5
Tema: 8 Pengabdian kepada Masyarakat
EVALUASI PENERAPAN CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK
(CPPB) DI UKM MUSTIKA LANGGENG JAYA,
KABUPATEN BANYUMAS
Oleh
Rumpoko Wicaksono, Aisyah Tri Septiana, dan Condro Wibowo
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman
rumpokowicaksono@gmail.com
ABSTRAK
Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) bidang pangan dimulai dengan menguatkan konstruksi keamanan pangan produk, oleh karena itu, pemberdayaan UKM di bidang pangan melalui sistem keamanan pangan menjadi upaya strategis untuk meningkatkan daya saing dan pendapatan masyarakat. Upaya yang dapat ditempuh untuk penguatan konstruksi keamanan pangan yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip higiene dan sanitasi produksi pangan serta praktik-praktik baik dalam pengelolaan penjaminan mutu dan keamanan pangan seperti yang tertuang dalam Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Metode yang digunakan yaitu metode survai terhadap kondisi CPPB UKM dan dilanjutkan dengan transfer pengetahuan dan pendampingan implementasi prinsip-prinsip CPPB. UKM sasaran kegiatan yaitu UKM Mustika Langgeng Jaya, Desa Binangun, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas. Evaluasi kondisi CPPB di UKM ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kondisi sarana dan praktik produksi pangan di Mustika Langgeng Jaya, dan (2) mengetahui pengaruh transfer pengetahuan tentang CPPB dan implementasinya terhadap perubahan kondisi CPPB di UKM Mustika Langgeng Jaya.Penilaian terhadap kondisi awal CPPB UKM Mustika Langgeng Jaya menunjukkan bahwa: (1) terdapat 7 elemen yang belum memenuhi persyaratan CPPB dan tergolong dalam ketidaksesuaian serius, terapat 4 elemen tergolong dalam ketidaksesuaian kritis, 1 elemen tergolong dalam ketidaksesuaian mayor, dan 1 elemen tergolong dalam ketidaksesuaian minor dan (2) transfer pengetahuan tentang CPPB dan pendampingan implementasinya menghasilkan peningkatan kesesuaian terhadap persyaratan CPPB secara sangat signifikan, menyisakan 3 elemen yang tergolong dalam ketidaksesuaian serius dan 1 elemen yang tergolong ketidaksesuaian minor.
Kata kunci: CPPB, transfer pengetahuan, pendampingan, UKM
ABSTRACT
The empowerment of Small and Medium-sized Enterprises (SMEs) in the field of food is commenced by strengthening the construction of food safety products. Therefore, the empowerment of SMEs in the food sector through food security system becomes a strategic effort to improve the competitiveness and income of the community. The efforts can be made to strengthen food safety construction by applying the principles of hygiene and sanitation of food production and good practices in the management of quality assurance and food safety as contained in Good Manufacturing Practices (GMP). The method used was survey method to the GMP condition of SMEs and continued with the transfer of knowledge and assistance implementation of GMP principles. SMEs target of the activities are Mustika Langgeng Jaya, Binangun Village, Banyumas District, Banyumas Regency. The evaluation of GMP condition in SMEs aims: (1) to figure out the condition of food production facilities and practices in Mustika Langgeng Jaya, and (2) to know the effect of knowledge transfer about GMP and its implementation to the change of GMP condition in Mustika Langgeng Jaya. GMP condition of Mustika Langgeng Jaya shows that: (1) there are 7 elements that have not fulfilled GMP requirements and are classified as serious non-conformity, 4 elements are classified as critical non-conformity, 1 element belong to major non-conformity, and 1 element belong to minor non-conformity. and (2) ) the transfer of knowledge about GMP and accompaniment of its implementation resulted in a significant increase in compliance to GMP requirements, leaving 3 elements classified as serious non-conformity and 1 element classified as minor nonconformity.
5
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) memberi andil yang besar sebagai sektor ekonomi yang strategis
dalam menunjang ketahanan ekonomi di tingkat rumah tangga. Hal ini terkait dengan peran sertanya dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, mudah beradaptasi dengan perubahan
permintaan pasar, serta berkontribusi terhadap penyediaan produk dan kemudahan akses perolehan bahan
pangan untuk konsumsi masyarakat.
Terkait dengan harmonisasi ASEAN tahun 2015, UKM pangan menghadapi tantangan dan peluang
yang lebih besar, sehingga UKM pangan perlu pemberdayaan yang lebih lebih intensif lagi. UKM pangan tidak
hanya dituntut untuk mampu menyediakan pangan yang aman dan bermutu bagi masyarakat, tetapi juga
sekaligus siap menghadapi persaingan di pasar global, utamanya di negara-negara ASEAN. Pemberdayaan
UKM bidang pangan dimulai dengan menguatkan konstruksi keamanan pangan produk yang dihasilkan. Oleh
karena itu, pemberdayaan UKM di bidang pangan melalui sistem keamanan pangan menjadi upaya strategis
untuk meningkatkan daya saing dan pendapatan masyarakat (Rahayu et al., 2012).
Upaya yang dapat ditempuh untuk penguatan konstruksi keamanan pangan yaitu dengan menerapkan
prinsip-prinsip higiene dan sanitasi produksi pangan serta praktik-praktik baik dalam pengelolaan penjaminan
mutu dan keamanan pangan seperti yang tertuang dalam Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) atau Good
Manufacturing Practices (GMP). CPPB merupakan bagian dari penjaminan mutu yang menjamin bahwa produk
yang dihasilkan konsisten mutunya dan dikendalikan dengan standar mutu yang sesuai dengan tujuan
penggunaan dan kebutuhan pasar (Kumar dan Jha, 2015). Selain itu, implementasi CPPB juga dapat
meningkatkan kepercayaan konsumen serta meningkatkan nilai jual produk (Rodmanee dan Huang, 2013).
Mustika Langgeng Jaya merupakan UKM yang menjadi sentra bagi pengelola emping melinjo dan
makanan olahan lainya berbahan dasar hasil bumi lokal di Desa Binangun, Kabupaten Banyumas, sebagai tindak lanjut dari realisasi Kampoeng Mandiri “OGOP” (One “Grumbul” One Product). Evaluasi kondisi CPPB di UKM ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kondisi sarana dan praktik produksi pangan di Mustika Langgeng
Jaya, dan (2) mengetahui pengaruh transfer pengetahuan tentang CPPB dan implementasinya terhadap
perubahan kondisi CPPB di UKM Mustika Langgeng Jaya.
METODE PELAKSANAAN
Metode yang digunakan yaitu metode survei terhadap kondisi CPPB UKM Mustika Langgeng Jaya dan
pendampingan implementasi prinsip-prinsip CPPB dengan menggunakan formulir pemeriksaan sarana produksi
industri rumah tangga yang tercantum dalam Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.23.04.12.2207 tahun
2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Penentuan kategori
ketidaksesuaian atau penyimpangan pada temuan di sarana produksi dilakukan sesuai dengan peraturan tersebut.
Hasil evaluasi kondisi awal digunakan sebagai dasar untuk introduksi prinsip-prinsip CPPB dan
implementasi tindakan koreksi terhadap proses produksi yang dilakukan UKM. Transfer pengetahuan CPPB
didasarkan pada Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang Cara Produksi
Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Hasil pendampingan terhadap implementasi
CPPB dievaluasi setelah 3 bulan implementasi. Penilaian kondisi CPPB sebelum dan setelah kegiatan
5
sedangkan jika tidak sesuai, diberi nilai 0. Signifikansi pengaruh transfer pengetahuan dan implementasi CPPBsetelah kegiatan dianalisis dengan menggunakan uji t berpasangan (α = 5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penilaian terhadap kondisi awal CPPB disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil penilaian kondisi awal CPPB Mustika Langgeng Jaya
No. Elemen yang Diperiksa Ketidaksesuaian
A. LOKASI DAN LINGKUNGAN PRODUKSI
1 Lokasi dan lingkungan industri rumah tangga pangan tidak terawat,
4 Ventilasi, pintu, dan jendela tidak terawat, kotor, dan berdebu. SE
C. PERALATAN PRODUKSI
5 Permukaan yang kontak langsung dengan pangan berkarat dan kotor. SS 6 Peralatan tidak dipelihara, dalam keadaan kotor, dan tidak menjamin
efektifnya sanitasi.
SS
7 Alat ukur/timbangan untuk mengukur/menimbang berat bersih/isi bersih tidak tersedia atau tidak teliti.
SS
D. SUPLAI AIR ATAU SARANA PENYEDIAAN AIR
8 Air bersih tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan produksi.
SS
9 Air berasal dari suplai yang tidak bersih. SS
E. FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI
10 Sarana untuk pembersihan/pencucian bahan pangan, peralatan, perlengkapan dan bangunan tidak tersedia dan tidak terawat dengan baik.
SS
11 Tidak tersedia sarana cuci tangan lengkap dengan sabun dan alat pengering tangan.
SE
12 Sarana toilet/jamban kotor tidak terawat dan terbuka ke ruang produksi.
SS
13 Tidak tersedia tempat pembuangan sampah tertutup. KR
F. KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN
14 Karyawan di bagian produksi pangan ada yang tidak merawat kebersihan badannya dan atau ada yang sakit
SS
15 Karyawan di bagian produksi pangan tidak mengenakan pakaian kerja dan/atau mengenakan perhiasan.
SE
16 Karyawan tidak mencuci tangan dengan bersih sewaktu memulai mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah, atau bahan/alat yang kotor, dan sesudah ke luar dari toilet/jamban.
SS
17 Karyawan bekerja dengan perilaku yang tidak baik (seperti makan dan minum) yang dapat mengakibatkan pencemaran produk pangan.
SS
18 Tidak ada penanggung jawab higiene karyawan. MA
G. PEMELIHARAAN DAN PROGRAM HIGIENE DAN SANITASI
19 Bahan kimia pencuci tidak ditangani dan digunakan sesuai prosedur, disimpan di dalam wadah tanpa label.
SS
5
No. Elemen yang Diperiksa Ketidaksesuaian
produksi pangan.
22 Sampah di lingkungan dan di ruang produksi tidak segera dibuang. SS
H. PENYIMPANAN
23 Bahan pangan, bahan pengemas disimpan bersama-sama dengan produk akhir dalam satu ruangan penyimpanan yang kotor, lembap dan gelap dan diletakkan di lantai atau menempel ke dinding.
SS
24 Peralatan yang bersih disimpan di tempat yang kotor. SS
I. PENGENDALIAN PROSES
25 Industri rumah tangga pangan tidak memiliki catatan, menggunakan bahan baku yang sudah rusak, bahan berbahaya, dan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan persyaratan penggunaannya.
SS
26 Industri rumah tangga pangan tidak mempunyai atau tidak mengikuti bagan alir produksi pangan.
SS
27 Industri rumah tangga pangan tidak menggunakan bahan kemasan khusus untuk pangan.
SS
28 Bahan tambahan pangan (BTP) tidak diberi penandaan dengan benar. SS 29 Alat ukur/timbangan untuk mengukur/menimbang BTP tidak tersedia
atau tidak teliti.
SS
J. PELABELAN PANGAN
30 Label pangan tidak mencantumkan nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih/isi bersih, nama dan alamat industri rumah tangga pangan, masa kedaluwarsa, kode produksi, dan nomor P-IRT.
KR
31 Label mencantumkan klaim kesehatan atau klaim gizi SS
K. PENGAWASAN OLEH PENANGGUNG JAWAB
32 Industri rumah tangga pangan tidak mempunyai penanggung jawab yang memiliki Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP).
SS
33 Industri rumah tangga pangan tidak melakukan pengawasan internal secara rutin, termasuk monitoring dan tindakan koreksi.
SE
L. PENARIKAN PRODUK
34 Pemilik industri rumah tangga pangan tidak melakukan penarikan produk pangan yang tidak aman.
SS
M. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI
35 Industri rumah tangga pangan tidak memiliki dokumen produksi. SS 36 Dokumen produksi tidak mutakhir, tidak akurat, tidak tertelusur dan
tidak disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang diproduksi.
MI
N. PELATIHAN KARYAWAN
37 Industri rumah tangga pangan tidak memiliki program pelatihan keamanan pangan untuk karyawan.
KR
Keterangan:
- SS : Sudah sesuai dengan persyaratan CPPB - KR : Ketidaksesuaian kategori kritis
- SE : Ketidaksesuaian kategori serius - MA: Ketidaksesuaian kategori mayor - MI : Ketidaksesuaian kategori minor
Kategori ketidaksesuaian yang paling banyak ditemukan adalah ketidaksesuaian serius yang
ada pada 7 elemen. Ketidaksesuaian serius adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak
dipenuhi mempunyai potensi memengaruhi keamanan produk. Aspek lokasi dan lingkungan produksi
5
Standardisasi Nasional, 2011), pemilihan lokasi industri harus memperhatikan sumber kontaminasi
potensial, untuk mengurangi risiko ancaman terhadap aspek keamanan pangan. Debu merupakan
sumber kontaminan yang berpeluang besar masuk ke ruang produksi, sehingga perlu mendapat
perhatian yang serius karena pada debu dapat terbawa mikroorganisme (Mortimore dan Wallace,
2001). Sarana cuci tangan yang belum tersedia dan pengabaian penggunaan pakaian kerja juga
berpotensi memengaruhi keamanan produk. Hal ini meningkatkan risiko kontaminasi kuman dari
pekerja ke produk.
Tindakan koreksi yang perlu dilakukan untuk menurunkan tingkat potensi bahaya di aspek
lingkungan produksi, yaitu memperbaiki lingkungan produksi, agar dapat menjamin bahwa pangan
tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan kimia selama dalam proses produksi serta mudah
dibersihkan dan disanitasi. Selain itu, perlu penerapan program higiene secara berkala dan melakukan
pengawasan internal agar dapat segera diambil tindakan koreksi yang diperlukan.
Ketidaksesuaian kritis merupakan aspek yang harus segera diperbaiki, karena
mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan memengaruhi keamanan produk secara langsung
dan/atau merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi. Hasil temuan terhadap aspek ini pada UKM
Mustika Langgeng Jaya terdapat pada 4 elemen, yang meliputi ketidaksesuaian pelabelan, adanya
hewan peliharaan yang berkeliaran di ruang produksi, yaitu kucing. Selain itu, pihak UKM belum
menyediakan tempat sampah tertutup dan belum memiliki program pelatihan keamanan bagi
karyawannya.
Kemasan pangan harus diberi label yang jelas dan informatif untuk memudahkan konsumen
dalam memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengonsumsi pangan. Ketidaksesuaian dalam
menangani dan ketidakjelasan informasi masa kedaluwarsa pangan dapat berbahaya bagi konsumen.
Tindakan koreksi yang perlu dilakukan adalah pembuatan label pangan yang memenuhi ketentuan
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Berdasarkan peraturan tersebut, label produk pangan sekurang-kurangnya memuat nama produk,
daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen, serta tanggal,
bulan, dan tahun kedaluwarsa.
Hewan peliharaan yang berkeliaran di ruang produksi dan tempat sampah yang tidak tertutup
dapat meningkatkan risiko kontaminasi produk pangan yang ditularkan atau terbawa oleh hewan
peliharaan, maupun lalat dan hewan lain yang tertarik dengan adanya tumpukan sampah. Sehubungan
dengan hal tersebut, pihak UKM perlu membatasi akses hewan peliharaan ke dalam ruang produksi,
serta menggunakan tempat sampah yang tertutup dan segera membungkus atau membuang sampah ke
lokasi di luar lingkungan produksi.
Pengetahuan pekerja terhadap keamanan pangan merupakan hal penting untuk mendukung
praktik-praktik penanganan pangan yang baik. Program pelatihan keamanan pangan merupakan hal
yang harus ada, terutama untuk pekerja baru atau pekerja yang belum pernah mendapatkan
5
dikerjakan secara mandiri sulit untuk dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu campur
tangan pihak Pemerintah maupun pihak lain seperti Perguruan Tinggi untuk memfasilitasi dan
membina UKM terkait dengan pelatihan dan pengawasan keamanan pangan.
Hasil evaluasi juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian kategori mayor dan minor,
masing-masing pada 1 elemen. Ketidaksesuaian mayor adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila
tidak dipenuhi mempunyai potensi memengaruhi efisiensi pengendalian keamanan produk. Dalam hal
ini adalah belum adanya penanggung jawab higiene karyawan. Penanggung jawab higiene karyawan
diperlukan untuk memastikan bahwa praktik produksi yang diterapkan di industrinya berjalan
mengikuti kaidah-kaidah keamanan pangan.
