuhan, manusia sebagai individu, manusia anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan lahirnya masyarakat Muslim. Sedangkan Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an”5 membagi 33 tema secara detail, terutama menyangkut aspek ketuhanan dan kehidupan manusia.

Kehidupan manusia banyak dibahas dalam Al-Qur’an. Selain menguraikan tentang asal usul manusia, kekuatan, kelemahan, dan kelebihan manusia, Al-Qur’an juga menguraikan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta memberikan gambaran mengenai beberapa tokoh yang dapat dijadikan teladan yang terungkap dalam ayat-ayatnya secara tegas ataupun tidak terungkap secara langsung namun dapat difahami dari penyebab turunnya yang berkisar di antara mereka.

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah isteri-isteri Nabi Muhammad saw yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât

3 Ia adalah seorang guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chicago.

4 Diterjemahkan dari Major Themes of the Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), Cet. 2, h. vii

5M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(14)

karena keseluruhan isteri yang pernah mendampingi Rasulullah sepanjang beliau hidup berjumlah 11 orang. Sebutan ini mengandung implikasi yang luar biasa baik secara hukum, sosial, politis dan etik bagi peran dan posisi isteri-isteri Rasulullah SAW di hadapan ummatnya. Firman Allah:

. .

.

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33:6)

Ayat ini menjelaskan tentang posisi Nabi bagi orang-orang yang beriman. Ia adalah orang yang harus diutamakan oleh kaum Mu’minin, sebagaimana posisi seorang bapak bagi anak-anaknya bahkan melebihi dari seorang bapak.7 Karena jika seorang bapak mendidik dan membimbing anaknya di dunia saja, sementara Nabi mendidik kaum Mu’min di dunia dan akhirat sehingga kedudukannya lebih utama.8

6 Istilah ini menurut Imam as-Syâfi‘î dan Imam al-Ghazâlî sebagaimana dikutip al-Alûsî tidak berlaku bagi istri-istri yang sudah diceraikannya. Lihat Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab‘ al-Matsânî, (Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî, t.th.), Juz 21, h. 152.

7 Banyak hadits yang menerangkan gambaran posisi Nabi bagi kaum mu’minin, di antaranya Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawiyah dari Abu Hurairah ra. Nabi berkata: “Tidaklah seorang mu’min kecuali akulah manusia yang paling utama baginya di dunia dan akhirat, bacalah oleh kamu (ayat 6 al-Ahzâb). Maka siapa saja seorang mu’min meninggal sementara ia meninggalkan harta, maka kerabatnya yang mewarisi harta tersebut. Dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka datanglah kepadaku karena aku adalah walinya”. Lihat Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), Cet. I, Juz 5, h. 350. Lihat pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 151

8 Perhatikan Muhammad Ar-Râzî Fakhr ad-Dîn ibn al-‘Allâmah Dhiyâ ad-Dîn, Tafsîr Fakhr

(15)

Posisi ini berkaitan dengan kewajiban untuk menghormati mereka dan menghormati hak-haknya serta haram mengawininya sebagaimana mereka diharamkan mengawini ibunya.10 Adapun selain itu seperti melihat, bergaul diperlakukan sebagaimana hukumnya perempuan ajnabiyyât (orang lain di luar mahram).11 Mereka ini adalah pendamping Nabi saw yang turut berperan dalam dakwah Nabi saw dan pengembangan Islam serta memberikan teladan kepada umat Islam. Mereka banyak menyokong dan membantu Nabi saw dengan kekuatan pribadi mereka, kebijaksanaan, kecerdasan, ketabahan, kesetiaan, harta, pengaruh dan pergaulan yang luas dalam mensyiarkan syariat Allah swt dan pengaruh kekuasaan Islam di muka bumi. Mereka ini adalah golongan yang dikatakan Allah swt melalui firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (syurga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” ( Q. S. Al Hajj/22 : 59 )

9 Karena ayat ini menegaskan Ummahât al-Mu’minîn, disinyalir menurut beberapa riwayat ada penggalan kalimat yang tercecer yaitu kalimat wa huwa abu lahum (dan ia adalah bapak kamu). Perhatikan as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351.

10 as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351. Ibnu Sa‘îd, Ibnu Mundzir dan Imam al-Baihaqî meriwayatkan dalam Kitab Sunannya bahwa ‘Âisyah ketika ditanya tentang ayat ini oleh seorang perempuan, ia mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum pria di antara kamu dan aku bukanlah ibu bagi kaum wanita”. Sementara Ummu Salamah dalam riwayat Sa‘id mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan”.

(16)

mereka terus menjadi sumber rujukan utama kaum Muslimin. Hal ini dapat dilihat melalui peranan Saudah r.a., ‘Âisyah r.a.12, Hafshah r.a., Syafiyyah r.a., Ummu Habîbah r.a. dan Ummu Salamah r.a.13, di mana mereka termasuk bagian dari ahli Ilmu dalam al-Qur’an, Hadis, Fikih, Sejarah, dan Bahasa Arab.

Dalam sejarah tercatat bahwa ‘Âisyah r.a. termasuk salah seorang dari tujuh ahli Majlis Syura selain ‘Umar Ibn Khattâb r.a., ‘Ali bin Abî Thâlib r.a., ‘Abdullah Ibn Mas’ûd r.a., Zaid bin Tsâbit r.a., ‘Abdullah bin ‘Abbâs r.a., dan ‘Abdullah bin Umar r.a.. ‘Âisyah r.a, Hafshah r.a. dan Ummu Salamah r.a. juga banyak meriwayatkan hadits dari Nabi saw yang menjadikan mereka sebagai golongan Muhadditsah. Kehadiran mereka ini sesungguhnya telah dapat membantu Nabi saw dalam menyampaikan pesan Islam ke seluruh alam.

