111
BAB V
Kesimpulan
Perubahan sosial di Yogyakarta dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pola kelembagaan yang ada. Lembaga-lembaga yang berperan dalam perubahan di Yogyakarta saat ini dapat dikategorikan ke dalam 2 bentuk lembaga yaitu negara/pemerintahan dan masyarakat. Negara/ pemerintahan di Yogyakarta juga dibedakan ke dalam 2 jenis yaitu pemerintahan modern (Pemerintah Negara Republik Indonesia) dan pemerintahan tradisional (Kasultanan Yogyakarta). Oleh karena itu perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta dipengaruhi oleh pola relasi antara 3 lembaga tersebut (Pemerintah Nasional, Kraton da masyarakat), perubahan-perubahan yang terjadi dalam pola relasi kelembagaan 3 lembaga tersebut mengakibatkan pada perubahan di Yogyakarta secara umum.
Perubahan yang diakibatkan pola relasi yang berasal dari atas (baik Pemerintahan Nasional maupun Pemerintahan Kasultanan) sebagian besar merupakan bentuk perubahan yang direncanakan. Pola relasi yang direncenakan antar lembaga ini seringkali diwujudkan dengan munculnya peraturan atau undang-undang. Namun sebaliknya perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Yogyakarta seringkali terjadi tanpa direncanakan, Bregada Kraton Yogyakarta yang saat ini menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta juga mengalami perubahan yang direncanakan maupun yang
112
tidak direncanakan, hal ini berakibat pula pada pola relasi/ sikap mereka terhadap 2 lembaga sebelumnya.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di sekitar Bregada Kraton Yogyakarta khususnya Bregada Dhaeng turut menyumbang perubahan-perubahan yang terjadi di dalam tubuh bregada tersebut termasuk perubahan sikap politik mereka. Berkaitan dengan isu politik kita dapat mengambil contoh terhadap isu penetapan Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika isu penetapan ini santer berkembang dalam masyarakat Yogyakarta banyak kelompok masyarakat yang menunjukkan sikap dukungan terhadap penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X, namun dalam bregada Dhaeng sendiri tidak menunjukan sikap dukungan tersebut secara langsung atau terbuka. Ketika isu tersebut berkembang mayoritas Bregada Dhaeng lebih banyak mengamati isu berkembang dari luar dan tetap melanjutkan kesibukan mereka seperti biasa, meskipun begitu mereka tetap menyatakan dukungan terhadap penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY. Sikap bregada ini tentu tidak langsung terbentuk saat itu juga, namun sikap mereka terbentuk dari proses-proses dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi mengitari mereka baik ketika posisi mereka sebagai warga biasa maupun ketika menjadi abdi kraton. Secara singkat pembentukan sikap bregada tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Dinamika Bregada Kasultanan Yogyakarta: Beda Masa, Beda Rasa
Pasang Surut Kekuatan Bregada Kasultanan Yogyakarta : Dari Prajurit
113
Bregada Kraton Yogyakarta bernaung dibawah Kasultanan Yogyakarta, dinamika yang terjadi pada Kasultanan Yogyakarta juga mempengaruhi keberadaan bregada tersebut. Sejak lahir Kasultanan Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan VOC, karena secara tidak langsung VOC-lah yang berhasil memecah Kerajaan Mataram menjadi 2 kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui perjanjian Giyanti. Dan dengan lahirnya kasultanan ini, lahir pula kekuatan militer yang mendukung berjalannya Kasultanan Yogyakarta.
Pengaruh penjajah dalam masalah kerajaan tidak hanya sampai disitu, dalam dinamikanya Kasultanan Yogyakarta beberapa kali memiliki masalah yang kemudian melibatkan penjajah dan dalam beberapa masalah itu pula pada akhirnya Kasultanan dipaksa untuk memperlemah kekuatan militernya baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada masa-masa terakhir keberadaan kekuatan militer Bregada Kasultanan Yogyakarta hanya mampu berfungsi untuk sekedar melindungi Sultan dan juga melindungi Kraton dengan kuantitas dan kualitas yang minimalis, hingga kemudian seluruh bregada dibubarkan oleh kolonial Jepang pada tahun 1942.
Bergabungnya Kasultanan Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945 belum dapat mengubah keadaan bagi bregada kraton nntuk bangkit kembali dikarenakan kebutuhan keamanan yang telah difasilitasi oleh Negara Republik Indonesia baik melalui tentara maupun polisi. Pada tahun 1956 bregada mulai dibangkitkan kembali bukan oleh Kraton namun oleh masyarakat sekitar Kraton yaitu oleh Karang Taruna Desa Ngasem yaitu dengan membentuk Bregada Dhaeng. Prajurit ini hanya menggunakan perlengkapan seadanya dan hanya berfungsi seremonial yaitu
114
digunakan untuk Karnaval menyambut Kemerdekaan RI (17 Agustus-an). Pada tahun 1971 Kraton Yogyakarta membentuk kembali bregada secara bertahap dari 4 kesatuan hingga berjumlah seperti sekarang yaitu 10 kesatuan, pembentukan kembali ini disertai dengan pembentukan Tepas Keprajuritan sebagai lembaga yang menaungi masalah keprajuritan. Bregada yang dibentuk kembali ini sepertihalnya bregada yang yang dibentuk Karang Taruna Desa Ngasem yang hanya memiliki fungsi seremonial yang secara khusus mengiringi upacara-upacara adat Kraton.
Posisi Bregada Kasultanan Yogyakarta yang dibangkitkan kembali ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan bregada pada masa penjajahan. Keduanya sama-sama kekuatannya “dikerdilkan” sehingga tidak memiliki potensi untuk dimanfaatkan untuk melawan. Perbedaannya adalah pada masa penjajahan “pengkerdilan” kekuatan
bregada dilakukan secara paksa oleh penjajah melalui perjanjian-perjanjian, sedangkan bregada pasca kemerdekaan ini “dikerdilkan” secara sukarela oleh Kraton Yogyakarta
untuk menghormati kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Bregada Kasultanan Yogyakarta dari Lembaga Negara menjadi Masyarakat
Sipil
Pada masa lalu, bregada Kasultanan Yogyakarta merupakan kekuatan taktis militer yang bekerja untuk negara (kerajaan), sebagai sebuah lembaga yang bekerja untuk keamanan negara maka kesetiaan mereka terhadap kerajaan selalu ditempa dan menjadi prioritas yang utama, sepertihalnya lembaga keamanan modern sekarang seperti TNI dan Polisi di mana mereka juga diharuskan netral dan memprioritaskan keamanan dan keutuhan negara.
115
Pasca dibentuk kembali, Bregada Kraton Yogyakarta hanya memiliki fungsi seremonial. Prajurit ini lahir dari masyarakat sehingga kemudian keanggotaannya juga berasal dari masyarakat umum. Bregada Kraton Yogyakarta saat ini hanya mendapat pelatihan baris-berbaris dan tidak mendapatkan pelatihan militer seperti yang dilakukan pada masa lalu. Keberadaan Bregada ini di kraton-pun saat ini hanya memiliki fungsi keamanan maupun melindungi Kraton yang sederhana karena hanya memiliki jadwal piket jaga malam di Sittihinggil dan piket jaga ini lebih cenderung sama dengan siskamling yang dalam kampung-kampung dibanding dengan penjagaan oleh polisi maupun tentara yang bersenjata lengkap. Keberadaan bregada sekarang lebih cenderung sebagai masyarakat sipil sehingga dinamika mereka akan memiliki kecenderungan pula sepertihalnya masyarakat lainnya di mana tidak terikat kuat terhadap lembaga negara.
B. Pengaruh Perubahan Sosial dalam Bregada Kasultanan Yogyakarta dalam Kasus Keistimewaan Yogyakarta: Dualitas Para Penjaga Budaya
Perubahan pola kelembagaan pada masa pra-kemerdekaan ke masa pasca-kemerdekaan turut merubah pula relasi-relasi hubungan kuasa antar lembaganya. Pada masa penjajahan, Kasultanan Yogyakarta dikenal sebagai daerah Swapraja yang memiliki hak istimewa untuk mengatur daerahnya. Pada masa pasca-kemerdekaan Kasultanan Yogyakarta yang begabung dengan Kadipaten Pakualaman dan membentuk satu Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki hak istimewa yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya meskipun kemudian dinamikanya juga terjadi tarik ulur kekuasaan antara pemerintah nasional dengan pemerintah kerajaan. Tarik ulur kekuasaan ini dapat dilihat sebagai perebutan pengaruh antara 2 lembaga kuasa yang
116
berkuasa di Yogyakarta, kuatnya pengaruh kedua lembaga kemudian menciptakan dualisme dalam masyarakat. Bregada Kraton Yogyakarta yang saat ini juga tergolong sebagai masyarakat Yogyakarta tidak terlepas dari dualisme kekuasaan tersebut, diantaranya:
Dualitas antara Pemerintahan Modern dan Pemerintahan Tradisional
Munculnya titik kuasa baru pada masyarakat Yogyakarta pasca bergabung dengan Negara Republik Indonesia yaitu Pemerintah Nasional disamping Kasultanan sendiri yang sudah lebih dahulu muncul berpengaruh pula terhadap Bregada Kraton Yogyakarta. Masyarakat yang sebelumnya hanya mengenal Sultan dan Kraton sebagai pembuat kebijakan namun pasca-kemerdekaan mereka juga mengenal Pemerintah Nasional sebagai penguasa dan pembuat kebijakan bagi mereka.
Pengaruh pemerintah modern cukup kuat meskipun umurnya belum genap satu abad, hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah modern yang seringkali sejalan dengan perubahan global. Meskipun begitu pemerintah tradisional di Yogyakarta juga memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk mempertahankan posisinya khususnya melalui jalur kebudayaan. Bregada Kraton Yogyakarta saat ini seperti tidak memiliki kuasa dalam menghadapi dua titik kuasa tersebut, jika boleh disebut kedua lembaga tersebut merupakan “srengenge kembar (matahari kembar)” bagi Bregada Kraton Yogyakarta
karena mereka mengakui kedua lembaga tersebut sebagai lembaga yang mengatur mereka.
117
Pada saat isu RUU Keistimewaan Yogyakarta memanas dalam masyarakat Yogyakarta terjadi penyempitan masalah dari pembahasan tentang Keistimewaan Yogyakarta yang memiliki substansi tentang masalah pertanahan, pemerintahan, politik (suksesi gubernur dan wakil gubernur) serta masalah budaya menjadi masalah politik saja yang dibuktikan dengan terbentuknya dua poros antara masyarakat yang pro-penetapan dan masyarakat yang pro-pemilihan.
Berkaitan dengan masalah tersebut para prajurit budaya ini memang memiliki kesatuan suara bahwa mereka mendukung Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan. Namun meskipun begitu mereka tidak merealisaskian sikap mereka tersebut ke dalam bentuk yang lebih nyata seperti kelompok-kelompok masyarakat lainnya, dan ditambah lagi mereka dalam kesempatan lain mendukung sistem pemilihan langsung sebagai jalan yang tepat untuk sistem politik di Indonesia.
Sikap prajurit kraton tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sama-sama kuat dari dua lembaga di atas mereka yang kemudian menyebabkan terjadinya dualitas Bregada Kraton Yogyakarta dalam sikapnya tentang sistem politik, di mana mereka memberi dukungan terhadap sistem pemilihan langsung yang dianut oleh Negara Republik Indonesia namun sekaligus menolak sistem tersebut untuk diterapkan pada kaitannya dengan suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ketika terjadi masalah RUU Keistimewaan Yogyakarta.
C. Yogyakarta Esok: Akankah Selalu Istimewa?
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika kita mempertanyakan keadaan Yogyakarta pada masa yang akan datang meskipun hanya sekedar prediksi/prakiraan, hal ini juga
118
perlu dipikirkan karena dinamika Yogyakarta yang seperti sekarang ini di mana perubahan-perubahan sulit dikendalikan bahkan oleh undang-undang sekalipun. Keistimewaan Yogyakarta akan bergantung pada usaha-usaha yang dilakukan oleh ketiga lembaga yang telah disebut sebelumnya untuk mempertahankan atau melestarikannya.