Kegiatan produksi akan lebih mudah diawasi dan dievaluasi oleh pihak penanggung jawab
apabila didokumentasikan dengan baik dalam bentuk dokumen produksi. UKM Mustika Langgeng
Jaya sudah memiliki dokumen produksi, namun pencatatannya belum tertib. Hal ini menyebabkan
adanya ketidaksesuaian minor, yaitu persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi
mempunyai potensi memengaruhi mutu (wholesomeness) produk. Pencatatan dan dokumentasi
merupakan persyaratan penting untuk pelaksanaan program pengendalian proses yang baik
(Vasconcellos, 2005). Pencatatan dan dokumentasi yang baik penting dikerjakan dalam kaitannya
dengan kemudahan untuk penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi dan distribusi,
dan kemudahan dalam mengevaluasi kegiatan operasional secara keseluruhan serta mutu produk
akhir. Hal tersebut akan menyebabkan sistem pengawasan pangan menjadi lebih efektif (Patel dan
Chotai, 2011).
Berdasarkan hasil evaluasi kondisi CPPB awal, dilakukan transfer pengetahuan tentang CPPB
dan pendampingan implementasinya. Perubahan kondisi CPPB sebelum dan setelah kegiatan dinilai
dengan metode zero-one seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil penilaian dengan metode zero-one kondisi CPPB Mustika Langgeng Jaya sebelum dan setelah pendampingan
No. Elemen yang Diperiksa Sebelum Setelah
A. LOKASI DAN LINGKUNGAN PRODUKSI
1 Lokasi dan lingkungan industri rumah tangga pangan tidak terawat, kotor dan berdebu.
0 1
B. BANGUNAN DAN FASILITAS
2 Ruang produksi sempit, sukar dibersihkan, dan digunakan untuk memproduksi produk selain pangan.
1 1
3 Lantai, dinding, dan langit-langit tidak terawat, kotor, berdebu dan/atau berlendir.
1 1
4 Ventilasi, pintu, dan jendela tidak terawat, kotor, dan berdebu.
1 1
C. PERALATAN PRODUKSI
5 Permukaan yang kontak langsung dengan pangan berkarat dan kotor.
1 1
6 Peralatan tidak dipelihara, dalam keadaan kotor, dan tidak menjamin efektifnya sanitasi.
1 1
6
No. Elemen yang Diperiksa Sebelum Setelah
berat bersih/isi bersih tidak tersedia atau tidak teliti.
D. SUPLAI AIR ATAU SARANA PENYEDIAAN AIR
8 Air bersih tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan produksi.
1 1
9 Air berasal dari suplai yang tidak bersih. 1 1
E. FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI
10 Sarana untuk pembersihan/pencucian bahan pangan, peralatan, perlengkapan dan bangunan tidak tersedia dan tidak terawat dengan baik.
1 1
11 Tidak tersedia sarana cuci tangan lengkap dengan sabun dan alat pengering tangan.
0 0
12 Sarana toilet/jamban kotor tidak terawat dan terbuka ke ruang produksi.
1 1
13 Tidak tersedia tempat pembuangan sampah tertutup. 0 1
F. KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN
14 Karyawan di bagian produksi pangan ada yang tidak merawat kebersihan badannya dan atau ada yang sakit
1 1
15 Karyawan di bagian produksi pangan tidak mengenakan pakaian kerja dan/atau mengenakan perhiasan.
0 0
16 Karyawan tidak mencuci tangan dengan bersih sewaktu memulai mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah, atau bahan/alat yang kotor, dan sesudah ke luar dari toilet/jamban.
1 1
17 Karyawan bekerja dengan perilaku yang tidak baik (seperti makan dan minum) yang dapat mengakibatkan pencemaran produk pangan.
1 1
18 Tidak ada penanggung jawab higiene karyawan. 0 1
G. PEMELIHARAAN DAN PROGRAM HIGIENE DAN SANITASI
19 Bahan kimia pencuci tidak ditangani dan digunakan sesuai prosedur, disimpan di dalam wadah tanpa label.
1 1
20 Program higiene dan sanitasi tidak dilakukan secara berkala.
0 1
21 Hewan peliharaan terlihat berkeliaran di sekitar dan di dalam ruang produksi pangan.
23 Bahan pangan, bahan pengemas disimpan bersama-sama dengan produk akhir dalam satu ruangan penyimpanan yang kotor, lembap dan gelap dan diletakkan di lantai atau menempel ke dinding.