Dalam hal ini, Islam telah mengangkat martabat perempuan yang pada awalnya dinilai sebagai golongan yang lemah dan berada pada taraf yang sangat rendah di mata masyarakat Arab Jahiliah saat itu. Ini membuktikan bahwa perempuan yang berilmu harus diberikan penghormatan yang tinggi dalam Islam karena telah

12 ‘Âisyah bahkan sangat menonjol dan mendalam ilmu pengetahuannya, sampai-sampai dikenal secara luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw: “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (‘Âisyah)”. M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,

(Bandung: Mizan, 1995), Cet. IX, h. 278

(17)

“Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S. Al Mujâdalah/58 : 11) Di sisi lain, perjuangan Islam masa Nabi saw menunjukkan betapa pentingnya kemantapan daya dukung perempuan untuk menjaga dan meneruskan kelangsungan perjuangan. Nabi saw banyak dibantu oleh kemantapan dan keutuhan jiwa raga Khadîjah binti Khuwailid r.a., dan juga materi yang dimilikinya. Sayyidah Khadîjah r.a.,, Ummul Mu’minin yang pertama dalam sejarah Islam adalah seorang wanita bangsawan dan hartawan yang gigih. Ia senantiasa memberikan dorongan besar terhadap perjuangan Nabi saw, di samping memainkan peranan sebagai penolong, pembela, dan pelindung Nabi saw dari setiap ancaman orang-orang musyrik Quraisy.

(18)

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

Sejarah mengenal bahwa rumah yang pernah ditinggali Nabi bersama istri-istrinya tidak hanya satu, tetapi dua rumah. Rumah pertama berada di Makkah, tempat Nabi hidup bersama istri pertamanya, Khadijah r. a. Ketika itu Nabi saw mengalami perubahan besar dalam kehidupannya sendiri, juga kehidupan bangsa Arab, dan kehidupan seluruh umat manusia. Sedangkan rumah Nabi saw yang kedua berada di Madinah. Di sana beliau hidup bersama semua istrinya, kecuali Khadijah r. a.14

14 ‘Âisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syâthi’ (Selanjutnya disebut Bintusy Syâthi,), Nisâ’

(19)

seluruh istri yang dinikahinya, hanya seorang saja yang berstatus gadis, yaitu ‘Âisyah r.a.15, sedangkan yang lain berstatus janda.16 Di antaranya, ada yang merupakan janda dari para sahabat yang telah gugur di medan jihad.17 Ada pula yang merupakan tawanan/tahanan perang,18 dan ada juga yang telah diceraikan oleh suaminya terdahulu.19 Dalam hal ini, Nabi saw menikahi mereka sebagai langkah untuk menjaga kebajikan mereka, di samping tuntunan atau arahan wahyu Allah swt, seperti pernikahan beliau dengan ‘Âisyah r.a. dan Zainab binti Jahsy r.a.20

Dalam kasus pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy r.a.yang dinikahi berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38:

15A. Khalîl Jam’ah, Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah (buku satu), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth).dan Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu ‘Alaih Wa Sallam (buku dua), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth), Terjemahan Bahasa Indonesia: Istri-istri Para Nabi oleh Fadhli Bahri, Lc., (Jakarta: Darul Falah, 2002), Cet. II, h. 362, Bintusy Syâthi’,

Istri-istri Nabi, h. 69

16seperti Saudah binti Zam’ah yang merupakan janda dari Sakrân bin ‘Âmr dari Bani ‘Âmir bin Lu’ay. Ia dan suaminya termasuk dalam rombongan orang-orang Islam yang berhijrah ke Habasyah pada hijrah yang kedua, kemudian suaminya meninggal di sana. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430

17 yaitu Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, dan Zainab binti Khuzaimah 18 yaitu Juwairiyah binti Al-Hârits dan Shafiyyah binti Huyay

19 yaitu Zainab binti Jahsy yang merupakan janda dari Zaid bin Hâritsah

20Zainab binti Jahsy adalah salah seorang wanita yang dinikahi berdasarkan perintah Allah

(20)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-Ahzab/33: 36-38)

adalah mengandung hikmah tertentu, yaitu menghapus anggapan masyarakat pada saat itu yang menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Zainab adalah bekas istri anak angkat Nabi saw yaitu Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari Bani Zaid al-Lât.

(21)

tetapi, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah mereka secara massal.

Ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan peristiwa di lingkaran isteri-isteri Nabi, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil (pada seorang atau dua orang isteri Nabi) tetapi memiliki implikasi hukum yang bersifat mengikat kepada seluruh ummat Islam (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khushûsh as-sabab). Dengan demikian ayat serta kasus yang melatarbelakangi penurunannya (asbâb an-nûzûl) lebih bermuatan inspiratif bagi pengembangan gagasan serta konstruk hubungan antara perempuan sebagai isteri, dan laki-laki sebagai suami, dengan mengaca kepada hubungan antara Nabi dengan isteri-isterinya seperti yang digambarkan oleh beberapa ayat.

Mereka menjadi wanita pilihan yang dinikahi Nabi saw dikarenakan mempunyai kelebihan iman dan takwa serta amal shaleh. Al-Qur’an menjelaskan betapa keimanan mereka telah membuat mereka selamat dari fitnah. ‘Âisyah dalam al-Qur’an dijelaskan mendapat fitnah dari orang-orang munafik yang berusaha mencari-cari kesalahan Umm al-Mu’minîn tersebut. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw dalam Q. S. An-Nûr/24: 11-19 yang menjelaskan tentang sucinya ‘Âisyah dari fitnah yang dituduhkan kepadanya.

(22)

istri Nabi saw untuk hidup layak dan menikmati keindahan duniawi.

