• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI KASUS PENGHINAAN AGAMA MELALUI INTERNET SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FUNGSI HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI KASUS PENGHINAAN AGAMA MELALUI INTERNET SKRIPSI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI KASUS PENGHINAAN AGAMA MELALUI INTERNET

SKRIPSI

Oleh :

HASTI PUTRI SAYEKTI

No. Mahasiswa : 07410117 Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan sebuah negara yang berdasar kepada Pancasila, dimana pada sila pertama menyebutkan,”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka oleh sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh negara atau pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan, bahkan lebih dari itu, setiap tertib hukum yang dibuat, haruslah didasarkan atas dan ditujukan untuk merealisir hukum Tuhan.1

Indonesia memang mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, namun Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara Pancasila. Semua agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia memiliki kedudukan yang sama dan ada jaminan mengenai kebebasan beragama. Agama berkedudukan terhormat disertai berbagai kebijakan pengembangan agama tersebut. Dengan demikian kepentingan agama perlu dilindungi, diikuti juga pengaturan menyangkut kehidupan keagamaan.

Berdasarkan pada hal di atas maka pemerintah berusaha melindungi kepentingan tersebut dalam bentuk peraturan-peraturan. Bentuk usaha pemerintah tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E dan pasal 29.2 Di dalam dua pasal ini tampak jelas mengenai jaminan pemerintah mengenai kebebasan dalam meyakini suatu agama serta dalam menjalankan ibadah sesuai dengan

      

1

. Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Penerbit Angkasa, Bandung, 1982, hlm 1.

2

(3)

keyakinannya. Inilah salah satu bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi agama sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara.

Bentuk pengakuan tersebut menimbulkan suatu konsekwensi bahwa seseorang dilarang melecehkan, menodai atau bahkan menghina suatu ajaran agama dengan alasan hal itu bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan yang diakui sebagai suatu hal sakral.

Disamping jaminan yang terdapat dalam UUD 1945, pemerintah juga mengaturnya di dalam KUHP pasal 156, 156a dan pasal 157.3 Di dalam KUHP tersebut memang tidak ada bab khusus yang mengatur mengenai delik penghinaan agama atau yang lebih dikenal dengan sebutan delik agama. Namun dengan adanya pasal-pasal tersebut telah membuktikan bahwa pemerintah telah mengatur mengenai delik agama ini.

Dari ketentuan pasal-pasal di atas, KUHP sendiri memang mengatur delik agama walaupun pengaturannya masih sederhana, karena belum mencerminkan komponen-komponen dalam suatu agama. Hal yang patut menjadi perhatian dan pencermatan lebih lanjut adalah letak delik agama yang dimasukkan dalam Buku II Bab V KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum. Dilihat dari kenyataan ini menunjukkan bahwa seolah-olah apabila mengganggu ketertiban umum saja pasal-pasal tersebut dapat diterapkan.

Mengingat masih sederhananya pengaturan dalam KUHP dan semakin pesatnya kemajuan di bidang teknologi maka pemerintah di tahun 2008

      

3

(4)

mengeluarkan sebuah Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai berbagai macam kegiatan yang dapat dilakukan melalui media dunia maya, salah satunya melalui internet.

Perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan mengingat tindakan perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian aktifitas pelaku kejahatan di dunia maya.4 Dunia maya tersebut seperti memiliki dua sisi yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi internet mampu memberikan manfaat dan kemudahan bagi para penggunanya terutama dalam hal informasi dan komunikasi. Namun di sisi lain dampak negatif dan merugikan juga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku yang kurang bertanggung jawab.

Akhir-akhir ini banyak dibahas mengenai kasus-kasus penghinaan agama melalui internet. Pelaku penghinaan agama menggunakan alasan adanya jaminan kebebasan dalam mengeluarkan pendapat sebagai alat pembenar perbuatan mereka.

