1
A. Latar Belakang Penelitian
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya dalam penulisan ini disingkat dengan UUK-PKPU, diundangkan pemerintah dengan dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 dan juga semakin berkembangnya kegiatan perekonomian global. Terdapat beberapa kelebihan dari UUK-PKPU jika dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yang mengatur tentang masalah kepailitan. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) lebih diperjelasnya definisi tentang utang, kreditor, debitor, dan pailit; (2) penentuan jangka waktu proses pailit yang lebih singkat; (3) dikecualikannya perusahaan asuransi; serta (4) adanya ketentuan yang mengatur wajibnya menggunakan jasa advokat dalam penyelesaian masalah kepailitan. Selanjutnya yang patut dipertanyakan tentang seberapa jauhkah UUK-PKPU memberikan suatu aturan yang jelas dan konsisten serta jaminan kepastian hukum terhadap para kreditor yang mana debitornya mengalami pailit (kebangkrutan).
Dari sisi gugatan perdata, hukum acara membolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitor atau tergugat sebagaimana diatur dalam
Pasal 227 jo Pasal 197 Herziene Indonesische Reglement (HIR)1 jo Pasal 720
Rechtsvordering (Rv)2 maupun Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi tanggungan pembayaran utangnya kepada kreditor.
Tujuan dilakukannya penyitaan, antara lain agar barang milik tergugat atau debitor yaitu tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, hibah dan lain sebagainya, dan tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga. Dengan demikian untuk menjaga keutuhan dan keberadaan harta kekayaan debitor atau tergugat tetap seperti semula selama proses penyelesaian perkara sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga tujuan utama penyitaan agar gugatan penggugat tidak illusoir atau tidak hampa pada saat putusan dilaksanakan.
Untuk menguatkan keyakinan Kreditor bahwa debitor akan secara nyata melunasi utangnya dikemudian hari, KUH Perdata mengatur dua asas dalam hukum jaminan yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala harta debitor (baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di kemudian hari) menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor. Dalam Pasal 1132 KUH Perdata ditegaskan bahwa harta kekayaan debitor menjadi agunan bersama-sama bagi semua kreditornya,
1 R. Soesilo, 1995, RIB / HIR, Politeia, Bogor, hlm. 164 2
serta diatur bagaimana cara membagi hasil penjualan aset debitor kepada kreditor apabila debitor tidak membayar utang kepada kreditornya.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut dapat dikesampingkan dalam penyelesaian pemenuhan pembayaran utang yang diikat dengan barang jaminan tertentu. Sita Jaminan (Conservatoir beslag) hanya dapat dimintakan dan dikabulkan terbatas pada barang jaminan sita sesuai dengan asas spesialitas dan hak separatis yang dimiliki penggugat atau kreditor.
Pengaturan Sita Jaminan atas pesawat terbang diatur dalam Rv (Pasal 763 h – k) yang berisi tentang penyimpangan bagi sita jaminan atas pesawat terbang. Diluar ketentuan penyimpangan tersebut berlaku sepenuhnya ketentuan umum sita jaminan dalam HIR atau Rv. Pembatasan atas penyitaan tidak berlaku terhadap pesawat asing yang negaranya tidak menjadi penandatangan (contracting states) Perjanjian Roma, 1933. Dengan perkembangan bisnis dunia penerbangan sekarang, tentu saja ketentuan yang ada saat ini tidak memadai, sehingga diperlukan pengaturan yang lebih aktual dalam hukum normatif.
Pesawat terbang tidak termasuk barang yang dilarang untuk disita sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR3 dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang sita pesawat terbang, namun dalam Cape Town
Convention yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia melalui
3
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007, pesawat terbang termasuk barang yang dapat disita4 dan Hakim harus bertindak proaktif untuk dapat meletakkan sita jaminan atas pesawat terbang.