Namun demikian, Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur’an yang memberi peringatan, petunjuk, sekaligus janji dan ancaman kepada para istri nabi. Sebagai seorang pendamping manusia pilihan Allah, hendaknya mereka menjadi teladan bagi umat manusia khususnya bagi kaum muslimah. Demikian pula saat istri-istri Nabi meminta nafkah lebih kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang hidup dalam kesederhanaan dan bukan seorang Nabi yang hidup dalam kekayaan yang melimpah, karena kehidupan beliau merupakan teladan dan tuntunan bagi umat yang beriman. Firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Nabi itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 21)

(23)

negeri akhirat,maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar’.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 28-29)

Maka kemudian istri-istri Nabi saw sebagai orang-orang yang suci memilih Allah dan Rasul-Nya.

Memang, betapa berat beban mereka sebagai istri Nabi yang harus memberikan contoh dan teladan kepada manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an memberikan penjelasan betapa istimewanya mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn dan betapa keistimewaan mereka itu juga berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai seorang istri Nabi.

Yang jelas, istri-istri Nabi saw begitu banyak meninggalkan suri tauladan kepada kaum perempuan masa kini, baik dalam soal keilmuan, komunikasi, diplomasi, perdamaian, politik dan langkah-langkah strategi serta aspek yang lainnya. Pengorbanan mereka bukan sebatas membantu kaum perempuan saja, tetapi juga kaum Muslimin, khususnya perjuangan Nabi saw itu sendiri.

Oleh karena itu, wajarlah mereka mendapatkan kedudukan yang mulia di mana dalam Al-Qur’an disebut sebagai Ummahât al-Mu’minîn. Meskipun demikian, gelar kehormatan yang mereka sandang bukanlah gelar yang ringan, karena gelar tersebut mengandung konsekwensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus mereka emban di samping adanya hak-hak tertentu akibat gelar tersebut.

(24)

dakwah Nabi dan pengembangan Islam kaitannya dengan kemuliaan dan kesucian mereka dalam al-Quran untuk diambil pelajaran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw tentang bagaimana relasi suami istri dalam sebuah keluarga. Untuk itu, penulis mengangkatnya dalam bentuk tesis yang berjudul: Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.

B. Pembatasan Masalah

Bila dilihat secara umum, pembahasan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi sangat luas dari sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw, baik sebagai istri yang mendukung karir suaminya sebagai seorang Nabi dan rasul utusan Allah yang mendapat tugas menyampaikan ajaran agama samawi dari Allah, maupun yang tidak mendukung peran suaminya.

(25)

dibahas adalah bagaimana pandangan al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad saw, dengan rincian masalah, apa keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak istri-istri Nabi saw dalam al-Quran?”.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk diketahui bagaimana relasi suami istri mempunyai peranan terhadap suami, rumah tangga dan anak-anak, bahkan umat sehingga diharapkan bisa diketahui bagaimana eksistensi para istri Nabi saw berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan umat Islam saat ini. Sebab, bagaimanapun, peran mereka memiliki implikasi besar terhadap kelangsungan syiar agama dan masyarakat Islam saat itu. Hal itu tentunya akan ditelaah dan dianalisis dalam disiplin ilmu yang penulis pelajari, dikaitkan dengan kehidupan mereka saat itu.

Oleh karena itu, secara khusus, tujuan penulis mengangkat topik ini adalah sebagai berikut :

1. Dengan menggali ayat-ayat al-Qur’an, diharapakan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an menjadi lebih berkembang, karena Al-Qur’an adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi Umat Islam.

(26)

mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara tematik.

Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu ‘Alaihi Wa Sallam karya Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, merupakan buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi.

(27)

adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang tema tertentu,22 maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini, penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian dicari hadits-hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang penulis teliti.

Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.

Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk

(28)

G. Sistematika Penulisan

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, penulis membaginya menjadi empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I berisi Pendahuluan yang mengemukakan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan Pengungkapan Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an yang meliputi Pembahasan Tentang Term/Lafaz yang Berkaitan Dengan/Digunakan untuk Istri-istri Nabi saw, Gelar Ummahât al-Mu’minîn bagi Istri-istri Nabi saw, serta Nama-nama Istri-istri Nabi sawyang berisi riwayat singkat kehidupan mereka.

Bab III membahas Istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an yang mengungkapkan landasan-landasan atau ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Dalam bab ini, diungkap persoalan Keistimewaan, Kewajiban dan Tanggung Jawab Istri-istri Nabi saw, serta Hak-hak istimewa mereka.

(29)

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah para istri Nabi yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn. Dalam Al-Qur’an, selain digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan sebagai jiwa yang dididik dalam lingkaran kenabian, mereka juga perempuan biasa yang mengalami pergulatan batin sebagai seorang istri dan manusia pada umumnya. Karena itu, Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada para istri Nabi melalui pendidikan Nabi terhadap mereka.

(30)
(31)

AL-QUR’AN

A. Term/Lafaz Yang Berkaitan Dengan/Digunakan Untuk Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an, ada dua lafaz yang digunakan untuk mengungkapkan istri-istri Nabi, yaitu Azwâj an-Nabiy dan Nisâ’ an-Nabiy.1

1. Azwâj an-Nabiy

Ayat yang menyebut istri-istri Nabi dengan azwâj adalah:

-..

.

:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah2 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

(Q.S. al-Ahzâb/33: 28)

1 Kedua term/lafaz tersebut, dalam terjemahnya diartikan sama, yaitu istri-istri Nabi. Lihat

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadîm al-Haramain asy-Syarîfain, h. 671-672

2 Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan

(32)

-…

:

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

-:

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

-:

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya3 ke

seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha

3 Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h.