Contoh-contoh mengenai kasus-kasus ini sudahlah jelas terlihat, diantaranya kasus Seorang blogger asal Arab Saudi membuat film yang mirip film “Fitna.” Film itu diberi judul “Perpecahan/Schism” dan Youtube sempat menghapus video tersebut dari situsnya. Film “Perpecahan” berdurasi enam menit, dibuat oleh Raid Al-Saeed. Dalam film itu Al-Seed mengambil beberapa teks dalam alkitab yang sengaja ditampilkan dalam konteks yang

melenceng-      

4. Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun 2008

(5)

mirip yang dilakukan Wilders dalam film “Fitna”- dan mengaitkannya dengan sosok pemimpin kepemudaan Kristen fundamentalis asal Texas. Al-Saeed mengatakan bahwa dirinya tidak bermaksud untuk menyebarkan kebencian terhadap umat Kristen, tapi cuma ingin membuktikan bahwa menilai Islam hanya dari menonton film “Fitna” adalah tindakan yang salah. Saeed juga memposting videonya itu di Youtube dan Youtube sempat menghapus video Saeed dengan alasan video itu melanggar persyaratan yang ditetapkan Youtube. Tapi alasan itu dibalas oleh Saeed dengan mempertanyakan mengapa Youtube menghapus videonya sementara “Fitna” masih dibolehkan tampil di Youtube. Saeed lalu memposting kembali videonya pada 2 Maret kemarin.5

Contoh nyata lain dari penghinaan agama ini adalah kasus yang dilakukan oleh dua orang alumni siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yayasan Pendidikan Bellarminus yang beralamat di Jalan Kemangsari IV nomor 97 Kelurahan Jati Bening Baru, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi.6 

Melalui sebuah blog dengan alamat

www.belarrminus-bekasi.blogspot.com dua pelaku yang bernama Felix dan Joice meluapkan

kekecewaan mereka terhadap salah satu guru. Dalam blog bertitel “habisi Islam di Indonesia” ini diposting tulisan-tulisan yang ditujukan untuk membangkitkan amarah umat Islam. Misalnya, dalam pesan berjudul “Habisi Islam di Indonesia”

      

5

. Lihat http://www.kucingbunted.co.cc/2008_04_01_archive.html/, 6 April 2011, 11.15.

6

. Lihat http://koranbaru.com/dua-orang-ditetapkan-sebagai-tersangka-kasus-penistaan-agama-di bekasi/, 19 Oktober 2010, 20:57.

(6)

Pesan yang diposting hari Rabu, 21 April 2010 pukul 02:05 ini terang-terangan membangkitkan amarah keagamaan umat Islam.7

Di dalam blog tersebut Joy memfoto temannya, Felix dengan pose memegang Al-Qur'an sambil mengacungkan jari tengah tanda “Fuck You.” Setelah itu, Felix memfoto dirinya sendiri yang menginjak kitab suci Al-Qur'an.8 Selain itu penghujatan dalam postingan ini memajang foto kitab suci Al-Qur'an warna hijau yang dimasukkan ke dalam WC. Foto penghinaan ini diberi komentar sarkasme. Tak puas memaki Al-Qur'an sebagai kitab kotor dan tidak pantas, blog Santo Bellarminus menuding bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang –

astagfirullah– kurang waras, gila, setan, dan suka berhayal.9

Pada akhirnya karena merasa nama baik sekolahnya tercemar, kepala SMP Bellarminus, Daryono bersama guru IT melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Pondok Gede, kemudian diteruskan ke Polres Bekasi. Kemudian Polres Bekasi menyarankan agar Yayasan Bellarminus langsung melaporkannya ke Polda Metro Jaya.10 Berdasarkan laporan yang dibuat oleh pihak SMP Bellarminus dan adanya laporan dari Front Pembela Islam (FPI) pihak kepolisian akhirnya menutup blog tersebut.

Dalam menangani kasus ini pihak berwajib tidak menggunakan pasal-pasal dalam KUHP melainkan menggunakan pasal-pasal-pasal-pasal dalam UU ITE, yaitu pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 ayat (2). Di dalam pasal 28 ayat (2) disebutkan:

       7 . Lihat http://kabarnet.wordpress.com/2010/05/05/dua-orang-pelaku-penghinaan-agama-islam-ditetapkan-sebagai-tersangka/, 19 Oktober 2010, 21.35. 8 . Lihat http://rantaupincono.blogspot.com/2010/04/inilah-kronologis-penghinaan-nabi-dan.html, 28 Februari 2011, 23:02. 9 . Lihat http://rantaupincono.blogspot.com/2010/04/kristen-bekasi-menantang-perang.html, 28 Februari 2011, 23.07.  10 . Lihat http://myquran.com/forum/showthread.php/9598-Kasus-Penghinaan-Agama-di-Bekasi-Umat-Islam-hanya-berusaha-defensif-!!!/page2, 28 Februari 2011, 23.30.