Cape Town Convention / Konvensi Cape Town 2001 tentang Jaminan-Jaminan
untuk Benda Bergerak (Interest in Mobile Equipment) berisi (diantaranya) beberapa hal penting berkenaan dengan agunan atau hak-hak lainnya yang berkenaan dengan perbaikan dari suatu obyek pesawat terbang sebagai benda bergerak. Obyek benda-benda bergerak yang dapat diagunkan (agunan internasional) berupa (1) kerangka pesawat terbang (airframe), mesin pesawat, dan helikopter; (2) gerbong kereta api (railway rolling stock) ; dan (3) aset –aset ruang angkasa.5
Persyaratan pesawat udara sebagai jaminan dalam rangka Konvensi Cape Town 2001 diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dalam penulisan ini selanjutnya disebut UU Penerbangan. Menurut Pasal 71 UU Penerbangan ada tiga jenis pesawat udara yang dapat digunakan sebagai obyek perjanjian masing-masing kerangka pesawat udara (airframe), mesin pesawat terbang (propeller) dan helikopter. Kerangka pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional
4 Tamiza Saleh, dan Sulistiono Kertawacana, Hipotik Pesawat Udara Di Indonesia Dikaitkan Dengan
Cape Town Convention 2001,
http://sulistionokertawacana.blogspot.com/2008/10/hipotik-pesawat-udara-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 24 Juni 2013.
5
yang timbul akibat perjanjian, pemberian hak jaminan kebandaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha.6
Utang piutang antara perusahaan Maintenance, Repair & Overhaul (MRO) sebagai kreditor dengan maskapai penerbangan sebagai debitornya timbul sebagai akibat dari pelaksanaan Perjanjian Perawatan Pesawat, mesin dan komponennya yang dilakukan dengan memperhatikan sistem terbuka dan menggunakan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1319 dan 1338 KUH Perdata, dimana masing-masing pihak memiliki posisi tawar atau bargaining position sehingga tidak terdapat suatu posisi yang dominan didalam pembuatan perjanjian perawatan ini. Hal tersebut diatas menyebabkan keuntungan pada kedua belah pihak, karena dapat membuat aturan tersendiri asalkan sesuai dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak, sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.7
PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia (dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai PT GMF AeroAsia atau GMF) selaku Penggugat dan PT Metro Batavia (dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai PT Batavia) selaku Tergugat melakukan kerjasama untuk semua pekerjaan perawatan dan perbengkelan yang diperlukan untuk komponen-komponen dan mesin yang berhubungan dengan pesawat
6 Kemis Martono, H. Agus Pramono, 2013, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 294.
7
terbang milik Tergugat atau pesawat terbang lain yang dioperasikan oleh Tergugat sebagaimana dituangkan dalam sebuah perjanjian bernama Long Term Aircraft
Maintenance Agreement Number GMF/PERJ./DT-3046/2003 tertanggal 16 April 2003
(selanjutnya disebut sebagai “Perjanjian Jangka Panjang”) dan Amendment Number 1
to Long Term Aircraft Maintenance Agreement Number
GMF/PERJ./AMAND-1/DT-3046/03/06 tertanggal 5 September 2006 (selanjutnya disebut sebagai “Amandemen Perjanjian Jangka Panjang”).
Berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang dan Amandemen Perjanjian Jangka Panjang, Tergugat sebagai maskapai penerbangan telah meminta jasa Penggugat sebagai sebuah perusahaan perawatan dan perbaikan pesawat terbang untuk melakukan perawatan pesawat dan/atau perbaikan pesawat dan/atau penjualan sparepart dan/atau penyewaan tools dan/atau penggunaan tenaga kerja, dengan perjanjian-perjanjian pelaksanaan yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk repair order, Customer Work
Order, Faximile, Non Contracted Sales Report, cost approval dan dokumen perikatan
lainnya. Berdasarkan perjanjian tersebut para pihak telah berjanji dan bersepakat atas (1) pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Penggugat, (2) sparepart/tools/barang yang dijual atau disewakan dan penggunaan tenaga kerja, (3) harga pekerjaan dan/atau harga barang dan/atau harga sewa, dan (4) cara pembayaran, dimana Penggugat telah melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjian tersebut.