(33)

“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu…” (At-Tahrim/66: 5)

2. Nisâ’ an-Nabiy

Ayat-ayat yang mempunyai makna/menyebut “istri-istri” Nabi dengan menggunakan lafaz Nisâ’ an-Nabiy adalah:

:

“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al Ahzâb/33: 30)

:

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”(Q. S. al-Ahzâb/33: 32)

3. Persamaan dan Perbedaan Makna Keduanya

Dalam “Al-Qur’an dan Terjemahnya” yang diterbitkan oleh Khadim al-Haramain asy-Syarifain, lafaz azwâjuka, azwâjuhu, azwâjan4dan nisâ an-Nabiy pada

(34)

Kata azwaj merupakan bentuk jama’ dari zawj. Kata zawj berasal dari zâja-yazûju-zawjan yang secara etimologi berarti “menaburkan, menghasut”5 Dalam

penggunaannya, kata zawj biasa diartikan dengan setiap pasangan dari sesuatu yang berpasang-pasangan, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina bagi hewan (

),6 misalnya pasangan (pair, couple, spouse)

laki-laki/jantan dan perempuan/betina untuk makhluk biologis dan pasangan lainnya dari benda-benda yang berpasangan, seperti pasangan sandal dan sepatu, langit dan bumi, musim dingin dan musim panas.7 Khusus bagi manusia lebih sering disebut

suami-isteri.8

Sedangkan kata nisâ/ءﺎﺴﻧ adalah bentuk jama’ dari mar’ah/ أة yang berarti ﺮﻣ perempuan yang sudah matang atau dewasa,9 berbeda dengan kata ﺜﻧأﻲ yang berarti

jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang berusia lanjut.10 Kata ءﺎﺴﻧ berarti jender11 perempuan, sepadan dengan kata لﺎﺟر yang berarti

4idhâfah ke an-Nabiy karena kontek ayat sedang membahas tentang Nabi Muhammad saw

5Lihat Al-Munjid, Al-Munjid Al-Abjadi, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1968), h.525, Ahmad Warson

Munawwir, Al-Munawwir, (Ttmp: Pustaka Progressif, 1984), h. 630, dan Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender Persfektif Al-Qur’ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II, h. 173

6Mufradât Alfâdz Al-Qur’ân, h. 220. Bandingkan dengan Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid II,

h. 291

7 Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173

8dalam kitab fiqh, isteri disebut ﺔﺟوز bentuk jamaknya تﺎﺟوز, sedangkan suami disebut جوز.

bentuk jamaknya جاوزا . Lihat misalnya Sayyid Quthb, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Maktabah Dâr al-Turâts, T. Th.),Jilid II, h. 100-110 . Lihat Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173

9Lisân al-‘Arab, jilid XV, h. 321. Bandingkan dengan Mu’jam Mufradât Al-Fâdz al-Qur’ân,

h.513

10 Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159

11Jender ialah Pembedaan Peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat

(35)

jender laki-laki. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah woman (jamaknya women) yang merupakan lawan kata dari man. Kata ini selain berarti jender perempuan juga berarti isteri (zawj).12

Lafaz zawj (azwâj) pada ayat-ayat di atas selalu diidhâfahkan dengan

dhamir hu dan ka --tanpa dibarengi/diikuti kata an-nabiy-- yang menunjukkan pada manusia (dia laki-laki dan kamu laki-laki) sehingga mempunyai ma’na istri (pasangan dia dan kamu laki-laki, berarti pasangan suami). Karena konteks ayat di atas pembahasannya tentang Nabi Muhammad saw, maka kata azwâj yang merupakan

jama’ dari zawj berarti istri-istri Nabi saw. Sedangkan kata nisâ yang secara umum berarti perempuan, pada ayat di atas selalu di-idhâfah-kan dengan kata an-nabiy

sehingga ma’nanya menjadi istri-istri Nabi. Dengan demikian maka kedua lafaz tersebut mempunyai arti yang sama yaitu istri-istri Nabi.

Meskipun demikian, bila melihat asal kedua kata tersebut yang berbeda, Al-Alûsî dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’ al-Matsânî,13 mencoba mengungkapkan bahwa perbedaan lafaz tersebut mempunyai

alasan. Dalam ayat 30 Q. S. Al-Ahzâb, istri-istri Nabi saw diungkapkan Al-Qur’an dengan lafaz nisâ an-nabiy, bukan azwâj an-Nabiy, hal itu dikarenakan pengungkapan keadaan mereka sebagai nisâ dalam beberapa tempat itu lebih

melahirkan, sedangkan laki-laki menghasilkan sperma. Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159

12 Munir Ba’labakkî, Al-Mawrid, (Beirut: Dâr al-‘Ilm lial-Malayain, 1986), h. 1070-1071.

Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 160

13 Lihat Abû al-Fadhl Syihâbuddîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, selanjutnya disebut al-Alûsi,

(36)

berpengaruh dari pada pengungkapan keadaan mereka sebagai “istri-istri” sebagaimana jelas ma’nanya bagi orang yang memperhatikan. Dengan demikian, ayat yang mengandung lafaz nisa an-Nabiy, menurut penulis, mengandung pelajaran dan hukum yang berharga pula bagi perempuan secara umum karena keadaan istri-istri Nabi seperti perempuan biasa pada umumnya yang bisa saja melakukan kesalahan. Sedangkan pada ayat yang di dalamnya terkandung lafaz azwâj an-Nabiy, hukum yang terkandung di dalamnya khusus bagi istri-istri Nabi saw.

Selain itu, pengungkapan nisâ an-Nabiy pada ayat 30 dan 32 Q. S. Al-Ahzâb tersebut berisi pengajaran langsung dari Allah kepada istri-istri Nabi saw --tanpa melalui Nabi saw-- menyangkut hukum-hukum yang berlaku bagi mereka, sedangkan pada Q. S. Al-Ahzâb ayat 28 dan 59 berisi pengajaran Allah bagi para istrinya melalui perantaraan Nabi saw. Hal ini menandakan jelasnya nasehat yang dimaksudkan bagi mereka14 karena mereka manusia biasa juga yang mempunyai

potensi untuk melakukan kesalahan sebagaimana perempuan-perempuan lain pada umumnya, makanya lafaz yang digunakan adalah nisâ an-Nabiy .

