• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

2.1 Pengertian Konformitas

Santrock (2003:249) mendefenisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap atau pendapat individu sebagai hasil dari tekanan yang nyata atau diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa konformitas dapat terjadi pada individu bila mendapat tekanan dari kelompoknya baik secara nyata maupun secara tidak nyata. Minsalnya dalam bentuk ancaman fisik maupun abstrak dari individu atau kelompok individu lain minsalnya perasaan takut dijauhi oleh anggota kelompok.

Baron dan Byrne (2005:53) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah keyakinan dan tingkah laku agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan oleh Willis (dalam Sarwono, 1995:229-230), bahwa konformitas merupakan usaha terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan kelompok. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas menekankan adanya suatu perubahan sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki individu lainnya, perubahan tersebut dapat berupa persepsi, sikap dan perilaku.

Asch (dalam Sarwono, 1995:80), mengatakan bahwa konformitas adalah situasi dimana individu mengikuti tekanan kelompok walaupun tidak ada tuntutan atau permintaan lansung dari kelompok. Demikian pula halnya dengan Kiesler (dalam Sarwono, 1999:172), yang mengatakan bahwa konformitas adalah perilaku

(2)

atau keyakinan karena adanya tekanan dalam kelompok, baik yang sungguh ada maupun yang dibayangkan. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas merupakan keadaan yang menuntut individu untuk mengikuti individu lainnya yang dianggapnya sebagai tekanan.

Menurut David dan O’Sears (1999:53) bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Menurut Baron dan Byrne (2005:53) konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka yang dimaksud konformitas teman sebaya adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap dapat membahayakannya di depan teman sebaya.

2.2 Aspek-aspek Konformitas

Wiggins (1991:132) mengemukakan bahwa aspek – aspek konformitas adalah:

1) Kerelaan : rela mengikuti pendapat kelompok yang diinginkan atau diharapkan agar memperoleh reward berupa pujian dan untuk menghindari

(3)

celaan, keterasingan, cemooh yang mungkin dijatuhkan jika tidak mengerjakan keinginan kelompok.

2) Perubahan : saat terjadi perubahan sikap, dalam suatu konformitas ketidak hadiran seorang anggota kelompok lebih dianggap sesuai dengan pikiran dan tindakan anggota kelompok yang hadir.

Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang khas. O’Sears (1991:135) mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut :

1. Kekompakan

Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut.

a. Penyesuaian Diri

Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita.

(4)

Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu.

b. Perhatian terhadap Kelompok

Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui, penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok.

2. Kesepakatan

Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok.

a. Kepercayaan

Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka

(5)

hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan.

b. Persamaan Pendapat

Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi.

c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok

Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain dia akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, dia tidak akan dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.

3. Ketaatan

Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga.

(6)

a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman

Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang.

b. Harapan Orang Lain

Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Gejala ini sangat mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Misalnya, bila kita menyatakan kepada teman kita bahwa mereka harus menyumbang sejumlah uang, dan memberikan peringatan kepada teman kita apabila dia tidak menyumbangkan sejumlah uang maka kita akan memberikan uang yang lebih banyak. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.

Berdasarkan beberapa aspek konformitas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap dapat membahayakannya dihadapan teman sebaya. Berdasarkan beberapa aspek

(7)

tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas adalah : kekompakan, kesepakatan dan ketaatan.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengruhi Konformitas

O’Sears (1991:80-91) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas yaitu:

1. Perilaku Individu Yang Memberikan Informasi Dan Bermanfaat

Individu merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali membuat individu mengetahui sesuatu yang individu lainnya tidak tahu, maka individu itu akan memperoleh manfaat dari hal tersebut. Informasi yang dimiliki oleh kelompok dapat dipercayai individu. Oleh karena itu, semankin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai informasi yang benar, semankin besar pula keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. Bila individu baranggapan bahwa kelompok selalu benar maka individu akan mengikuti apapun yang dilakukan oleh kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian bila kelompok memiliki informasi yang penting yang belum dimiliki individu, konformitas akan sangat meningkat. Salah satu faktor penentu kepercayaan adalah tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungan antara individu. Semankin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapatnya.

Faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan individu tersebut pada kemampuan sendiri untuk menapilkan satu reaksi. Konformitas dapat diturunkan dengan cara membuat individu lebih menguasai suatu persoalan. Segala sesuatu yang

(8)

meningkatkan rasa percaya individu terhadap penilaian sendiri akan menurunkan konformitas karena kemudian kelompok bukanlah informasi yang unggul lagi.

2. Individu Berkonformitas Karena Ingin Diterima Secara Sosial.

Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan sebagai faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu ingin agar kelompok dimana individu berada menyukai, menerima serta memperlakukan secara baik. Individu cendrung menyesuaikan diri untuk menghindari perselisihan paham. terkadang individu berkonformitas demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan individu lain atau kelompok. Kurangnya kepercayaan individu pada penadapat sendiri membuat individu menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompok maka semakin tinggi rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil untuk tidak menyetujui kelompok.

Individu diharapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapatkan tekanan kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun bila kelompok tidak bersatu maka akan tampak adanya penurunan konformitas. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan beberapa faktor, pertama tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun jika terjadinya penbedaan. Kedua, bila anggota kelompok lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapat sendiri, akan semakin kuat, dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas.

Menurut Baron dan Byrne (2005:56), faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas sebagai berikut:

(9)

1. Kohesivitas

Individu menerima pengaruh dari individu lain yang disukainya. Kohesivitas dapat di defenisika sebagai kertarikan yang dirasakan individu terhadap suatu kelompok. Jika tingkat kohesivitas tinggi maka tekanan untuk berkonformitas semakin besar.

2. Ukuran Kelompok

Penelitian-penelitian terdahulu seperti Asch, Gerard, Wilhemy, dan Conely (dalam Baron dan Byrne, 2005:57), menemukan bahwa konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok, namun hanya penambahan sekitar tiga anggota kelompok, lebih dari itu, nampaknya tidak akan berpengaruh atau mungkin menurun. Namun penelitian terbaru yang dilakukan Smith (dalam Baron dan Byrne 2005:57) menemukan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok hingga berjumlah delapan anggota.

3. Norma Sosial Deskriptif dan Sosial Injungtif

Norma sosial deskriptif merupakan norma yang hanya mendeskripsikan sebagian besar yang individu lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu diri mengenai apa yang umumnya dianggap efektif pada suatu situasi. Norma Injungtif menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku yang dapat diterima atau tidak dapat di terima pada situasi tertentu. Kedua pengaruh tersebut dapat memberikan pengaruh yang kuat pada tingkah laku. Cialdini (dalam Baron dan Byrne, 2005:57) mempercayai

(10)

bahwa pada situasi-situasi tertentu, terutama tingkah laku anti sosial cenderung mencul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang kuat.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas diantaranya adalah adanya individu yang memberikan informasi yang bermanfaat, keinginan untuk diterima secara sosial, kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta norma-norma yang bersifat Deskriptif dan Injungtif.

2.4 Pengertian Asertif

Dalam kehidupan sosial, adanya kecendrungan sikap asertif sangat membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu lain yang sangat dibutuhkan guna dalam meningkatkan profesionalime dalam kompetensi individu dalam kehidupan sehari-hari. Asertif berasal dari kata assert (sadar) yang berarti menegaskan, yang mengandung satu atau lebih hal seperti ; hak azazi manusia, kejujuran, atau ekspresi emosi yang tepat. Istilah asertif menunjukan pada suatu tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Wilis dan Daisley (1990:23) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk tingkah laku dan bukan merupakan sifat dari kepribadian (personality trait).

