• Tidak ada hasil yang ditemukan

Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS. Oleh: Brilliana Firly Ariesti dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS. Oleh: Brilliana Firly Ariesti dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Responsi

RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:

Brilliana Firly Ariesti

dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD

DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FK UNUD/RSUP SANGLAH

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Rheumatoid Arthritis” ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian responsi ini. Responsi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. dr. Tjok Istri Anom Saturti,Sp.PD selaku pembimbing sekaligus penguji dalam pembuatan responsi kasus ini

2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan responsi kasus ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Agustus 2016

(3)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I Pendahuluan ... 1

BAB II Tinjauan Pustaka ... 3

2.1 Definisi ... 3

2.2 Epidemiologi ... 3

2.3 Faktor Risiko ... 4

2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi ... 4

2.3.2 Dapat Dimodifikasi ... 5

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi ... 6

2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis ... 10 2.5.1 Manifestasi Klinis ... 10 2.5.2 Pemeriksaan Penunjang ... 11 2.5.3 Diagnosis ... 11 2.6 Tatalaksana ... 13 2.6.1 Pencegahan ... 13 2.6.2 Penanganan ... 14 2.7 Diagnosis Banding ... 15 2.8 Prognosis ... 16

BAB III Laporan Kasus ... 17

BAB IV Pembahasan ... 28

BAB V Simpulan ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).

Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor

(5)

hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).

Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.

Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum

diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).

Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).

Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis

Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%

(7)

dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.

2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:

2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi 1. Faktor genetik

Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLA-DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.

2. Usia

RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan

(8)

beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.

3. Jenis kelamin

RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.

2.3.2 Dapat Dimodifikasi 1. Gaya hidup

a. Status sosial ekonomi

Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.

b. Merokok

Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.

c. Diet

Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan

(9)

memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.

d. Infeksi

Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.

e. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.

2. Faktor hormonal

Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.

3. Bentuk tubuh

Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).

(10)

Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)

(11)

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).

Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi

(12)

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).

(13)

2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis

2.5.1 Manifestasi Klinis

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).

1. Keluhan umum

Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.

2. Kelainan sendi

Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

3. Kelainan diluar sendi

a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)

b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard

c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura) d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis

yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop

e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans

(14)

f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium

a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive

Protein (CRP) meningkat

b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis

c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten 2. Radiologis

Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

2.5.3 Diagnosis

Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)

Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:

1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

(15)

2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.

3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).

5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.

6. Rheumatoid Factor serum positif

7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).

Distribusi Sendi (0-5) Skor

1 sendi besar 2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) >10 sendi kecil 0 1 2 3 5 Serologi (0-3)

RF negatif DAN ACPA negatif

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

0 2 3

(16)

Durasi Gejala (0-1) <6 minggu

≥6 minggu

0 1 Acute Phase Reactant (0-1)

CRP normal DAN LED normal CRP abnormal ATAU LED abnormal

0 1

2.6 Tatalaksana 2.6.1 Pencegahan

Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:

1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.

2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi. 3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih

berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.

4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.

5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan

(17)

sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)

6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

2.6.2 Penanganan

Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)

Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.

2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)

Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).

3. Kortikosteroid

Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.

4. Rehabilitasi

Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui

(18)

pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.

5. Pembedahan

Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)

Tabel 1. DMARD untuk terapi RA

OBAT ONSET DOSIS Keterangan

Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io ditingkatkan setiap minggu hingga 4x500mg/hari

Digunakan sebagai lini pertama

Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 mg/ minggu/IV atau peroral 12,5-17,5mg/minggu dalam 8-12 minggu

Diberikan pada kasus lanjut dan berat. Efek samping: rentan infeksi, intoleransi GIT, gangguan fungsi hati dan hematologik

Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan tajam penglihatan, mual, diare, anemia hemolitik Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan

hati, gejala GIT, peningkatan TFH

D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis, proteinuria, rash

2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis

RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin

(19)

mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.

2.8 Prognosis Rheumatoid Arthritis

Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.