B. Gelar Ummahât al-Mu’minîn Bagi Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33 ayat 6 Allah swt memberikan gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn kepada istri-istri Nabi saw:

(37)

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang beriman dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka….” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

Ummahât al-Mu’minîn adalah sebuah idiom/gramatikal yang terdiri dari dua kata, yaitu ummahât dan al-mu’minîn. Gabungan dua buah kata (isim) ini disebut

idhafah15

Ummahât adalah bentuk jama‘ dari kata al-umm yang berarti “ibu” untuk manusia. Sedangkan bentuk jamak al-umm untuk hewan adalah amât (تﺎﻣأ). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu berarti orang yang melahirkan, sebutan untuk wanita yang sudah bersuami, panggilan kehormatan kepada wanita yang sudah/belum menikah.16 Selain berarti ibu, al-umm juga berarti asal, pangkal, sumber, induk.17

Dalam al-Qur’an, penggunaan kata al-umm bukan hanya berlaku bagi manusia dan hewan. Umm al-Qurâ yang berarti ibu negeri merupakan sebutan untuk Mekkah,18 Umm al-Kitâb yang berarti pokok-pokok isi Al-Qur’an adalah nama lain

untuk Surah al-Fâtihah. Kepala atau pemimpin disebut imâm yang terambil dari kata ّمأ

kepada ma’rifat atau takhsis. Syekh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy, Matan Alfiyah,

alih bahasa H. Moch. Anwar, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), Cet. IV, h. 208

16atau bersuami. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.

364-365 dan tim Prima pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Ttmp: Gitamedia Press, Tth), h. 293

17Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 42-43

(38)

Al-Mu’minîn adalah bentuk jama‘ dari al-mu’min yang merupakan isim fa’il dari âmana - yu’minu (ﻦﻣﺆﯾ – ﻦﻣأ ) yang berarti beriman. Maka al-mu’min

berarti orang yang beriman.

Maka ma’na Ummahât Al-Mu’minîn secara etimologi adalah para ibu orang-orang yang beriman. Ibu di sini bukan berarti ibu yang melahirkan, akan tetapi panggilan kehormatan bagi wanita yang sudah menikah (istri-istri Nabi saw). Ibu ini berfungsi sebagai asal, pangkal, sumber, induk, pemimpin sesuatu yang menjadi rujukan dan harus diikuti. Dalam kenyataannya, mereka adalah perempuan-perempuan yang mendampingi Nabi saw sehingga banyak mengetahui ajaran-ajaran Islam dari Nabi saw dan kemudian mereka menjadi sumber rujukan ilmu bagi orang-orang yang beriman setelah wafatnya Nabi dan menjadi contoh/tauladan yang harus diikuti..

Ma’na Ummahât al-Mu’minîn menurut istilah atau makna yang dimaksud dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi saw yang menempati kedudukan ibu bagi orang-orang yang beriman. Mereka disebut ibu karena kedudukan mereka –dalam hukum-- adalah seperti kedudukan ibu kandung yang melahirkan, yaitu haram dinikahi (hubungan mahram), wajib dihormati, dimuliakan, dan diagungkan.20 Sedangkan

dalam hal yang lain, seperti hubungan waris mewarisi, hukum melihat auratnya atau

20Para ulama sepakat tentang kewajiban menghormati dan memuliakan mereka, serta keharaman

menikahi mereka. Selanjutnya mereka menetapkan bahwa kemuhriman itu tidak berlaku bagi anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka. Muh. Nasib ar-Rifâ‘î, Taysîr al-‘Alî al-Qadîr likhtishâri Tafsîr Ibn Katsîr, (Riyadh: Maktabah Ma‘ârif, 1989), Terjemah Bahasa Indonesia

(39)

berkhalwat dengan mereka, sama hukumnya dengan wanita lain yang tidak ada hubungan mahram.

Gelar ini berkaitan dengan kedudukan suami mereka yaitu Nabi Muhammad saw di antara umatnya. Hendaknya Nabi lebih mereka utamakan dari diri mereka sendiri dalam urusan dunia maupun agama. Maka sekalipun orang-orang yang beriman mengutamakan diri mereka, tetapi sebenarnya Nabi saw lebih banyak memperhatikan, mementingkan, dan mengutamakan mereka. Nabi selalu menolong dan membantu mereka, selalu berkeinginan agar mereka menempuh jalan yang lurus yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang abadi. Karena itu maka Nabi sebenarnya lebih berhak atas diri mereka sendiri, cinta Nabi kepada kaum muslimin melebihi cinta beliau terhadap makhluk Allah manapun.

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwasanya tatkala Nabi saw bermaksud pergi ke perang Tabuk, beliau menyuruh manusia untuk menyiapkan segala yang diperlukan dan pergi berangkat perang. Namun sebagian mereka berkata bahwa mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada bapak dan ibu mereka, sehingga turunlah ayat ini.21

Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini, maka hendaknya kaum Muslimin mengikuti segala perintah Nabi. Nabi adalah pemimpin kaum Muslimin yang memimpin mereka dalam kehidupan duniawi dan pemimpin mereka ke jalan Tuhan. Apabila beliau mengajak kaum muslimin berperang di jalan Allah, hendaklah mereka

(40)

segera ikuti, tidak perlu menunggu izin dari ibu maupun bapak mereka. Hendaknya kaum muslimin juga bersedia menjadi tebusan, perisai, dan pemelihara Nabi saw.