Menurut Cawwod (1997:13) perilaku asertif adalah ekspresi yang lansung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak anda tanpa kecamasan yang tidak beralasan. Pesan yang ditampikan jelas, terfokus dan wajar, tidak menghakimi. Berbicara tidak berputar-putar, tidak mengemas ulang atau memanipulasi individu lain. Jujur adalah perilaku yang selaras, semua isyarat

(11)

cocok, kata-kata, gerak-gerik, dan perasaan semuanya mengatakan hal yang sama. Atkinson (1997:124) berpendapat bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku yang timbul apabila individu mengetahui hak-haknya, atau apa yang diinginkannya, sekaligus tidak melanggar hak individu lain. Sebaliknya dengan individu non asertif adalah individu yang terlihat mudah mengalah, mudah tersinggung, cemas, kurang percaya diri, sukar mengungkapkan masalah atau hal-hal yang diinginkan. Demikian pula dengan pendapat Lange Jakubowski (dalam Calhoun dan Acocella, 1990:384) bahwa perilaku asertif menuntut hak pribadi dalam menyatakan pikiran, perasaan dan keyakinan dengan cara jujur dan tepat. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan bahwa individu yang menampilkan perilaku asertif mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya dihadapan individu lain.

Schroeder Black (dalam Craighead dkk, 1994:112) menyatakan bahwa perilaku asertif dapat didefenisikan sebagai usaha individu untuk merespon atau mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu tingkah laku dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Pendapat yang senada juga di kemukan oleh Craighead dkk (1994:113), bahwa perilaku asertif berkaitan dengan usaha individu untuk mempertahankan hak-haknya. Secara umum pendapat mengenai perilaku asertif yang dikemukakan para ahli di atas mengacu pada hal yang sama, yaitu tingkah laku para ahli di atas sacara umum mengatakan hal yang sama dikatakan bahwa perilaku asertif menuntut individu untuk merespon, mengungkapkan serta bertingkah laku secara tegas dan jujur terhadap individu

(12)

tidak sesuai dengan apa yang dirasakan individu tidak menyinggung dan merugikan individu lain.

Menurut Fensterheim dan Baer (Ardiah, 2003:85) kata asertif berasal dari Bahasa Inggris to assert, yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif, dimana sikap positif tersebut dinyatakan dengan tegas atau terus terang. Perilaku asertif menurut Lloyd (1991:78), dikatakan sebagai gaya yang wajar, langsung, jujur, penuh respon dalam interaksi individu lain, dapat diekspresikan baik secara verbal maupun dengan menampilkan bahasa tubuh yang serasi. Rimm dan Masters (Rakos, 1991:134) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi sosial yang ada.

Orang yang berperilaku asertif dapat disebutkan sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri selalu bersikap positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Sikap ini akan menjadikan seseorang menjadi tegas, jujur dan terbuka, kritis, langsung dan nyaman, akan tetapi mampu menghormati orang lain (Townend, 1991:23).

Menurut Fensterheim & Baer ( 1995:14) dapat diketahui bahwa pribadi yang cenderung menampilkan perilaku asertif dapat memiliki 4 (empat) ciri antara lain adalah

a. Merasa bebas untuk mengemukakan diri sendiri melalui kata –kata dantindakan mampu mengeluarkan pernyataan “inilah diriku, inilah yang saya rasakan, saya fikirkan dan saya ingini”.

(13)

b. Dapat berkomunikasi dengan individu lain dari semua tingkatan baik individu yang tidak dikenal, sahabat-sahabat maupun keluarga. komunikasi ini selalu terbuka, langsung, jujur dan sebagaimana mestinya. c. Mempunyai pandangan aktif tentang hidup, mengejar apa yang

diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi.

d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri, karena sadar bahwa dirinya tidak dapat selalu menang, maka individu menerima keterbatasannya, akan tetapi dirinya selalu berusaha mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perilaku asertif adalah keinginan individu untuk dapat menampilkan dan mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, serta kebutuhan secara tegas, jujur dan terus terang melalui cara-cara yang dapat diterima dan sesuia dengan sopan santun tanpa melanggar harga diri dan hak-hak pribadi dan individu lain.

2.5 Aspek-aspek Perilaku Asertif

Aspek-aspek perilaku asertif menurut Galassi (dalam Porpitasari 2007) ada tiga kategori yaitu:

1) Mengungkapkan perasaan positif (expressing positive feelings) Pengungkapan perasaan positif antara lain:

a) Dapat memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada orang lain dengan cara asertif adalah keterampilan yang sangat penting.