(20)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : M

Umur : 49 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah Pendidikan Terakhir : SMP

Pekerjaan : Pedagang dan penjaga villa

Alamat : Jl. Goa Gong Br. Kutuh Unggasan Kuta Badung

Tanggal MRS : 13 September 2015

Tanggal Pemeriksaan Pasien : 17 September 2015

3.2 KELUHAN UTAMA Nyeri sendi

3.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang sadar pada tanggal 13 September 2015 dengan keluhan nyeri sendi di lutut kiri dan kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) sampai tidak bisa berjalan. Keluhan dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan sejak 2 bulan SMRS, semakin hari semakin memberat dan terparah sejak 2 hari SMRS. Selain itu, nyeri sendi juga dirasakan di pergelangan tangan dan jari-jari tangan kanan dan kiri terutama pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Awal mula keluhan adalah rasa kaku di pangkal jari-jari tangan dan pergelangan tangan kanan kiri yang muncul bersamaan pada pagi hari dan berlangsung kurang dari 30 menit namun semakin hari muncul hingga lebih dari 1 jam. Semakin lama, pasien merasa sendi jari-jarinya menjadi bengkak. Selanjutnya nyeri dirasakan pula di kedua lutut pasien yang semakin memberat dari hari ke hari, dimana pasien masih bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang dirasakannya

(21)

menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Kemudian pasien juga merasakan nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di leher, bahu, siku, dan pinggang. Keluhan tersebut membaik saat pasien beristirahat dan memberat saat beraktivitas atau saat sendi digerakkan.

Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual, muntah dan kekeringan pada mata disangkal pasien. Pasien tidak merasakan adanya penurunan nafsu makan dan berat badan dikatakan biasa saja. Riwayat BAB dan BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas normal.

Riwayat Pengobatan

Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik sebanyak 3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan dinyatakan normal, pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang dideritanya dan hanya diberikan berbagai macam obat mulai dari obat oral dan suntik namun pasien mengatakan lupa jenis dan merk obatnya. Ketika obat habis, pasien memeriksakan kembali keluhannya yang tidak membaik ke dokter lainnya. Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet penambah stamina dan parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari SMRS pasien meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin lemas karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi dan bengkak seperti ini. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus disangkal oleh pasien. Sekitar 2 tahun lalu pasien hanya pernah MRS di RS Kasih Ibu karena sakit muntaber.

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga disangkal oleh pasien.

(22)

Riwayat Sosial dan Pribadi

Pasien bekerja sebagai pedagang dan penjaga villa. Terkadang pasien membuat dan berjualan krupuk di rumahnya, namun tidak sampai berkeliling dalam menjajakan dagangannya. Setiap harinya pasien beraktivitas membersihkan villa yang satu kawasan dengan rumahnya. Riwayat konsumsi rokok dan alkohol disangkal oleh pasien. Pasien hanya memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas setiap harinya yang diminum setiap pagi, siang, dan sore. Pasien tidak memiliki kebiasaan khusus dalam mengonsumsi makanan karena selalu berganti-ganti menu di setiap harinya, pasien menyangkal sering mengonsumsi daging merah. Pasien juga tidak terlalu sering makan sayur-sayuran dan buah-buahan.

3.4 PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2015) Status Present

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit reguler

Respirasi : 20 x/menit

Temperatur : 36,5ºC

BB / TB : 45 kg / 152 cm

BMI : 19,47 kg/m2

Satus Gizi : Baik

VAS : 5/10 (nyeri sendi)

Status General

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-)

THT : dalam batas normal,

Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)

Thoraks : simetris

(23)

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung

parasternal line dekstra, batas kiri jantung

midclavicular line sinistra ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-) Pulmo: Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus N|N

N|N

N|N

Perkusi : sonor | sonor sonor | sonor sonor | sonor

Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|-

+|+, -|-, -|-

+|+, -|-, -|-

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-),

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-

+|+ -|-

Status Lokalis

Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra

Inspeksi : eritema (-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-) Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)

(24)

Sendi Genu Dekstra dan Sinistra

Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur (-)

Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+), bulging (-), krepitasi (-)

ROM : flexi : 90

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (13 September 2015)

Kimia Klinik (13 September 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

WBC 13,31 103µL 4,10-11,00 Tinggi % NEUT 81,8 % 47,00-80,00 Tinggi % LYMPH 9,2 % 13,00-40,00 Rendah % MONO 6,3 % 2,00-11,00 % EOS 1,6 % 0,00-5,00 % BASO 0,1 % 0,00-2,00 #NEUT 10,89 103µL 2,50-7,50 Tinggi #LYMPH 1,23 103µL 1,00-4,00 #MONO 0,84 103µL 0,10-1,20 #EOS 0,21 103µL 0,00-0,50 #BASO 0,02 103µL 0,00-0,10 RBC 4,69 106µL 4,00 – 5,20 Hemoglobin 11,1 g/dL 12,00-16,00 Rendah Hematokrit 38,0 % 36,00-46,00 Platelet 426 103µL 140,00-440,00 Rendah MCV 81,0 fL 80,00-100,00 MCH 23,6 Pg 26,00-34,00 MCHC 29,2 g/dL 31,00-36,00 RDW 11,4 % 11,60-14,80 Rendah MPV 5,3 fL 6,80-10,00 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