Karena itu, Nabi saw adalah bapak dari kaum muslimin, dan dengan demikian, istri-istri beliaupun adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin.22 Prinsip ini

tidak bertentangan dengan firman Allah swt:

….

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Nabi dan penutup para Nabi … ” (Q. S. al-Ahzâb/33: 40)

Yang dimaksud di sini ialah bahwa Nabi Muhammad itu bukan bapak angkat dari seseorang, melainkan bapak dari seluruh orang-orang yang beriman.23

Pada hadits yang lain diterangkan tentang kepemimpinan Nabi terhadap kaum Muslimin:

22 Bahkan dalam riwayat ‘Ikrimah terdapat bacaan ﻢﮭﺗﺎﮭﻣأﮫﺟاوزأوﻢھﻮﺑاﻮھو

.

Lihat Ibnu ‘Arabî,

Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 541

23Lihat Team Tafsir Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII,

(41)

“Abdullah bin Muhammad telah berbicara kepada kami, Abû ‘Âmir telah berbicara kepada kami, Fulaih telah berbicara kepada kami dari Hilal dari ‘Ali dari Abdurrahman bin Abû ‘Amrah dari Abû Hurairah, Bahwasanya Nabi Saw bersabda: ‘Tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman, kecuali akulah yang paling dekat kepadanya di dunia dan di akhirat. Bacalah firman Allah jika kamu sekalian menghendaki: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang beriman dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa di antara orang-orang yang beriman meninggal dan meninggalkan harta, maka harta itu hendaknya diwariskan kepada ‘ashabahnya (ahli warisnya). Dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka hendaklah datang kepadaku, karena akulah walinya (orang yang akan mengurus keadaannya).”24

Dengan demikian, ayat ini sekaligus memberikan penegasan tentang larangan bagi orang-orang mu’min untuk mengawini istri-istri Nabi karena kedudukan mereka sebagai Ummahât al-Mu’minîn. Sebagaimana ditegaskan pula dalam Q. S. al-Ahzâb/33: 5325:

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabi dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

Menurut para mufassir, keharaman tersebut berlaku bagi istri-istri Nabi yang sudah digauli dan tidak berlaku bagi istri-istri Nabi yang dicerai tapi belum digauli.26

24 Al-Bukhori, Shahîh Al-Bukhârî, Kitab Fî al-Istiqrâdh wa adâ’ ad-duyûn wa al-hijr wa

at-taflîs, Bab Ash-sholâh ‘alâ man taroka dainan, Hadits No. 2224, CD Room. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama sependapat bahwa setelah Rasulullah saw meninggal dunia, imam menggantikan kedudukan beliau. Karena itu imam wajib membayar hutang orang-orang fakir yang meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah saw melakukannya. Imam membayar hutang itu dengan mengambil dari Baitul Mâl dari kas negara.

(42)

Dengan demikian, gelar Ummahât al-Mu’minîn adalah gelar yang berlaku bagi istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli.

Sementara itu, putri-putri para istri Nabi saw tidak dapat dianggap sebagai saudara-saudara perempuan kaum mu’minin. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari putri-putri para istri beliau juga tidak boleh dikatakan sebagai paman atau bibi kaum mu’minin dari jalur ibu.27

Para istri Nabi saw dinamakan Ummahât al-Mu’minîn (ibu orang-orang yang beriman) dan tidak dikatakan Ummahât al-Mu’minât (ibu perempuan-perempuan yang beriman) berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Sa‘ad dan Baihaqî dari Masrûq bahwa seorang wanita berkata kepada ‘Âisyah r. a., ”Wahai ibuku.” ‘Âisyah berkata, “Aku bukan ibumu, tapi ibu kaum laki-laki kalian.”28

Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah istri-istri Nabi itu menjadi ibu bagi kaum laki-laki dan perempuan secara umum, atau mereka menjadi ibu bagi kaum laki-laki saja, sebagaimana diungkapkan Ibnu ‘Arabî:

“Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut berlaku bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan, dan ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kaum laki-laki karena yang dimaksud dengan Ummahât al-Mu’minîn ialah menempatkan para istri Nabi saw pada posisi ibu mereka dalam kemahraman (haram dinikahi) di mana dimungkinkan terdapat kehalalan (maksudnya halal dinikahi), sedang kehalalan itu tidak terjadi di antara sesama kaum perempuan. Dengan demikian tidak ada kemahraman antara para istri Nabi Saw dengan kaum perempuan muslim.”29

27 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294 28Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294

29Setelah itu Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542, menyebutkan atsar di atas dan berkata,

(43)

Dengan demikian, istri-istri Nabi saw tersebut mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn (ibu orang-orang yang beriman) karena berkaitan dengan hukum, yaitu keharaman dinikahi selama-lamanya sebagaimana orang-orang yang beriman diharamkan menikahi ibu mereka. Oleh karena itu, kedudukan istri-istri Nabi dalam hal ini sama kedudukannya dengan ibu mereka. Meskipun demikian orang-orang yang beriman tetap tidak boleh melihat ataupun berduaan dengan para istri Nabi saw sebagaimana keharaman mereka terhadap perempuan yang bukan mahramnya.30

Meskipun sebagian ulama cenderung menyatakan bahwa istri-istri Nabi mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn karena kedudukannya dalam hukum haram dinikahi –sehingga mereka menjadi ibu bagi kaum laki-laki yang beriman--, penulis lebih cenderung menyatakan bahwa gelar Ummahât al-Mu’minîn tersebut berlaku juga bagi perempuan –ibu bagi perempuan yang beriman--, karena dari segi bahasa, apa yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dalam bentuk Jama’ Muzakkar Sâlim juga mencakup muannatsnya. Artinya meskipun diungkapkan dengan نﻮﻨﻣﺆﻤﻟا, maknanya mencakup juga bagi تﺎﻨﻣﺆﻤﻟا karena gelar tersebut merupakan gelar kehormatan yang harus diakui oleh seluruh orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa istri-istri Nabi adalah wanita terhormat yang diberi kedudukan yang mulia oleh Allah karena mereka adalah wanita yang bertakwa, shalihah, sehingga patut dijadikan teladan oleh siapapun yang beriman kepada Allah dan Nabi-Nya, baik laki-laki maupun perempuan.