(7)

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).11

Sementara pasal 45 ayat (2) berbunyi :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).12

Namun di dalam perjalanan kasus ini pada akhirnya pihak berwenang menggunakan pasal 156a huruf a tentang penodaan agama. Dengan pasal ini jugalah pada akhirnya terdakwa terbukti sah dan meyakinkan telah melakukan penodaan terhadap agama Islam dengan cara menginjak-injak Al-Qur’an dan foto melecehkan Al-Qur’an dengan pose ‘fuck you,’ terdakwa penistaan agama Abraham Felix Gradi, 16, satu tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Selasa (7/9/2010). Vonis dijatuhkan majelis hakim yang beranggotakan Agus Subekti, Cening Budiana, dan Burhanuddin.13 Putusan yang dijatuhkan tersebut lebih berat daripada tuntutan jaksa yaitu satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan sejumlah pertimbangan. Hal yang memberatkan yakni terdakwa dengan sengaja melakukan foto diri yang merupakan penodaan agama. Sedangkan hal yang meringankan, lanjutnya, mantan siswa SMAN 5 Bekasi ini telah menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Majelis Ulama Islam (MUI) dan umat Islam di Kota Bekasi.

      

11

. Lihat UU ITE pasal 28 ayat (2).

12

. Lihat UU ITE pasal 45 ayat (2).

13

.Lihat http://kristenisasi.wordpress.com/2010/09/08/menginjak-dan-mengejek-al-quran-%E2%80%98fuck-you%E2%80%99-felix-hanya-dihukum-1-tahun-penjara/, 1 Maret 2011, 14:22.

(8)

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana fungsi hukum pidana di dalam menanggulangi kasus penghinaan agama melaui internet?

C. TUJUAN PENELITIAN

Mengkaji dan menganalisis fungsi hukum pidana dalam menangani penghinaan agama melalui internet.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak dapat dipisahkan dari benturan-benturan kepentingan. Benturan-benturan tersebut terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, baik secara individu maupun secara golongan. Untuk mengatur dan meminimalkan hal tersebut diperlukan suatu peraturan yang jelas dan tegas.

Mengacu pada hal tersebut dan dengan melihat kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mengakui adanya kemajemukan dalam hal agama, maka sangat dimungkinkan timbulnya benturan-benturan yang terjadi secara disengaja ataupun tidak. Di sinilah peran pemerintah sebagai penguasa sangat diperlukan untuk mengatur dan mencegah terjadinya hal semacam itu.

Mengenai hubungan antara agama dengan negara ini, tercipta dua doktrin yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama pandangan yang memisahkan antara

(9)

agama dan negara dan kedua pandangan yang menyatukan antara agama dan negara.14

Mengingat begitu pentingnya agama di dalam suatu kehidupan bernegara, sehingga sudah seharusnya ada jaminan dari pemerintah untuk menjamin kelangsungan kehidupan agama di Indonesia. Sebagai kelanjutan dicantumkannya agama dalam KUHP, maka kita akan melihat peranannya dalam kedudukannya sebagai suatu yang dijunjung oleh hukum negara dalam memberikan formula hukum sebagai petunjuk dan jalan hidup masyarakat.15

Di dalam KUHP telah diatur mengenai masalah pengaturan masalah penghinaan agama atau yang lebih dikenal dengan nama delik agama, yaitu pasal 156, 156a, dan pasal 157. Di dalam hukum pidana Indonesia yang tertuang dalam KUHP, khususnya pasal 156 dan pasal 156a KUHP.UU.Pnps.No.1.tahun 1965, perlu dianalisa, karena pasal ini belum jelas.16

Dalam pasal 156 KUHP disebutkan :

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negeri asalnya, agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau kedudukannya menurut hukum tata negara.

      

14

. Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1981, hlm 105.

15. Juhaya S.Praja dan Ahmad Syihabuddin, op cit, hlm 1-2. 16. Ibid. hlm 4.

(10)

Kalau dicermati sebenarnya pasal 156 ini bersifat sangat umum. Objek dari pasal tersebut ialah golongan penduduk. Dikatakan dalam pasal tersebut, bahwa kata “golongan” tersebut berarti bagian penduduk yang berada dengan satu atau bagian lainnya dengan mengambil kriteria tertentu, yaitu ras, negeri asalnya, agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau kedudukannya menurut hukum tata Negara. Adapun perbuatan yang dipidana ialah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan.17

Dilihat dari kelahiran pasal 156 ini sangat erat kaitannya dengan pasal 154 KUHP. Kedua pasal ini merupakan pasal yang diciptakan untuk tujuan tertentu oleh pemerintah kolonial Belanda. Jadi wajar jika dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak dapat hanya ditujukan untuk penghinaan terhadap agama, melainkan dapat juga dijadikan sebagai alat politik oleh penguasa.