Atas jasa yang telah dilakukan Penggugat tersebut, Tergugat belum memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran secara penuh atau belum melunasi
kewajiban pembayaran kepada Penggugat sebesar USD 1.191.615,02 (satu juta seratus sembilan puluh satu ribu enam ratus lima belas 2/100 Dollar Amerika Serikat) (selanjutnya disebut “Utang”) sampai dengan tanggal gugatan wan prestasi didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. pada tanggal 25 September 2008. Dengan demikian, menurut hukum, Tergugat memiliki utang kepada Penggugat dan Tergugat mempunyai kewajiban hukum untuk melunasi utang kepada Penggugat saat utang dimaksud telah jatuh tempo. Walaupun sudah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam surat perintah bayar / invoice tersebut, Tergugat belum melaksanakan kewajibannya untuk membayar dan melunasi utang yang telah jatuh tempo kepada Penggugat. Apabila dilihat satu persatu, kelalaian yang mengakibatkan keterlambatan pembayaran mulai dari dua bulan keterlambatan pembayaran sampai dengan lebih dari satu tahun keterlambatan pembayaran. Dengan demikian Tergugat nyata-nyata telah wanprestasi terhadap Penggugat karena Tergugat tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran berdasarkan Perjanjian dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana tertuang dalam surat perintah bayar / Invoice yang telah jatuh tempo yang dikirimkan oleh Penggugat kepada Tergugat. Meskipun Penggugat telah mengingatkan Tergugat agar segera memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang beserta Amandemennya, namun Tergugat tetap tidak melunasi kewajiban pembayaran kepada Penggugat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, apabila pihak dalam suatu perjanjian telah ingkar janji (wanprestasi) maka pihak lainnya dapat atau berhak menuntut atas penggantian ganti rugi, biaya maupun bunga. Oleh karena dalam perkara
a quo Tergugat telah wanprestasi terhadap Perjanjian yang telah dibuat dengan
Penggugat, maka Penggugat berhak menuntut penggantian ganti rugi, biaya dan bunga. Untuk menjamin gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak menjadi sia-sia/
illusoir di kemudian hari, maka Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berkenan untuk meletakkan sita jaminan terhadap harta-harta kekayaan milik Tergugat dan aset-aset Tergugat lainnya. Oleh karena itu, Penggugat mereservir atau mencadangkan haknya untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas harta kekayaan dan aset-aset lain milik Tergugat. Sita jaminan (Conservatoir beslag) diajukan Penggugat dengan tujuan untuk menjaga hak-hak dari Penggugat ahar sebelum ada putusan hakim, barang-barang milik Tergugat tidak dihilangkan.
Terhadap perkara a quo, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan tingkat kasasi Nomor 2923K/Pdt/2010 tanggal 21 Juni 2011 (“Putusan Kasasi No. 2923”).
Terkait dengan Putusan Kasasi No. 2923 tersebut perlu diinformasikan juga bahwa pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim Perkara No. 335 telah mengeluarkan Penetapan Sita Jaminan Nomor : 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. tertanggal 4 Maret 2009 yang pada pokoknya mengabulkan Permohonan Sita Jaminan atas tujuh buah pesawat Boeing 737-200 beserta mesin dan
Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada ketujuh pesawat milik PT Metro
Batavia tersebut (“Penetapan Sita Jaminan”) dan Hakim Majelis Perkara No. 335 telah menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan, dengan Penetapan Nomor 335/PDT.G/2008/PN.JKT.PST, tanggal 4 Maret 2009 jo. Penetapan Nomor 01.DEL/PEN.CB/2009/PN.TNG, tanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG tanggal 12 Maret 2009.
Berdasarkan Penetapan Sita Jaminan dimaksud, Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG jo. No.: 335/PDT.G/2008/PN.JKT.PST tertanggal 12 Maret 2009 telah melakukan sita jaminan terhadap empat pesawat milik Tergugat, dalam penelitian ini selanjutnya disebut “Pesawat Sitaan”, yaitu:
1. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22397 dan nomor registrasi pesawat PK-YTF, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta;
2. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22453 dan nomor registrasi pesawat PK-YTG, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta;
3. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 21766 dan nomor registrasi pesawat PK-YTR, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU)
yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta; dan
4. Satu buah pesawat Boeing 737-200, dengan nomor seri 22055 dan nomor registrasi pesawat PK-YTS, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta.
Oleh karena Putusan Kasasi No. 2923 tersebut merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Penggugat selaku Pemohon Eksekusi telah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memerintahkan Tergugat selaku Termohon Eksekusi untuk melaksanakan isi Putusan Kasasi Nomor 2923K/Pdt/2010 jo. Nomor 504/PDT/2009/PT.DKI jo. Nomor 335/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst tersebut.
Atas permohonan Eksekusi yang diajukan Penggugat, telah dilakukan upaya untuk eksekusi secara sukarela oleh Tergugat namun hingga dilampauinya tenggat waktu peringatan atau aanmaning (warning) Tergugat tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya secara sukarela dan tidak tercapai kesepakatan untuk melakukan penjualan pesawat sitaan secara di bawah tangan, sehingga para pihak memutuskan untuk melanjutkan ke proses lelang secara terbuka melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN).