(44)

C. Istri-istri Nabi saw

Nabi saw dalam sejarah dikenal mempunyai banyak istri. Di antara mereka ada yang dinikahi beliau secara sah dan digauli, ada yang dinikahi tapi dicerai sebelum digauli, dan ada yang sudah dilamar tapi tidak jadi menikah.31 Dalam tesis

ini hanya akan dikemukakan nama-nama isteri yang mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn. Di atas telah dikemukakan bahwa Ummahât al-Mu’minîn adalah gelar yang berlaku bagi istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli. Bint Asy-Syâthi‘32 menyebutkan 1133 nama yang mendapat gelar Ummahât

al-Mu’minîn. Mereka adalah istri-istri Nabi yang resmi dinikahi olehnya dan telah digauli Nabi.34 Kesebelas istri Nabi saw tersebut adalah istri-istri Nabi yang terkenal menurut kesepakatan ulama. Mereka ada yang berasal dari suku Quraisy, bangsa Arab non Quraisy tapi masih sekutu Quraisy, dan bukan berasal dari Arab namun dari Bani Israil.

31Al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat ﻚﺟاوزﻷ ,ﻞﻗ Tafsir Al-Qurthuby, CD Room

32Nama asli beliau ialah Dr ’Aisyah Abdurrahman Bint asy-Syathi’. Beliau adalah guru besar

Sastra dan Bahasa Arab pada Universitas ‘Ain Asy-Syams Mesir. Ia juga pernah menjadi guru besar tamu di Universitas Islam Umm Durmân, Sudan dan Universitas Qarawiyyin, Maorko. Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan adalah studinya mengenai Abû al-A’la Al-Ma’arri. Ia merupakan seorang penulis wanita muslim kenamaan. Lahir di Dumyat, sebelah barat Delta Nil, Mesir. Ia merupakan salah seorang mufassir dari kalangan wanita, kitab tafsirnya yang terkenal adalah At-Tafsîr al-Bayân li al-Qur’ân al-Karîm. Adapun bukunya yang membahas tentang istri-istri Nabi adalah

Tarajim Sayyidat Bait an-Nubuwwah (Biografi Istri-istri Nabi), Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1984. Buku ini merupakan koleksi dari terbitan sebelumnya pada tahun 1960-an tentang Ibu Nabi Saw; Istri-istri Nabi Saw (1965); Putri-putri Nabi Saw; Sayyidah Zainab, Putri Imam Ali; dan Sayyidah Sukainah, putri Imam Hasan. Lihat dalam Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Tafsir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.307, footnote no. 3 yang diterjemahkan oleh H.M.Mochtar Zoerni dari judul aslinya dalam bahasa Inggris Women in the Qur’an, Traditions, and Interpretations, (New York: Oxford University Press, 1994).

33 Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah istri-istri Nabi, ada yang menyebut 11, 12, 13,

(45)

Istri-istri Nabi yang berasal dari Quraisy ada enam orang,35 yaitu:

1. Khadîjah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin An-Nadhr bin Kinânah.36

2. ‘Âisyah binti Abû Bakar37 bin Abû Quhâfah bin Amir bin ‘Amr Ka‘ab bin Sa‘ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.

3. Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb bin Nufail bin ‘Abd al-‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Âdî bin Ka’ab bin Luai.

4. Ummu Habîbah binti Abû Sufyân bin Harb bin Umaiyah bin ‘Abdu Syam bin ‘Abdu Manâf bin Qushai bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ia wanita Quraisy dari kabilah ‘Âdî.

5. Ummu Salamah binti Abû Umaiyyah Hindun bin Suhail bin al-Mughîrah bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Makhzûm bin Yaqadzah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ia wanita Quraisy dari kabilah Makhzûm

6. Saudah binti Zam'ah bin Qais bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Wadd bin Nashr bin Mâlik bin Hisl bin ‘Amir bin Luai bin Ghâlib.

Sedangkan istri-istri Nabi dari wanita Arab selain Quraisy, namun dari sekutu-sekutu Quraisy ada empat orang. Mereka adalah:

34 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 5-7

35 Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 287-288

36 Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata di Fath al-Bârî 7/167, “Khadîjah binti Khuwailid adalah istri

Rasulullah saw yang nasabnya paling dekat dengan beliau.”

37 Nama asli Abû Bakar adalah Abdullah, gelarnya Atiq. Lihat Syihâb ad-Dîn Abû al-Fadhl

(46)

1. Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin Murrah bin Kâbir bin Ghanm bin Dûdan bin Asad bin Khuzaimah

2. Maimunah binti al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin al-Huzâm bin Ruwaibah bin ‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Maimunah berasal dari kabilah Al-Hilâl.

3. Zainab binti Khuzaimah bin Al-Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf bin Hilâl bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Zainab binti Khuzaimah berasal dari kabilah Al-Hilâl.

4. Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abû Dhirar bin Habîb bin Aidz bin Mâlik bin Jadzîmah alias al-Musthaliq bin Sa‘ad bin Ka‘ab bin Amr alias Khuzâ‘ah bin Rabî‘ah bin Harîtsah bin ‘Amr bin ‘Amir Mai as-Sama’. Jadi Juwairiyah Binti al-Harits berasal dari kabilah Khuzâ’ah kemudian kabilah Mushthaliq.