SGOT 11,8 U/L 11-27 SGPT 10,5 U/L 11,00-34,00 Rendah Albumin 3,14 g/dL 3,40-4,80 Rendah BS Acak 110 mg/dL 70,00-140,00 BUN 6 mg/dL 8,00-23,00 Rendah Creatinin 0,54 mg/dL 0,50-0,90 Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70

Natrium (Na) 132 mmol/L 136-145 Rendah

(25)

Urinalisis (13 September 2015)

Hematologi (13 September 2015)

Hematologi (15 September 2015)

Imunologi (15 September 2015)

Kimia Klinik (15 September 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

Specific gravity 1,005 Negatif

PH 7 7,35-7,45 Rendah

Leucocyte Negatif leuco/uL Negatif

Nitrite Negatif Negatif

Protein (urine) Negatif mg/dL Negatif

Glukosa (urine) Normal mg/dL Normal

KET Negatif Negatif

Urobilinogen Normal mg/dL Normal

Bilirubin (urine) Negatif mg/dL Negatif

ERY 25 (++) Ery/uL Negatif

Colour Amber p-yellow-yellow

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

LED I 30 Mm 0-2 Tinggi

LED II 60 Mm 2-11 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

LED I 1 Mm 0-2

LED II 14 Mm 2-11 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

RF (Kuantitatif) 16 <8 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

CRP

(Kuantitatif)

(26)

Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)

Foto Thorax AP:

Cor : kesan membesar

Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul Sinus pleura kanan kiri tajam Diaphragma kanan kiri normal Tulang-tulang tidak tampak kelainan Kesan : cardiomegaly

(27)

Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:

Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri Trabekulasi tulang normal

Celah dan permukaan sendi baik Tak tampak erosi/destruksi tulang Tak tampak soft tissue mass/swelling

Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri Tulang-tulang manus kanan tak tampak kelainan

(28)

Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral: Aligment baik

Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan eminentia intercondylaris os tibia kiri, margo posteroinferior os patella kanan-kiri

Trabekulasi tulang normal Celah dan permukaan sendi baik Tak tampak erosi/destruksi tulang

Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I (Kellgren-lawrence) Soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

(29)

Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral: Aligment baik

Tak tampak garis fraktur/dislokasi Trabekulasi tulang normal

Celah dan permukaan sendi baik Tak tampak erosi/destruksi tulang Tak tampak soft tissue mass/swelling

Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan

3.6 DIAGNOSIS

- Rheumatoid Arthritis dd SLE

- Secondary Osteoarthritis Genu D et S 3.7 PLANNING Terapi  IVFD NS 20 tpm  Paracetamol 4x750mg io  Na diclofenac 3x50mg io  Metotrexat 1x7,5mg io

(30)

 Kompres hangat Diagnostik

 Analisis synovial fluid Monitoring:

 Keluhan

 Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi

 CM-CK 3.8 Prognosis

 Vitally : dubius ad malam

 Functionally : dubius ad malam

(31)

BAB IV PEMBAHASAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan. RA merupakan penyakit autoimun dimana etiologinya masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memicu terjadinya RA. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah adanya faktor genetik, jenis kelamin perempuan, dan usia diatas 40 tahun. Pada faktor risiko yang dapat dimodifikasi, terdapat faktor gaya hidup yang meliputi sosial ekonomi yang rendah, merokok terutama yang lebih dari 10 tahun, diet tinggi daging merah dibanding sayur-sayuran dan buah-buahan, adanya infeksi virus maupun bakteri, dan pekerjaan yang terpapar zat kimia utamanya silica ataupun pestisida seperti pada petani dan pekerja tambang, dan bentuk tubuh obesitas memperburuk faktor risiko.

Pada pasien ini merupakan perempuan berusia 49 tahun dengan faktor predisposisi genetik yang tidak diketahui karena pasien menyangkal adanya riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dan tidak dilakukan pemeriksaan genetika. Pasien berpendidikan akhir sebagai lulusan SMP dan bekerja sebagai penjaga villa dan pedagang yang memiliki penghasilan pas-pasan dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selama bekerja pasien jarang menghirup zat kimia seperti pestisida atau zat kimia lainnya. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien juga memiliki kebiasaan konsumsi makanan yang biasa saja dan menyangkal sering makan daging merah karena keterbatasan ekonomi. Pasien mengakui jika jarang mengonsumsi buah-buahan. Pasien memiliki status gizi cukup.

Manifestasi klinis RA meliputi keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

(32)

Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Dan kelainan diluar sendi dapat meliputi kelainan pada kulit yaitu nodul rematoid, kelainan jantung, paru, saraf, mata, dan kelenjar limfe.

Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan terutama di ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah serta pergelangan tangan kanan dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan semakin lama semakin memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas sejak 1 hari SMRS. Demam, sesak, diare, kekeringan pada mata, penurunan nafsu makan dan berat badan disangkal pasien.

Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan pada hasil laboratorium yaitu penanda inflamasi Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat. Kemudian adanya Rheumatoid Factor (RF) positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Dan Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti-CCP) yang positif namun hubungan antara anti-CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (13/9/2015) menunjukkan LED meningkat dengan hasil LED I 30mm dan LED II 60mm. Hasil CRP juga meningkat dengan hasil 71,4 mg/L. Selain itu RF juga mengalami peningkatan yaitu dengan hasil 16 dan tidak dilakukan pemeriksaan anti-CCP. Dari hasil pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran osteoarthritis dan soft tissue swelling pada kedua sendi lutut.

Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 pada pasien ini terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria dan telah berlangsung lebih dari 6 minggu. Sedangkan pada kriteria ACR tahun 2010, pasien ini memenuhi kriteria karena memiliki skor lebih dari 6. Uraian masing-masing kriteria diagnosis dijabarkan sebagai berikut:

(33)

No Kriteria Diagnosis ARA tahun 1987 Skor 1 Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya,

sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

2 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.

3 Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal

interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

4 Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).

5 Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.

-

6 Rheumatoid Factor serum positif,

7 Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

-

Kriteria Diagnosis ACR tahun 2010

Distribusi Sendi (0-5) Skor Skor Pasien

1 sendi besar 2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) >10 sendi kecil 0 1 2 3 5 3 Serologi (0-3)

RF negatif DAN ACPA negatif

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

0 2 3

3

(34)

<6 minggu ≥6 minggu

0 1

1

Acute Phase Reactant (0-1) CRP normal DAN LED normal CRP abnormal ATAU LED abnormal

0 1

1

Total: 8

Penanganan pada penderita RA meliputi mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Terapi farmakologi awal dapat diberikan NSAID untuk mengurangi nyeri dan inflamasinya. Selain itu juga diberikan DMARDs segera setelah diagnosis RA ditegakkan untuk mengurangi atau mencegah kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Dapat pula diberikan kortikosteroid dosis rendah sambil menunggu efek DMARDs setelah 4-16 minggu.

Pada pasien ini diberikan terapi faramakologis berupa paracetamol 4x750 mg io, Na diclofenac 2x50 mg io, dan Metotrexat 1x7,5mg io. Pada terapi suportif diberikan cairan IVFD NS 20tpm dan diet tinggi kalori dan tinggi protein. Protein yang dipilih juga bukan berasal dari daging merah. Edukasi kepada pasien dan keluarga juga diberikan meliputi diagnosis, penatalaksanaan baik farmakologi dan non farmakologi serta pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan.

(35)

BAB V SIMPULAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat banyak faktor risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi (genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya hidup, infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi klinis artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan RA, saat ini pasien menjalani perawatan di rumah sakit dan mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk menghilangkan inflamasi dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010). Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien Non Koperatif. Academia Edu

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media Aesculapius, pp 835-839

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN

Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10

Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508

Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

(37)

Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48 Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment,

Geo-Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier, doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

(38)

LAMPIRAN

Gambar

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
Foto Thorax AP:
+5

Referensi

Dokumen terkait

Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati

dibuka/didekripsi maka Pokja Pemilihan dapat menetapkan bahwa Dokumen Penawaran tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penawaran dan penyedia barang/jasa yang

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti subjek, persepsi, motivasi, tindakan,

Untuk mengatasi kesulitan tersebut Villardon (Jordana &amp; Sànchez, 2010) menawarkan untuk menggunakan berbagai rangkaian aktivitas evaluasi untuk mengases kegiatan

Dalam kasus rokok Dji Sam Soe, maka peluang yang mereka miliki adalah jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan ini merupakan pasar yang potensial untuk

Alasan digunakan wawancara untuk mengumpulkan data atau informasi adalah, dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak hanya apa yang diketahui dan dialami informan, tetapi

Langkah-langkah membuat gambar dari obyek datar: 1 Pilih dan klik jenis icon yang akan kita buat!. Misalnya :

Memberikan gambaran kepada orang tua khususnya ibu, tentang hubungan persepsi dengan keterlibatan yang mereka miliki serta lebih memperhatikan pengembangan literasi