1 1
24 Peralatan yang bersih disimpan di tempat yang kotor. 1 1
I. PENGENDALIAN PROSES tidak mengikuti bagan alir produksi pangan.
1 1
27 Industri rumah tangga pangan tidak menggunakan bahan kemasan khusus untuk pangan.
1 1
6
No. Elemen yang Diperiksa Sebelum Setelah
dengan benar.
29 Alat ukur/timbangan untuk mengukur/menimbang BTP tidak tersedia atau tidak teliti.
1 1
J. PELABELAN PANGAN
30 Label pangan tidak mencantumkan nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih/isi bersih, nama dan alamat industri rumah tangga pangan, masa kedaluwarsa, kode produksi, dan nomor P-IRT.
0 1
31 Label mencantumkan klaim kesehatan atau klaim gizi 1 1
K. PENGAWASAN OLEH PENANGGUNG JAWAB
32 Industri rumah tangga pangan tidak mempunyai penanggung jawab yang memiliki Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP).
1 1
33 Industri rumah tangga pangan tidak melakukan pengawasan internal secara rutin, termasuk monitoring dan tindakan koreksi.
0 0
L. PENARIKAN PRODUK
34 Pemilik industri rumah tangga pangan tidak melakukan penarikan produk pangan yang tidak aman.
1 1
M. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI
35 Industri rumah tangga pangan tidak memiliki dokumen produksi.
1 1
36 Dokumen produksi tidak mutakhir, tidak akurat, tidak tertelusur dan tidak disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang diproduksi.
0 0
N. PELATIHAN KARYAWAN
37 Industri rumah tangga pangan tidak memiliki program pelatihan keamanan pangan untuk karyawan.
0 1
Berdasarkan uji t berpasangan, diperoleh nilai p = 0,006 yang menunjukkan bahwa kegiatan
implementasi CPPB yang diberikan kepada UKM Mustika Langgeng Jaya menunjukkan perubahan
kondisi CPPB secara sangat nyata (p < 0,01). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa masih ada 4 elemen
CPPB yang masih perlu untuk ditingkatkan kesesuaiannya. Ketidaksesuaian serius masih ditemui
pada 4 elemen dan ketidaksesuaian minor pada 1 elemen. Komitmen yang kuat sangat diperlukan bagi
pihak UKM untuk memenuhi semua persyaratan CPPB dan terus mengimplementasikan
praktik-praktik produksi pangan yang baik yang telah dilaksanakan sebagai bagian dari budaya kerja pihak
UKM.
KESIMPULAN
1.
Penilaian terhadap kondisi awal CPPB UKM Mustika Langgeng Jaya menunjukkan bahwa terdapat 7 elemen yang belum memenuhi persyaratan CPPB dan tergolong dalam ketidaksesuaian serius,terdapat 4 elemen tergolong dalam ketidaksesuaian kritis, 1 elemen tergolong dalam
6
2. Transfer pengetahuan tentang CPPB dan pendampingan implementasinya menghasilkan
peningkatan kesesuaian terhadap persyaratan CPPB secara sangat signifikan, menyisakan 3 elemen
yang tergolong dalam ketidaksesuaian serius dan 1 elemen yang tergolong ketidaksesuaian minor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada pihak Unsoed yang telah mendanai kegiatan ini
dalam skema Program Penerapan Ipteks Batch 2.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Rekomendasi Nasional Kode Praktis – Prinsip Umum Higiene Pangan (CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, IDT).
Kumar, N. & A. Jha. 2015. Latest Trend in Drugs Regulatory Guidance on „Good Manufacturing Practices‟. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Bussines Management
3(10): 10-16.
Mortimore, S. & C. Wallace. 2001. Food Industry Briefing Series: HACCP. Blackwell Science, Great Britain.
Patel, K. T. & N. P. Chotai. 2011. Documentation and Records: Harmonized GMP Requirements.
Journal of Young Pharmacists 3(2): 138-150.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2207 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Rahayu, W. P., H. Nababan, P. Hariyadi, & Novinar. 2012. Keamanan Pangan dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk Penguatan Ekonomi Nasional. Makalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. Jakarta, 20-21 November 2012.
Rodmanee, S. and W.C. Huang. 2013. Hygiene and Manufacturing Practices, Interagency Collaboration, and a Proposal for Improvement: A Case Study of Community Food Enterprise in Thailand. International Journal of Social Science and Humanity 3(3): 222-226.