(14)

Individu mempunyai hak untuk memberikan balikan positif kepada orang lain tentang aspek-aspek yang spesifik seperti : perilaku, pakaian, dan lain-lain, memberikan pujian berakibat mendalam dan kuat terhadap hubungan antara dua orang, ketika seorang di puji kecil kemungkinan mereka merasa tidak dihargai. Menerima pujian minimum dengan ucapan terima kasih, senyuman, atau seperti “saya sangat menghargainya”.

b) Meminta pertolongan termasuk di dalamnya yaitu meminta kebaikan hati dan meminta seseorang untuk mengubah perilakunya. Manusia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dalam kehidupannya, seperti misalnya meminjam uang.

c) Mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang kepada orang yang disenangi. Kebanyakan orang mendengar atau mendapatkan ungkapan tulus merupakan hal yang menyenangkan dan hubungan yang berarti serta selalu memperkuat dan memperdalam hubungan antara manusia.

d) memulai dan terlibat percakapan. Aspek ini diindikasikan oleh frekuensi senyuman dan gerakan tubuh yang mengindikasi reaksi perilaku, respon, kata-kata yang menginformasikan tentang diri/pribadi, atau bertanya langsung.

2) Afirmasi diri (self affirmations)

Afirmasi diri terdiri dari tiga perilaku yaitu: a. Mempertahankan hak

Mengekspresikan mempertahankan hak adalah relevan pada macam-macam situasi dimana hak pribadi diabaikan atau dilanggar. Misalnya situasi

(15)

orang tua dan keluarga, seperti anak tidak diizinkan/dibolehkan menjalani kehidupan sendiri, tidak mempunyai hak pribadi sendiri, dan situasi hubungan teman dimana hakmu dalam membuat keputusan tidak dihormati.

b. Menolak permintaan

Individu berhak menolak permintaan yang tidak rasional dan untuk permintaan yang walaupun rasional, tapi tidak begitu diperhatikan. Dengan berkata “tidak” dapat membantu kita untuk menghindari keterlibatan pada situasi yang akan membuat penyesalan karena terlibat, mencegah terjadinya suatu keadaan dimana individu akan merasa seolah-olah telah mendapatkan keuntungan dari penyalah gunaan atau memanipulasi ke dalam sesuatu yang diperhatikan untuk dilakukan.

c. Mengungkapkan pendapat

Setiap individu mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara asertif. Mengungkapkan pendapat pribadi termasuk di dalamnya dapat mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain, atau berpotensi untuk menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain, contohnya adalah mengungkapkan ketidak sepahaman dengan orang lain.

3) Mengungkapkan perasaan negatif (expressing negative feelings)

Perilaku ini meliputi pengungkapan perasaan negatif tentang orang per-orang. Perilaku-perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah:

a. Mengungkapkan ketidaksenangan

Ada banyak situasi dimana individu berhak jengkel atau tidak menyukai perilaku orang lain, seseorang melanggar hak mu, teman meminjam barang tanpa

(16)

permisi, teman yang selalu datang terlambat ketika berjanji, dan lain-lain. b. Mengungkapkan kemarahan

Individu mempunyai tanggung jawab untuk tidak merendahkan, mempermalukan, atau memperlakukan dengan kejam kepada orang lain pada proses ini. Banyak orang telah mempelajari bahwa mereka seharusnya tidak mengekspresikannya.

Rimm dan Masters (Rakos, 1991:45) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi sosial yang ada.

Alberti dan Emmons (2002:76-80) juga menyebutkan beberapa komponen-komponen dari perilaku asertif. Komponen-komponen tersebut adalah: a) Kontak Mata (Eye Contact)

Saat berbicara individu yang asertif menunjukkan kontak mata dengan menatap langsung dengan lawan bicaranya, sehingga akan membantu dalam mengkomunikasikan ketulusan, menunjukkan perhatian dan penghormatan kepada orang lain serta meningkatkan kelangsungan pesan yang disampaikan. b) Sikap Tubuh (Body Posture)

Sikap tubuh yang ditunjukkan oleh individu yang asertif adalah sikap tubuh yang aktif dan tegak. Sikap berdiri yang membungkuk dan pasif, menandakan kurangnya keasertifan seseorang.

