• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 2003, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 tentang konversi hutan produksi menjadi hutan konservasi. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah menyelesaikan permasalahan terkait kerusakan kawasan hutan produksi, memperluas daerah tangkapan air, dan perbaikan habitat bagi tumbuhan dan satwa. Kawasan hutan produksi tersebut antara lain hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Taman nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Gunung Ciremai.

Namun, penerbitan SK ini justru menimbulkan permasalahan baru berupa adanya aktivitas ilegal masyarakat di dalam kawasan konservasi. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 mengenai konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, masyarakat dilarang melakukan aktivitas dalam bentuk apapun, baik di dalam kawasan konservasi maupun di sekitarnya tanpa izin dari pihak pengelola kawasan. Berbeda halnya dengan aturan kawasan hutan produksi dimana masyarakat ikut terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan yang dikenal dengan kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Perubahan status fungsi kawasan hutan TNGGP membuat aktivitas masyarakat terbatas. Pola hidup masyarakat di sekitar kawasan perluasan TNGGP yang tergantung terhadap hasil hutan menghambat upaya pengelolaan kawasan

(2)

2

konservasi. Aktivitas yang akhirnya menjadi pemicu konflik adalah penyadapan getah damar dan pinus di TNGGP. Aktivitas ini semakin meresahkan pihak pengelola ketika bertambahnya jumlah petani penyadap yang tidak memiliki izin.

Pada tahun 2010, masyarakat sekitar hutan di wilayah Sukabumi membentuk kelompok yang diberi nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gabungan Masyarakat Penyadap Sukabumi (GPS) dan dipimpin oleh Junaedi Abdulah. Mereka mengajukan permohonan izin melakukan penyadapan getah di wilayah Sukabumi dengan alasan bahwa kegiatan tersebut sudah dilakukan secara turun menurun dan merupakan mata pencaharian masyarakat serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permohonan ini tidak mendapat respon dari pihak pengelola TNGGP. Dan pada akhir 2010, masyarakat mulai nekat melakukan aktivitas penyadapan secara illegal dan menimbulkan konflik dengan pihak pengelola TNGGP di lapangan. Pihak pengelola TNGGP telah menindak tegas masyarakat yang mengambil getah damar dan pinus tanpa izin. Bahkan, pihak pengelola TNGGP telah melakukan penangkapan terhadap oknum-oknum yang melakukan penyadapan secara sembunyi-sembunyi. Namun, upaya ini tidak memberikan efek jera kepada masyarakat di sekitar kawasan TNGGP.

Pada April 2013, pihak pengelola TNGGP juga telah melakukan kerja sama dengan Yayasan Pemerhati Pembangunan Sukabumi (YPPS) untuk melakukan pengamanan dan restorasi kawasan TNGGP. YPPS juga merupakan lembaga yang menaungi kelompok masyarakat penyadap seperti halnya GPS dan mendapat dukungan pemerintah daerah (Pemda) dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) kabupaten Sukabumi. Bentuk dukungan Pemda dan Muspida adalah

(3)

3

melakukan mediasi antara pihak pengelola TNGGP, YPPS dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan. YPPS dan GPS terus mendesak Pemda dan Muspida untuk melegalkan aktivitas penyadapan. Namun, desakan tersebut belum mendapat persetujuan Pemda dan Muspida dan tentu saja permintaan izin tersebut bertentangan dengan aturan konservasi.

Selain penegakan hukum, pihak pengelola TNGGP juga telah mengajak dan melibatkan masyarakat untuk melakukan kegiatan restorasi, pemberdayaan, pengembangan wisata dan pemberian bantuan usaha. Akan tetapi, upaya ini masih belum dapat menyelesaikan permasalahan. Selain itu, belum adanya peran stakeholder dalam upaya penyelesaian mengakibatkan konflik di kawasan TNGGP masih terus terjadi. Oleh karena itu, konflik ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dalam penyelesaian konflik antara pihak pengelola dan masyarakat sekitar di kawasan TNGGP.

1.2. Rumusan Masalah

Perubahan status kawasan dari kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi secara otomatis mengubah pula cara/bentuk pengelolaan hutannya, aturan dan kebijakannya. Sebelumnya, pada pengelolaan hutan produksi dibolehkan ada aktivitas masyarakat didalamnya dalam bentuk kegiatan PHBM, pada pengolalaan hutan konservasi aturan Undang-undang melarang ada kegiatan PHBM tersebut. Fenomena ini menimbulkan dua pertanyaan yang akan saya jadikan rumusan masalah dalam penelitian ini :

(4)

4

1. Mengapa konflik penyadapan getah damar dan pinus antara pihak pengeloa TNGGP dengan masyarakat masih terus terjadi?

2. Bagaimana pengaruh dari keterlibatan pihak lain dalam konflik antara masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede pangrango dengan pengelola kawasan?

1.3. Keaslian Penelitian

Konflik mengenai pemanfaatan hasil hutan berupa penyadapan getah dikawasan perluasan Taman Nasional Gunung gede Pangrango di Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sukabumi dan Wilayah Bogor sampai saat ini yang penulis ketahui belum pernah dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai konflik di Wilayah tersebut. Penulis akan melakukan penelitian tentang konflik tersebut dengan berfokus pada faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, upaya apa yang dilakukan kedua belah pihak dalam mempertahankan obyek yang menjadi konflik dan bagaimana keterlibatan pihak lain dalam terjadinya konflik ini.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui faktor penyebab konflik penyadapan getah damar dan pinus antara masyarakat dan pihak pengelola TNGGP.

(5)

5

2. Mengetahui aktor-aktor yang terlibat dan perannya dalam konflik penyadapan getah damar dan pinus antara masyarakat dan pihak pengelola TNGGP.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama resolusi konflik di bidang kehutanan.

2. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk pihak pengelola kawasan TNGGP.

3. Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang minim konflik dan lebih kolaboratif dengan peran dan keterlibatan berbagai pihak.

1.6. Kajian Pustaka dan Landasan Teori 1.6.1. Kajian Pustaka

1. Hutan, Hutan Produksi dan Hutan Konservasi

Hutan berperan penting bagi kehidupan manusia, flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Keberlangsungan hidup ribuan bahkan jutaan satwa yang hidup di dalamnya, sangat tergantung dari kelestarian kawasan hutan. Pengertian hutan, hutan produksi dan hutan konservasi perlu dijelaskan secara detail sehingga tidak menimbulkan perbedaan

(6)

6

persepsi mengenai defenisi, fungsi dan tujuan penetapan suatu kawasan hutan.

Definisi hutan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 1999 adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya dan memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya”.

Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon-pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Hutan sebagai sebuah ekosistem berfungsi, antara lain (Arief, 2001):

 Untuk menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup  Gudang penyimpanan plasma nutfah

 Mempertahankan degradasi tanah dan erosi  Sumber kayu industri dan penggergajian lokal  Sumber hasil bagi penduduk setempat, dan  Untuk penelitian.

Menurut Affandi & Patana (2002) manfaat tangible atau manfaat langsung hutan antara lain : kayu, hasil hutan ikutan, dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible atau manfaat tidak langsung hutan antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan lain-lain.

(7)

7

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Selanjutnya pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu, hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Hutan Produksi, sesuai Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi adalah hutan yang terletak di dalam batas-batas yang memiliki izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan dikelola untuk menghasilkan kayu. Dengan pengelolaan yang baik, tingkat penebangan diimbangi dengan penanaman dan pertumbuhan ulang sehingga hutan terus menghasilkan kayu secara lestari. Secara praktis, hutan-hutan di kawasan HPH sering dibalak secara berlebihan dan kadang ditebang habis.

Selanjutnya, fungsi pokok hutan adalah hutan konservasi, yaitu kawasan hutan yang memiliki ciri khas tertentu dan mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi sering disama artikan dengan hutan lindung oleh masyarakat awam. Hutan konservasi tentu saja berbeda dengan hutan lindung dari segi peran dan fungsi hutan (Yuniarti, 2011). Hutan konservasi berfungsi sebagai pelestari ekosistem. Peran dan fungsinya juga dapat mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi makhluk hidup disekitarnya.

(8)

8

Dengan adanya penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi, hal tersebut merupakan suatu upaya pemerintah untuk menjaga dan mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya untuk kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang.

2. Hasil Hutan dan Sumberdaya Alam

Menurut Undang-undang nomor 41 tahun 1999, Hasil hutan adalah benda-benda hayati, non-hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

Secara garis besar, hasil hutan dibagi menjadi 2 bagian yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan non kayu terdiri dari produk nabati dan hewan. Untuk hasil hutan non kayu nabati bisa dikelompokkan ke dalam kelompok rotan, kelompok bambu dan kelompok bahan ekstraktif (misalnya Damar, Terpentin, Kopal, Gondorukem dan sebagainya).

Seperti yang tercantum dalam pasal 1 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sumber daya alam hayati merupakan “unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non-hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.”

(9)

9

Sumber daya alam berarti bahwa hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang industri. Selain itu hutan juga dapat memberikan fungsi kepada masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain kayu, hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.

3. Studi Literatur Konflik Kehutanan

Kajian mengenai konflik di kawasan konservasi di Indonesia telah banyak dilakukan. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pembaruan hukum sumberdaya alam (HuMa) mencatat bahwa pada tahun 2010 terdapat 85 konflik sumber daya alam di bidang kehutanan yang terjadi di enam propinsi yang berbeda. Diperkirakan area seluas kurang lebih 17,6 juta Ha sampai dengan 24,4 juta Ha menjadi arena pertarungan antara masyarakat dengan pemegang otoritas. Namun, sepengetahuan penulis sampai saat ini, penelitian mengenai kajian konflik di kawasan TN Gunung Gede Pangrango belum pernah dilakukan.

Penelitian mengenai konflik di kawasan konservasi pernah dilakukan oleh Eka Ratna Juwita Karsodi (2007). Penelitian ini mengkaji mengenai konflik di areal eks Perhutani yang dijadikan kawasan konservasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis konflik setelah adanya perluasan kawasan. Hasil kesimpulan dalam penelitian

(10)

10

ini adalah konflik di kawasan konservasi disebabkan oleh kurangnya lahan untuk pertanian. Laju pertumbuhan penduduk menjadi salah satu pemicu peningkatan kebutuhan akan lahan pertanian. Lebih lanjut, menurut Eka, penyebab konflik di kawasan konservasi antara lain kurangnya komunikasi antara para pihak pengelola dengan masyarakat di sekitar kawasan, adanya p e r b e d a a n kepentingan, pemahaman, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya alam serta keterpurukan ekonomi masyarakat.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ina Marina dan Arya Hadi Dharmawan (2011). Fokus studi ini adalah konflik antara pihak pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan masyarakat adat Kasepuhan. Dengan melihat sejarah konflik, aktor yang terlibat dan bentuk resolusi konflik, kesimpulan penelitian ini adalah konflik terjadi karena perbedaan persepsi, nilai-nilai, kepentingan, dan perbedaan atas hak kepemilikan. Perbedaan persepsi terjadi ketika pihak taman nasional menganggap masyarakat sebagai perambah hutan. Sebaliknya, masyarakat adat Kasepuhan menganggap pihak taman nasional telah menyerobot lahan garapan masyarakat untuk dijadikan area perluasan kawasan taman nasional.

4. Kebaruan Penelitian

Dari dua penelitian mengenai konflik di kawasan konservasi seperti yang telah disebutkan di atas, peneliti melihat beberapa kekurangan

(11)

11

yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini. Pertama, studi yang dilakukan oleh Eka Ratna Juwita (2007) tidak melihat aspek sosiologi, sejarah dan tingkat ekonomi masyarakat. Penyebab konflik, menurut penulis, disebabkan oleh krisis lahan sebelum adanya perluasan kawasan hutan. Tingkat kepemilikan lahan menjadi berkurang karena lahan masyarakat dijual kepada pengusaha untuk dijadikan vila atau usaha.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ina Marina dan Arya Dharmawan (2011). Penelitian tersebut hanya membahas mengenai sosial budaya masyarakat adat kasepuhan. Penelitian ini tidak melihat sejarah penetapan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Menurut hemat penulis, penyebab konflik di kawasan TNGH disebabkan oleh kepentingan yang berbeda dan adanya pihak-pihak yang menunggangi konflik karena isu mengenai adanya kandungan emas di wilayah tersebut.

1.6.2. Landasan Teori

1. Pengertian Konflik

Konflik memiliki pengertian yang sangat luas jika dilihat dari perspektif keilmuan. Orang pada umumnya mengartikan konflik identik dengan kekerasan. Padahal istilah konflik dalam bahasa Inggris Conflict memiliki padanan kata dengan perselisihan atau

(12)

12

pertentangan. Supaya lebih jelas, definisi konflik dari beberapa ahli sebagai berikut:

A. Konflik adalah sebuah „situasi persaingan‟ antar-pihak yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan; masing-masing menginginkan untuk menguasai atau merebut posisi yang tak selaras dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962).

B. Konflik adalah perbedaan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt & Rubin, 1986).

C. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001, hal. 4).

D. Konflik sosial terjadi kalau ada 2 (dua) atau lebih pihak yang memandang dan yakin bahwa mereka memiliki tujuan-tujuan yang tak selaras (Kriesberg, 1998).

2. Penyebab Konflik

Menurut Fisher (2001, hal. 8)dalam teori kebutuhan manusia, konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia seperti fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Selain itu, keamanan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi

(13)

13

sering merupakan inti pembicaraan. Untuk mencapai resolusi konflik, sasaran yang ingin dicapai teori ini antara lain:

 Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.

 Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

3. Tahap-Tahap Pengelolaan Konflik

Setiap manusia didalam kehidupannya pasti mengalami konflik, yang terjadi dalam diri pribadi, dengan orang lain, dengan organisasi atau lembaga, antar organisasi atau lembaga. untuk mempemudah pemahaman mengenai makna istilah konflik, Fisher (2001, hal. 7) menjelaskan perbedaan istilah-istilah tersebut sebagai berikut:

A. Pencegahan Konflik mengacu pada strategi-strategi untuk mengatasi konflik dengan tujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras;

B. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian;

C. Pengelolaan Konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang posistif bagi pihak-pihak yang terlibat;

(14)

14

D. Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan; dan

E. Transformasi konflik adalah upaya mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

4. Alat Analisis Konflik

Alat analisis konflik yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pohon konfik, analisis bawang Bombay, urutan kejadian dan penahapan konflik. Berikut penjelasan keempat alat analisis tersebut. A. Pohon Konflik

Pohon konflik menyajikan suatu metode bagi suatu tim, organisasi, kelompok, atau masyarakat untuk mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting dan selanjutnya dipisahkan ke dalam tiga kategori, yaitu :

1) Masalah-masalah inti; 2) Penyebabnya; dan

3) Berbagai efeknya (Fisher, 2001, hal. 29-30).

Selain itu pohon konflik merupakan suatu alat bantu menggunakan gambar suatu pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik dengan tujuan untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab

(15)

15

dan efek dalam suatu konflik, membantu suatu kelompok atau tim dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik, menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain dan berfokus pada organisasi.

B. Analisis Bawang Bombay

Alat bantu analisis Bawang Bombay adalah suatu cara menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Dalam penggambarannya, analisis Bawang Bombay terdiri dari lapisan-lapisan. Lapisan terluar merupakan posisi-posisi didepan umum yang dapat dilihat dan didengar oleh semua orang. Lapisan pokok yang kedua adalah kepentingan yaitu, apa yang ingin kita capai dari suatu situasi tertentu. Lapisan terakhir yang merupakan inti lapisan adalah kebutuhan-kebutuhan yang harus di penuhi.

Tujuan analisis Bawang Bombang antara lain untuk bergerak berdasarkan posisi masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentinggan serta kebutuhan masing-masing pihak, serta untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok yang berbeda sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya (Fisher, 2001, hal. 27-29).

(16)

16 C. Urutan Kejadian

Urutan kejadian adalah suatu alat bantu analisis berupa grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian merupakan daftar waktu (tahun, bulan atau hari, sesuai skalanya) dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis.

Tujuan menggunakan alat bantu analisis ini antara lain:

 Untuk menunjukkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah dalam suatu konflik

 Untuk menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-kejadian

 Untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak (Fisher, 2001, hal. 20-21).