Istri Nabi saw yang tidak berasal dari Arab, namun dari Bani Israel ada satu orang yaitu Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab dari Bani An-Nadhir. Mereka inilah istri-istri yang terkenal yang digauli oleh beliau dan disepakati para ulama.38

Di antara seluruh istrinya tersebut, ada dua orang yang lebih dahulu meninggal dari Nabi saw yaitu Khadîjah dan Zainab binti Khuzaimah. Sehingga saat wafatnya, Nabi meninggalkan sembilan orang istri39 yaitu ‘Âisyah, Hafshah, Ummu

(47)

Salamah, Ummu Habîbah, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahsy, Maimunah binti Hârits al-Hilâliyah, Juwairiyah binti Hârits al-Musthaliqiyah, dan Shafiyah binti Huyay al-Akhthab.

Selain itu masih ada istri-istri Nabi saw yang pernah dinikahi Nabi saw tapi tidak digauli. Mereka ini telah dicerai oleh Nabi saw. Para ahli berbeda pendapat mengenai nama dan jumlah mereka. Mereka ini tidak termasuk mendapat gelar

Ummahât al-Mu’minîn karena ayat yang melarang orang-orang mu’min untuk menikahi istri-istri Nabi saw setelah beliau wafat menurut pendapat para mufassir ditujukan bagi istri-istri Nabi saw yang telah digaulinya dan bukan bagi istri-istri yang telah dicerai sebelum digauli.40

Berikut urutan nama-nama istri Nabi saw berdasarkan urutan pernikahan Nabi saw dengan mereka sebagaimana yang dikutip Ibnu Sa’ad41 :

1. Khadîjah binti Khuwailid

2. Saudah binti Zam’ah. Dinikahi Nabi saw pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian, sebelum Nabi saw pindah ke Madinah.

40 Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542

41Seorang penulis biografi muslim yang paling otoritatif. Karya besarnya Ath-Thabaqât

Al-Kubrâ, merupakan kumpulan narasi biografis paling awal dan paling penting di dunia Islam. Ibnu Sa’ad lahir pada 168 H/764-5 M di Basrah dan wafat pada tahun 230 H/845 M. Dia pindah ke Bagdad untuk belajar di bawah bimbingan ulama-ulama di sana, khususnya Muhammad Ibnu ‘Umar al-Waqidi. Dia juga mengunjungi Kufah dan Madinah dalam perjalanannya mencari ilmu. Keandalan catatan biografis Ibnu Sa’ad diakui oleh banyak ahli tarikh Islam, antara lain Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Adz-Dzahabî, Al-Khatîb al-Baghdâdî, dan Ibnu Khallikan. Muhammad Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah; 600 Sahabat-Wanita Rasulullah Saw yang Menyemarakkan Kota Nabi, (Bandung: Al-Bayan, 1997), cet. I. Buku ini merupakan terjemahan ringkas dari jilid kedelapan kitab Ath-Thabaqât Al-Kubrâ yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Aisha Bewley, The Women at Madina,

(48)

3. ‘Âisyah binti Abû Bakr ash-Shiddîq. Dinikahi Nabi saw di Mekkah umur enam tahun pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian. Karena sewaktu dinikahi di Mekkah ‘Aisyah masih kecil, Nabi saw kemudian menyempurnakan perkawinannya dengan ‘Âisyah pada bulan Syawwal tahun kedua Hijriyah42 di

Madinah ketika ‘Âisyah berumur sembilan tahun. 4. Hafshah binti ‘Umar bin Khattab.

5. Ummu Salamah. Nabi saw menikahinya pada akhir bulan Syawwal tahun keempat Hijriyah.

6. Juwairiyah binti Hârits bin Abû Dhirar

7. Zainab binti Jahsy. Nabi saw menikahinya pada bulan Zulqa’dah tahun kelima Hijriyah.

8. Zainab binti Khuzaimah yang meninggal ketika Nabi saw masih hidup. 9. Ummu Habîbah binti Abû Sufyân bin Harb.

10.Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab. Sebelumnya ia adalah hak milik Nabi saw, kemudian Nabi saw menyempurnakan perkawinannya dengan Shafiyyah pada bulan Jumadil Akhir tahun ketujuh Hijriyah.

11.Maimunah binti al-Hârits al-Hilaliyah yang dinikahi pada bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh Hijriyah

Allah swt mengizinkan Nabi saw untuk menikahi wanita-wanita tersebut untuk suatu kebijakan tertentu, firman Allah:

42 Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah SAW dalam Merubah Sosial Budaya Dunia,

(49)

:

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)

Referensi

Dokumen terkait

ABDUL ARIJAL TAUFIQ, 2008, NIM.02540018, PERENCANAAN LINE BALANCING DENGAN METODE RANK POSITION WEIGHT ( RPW ) DAN METODE REGION APPROACH ( RA ) GUNA

Agar penyeleksian karyawan dapat dilakukan dengan lebih efisien serta menghindari subyektifitas keputusan yang dihasilkan, diperlukan suatu Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

dan Perancangan Fotografi Fashion dengan Konsep Lolipop melalui Media Coffee Table Book mampu menginovasi kaum remaja perempuan agar memakai fashion sesuai dengan

Selain itu social networking (jejaring sosial) memiliki pengaruh sebesar 34,4% untuk membentuk brand loyalty (loyalitas merek) dan brand trust (kepercayaan merek)

5) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dalam rangka menunjang perbaikan regulasi pengusahaan UCG diperlukan litbang UCG di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan mengingat

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat kinerja karyawan di PT.Inti (Persero) Bandung pada divisi Operasional Celco Produksi dan

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Fatimah Zahrah, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Diversifikasi Perusahaan dan Praktik Manajemen Laba terhadap

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula