commit to user
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada
masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik
bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.
Remaja berasal dari kata Latin adolecere (kata bendanya, adolescentia yang
berarti remaja) yang artinya tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock,
2004). Masa remaja menurut Hurlock (2004), berlangsung antara usia tiga belas
tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun. Akhir masa remaja
bermula dari usia enam belas tahun atau tujuh belas tahun sampai dengan delapan
belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Menurut Erikson (dalam Hurlock,
2004), masa remaja dikenal sebagai masa pencarian identitas diri. Dalam masa
pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sedikit demi
sedikit dari ikatan psikis orangtuanya.
Memperoleh kebebasan (kemandirian) merupakan suatu tugas bagi remaja.
Dengan kemandirian tersebut remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat
rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan
keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dilakukannya. Dengan demikian, remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri
dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.
bahwa berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat
motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa
remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan
sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai keinginannya (Yusuf, 2001).
Kemandirian menurut Steinberg (2002) merupakan salah satu karakteristik
yang dimiliki oleh seseorang yang tidak bergantung pada orangtua maupun
lingkungan luar dan lebih banyak mengandalkan potensi dan kemampuan yang
dimilikinya. Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan
remaja dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus
dicapainya sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa. Perkembangan
kemandirian yang menonjol terjadi selama masa remaja, perubahan-perubahan
fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini (Steinberg, 2002).
Kemandirian dalam kehidupan remaja dipandang penting. Steinberg
(2002) mengemukakan bahwa menjadi orang yang mandiri – orang yang mampu
menentukan dan mengelola diri sendiri – adalah salah satu dari tugas
perkembangan yang fundamental pada masa remaja. Hal ini ditegaskan pula oleh
Havigurst (Hurlock, 2004) bahwa kemandirian merupakan salah satu tugas
perkembangan remaja untuk menuju masa dewasa, agar para remaja dengan
mantap memasuki dunianya yang baru tanpa hambatan yang berarti.
Rice (dalam Aspin, 2007) mengemukakan pencapaian kemandirian bagi
remaja merupakan sesuatu hal yang tidak mudah, karena pada masa remaja terjadi
pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar
dialami pada masa kanak-kanak dengan segala sesuatunya serba diatur dan
ditentukan oleh orangtua. Pemutusan ikatan infantil yang telah berkembang dan
dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak seringkali
menimbulkan reaksi yang sulit dipahami bagi kedua belah pihak, baik remaja
maupun orangtua.
Dalam analisis Steinberg (2002) jika remaja, terutama remaja awal,
mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantil maka ia akan melakukan
separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Keberhasilan dalam melakukan
separasi inilah yang merupakan dasar bagi pencapaian kemandirian terutama
kemandirian yang bersifat independent. Dengan kata lain, kemandirian yang
pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independent,
yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantil individu sehingga ia dapat
menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orangtua.
Oleh karena itu, pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang
dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju
kemandirian yang lebih bersifat autonomy pada masa dewasa. Kemandirian
emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi perkembangan
kemandirian behavioral dan nilai. Berkaitan dengan perkembangan kemandirian
emosionalnya, secara perlahan ia mengembangkan kemandirian behavioralnya.
Perkembangan kemandirian emosional dan behavioral tersebut menjadi dasar bagi
perkembangan kemandirian nilai. Oleh karena itu, pada diri individu kemandirian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemandirian merupakan
salah satu tugas perkembangan yang mendasar pada tahun-tahun perkembangan
masa remaja. Sarwono (2004), menjelaskan bahwa latihan-latihan agar anak dapat
mandiri sedini mungkin dapat mengurangi konflik peran pada masa remaja.
Remaja dapat memilih jalannya sendiri dan akan berkembang lebih mantap
dengan kemandiriannya, karena ia tahu saat yang tepat untuk berkonsultasi
dengan orangtuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya
sendiri
Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting
dalam proses perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan
yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian
amatlah krusial. Ali dan Asrori (2008) menyatakan pola asuh sebagai salah satu
faktor yang sering disebut korelat bagi perkembangan kemandirian. Faktor-faktor
yang dimaksud meliputi gen atau keturunan orangtua, pola asuh orangtua, sistem
pendidikan sekolah, dan sistem kehidupan di masyarakat.
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Dalam lingkungan keluarga anak diasuh dan
dibesarkan, sehingga mengalami suatu proses menjadi manusia yang dewasa.
Fungsi tersebut di samping sangat vital juga berubah dan mengalami
perkembangan seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak,
misalnya pada masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama
sebuah keluarga adalah mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan
perkembangan seorang anak, misalnya ketika ia menjadi seorang remaja, maka
fungsi utama keluarga akan bergeser dan bertambah pula. Seorang remaja lebih
membutuhkan dukungan daripada sekadar pengasuhan, ia lebih membutuhkan
bimbingan daripada sekadar perlindungan, dan seorang remaja lebih
membutuhkan pengarahan daripada sekadar sosialisasi (Steinberg, 2002).
Pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya berbeda-beda antara
keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Berdasarkan jenis-jenis pola asuh
yang disebutkan oleh Baumrind (Steinberg, 2002), pola asuh yang diterapkan
orangtua adalah pola asuh authoritative, authoritarian, permissive-indulgent, atau
permissive-indefferent. Perbedaan pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap
anaknya, menurut Steinberg (2002) dapat menyebabkan perbedaan dalam
perkembangan remaja. Lebih lanjut Steinberg (2002) mengemukakan
perkembangan kemandirian, tanggung jawab, dan harga diri lebih didukung oleh
pola asuh authoritative daripada pola asuh authoritarian, permissive-indulgent,
dan permissive-indefferent.
Steinberg (2002) mengutip pendapat beberapa ahli mengenai karakteristik
remaja terkait pola asuh yang diterapkan orangtua sebagai berikut:
Penelitian Diana Baumrind menjelaskan ada empat jenis pola asuh, yaitu:
Pertama, pola pengasuhan authoritative merupakan pola asuh orangtua dengan
responsivitas yang tinggi serta tuntutan yang tinggi pula terhadap anak (Baumrind
dalam Steinberg, 2002). Orangtua menempatkan nilai yang tinggi pada
perkembangan kemandirian dan pengendalian diri tetapi bertanggungjawab penuh
terhadap perilaku anak. Baumrind (dalam Santrock 2002), mengemukakan
orangtua authoritative mendorong anak agar mandiri dengan tetap memberikan
batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan anak. Hasil penelitian Kandel
dan Leeser (dalam Santrock, 2002), menunjukkan pola asuh authoritative
berkaitan dengan peningkatan otonomi remaja. Kedua, pola asuh authoritarian
merupakan pola asuh orangtua dengan responsivitas yang rendah tetapi tuntutan
yang tinggi terhadap anak (Baumrind dalam Steinberg, 2002). Orangtua
authoritarian cenderung tidak membawa ke arah perilaku mandiri melainkan
menghambat kemandirian remaja. Baumrind (dalam Santrock, 2002), juga
menjelaskan orang tua authoritarian membatasi dan menghukum yang menuntut
anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua serta menghormati pekerjaan
dan usaha. Orangtua authoritarian menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak
memberi peluang yang besar kepada anak untuk berbicara atau bermusyawarah,
hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Ketiga,orangtua yang menerapkan
pola asuh permissive-indulgent memiliki responsivitas yang tinggi tetapi memiliki
tuntutan yang rendah terhadap anak (Baumrind dalam Steinberg, 2002). Baumrind
(dalam Steinberg, 2002) menyampaikan, orangtua permissive-indulgent bersikap
sekali menuntut perilaku anak bahkan memberikan kebebasan yang tinggi kepada
anak untuk bertindak sesuai keinginan anak. Baumrind (dalam Santrock, 2002)
menyampaikan, orangtua dengan pola asuh permissive-indulgent
(permissive-memanjakan) sangat terlibat dalam kehidupan remaja tetapi sedikit sekali
menuntut atau mengendalikan remaja. Pola asuh permissive-indulgent bukannya
mendukung perkembangan remaja melainkan dapat menghambat perkembangan
remaja. Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengemukakan pola asuh
permissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial remaja, terutama kurangnya
pengendalian diri. Keempat, orangtua yang menerapkan pola asuh
permissive-indifferent memiliki responsivitas dan tuntutan yang rendah terhadap anak
(Baumrind dalam Steinberg, 2002).
Demikian beberapa jenis pola asuh yang diterapkan orangtua kepada
anaknya, dan pola asuh ini dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian pada
remaja. Kemandirian berkembang melalui proses pengalaman, latihan-latihan,
kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh tiap-tiap pola asuh. Oleh karena itu,
pembentukan kemandirian remaja dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu
keluarga dan berkembang ke lingkungan di luar keluarga.
Beberapa hasil penelitian mengenai keterkaitan pola asuh orangtua dengan
kemandirian remaja menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
kemandirian remaja dengan pola asuh orangtua. Hasil penelitian Jannah (2004)
yang berjudul: “Hubungan antara Gaya Pengasuhan Orangtua dan Otonomi
Remaja pada Siswa Kelas X dan XI Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Banda
terdapat hubungan positif antara gaya pengasuhan orangtua authoritative dan
otonomi remaja pertengahan; 2) terdapat hubungan negatif antara gaya
pengasuhan authoritarian dan otonomi remaja pertengahan; 3) terdapat hubungan
negatif antara gaya pengasuhan orangtua indulgent dan otonomi remaja
pertengahan; 4) terdapat hubungan negatif anatara gaya pengasuhan orangtua
indifferent dan otonomi remaja pertengahan.
Menurut Sarwono (2008), masalah remaja pada umumnya disebabkan oleh
adanya konflik peran sosial, di satu sisi ia sudah ingin mandiri sebagai orang
dewasa, di sisi lain ia masih harus mengikuti kemauan orangtua. Rasa
ketergantungan anak Indonesia pada orangtua lebih besar lagi, karena memang
dikehendaki demikian oleh orangtua. Hal ini terbukti dari penelitian yang
dilakukan oleh psikolog bernama C. Kagitcibasi yang meneliti sejumlah 20.403
orangtua di seluruh dunia. Dalam penelitian tersebut terbukti bahwa ibu-ibu dari
suku Jawa dan Sunda mengharapkan anak agar menuruti orangtua (Jawa: 88%,
Sunda: 81%). Demikian pula para ayah dari kedua suku tersebut mengharapkan
hal yang sama (Jawa: 85%, Sunda: 76%). Harapan itu berbeda dengan bangsa
Korea, Singapura, dan Amerika. Pada bangsa tersebut lebih banyak orangtua yang
berharap agar anaknya bisa mandiri (ibu Korea: 62%, ibu Singapura: 60%, ibu
Amerika: 51%, ayah Korea: 68%, ayah Singapura: 69%, ayah Amerika: 43%).
Gambaran kondisi kemandirian anak-anak Indonesia sebagaimana hasil penelitian
tersebut menunjukkan kemandirian anak-anak Indonesia terkait dengan perlakuan
Usia siswa SMP merupakan usia remaja awal. Siswa SMP Islam Al Abidin
Surakarta merupakan remaja yang berasal dari latar belakang keluarga yang
berbeda. Dari berbagai latar belakang keluarga yang berbeda, membentuk pola
asuh orangtua yang berbeda pula dalam keluarga. Pada penelitian ini, penulis
melihat kenyataan di lapangan bahwa kemandirian antara siswa yang satu dengan
lainnya berbeda. Hal senada juga disampaikan oleh beberapa guru SMP tersebut,
bahwa siswa memiliki tingkat kemandirian yang berbeda. Mencermati kenyataan
tersebut, bahwa dari latar belakang keluarga yang berbeda akan membentuk pola
asuh orangtua yang berbeda dan diprediksikan dari pola asuh orangtua yang
berbeda tersebut akan mempengaruhi kemandirian siswa dalam tugas
perkembangan remaja yang sedang mereka tempuh. Di SMP Islam Al Abidin
Surakarta belum pernah diadakan penelitian tentang perbedaan tingkat
kemandirian remaja ditinjau dari pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Hal
tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang perbedaan
tingkat kemandirian remaja ditinjau dari penerapan pola asuh orangtua pada siswa
di sekolah tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
”Adakah perbedaan tingkat kemandirian pada siswa kelas IX SMP Islam
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kemandirian pada
remaja ditinjau dari pola asuh yang diterapkan oleh orangtua.
b. Untuk mengetahui pola asuh yang diterapkan para orangtua.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
Memberikan sumbangan teoritik bagi pengembangan disiplin ilmu
psikologi pada umumnya dan psikologi perkembangan pada khususnya.
b.Manfaat praktis
1. Bagi orangtua
Menjadi bahan pertimbangan bagi orangtua dalam menerapkan pola
asuh yang dapat mendukung pembentukan dan perkembangan
kemandirian anak.
2. Bagi guru
Dapat memberikan bahan pertimbangan pada guru pendidik agar dapat
membantu proses pembentukan dan perkembangan kemandirian pada
3. Bagi peneliti
Dapat memberikan tambahan khasanah informasi mengenai psikologi
perkembangan, terutama dalam hal kemandirian remaja dan pola asuh