(17)

Individu yang asertif mempunyai kemampuan dalam menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan diantara orang-orang yang terlibat pembicaraan akan memiliki dampak yang cukup besar dalam komunikasi. Akan tetapi apabila terlalu dekat mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain. d) Isyarat (Gesture)

Isyarat yang ditunjukkan oleh individu yang asertif dapat menambah ketegasan, keterbukaan, kehangatan, rasa percaya diri dan spontanitas dalam berkomunikasi dengan orang lain.

e) Ekspresi Wajah (Facial Expression)

Dalam berbicara dengan orang lain, individu yang asertif mampu mengekspresikan wajah sesuai dengan pesan atau hal apa yang akan disampaikan.

f) Nada, Modulasi, Volume Suara

Saat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal, individu yang asertif menggunakan intonasi suara yang tepat.

g) Penetapan Waktu (Timing)

Individu yang asertif mampu menyatakan sesuatu kepada orang lain secara tepat sesuai dengan waktu dan tempat.

h) Mendengarkan (Listening)

Individu yang asertif mempunyai kemampuan untuk mendengarkan dengan seksama ketika lawan bicaranya sedang berbicara, sehingga mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan diri sesaat.

(18)

i) Isi (Content)

Individu yang asertif mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpuklan bahwa beberapa aspek-aspek perilaku asertif diantaranya adalah kontak mata, sikap tubuh, jarak atau kontak fisik, gesture, ekspresi wajah, volume suara, penetapan waktu, pendengaran, serta mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi.

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif

Faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku asertif menurut Allport (dalam Suryabrata, 1988:87-88) adalah sebagai berikut :

a) Kepribadian

Kepribadian ialah organisasi dinamis dalam diri Individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Kepribadian yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi perilaku asertif dalam berinteraksi dengan individu lain di lingkungan sosial.

b) Jenis Kelamin

Jenis kelamin pria lebih asertif dibandingkan wanita. Perbedaan perilaku asertif ini terutama jika berada dalam suatu kelompok.

c) Sikap Orang Tua

Orang tua yang agresif maupun pasif tidak akan menghasilkan anak yang asertif dalam perkembangan kepribadian anak tersebut. Sebaliknya, orang tua

(19)

yang tegas atau asertif besar kemungkinan bahwa anak-anaknya berprilaku asertif, sebab orang tua yang asertif selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh kepercayaan diri dan tenang dalam mendidik anak–anak. Maslow (dalam Goble, 1987:77) mengatakan bahwa cara mengasuh anak yang disarankan ialah pemberian kebebasan dangan batas– batas yang fleksibel, artinya orang tua harus memikirkan sampai dimana batas batas dalam mengontrol anak. Orang tua yang ingin berhasil perlu mengetahui kapan mengatakan ya dan kapan mengatakan tidak. Ada saatnya orang tua harus bersikap keras tegas dan berani sehingga anak dapat mencontoh perilaku orang tuanya, sehingga membentuk anak menjadi asertif. Selain itu perilaku tidak asertif sering terjadi dikarenakan orang tua terlalu menekankan pada anak untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.

d) Pendidikan

Lingkungan pendidikan mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif. Pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan–perubahan, lebih mampu untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan–perubahan, lebih mampu untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih berorientasi kependapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih kemasa depan.

(20)

e) Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu merupakan salah satu faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara individu berperilaku.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan perilaku asertif ditentukan oleh faktor kepribadian masing–masing individu, jenis kelamin, sikap orang tua terhadap anak–anaknya, pendidikan individu itu sendiri dan kebudayaan dimana individu itu berada.

2.7 Hubungan Kecendrungan Perilaku Asertif Dengan Konformitas

Remaja merupakan masa peralihan anak-anak menuju dewasa, dimana pada masa tersebut remaja memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan dengan teman-teman sebayanya. Kondisi demikian menyebabkan remaja lebih senang berada atau menghabiskan waktu diluar rumah untuk berkumpul dan berkelompok dengan teman sebayanya, di bandingkan berada dirumah bersama keluarga.

Banyak remaja/siswa berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat diterima oleh kelompok teman sebayanya termasuk untuk conformitas dengan harapan dan nilai-nilai yang berlaku pada kelompok teman sebayanya. Remaja takut bila dirinya tidak mengikuti harapan dan nilai-nilai yang dianut teman sebayanya, maka dirinya akan mendapatkan penolakan atau tidak diterima, sehingga untuk dapat diterima oleh teman sebayanya remaja rela mengorbankan harapan, keinginan dan hak-hak dirinya untuk kemudian conformitas terhadap nteman-teman sebayanya. Hal ini didukung oleh Lange dan Jakubowski (dalam

(21)

Calhoun dan Acocella, 1990:385), mengemukakan bahwa perilaku tidak tegas ditampilkan untuk menghindari hal-hal yang buruk.

Bandura (dalam Santrok, 2003:223), mengatakan bahwa untuk mengatasi konformitas terhadap tekanan teman sebaya maka remaja/siswa perlu memiliki rasa kepemilikan dan kontrol atas dirinya sendiri, walaupun teman-teman semankin berusaha mengontrol dirinya, namun remaja atau siswa dapat memunculkan kontrol pribadi atas tindakan dan pengaruh teman-temannya. Kemudian Schroeder dan Black (dalam Craighead dkk, 1994:112), menyatakan bahwa tingkah laku asertif didefenesikan sebagai usaha individu untuk merespon dan mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu lain untuk mengubah tingkahlaku dan menolak permintaan yang tidak masuk akal.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik garis penghubung bahwa perilaku asertif dapat berfungsi sebagai bentuk kontrol atas individu lain terhadap dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa remaja/siswa yang memiliki asertivitas dapat mengontrol tekanan, harapan dan pengaruh teman sebayanya, sehingga tidak mudah konformitas. Dapat di artikan juga bahwa individu yang memiliki perilaku asertif tinggi maka konformitasnya akan rendah dan begitupun sebaliknya, semankin rendah perilaku asertif yang dimiliki individu maka akan semankin tinggi tingkat konformitas individu terhadap teman sebaya.

2.8 Kaitan Dengan Bimbingan dan Konseling

Sebagai calon guru bimbingan dan konseling tidak menutup kemungkinan akan berhadapan dengan siswa SMP/SMA dimana pada masa ini siswa disebut

(22)

masa remaja. Pada masa remaja tidak akan terlepas dari masalah konformitas, jika dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kecenderungan perilaku asertif dengan konformitas terhadap teman sebanya, maka ini bisa jadi masukan bahwa kecenderungan perilaku asertif dapat menekan konformitas terhadap teman sebaya.

2.9 Hipotesis Penelitian

Berpijak pada adanya konsep teori yang mengaitkan variabel yang hendak diteliti, maka dapat dirumusan hipotesis sebagai berikut : ”Terdapat hubungan antara kecenderungan prilaku asertif dengan konfornitas terhadap teman sebaya pada siswa-siswi Kelas XI SMA Negeri 1 Telaga Biru Kabupaten Gorontalo”.

Referensi

Dokumen terkait

Bab kedua, merupakan tinjauan umum terkait dengan strategi pengusaha tahu untuk menghadapi persaingan antar pengusaha, meliputi: pengertian strategi, persaingan,

PERANAN DAN PEMANFAATAN MODAL SOSIA DALAM PENGEMBANGAN KLASTER STUDI PADA KLASTER COR LOGAM CEPER-KLATEN JAWA TENGAH..

Perubahan fraksi harga tahun 2014 yang diikuti dengan penurunan satuan perdagangan (lot), sehingga memberikan dampak bagi investor retail dengan modal yang relatif terbatas akan

Pengertian pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Momerandum DPR-GR 9 juni 1966 yang

Dari hasil evaluasi serta temuan-temuan yang kami peroleh selama pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, dapat kami simpulkan bahwa program pengabdian

Pada suatu titik di saluran dimana aliran mencapai kedalaman normal, terjadi loncat air.. Kedalaman air sebelah loncat air

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG PENERIMA TUNJANGAN PROFESI BAGI GURU PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR KABUPATEN

Biosekuriti yang dilakukan pada peternakan unggas sektor 4 terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar yaitu: isolasi, pengawasan lalu lintas dan sanitasi (SC Ag- Watch 2006; FAO