Sehubungan dengan pasal 156 KUHP tidak dapat dilepaskan dengan pasal 154 yang juga terletak dalam kejahatan terhadap ketertiban umum, pasal tersebut dikategorikan sebagai haatzaai artikelen, sebagai pasal karet. Menurut sejarahnya, pasal ini digunakan untuk kepentingan pemerintah Kolonial Belanda, dan pernah dimanfaatkan untuk mematahkan kaum pergerakan nasional, seperti: Bung Karno, dan kawan-kawannya.18

Kemudian, bila pasal ini ditinjau dari segi penempatannya dalam KUHP yaitu dalam Buku II dan V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, agak jauh dari bab ke-16 mengenai penghinaan, merupakan suatu petunjuk bahwa bukan penghinaan yang dimaksud pasal 156 KUHP ini dalam perbuatan

      

17

. Ibid. hlm 42.

18

(11)

pidananya, tapi menyatakan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan seperti telah dikemukakan di atas tadi.19

Sedangkan dalam pasal 156a KUHP disebutkan :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ketuhanan yang maha esa.

Dalam rumusan pasal 156a tersebut di atas, terdapat 2 bentuk kejahatan, yaitu:

Kejahatan yang pertama, unsur-unsurnya sebagai berikut : 1. Unsur-unsur objektif :

a. Perbuatannya :

1) Mengeluarkan perasaan

2) Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap, penyalahgunaan terhadap, penodaan terhadap.

b. Objeknya : suatu agama yang dianut di Indonesia c. Di muka umum

2. Unsur subjektif :

Kesalahan : dengan sengaja

Kejahatan yang kedua, unsur-unsurnya adalah : 1. Unsur-unsur objektif :

      

19

(12)

a. Perbuatannya :

1) Mengeluarkan perasaan 2) Melakukan perbuatan b. Di muka umum

2. Unsur subjektif :

Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. 20

Jika pasal 156 masih bersifat umum, maka pasal 156a melalui UU. Pnps. No. 1 tahun 1965 ini telah bersifat lebih khusus terutama mengenai penodaan dan penyalahgunaan agama. Walaupun telah bersifat lebih khusus, namun pasal 156a ini hanya berkaitan dengan keyakinan keagamaan belum menyenai hal-hal penting yang harus dilindungi oleh negara. Disamping itu apabila dilihat dari penempatan pasal 156a dalam Bab V Buku II tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, yang membawa konsekwensi bahwa harus lebih dahulu melindungi ketertiban umum daripada melindungi penodaan terhadap agama, yang menimbulkan ketertiban umum.21

Sehingga dapat dikatakan bahwa pasal 156a ini bersifat kurang tegas, karena disamping tidak mengatur hal penting yang harus dilindungi juga harus melihat pada apakah suatu perbuatan tersebut melanggar ketertiban umum atau tidak untuk dijatuhi pidana.

      

20

. Adami Chazawi, Hukum Pidana Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan

Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal), ITS Press, Surabaya, 2009, hlm 239.

21

(13)

Melihat perumusan pasal 156a sebetulnya ingin memidana mereka yang (di muka umum) mengeluarkan perasaan (atau melakukan perbuatan) yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Hal ini memungkinkan pemidanaan secara langsung pernyataan perasaan tersebut yang ditujukan terhadap agama. Jadi konsekwensinya menyangkut pemidanaan perbuatan tersebut tanpa dihubungkan dengan persoalan apakah pernyataan demikian itu dapat mengganggu ketentraman orang beragama dan karena itu membahayakan/ mengganggu ketertiban umum.22

Jika dicermati dengan seksama baik pasal 156 KUHP maupun pasal 156a KUHP memiliki kelemahan-kelemahan, sebagai berikut :23

1. Dalam pasal 156 KUHP, kita tidak menemukan rumusan yang jelas tentang delik agama. Pasal ini hanya menyinggung sedikit tentang delik agama, tapi tidak jelas. Apakah yang dilindungi oleh pasal ini: “orang” atau “agama”. 2. Pasal 156 KUHP ini, perlu diperjelas mengenai maksudnya. Pasal ini ditinjau

dari sudut ajaran Islam merupakan pasal yang menyangkut delik penghinaan. Hanya saja di dalam ajaran Islam “penghinaan itu tidak disyaratkan dilakukan di muka umum”. Tidak pula disyaratkan perbuatan itu mengganggu ketertiban umum.