Kesepakatan untuk melakukan proses penjualan Pesawat Sitaan milik Termohon Eksekusi / PT Batavia yang telah diletakkan sita jaminan sebagaimana Penetapan Nomor : 335/Pdt.G/2008/PN. Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 jo. Penetapan Nomor : 01.DEL/PEN.CB/ 2009/PN.TNG tertanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara Sita Jaminan Nomor : 1.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG tertanggal 12 Maret 2009 kepada calon pembeli secara di bawah tangan tidak tercapai disebabkan karena PT Batavia tidak dapat menerima penawaran harga dari calon pembeli Pesawat Sitaan dan oleh karenanya para pihak memutuskan untuk melanjutkan ke dalam proses lelang secara terbuka.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (dalam penelitian ini selanjutnya disebut “KPN Jakpus”) meminta GMF untuk mengajukan permohonan lelang kepada KPN Jakpus dengan disertai dua calon appraisal untuk disepakati bersama-sama PT Batavia guna menentukan harga limit Pesawat Sitaan;
Dengan diteruskannya permohonan lelang secara terbuka diharapkan adanya penawaran harga lelang dari para peserta lelang, sehingga harga penjualan/lelang yang akan didapatkan akan lebih maksimal dan mendapatkan penawaran yang lebih kompetitif atas barang sita jaminan.
Pada Bab IX UU Penerbangan diatur mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta penggunaannya sebagai jaminan. Menurut Pasal 71 UU Penerbangan, objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional
yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
Menurut Penjelasan Pasal 71 UU Penerbangan, yang dimaksud dengan objek pesawat udara adalah rangka pesawat udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang.
Dalam Perjanjian Jangka Panjang beserta Amandemennya antara GMF dengan PT Batavia tidak mengatur tentang hak jaminan kebendaan untuk menjamin pelunasan utang dalam hal PT Batavia mengalami wanprestasi sehingga meskipun pesawat udara termasuk barang tidak bergerak (unmoveable property), namun tidak dapat dibebani dengan Hipotek, dengan demikian berlaku sita jaminan menurut Pasal 720 sampai dengan Pasal 727Rv. Pada akhirnya GMF selaku kreditor tidak mendapat hak untuk mengambil pelunasan utang terlebih dahulu dari kreditor lain atas hasil penjualan lelang pesawat terbang atau dengan kata lain tidak mendapat hak preferen.
Saat proses eksekusi Putusan Kasasi No.: 2923K/Pdt/2010 jo.No.: 504/PDT/2009/PT.DKI jo. No.: 335/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst (“Perkara No.335”) terhadap empat pesawat terbang yang dilakukan sita jaminan oleh Penggugat dilanjutkan, yaitu ketika permohonan lelang sedang dalam proses pengajuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 30 Januari 2013, sesuai Putusan Nomor : 77/Pailit/2012 PN.Niaga.Jkt.Pst tentang Kepailitan PT Metro Batavia (“Perkara No. 77”), Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah menjatuhkan putusan pailit kepada PT Batavia. Bahwa dengan dinyatakannya PT Batavia kedalam keadaan pailit, maka proses eksekusi lelang terhadap aset-aset PT Batavia tersebut dibatalkan. Dengan demikian, aset-aset PT Batavia tidak berkurang sehubungan dengan proses pailit.
Permohonan Pernyataan Pailit kepada PT Batavia dalam Perkara No. 77 tersebut diajukan oleh International Lease Finance Corporation (dalam penelitian ini selanjutnya disebut “ILFC”), suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum negara bagian California, Amerika Serikat, selaku Kreditor pemohon Pailit dan Sierra
Leasing Limited (dalam penelitian ini selanjutnya disebut dengan “Sierra”, sebuah
Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Negara Bermuda, selaku Kreditor Lain pemohon Pailit.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan Pernyataan Pailit kepada PT Batavia berdasarkan pertimbangan telah terpenuhi unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu :
1. PT Batavia telah terbukti secara sederhana mempunyai utang yaitu sebesar USD 4.688.064.07 (empat juta enam ratus delapan puluh delapan ribu enam puluh empat Dollar Amerika Serikat dan tujuh sen) kepada ILFC selaku Kreditor pemohon pernyataan pailit dan sebesar USD 4.939.166,53 (empat juta sembilan ratus tiga puluh sembilan ribu seratus enam puluh enam Dollar Amerika Serikat dan lima puluh tiga sen) kepada Sierra selaku Kreditor Lainnya.
2. PT Batavia telah terbukti secara sederhana tidak mampu membayar utangnya kepada ILFC dan Sierra meskipun sudah disampaikan beberapa kali teguran untuk segera membayar utangnya.
3. Telah terbukti secara sederhana bahwa utang PT Batavia kepada ILFC dan Sierra telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable).
Berdasarkan Pasal 29 UUK-PKPU disebutkan bahwa suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor. Sementara itu Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor, dan Pasal 31 ayat (2) mengatur bahwa semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
Memperhatikan hal ini, maka proses eksekusi sita jaminan atas obyek pesawat terbang yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat kondemnatoir untuk pelunasan utang PT Batavia sebagai debitor kepada GMF, menjadi gugur demi hukum.
Dengan gugur demi hukum segala tuntutan hukum dan proses eksekusi sita jaminan sebagai pelaksanaan Putusan Kasasi Perkara No.335 terhadap empat pesawat terbang yang diajukan GMF sebagai Penggugat dalam Perkara No.335 dan/atau kreditor dalam Perkara No. 77 kepada PT Batavia sebagai Tergugat dalam Perkara No.335 dan/atau debitor dalam Perkara No. 77 sejak diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap Debitor, maka selanjutnya berlaku seluruh ketentuan dalam proses kepailitan yang diatur dalam UUK-PKPU.
Putusan pernyataan pailit menghentikan dan menghapuskan kekuatan mengikat sita eksekusi maupun eksekui yang hendak atau yang sedang berjalan terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit dijatuhkan Hakim, dan sejak itu harta yang disita eksekusi maupun yang hendak dieksekusi menjadi boedel pailit.8 Selanjutnya demi untuk kepentingan seluruh kreditor, boedel pailit akan dijual lelang dalam suatu eksekui massal, dengan cara pembagian hasil penjualan sesuai dengan kedudukan setiap kreditor.
Dalam Perkara No. 77, mengingat kedudukan GMF bukan sebagai kreditor preferen, maka GMF tidak mendapat prioritas pelunasan utang yang berasal dari harta pailit PT Batavia. Dengan demikian, terdapat kemungkinan GMF mendapat pembayaran pelunasan kurang dari utang PT Batavia yang seharusnya.
8 M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika,
Pernyataan pailit suatu Debitor dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (Vonnis) tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Suatu putusan pailit menimbulkan suatu akibat hukum yang baru, yaitu debitor menjadi tidak berwenang lagi dalam mengurus dan menguasai hartanya setelah putusan pailit.
Dalam proses kepailitan bila Kurator yang bertugas membereskan harta pailit dirasa kurang cakap dalam melaksanakan tugasnya, maka proses pemberesan terhadap harta pailit untuk membayar piutang kreditor menjadi berlarut-larut. Kekurangcakapan pihak kurator dalam mengelola harta pailit dapat merugikan posisi kreditor preferen dan kreditor konkuren yang mengakibatkan kreditor tersebut kehilangan haknya dalam pengurusan proses pailit.
Meskipun kreditor konkuren juga memegang hak retensi atas bagian harta pailit, akibat kekurangcakapan pihak kurator dalam mengelola harta pailit akan berdampak dapat merugikan posisi kreditor konkuren. Hal ini mungkin terjadi apabila kurator tidak memiliki kompetensi atau kecakapan yang memadai dalam jenis usaha dari debitor pailit, sehingga mengalami kesulitan dalam mengelola harta pailit. Disatu sisi perusahaan MRO sebagai kreditor yang memegang hak retensi atas bagian harta pailit tidak dapat melakukan pengelolaan atas harta pailit untuk mencegah merosotnya nilai ekonomis dari harta pailit yang menjadi hak retensinya.
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan pailit dibacakan meskipun ada upaya kasasi atau peninjauan kembali dan putusan pailit dapat dilaksanakan serta merta.
Lambannya proses pemberesan harta pailit, akan dirasa merugikan ketika sebagian besar harta pailit merupakan aset yang cepat penyusutannya. Dengan lamanya penanganan dari kurator akan membuat nilai aset pailit terus-menerus mengalami penurunan nilai dikarenakan adanya penyusutan. Karena terus menurunnya nilai aset pailit maka selanjutnya akan mengakibatkan berkurangnya nilai dari harta pailit yang akan dibagikan kepada para kreditor. Seharusnya, dalam proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang peran yang menentukan.