Keistimewaan Yogyakarta termasuk aspek politiknya tentang pilihan penetapan Sultan sebagai gubernur tidak akan bertahan jika satu lembaga hanya bekerja sendiri, dukungan antar lembaga mutlak dibutuhkan guna mempertahankan keistimewaan. Ketika tidak ada dukungan dari satu lembaga maka akan muncul kembali pihak yang mempertanyakan Keistimewaan Yogyakarta sepertihalnya yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Peran dua lembaga (Pemerintah Nasional dan Kasultanan) memiliki peran penting dalam Keistimewaan Yogyakarta melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, terkhusus untuk Kasultanan Yogyakarta di mana melalui UU no 13 tahun 2012 yang telah mengesahkan tentang masalah Sultan yang secara otomatis akan ditetapkan menjadi Gubernur DIY maka lembaga ini memiliki peran penting untuk men-sinkron-kan kebijakan serta menjadi perantara antara masyarakat Yogyakarta dengan Pemerintah Nasional. Kraton Yogyakarta juga dituntut konsisten dan bijaksana dalam masalah suksesi Pemimpin Kraton (Sultan) di mana kualitas dari penerus Sultan Hamengku Buwono X harus lebih baik atau minimal setara dengan Sultan yang sekarang.
Peran masyarakat dalam Keistimewaan Yogyakarta juga sangat vital, hal ini dikarenakan salah satu nilai yang dominan dalam Keistimewaan Yogyakarta adalah
119
nilai budaya. Selama masyarakat Yogyakarta menjaga nilai-nilai budaya Yogyakarta maka Keistimewaan Yogyakarta akan semakin kuat, namun dilain pihak jika masyarakat termakan oleh arus perubahan yang berasal dari luar yang semakin lama semakin menggerus nilai budaya Yogyakarta maka bukan hal yang mustahil Keistimewaan Yogyakarta hanya menjadi sekedar gelar tanpa esensi, yang siap rubuh sewaktu-waktu.
Kita dapat memperkirakan ketika demokratisasi semakin kuat dan pendidikan semakin maju dan merata dalam masyarakat Yogyakarta, namun hal tersebut tidak dibarengi dengan kepedulian baik masyarakat, Kraton maupun pemerintah nasional dalam menjaga Keistimewaan Yogyakarta, maka bisa dimungkinkan akan muncul ketidakpercayaan baik masyarakat maupun pemerintah nasional terhadap Pemimpin Tradisional Yogyakarta dalam memimpin Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan ketika hal tersebut terjadi dan tidak menghendaki kesatuan pemimpin tradisional dan pemimpin daerah maka ada kemungkinan besar Keistimewaan Yogyakarta akan direvisi ulang dan dimungkinkan pula ketika itu terjadi pilihan untuk mengadakan pilkada DIY akan terealisasikan.
Segala sesuatu memang masih berjalan begitu pula perubahan-perubahan dalam masyarakat Yogyakarta, dengan terus terjadinya perubahan-perubahan sosial maka akan banyak kemungkinan yang bisa terjadi dalam masa depan. Harapan dan resiko akan selalu mengikuti perubahan-perubahan tersebut dan selama segala resiko dapat diprediksi maka tidak ada salahnya kita mengantisipasi segala resiko perubahan yang ada sejak sekarang.
120
Lampiran
Gambar 2. Seragam dan Panji-Panji (dwaja/bendera) Bregada Kraton Yogyakarta
Sumber: http://kotajogja.com/images/upload/BregadaRajuritKratonNgayogyakarta04012014202957.jpg
Gambar 2. Manggalayudha Bregada Kraton Yogyakarta bersama kerabat kraton
121
Gambar 3. Bregada Kraton Yogyakarta ketika Grebeg Sekaten
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 4. Bregada Dhaeng Yogyakarta
122
Gambar 5. Patung Prajurit Dhaeng di Desa Dhaengan
Sumber:
http://1.bp.blogspot.com/_Y7oDDVQZh98/TUF196WzjCI/AAAAAAAAANo/1TistmN2ls8/s1600/dhaen g.jpg
Gambar 5. Kartu Tanda Anggota Prajurit Kraton Yogyakarta