3. Pasal 156a KUHP yang dituangkan di dalam UU.Pnps.No.1 tahun 1965, menghendaki adanya delik agama, secara umum; perlindungan terhadap agama-agama yang diakui sebagai agama yang syah di Indinesia. Namun

      

22

. Supanto, op.cit., hlm.103.

23

(14)

kalimat; “di muka umum” yang membawa konsekwensi seperti pasal 156. Jadi lebih dominan kepentingan umum daripada kepentingan agama.

Sementara itu dalam pasal 157 yang berbunyi sebagi berikut :

Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (Pasal 157 ayat (1)).

Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan ada saat itu belum lewat waktu lima tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut (Pasal 157 ayat (2)).

Kejahatan pasal 157 adalah termasuk kejahatan penyiaran yang artinya bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan penyiaran, mempertunjukkan dan menempelkan tulisan atau lukisan. Sifat penyebarannya atau penyiarannya ada pada tiga perbuatan tersebut.24

Jika dilihat dengan sebenarnya pasal 157 ini juga tidak jauh berbeda dengan pasal 156 dan pasal 156a KUHP. Dalam pasal 157 ini juga masih belum mencerminkan aspek-aspek apa saja yang harus dilindungi oleh negara. Di samping itu masalah mengganggu ketertiban umum juga masih menjadi titik berat dalam pasal ini.

Pasal-pasal yang mengatur secara lebih rinci mengenai aspek ritual yang berkaitan dengan agama adalah pasal 175 sampai dengan 181 dan dalam pasal 503 ke 2 KUHP.

      

24

(15)

Dari ketiga pasal di atas terlihat jelaslah bahwa memandang ketertiban umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi. Pada satu sisi hal ini memang sangat baik untuk diterapkan, namun di sisi lain akan menimbulkan ketidaksesuaian dengan Indonesia yang secara tegas mengakui bahwa agama merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional.

Sebenarnya di dalam KUHP ada pasal-pasal yang khusus membahas mengenai aspek ritus dan ummah, yaitu pasal 175 sampai dengan 181 dan dalam pasal 503 ke 2 KUHP.25

Pasal 175 berbunyi :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang diijinkan,atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lambat satu tahun empat bulan.

Pasal 176 berbunyi :

Barang siapa dengan sengaja menggangu pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang dijinkan atau upacara penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidan denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.

Pasal 177 berbunyi :

Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah:

1. barang siapa menertawakan seorang petugas agama dalam menjalankan tugas yang dijinkan;

2. barang siapa menghina benda-benda untuk keperluan ibadat di tempat atau pada waktu ibadat dilakukan.

Pasal 178 berbunyi :

Barang siapa dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang dijinkan, diancam dengan penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana paling banyak seribu delapan ratus rupiah.

Pasal 179 berbunyi :

Barang siapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan di tempat kuburan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 180 berbunyi :       

25

(16)

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenasah atau memindahkan atau mengangkut jenasah yang sudah digali atau diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 181 berbunyi :

Barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 503 ke 2 berbunyi :

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah :

2. Barang siapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, pada waktu ada ibadat atau sidang.

Pasal-pasal tersebut di atas mengatur mengenai pelanggaran terhadap pertemuan keagamaan (pasal 175-177), dan apa yang dinamakan grabdelikte dan leichenfrevel (pasal 178-181), khusus yang terakhir ini dasar pemidanaannya adalah rasa penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan makamnya. Rasa penghormatan ini lebih agung sehingga kurang dapat dibenarkan untuk membawa delik itu ke dalam delik-delik terhadap ketertiban umum.26 Selain di dalam KUHP, pemerintah juga telah mengatur mengenai masalah penghinaan agama ini dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronika. Pasal yang memuat mengenai hal tersebut adalah pasal 28 ayat (2) UU ITE, sedangkan yang mengatur tentang ketentuan pidananya adalah pasal 45 ayat (2) UU ITE.