Proses eksekusi sita jaminan dan kemudian proses Kepailitan atau PKPU yang berlarut-larut menyebabkan turunnya nilai obyek jaminan berupa pesawat terbang, mesin dan komponennya.
Dalam pelaksanaan pemberesan harta pailit dan eksekusi barang sita jaminan, Hakim Pengawas dan Hakim Ketua dianggap benar, memahami dan mengetahui ketentuan hukum yang mendasari pelaksanaan keputusannya, sehingga diharapkan tidak terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan dan dapat menjadi yurisprudensi untuk keputusan dalam perkara yang lain.
Sementara itu dalam hal kreditor memilih menggunakan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum kepada debitor, maka pada prinsipnya hanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya. Asas-asas atau aturan umum eksekusi sebagai berikut :
1. Eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat kondemnatoir,
2. Karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hukuman hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara,
3. Cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang tetap dan pasti adalah dengan cara dijalankan dengan sukarela atau paksaan melalui bantuan alat-alat negara, dan
4. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri dan dilaksanakan atas perintah dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri {Pasal 195 (1) HIR dan 264 (1) Rbg}.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian yang diteliti adalah :
1. Mengapa penguasaan obyek pesawat terbang oleh perusahaan Maintenance,
Repair & Overhaul (MRO) tidak dapat digunakan untuk menjamin pelunasan
utang?
2. Bagaimana upaya alternatif solusi dari perusahaan Maintenance, Repair
Overhaul (MRO) untuk mengurangi risiko akibat tidak dapat dilakukannya
sita jaminan atas Pesawat Terbang, Mesin dan Komponennya dalam hal Maskapai Penerbangan pailit?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji penguasaan obyek pesawat terbang oleh perusahaan MRO yang tidak dapat menjamin pelunasan utang.
2. Untuk mengkaji alternatif solusi dari perusahaan MRO dalam mengurangi risiko akibat tidak dapat dilakukan sita jaminan atas pesawat terbang, mesin dan komponennya dalam hal maskapai penerbangan pailit.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat dari segi Teoritis
Menambah referensi berkaitan dengan akibat hukum keputusan pailit bagi proses eksekusi sita jaminan dalam perkara gugatan wanprestasi.
2. Manfaat dari segi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atas efisiensi proses eksekusi untuk menjaga kepercayaan masyarakat secara umum dan juga para pelaku bisnis secara khusus, disamping itu untuk menjadi dasar pengaturan hukum khusus yang mengatur tentang eksekusi sita jaminan berupa pesawat terbang yang dibangun / dikonstruksi untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan kreditor sehingga diharapkan berdampak kepada perekonomian global.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, terdapat Penelitian terkait sita eksekusi yang ditulis oleh Samuel, Bambang Siswanto, Program Studi Magister Hukum tahun 2012, dengan judul Tesis “Kedudukan Sita Eksekusi Terhadap Harta Pailit Dalam Hukum Kepailitan” dan penelitian terkait kepailitan antara lain pernah dilakukan oleh Ni Kadek Wiwien Udisumertha, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2013, dengan Judul Tesis “Akibat Hukum Terhadap Benda Jaminan Milik Pihak Ketiga Dalam Kepailitan (Studi Kasus Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Denpasar).
Penelitian terkait Kepailitan PT Batavia antara lain pernah dilakukan oleh Aulia Layinna Khoirunisa, tahun 2013, Program Studi Strata 1 (satu) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul Skripsi “Analisis Yuridis mengenai Hukum Keagenan dalam hal kepailitan Perusahan Prinsipal, Study Kasus PT Metro Batavia” dan Armellia Denetta, tahun 2013, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan judul Tesis “Akibat Putusan Pailit Pengadilan Terhadap Kedudukan Hukum Direksi Perseroan Terbatas Dalam Hal Perseroan Dinyatakan Pailit (Studi Kasus PT. Metro Batavia dengan Putusan No. 77/pailit/2012/PN.NIAGA. JKT.PST).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka permasalahan dalam pelaksanaan sita jaminan atas Pesawat Terbang, Mesin dan Komponennya untuk menjamin
pelunasan utang MRO dalam hal PT Batavia pailit belum ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan karya penulis, bukan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari karya lain.