Di tinjau dari lahirnya UU ITE tersebut yang merupakan suatu bentuk dari tunturtan kemajuan di bidang teknoloogi informasi, media, dan komunikasi diharapkan dengan adanya UU tersebut dapat memberikan kepastian hukum

      

26

(17)

dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul melalui media dunia maya. Diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan pemanfaatan teknologi ITE untuk: 1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi

dunia,

2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public,

4. Membuka seluas-luasnya kepada kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal dan bertanggung jawab,

5. Memberi rasa aman, keadilan, dan kepastian hokum bagi pengguna dan penyelenggara teknollogi informasi. 27

UU ITE adalah wujud dari tanggung jawab yang harus diemban oleh negara untuk memberikan perlindungan maksimal kepada seluruh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.28

Melihat dari tujuan yang sangat mulia ini maka sudah sepantasnya jika UU ITE harus dapat memberikan jaminan dalam hal agama juga. Namun jika melihat dari pasal yang terdapat di dalamnya dirasakan sangat kurang memberikan kepastian. Di dalam pasal 28 ayat (2) hanya mengatur penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan SARA.

      

27

. Yudi Kristiana, “Penegakan UU No.1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (peluang dan Tantangannya)” makalah disampaikan pada kegiatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Ditjen Aplikasi Telekomunikasi Departeman Kominikasi dan Informatika bekerjasama dengan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 7 Desember 2009, hlm 2.

28

(18)

Pasal ini dirasa masih sangat umum dan terlalu luas. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai informasi yang dapat menimbulkan rasa benci dapat menyebabkan penerapan pasal ini bersifat pasal karet, karena ukuran yang sangat subyektif berdasarkan pada penafsiran penguasa. Memang pasal ini sering digunakan oleh para penegak hukum untuk menangani masalah penghinaan agama melalui internet.

Sementara pasal 45 ayat (2) UU ITE hanyalah merupakan pengaturan pidana bagi para pelanggar pasal 28 ayat (2). Dalam pasal tersebut tidak ada pengaturan lain mengenai penghinaan agama.

E. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional di sini dimaksudkan untuk memberikan batasan mengenai bahasan yang akan dikaji oleh penulis, meliputi istilah-istilah sebagi berikut :

1. Hukum pidana

Pada dasarnya tidak ada rumusan secara umum mengenai pengertian mengenai hukum pidana, karena kata-kata hukum pidana memiliki lebih dari satu pengertian.

Hukum pidana yang dimaksud di sini adalah hukum pidana materiel. Hukum pidana materiel berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan yang diancam dengan hukuman, mengatur pertanggung jawaban terhadap hukum pidana, serta hukum yang dapat dijatuhkan bagi orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.

(19)

Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai hukum pidana materiel ini, di antaranya sebagai berikut :

a. Profesor van Hamel

Hukum pidana materiel itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. b. Profesor van Hattum

Termasuk ke dalam hukum pidana materiel yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut.

c. Profesor Simons

Hukum pidana materiel itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak-tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukam, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan. 29

Merujuk dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materiel yang dimaksud di sini adalah hukum pidana yang berupa KUHP dan

      

29

. PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 9-10.

(20)

UU ITE. Di dalam KUHP dan UU ITE secara jelas mengenai ketentuan-ketentuan dari tindak pidana dan syarat seseorang dapat dijatuhi pidana, yang tentu saja dalam hal ini berkaitan dengan penghinaan agama.

2. Penghinaan agama

Untuk mengetahui definisi dari penghinaan agama maka perlu dikaji dahulu mengenai apa itu agama. Dalam hubungannya dengan agama ini, Koentjaraningrat mengatakan ada empat komponen yang pasti melekat pada suatu agama. Keempat komponen itu adalah :

1. Emosi keyakinan yang menyebabkan manusia bersikap religius;

2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai,norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;

3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha menusia untuk mencari hubungan dengan tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib; dan

4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut (nomor 2), dan yang melakukan sistem ritus dan upayanya (nomor 3). 30

Jadi yang dimaksud dengan penghinaan agama di sini adalah segala macam delik yang ditujukan terhadap agama dan berhubungan dengan agama tersebut, seperti kitab suci, ritual keagamaan, tempat ibadah, utusan Tuhan di muka bumi (nabi) dan segala hal yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yang mutlak.

      

30

. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1985, hlm 144-145.

(21)

Dengan demikian segala hal yang bersangkutan dengan perilaku keagamaan menjadi keramat. Tempat dan saat yang digunakan untuk melaksanakan perilaku keagamaan, benda-benda serta orang-orang yang terlibat menjadi keramat.31

3. Internet

Internet (kependekan dari interconnected-networking) ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian.32 Melalui jaringan yang terhubung satu sama lain inilah maka pengguna internet dapat mengakses berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Melalui media ini pula orang dapat dengan mudah komunikasi yang luas. Mengingat banyaknya kemudahan-kemudahan ini maka sering juga disalah gunakan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab, diantaranya digunakan untuk melalukan penghinaan terhadap agama lain.

F. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai law in doctrine meliputi nilai-nilai, norma-norma hukum positif atau putusan pengadilan.33

1. Fokus Penelitian.

      

31

. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 202.

32

. http://id.wikipedia.org/wiki/Internet/, 21 Oktober 2010, 07.53.

33

. Lihat Pedoman Penyusunan Tugas Akhir, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2008, hlm 11-12.

(22)

Yang akan menjadi fokus penelitian yaitu mengenai pengaturan mengenai penghinaan agama melalui internet dan penyelesaian yang dapat ditempuh apabila terjadi penghinaan agama melalui media internet.

2. Nara Sumber.

Nara sumber yang akan diminta keterangannya yaitu orang yang ahli dibidang hukum pidana untuk mendapatkan informasai mengenai pendapatnya tentang penghinaan agama melaui internet. Selain itu yang akan dimintai keterangan yaitu ahli dibidang IPTEK karena yang akan dibahas yaitu tentang penghinaan agama melalui Internet, sehingga butuh keterangan yang kompeten dibidangnya.

3. Bahan Hukum.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yang akan digunakan yaitu KUHP, KUHAP, UU ITE, UU Pnps.No.1 Tahun 1965

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yang digunakan yaitu RUU KUHP, buku-buku yang berkaitan dengan penghinaan agama, buku-buku-buku-buku yang berkaitan dengan internet, jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan masalah penghinaan agama, hasil wawancara yang akan dilakukan, dan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan masalah penghinaan agama.

c. Bahan Hukum Tersier, seperti kamus hukum dan ensiklopedi. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum

(23)

a. Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penghinaan agama, hasil penelitian hokum yang pernah dilakukan, dan literature-literatur yang terkait dengan kasus penghinaan agama.

b. Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber yang berkompeten dibidang hukum pidana dan yang berkompeten di bidang IPTEK.

5. Pendekatan yang digunakan.

Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji masalah penghinaan agama melalui internet ini adalah berupa pendekatan perundang-undangan, yaitu dengan menelaah undang-undang. Yang akan ditelaah adalah KUHP, UU ITE dan UU.Pnps.No.1 Tahun 1965 yang berkaitan erat dengan masalah yang menjadi fokus penelitian.

6. Pengolahan dan Analisis Bahan-bahan Hukum

Dalam tahap pengolahan dan analisis bahan-bahan hukum ini akan dilakukan kegiatan pengorganisasikan bahan-bahan hukum yang kompeten dan berkaitan dengan masalah penghinaan agama melalui internet, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier tersebut sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan. Analisis bahan-bahan hukum merupakan kegiatan menguraikan atau menarasikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan bahasan penghinaan agama melalui internet dengan perspektif atau sudut pandang tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan audit operasional secara umum adalah untuk mengetahui apakah prestasi manajemen pada setiap rumah sakit telah sesuai dengan kebijakan ketentuan dan

pengelolaan limbah RS, panduan hand hygiene, panduan APD (alat perlindungan diri), pelaksanaan survailans (phlebitis, infeksi saluran kemih (ISK),

Halaman ini dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan ucapan terimakasi dan penghargaan kepada Direktur Akademi Kebidanan Griya Husada Surabaya, Pembantu Direktur I

Latihan ini merupakan salah satu metode latihan untuk dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki untuk lebih baik dari sebelum latihan, dalam hal ini peneliti berharap

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji problematika guru geografi pada materi penginderaan jauh dan SIG. Metode yang digunakan adalah metode

Penyusutan BMN berupa Penyusutan Aset Tetap menurut Permenkeu 1/PMK.06/2013 adalah penyesuaian nilai sehubungan dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu

Berkaitan dengan motivasi kerja ini, Kecamatan Medan perjuangan adanya unsur peraturan pengangkatan dalam kepala lingkungan yang sedang berlangsung, yang dimana terdapat

Antara aktiviti-aktiviti berikut, yang manakah tidak menunjukkan aplikasi takal tetap.. Menimba air dari perigi