D. Penahapan Konflik

Penahapan konflik adalah suatu alat bantu analisis berupa sebuah grafik yang menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang digambarkan dalam skala waktu tertentu.

Tujuan menggunakan alat bantu analisis ini adalah:

 Untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik

(17)

17

 Untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik di masa depan dengan tujuan untuk menghindari pola-pola itu terjadi

 Untuk mengidentifikasi periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat bantu lain (Fisher, 2001, hal. 19-20).

1.7. Hipotesis

Kebijakan pemerintah mengenai konversi hutan produksi menjadi hutan konservasi menyebabkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat sekitar kawasan hutan menjadi terganggu. Pengalihan fungsi hutan menyebabkan akses masyarakat menjadi terbatas terhadap hasil hutan di sekitar kawasan TNGGP. Situasi seperti ini membuat masyarakat terpaksa melakukan akitivitas penyadapan secara ilegal. Kondisi konflik semakin memanas dengan adanya tindakan pencegahan dan represif berupa penangkapan dan penyitaan barang bukti oleh pihak pengelola TNGGP.

Sesuai dengan teori kebutuhan manusia menurut Fisher (2001), konflik di kawasan TNGGP disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi masyarakat di sekitar kawasan. Harga getah yang semakin meningkat dan kepemilikan lahan masyarakat yang terbatas merupakan faktor pendorong konflik. Selain itu, tingkat pengetahuan masyarakat mengenai status kawasan TNGGP sebagai kawasan konservasi ikut mempengaruhi terjadinya konflik di kawasan TNGGP.

Konflik ini sebenarnya masih dapat diselesaikan karena adanya beberapa indikasi yang mengarah pada penyelesaian konflik. Indikasi tersebut antara lain

(18)

18

pemahaman masyarakat terhadap status kawasan konservasi TNGGP dan pemahaman masyarakat mengenai PHBM yang memiliki batas waktu.

Dengan menggunakan alat bantu analisis pohon konflik, bisa terlihat bahwa kurangnya sosialisasi terhadap perubahan status kawasan TNGGP menjadi pemicu konflik penyadapan getah damar dan pinus. Tidak semua masyarakat di sekitar kawasan TNGGP memahami peralihan status kawasan menjadi kawasan konservasi yang membatasi aktivitas warga di dalam kawasan sesuai dengan aturan yang berlaku.

TNGGP pernah mengeluarkan kebijakan pada tahun 2006 sampai dengan 2009 untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang pernah terlibat dalam kegiatan PHBM Perhutani untuk melakukan penyadapan selama 3 (tiga) tahun. Dengan menggunakan Analisa Bawang Bombay, hal ini menunjukkan posisi pihak pengelola kawasan TNGGP yang memahami kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat pun mengakui dan memahami bahwa kawasan hutan itu bukan milik mereka. Namun, upaya ini tidak menyelesaikan konflik di kawasan TNGGP. Upaya penyelesaian dari pihak pengelola TNGGP terus dilakukan seperti pemberdayaan masyarakat, usaha ekonomi pedesaan, program adopsi pohon dan ekowisata.

Dalam penelitian ini, urutan kejadian dan penahapan konflik juga digunakan sebagai alat bantu analisis untuk melihat tindakan seperti apa yang telah dilakukan dan kapan konflik mencapai eskalasi. Hal ini juga menjadi bahasan penelitian saya. Dari urutan kejadian, dapat dilihat minimnya peran stakeholder dalam penyelesaian konflik ini.

(19)

19 1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok, masyarakat, organisasi dalam suatu seting tertentu.

1.8.1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari hasil wawancara dengan subjek penelitian di lapangan. Subjek penelitian yang diwawancarai antara lain pihak Kementerian kehutanan, masyarakat desa penyangga dan masyarakat atau kelompok penyadap getah.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari kajian pustaka, dokumen yang dikeluarkan oleh instansi terkait maupun data yang bersumber dari peneliti lain yang telah dianalisis. Data Sekunder berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.

1.8.2. Teknik Pengumpulan Data 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan akan dimulai dengan pengumpulan bahan atau data terkait dengan permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini.

(20)

20

Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan usulan penelitian melalui konsultasi dan penyempurnaan di bawah bimbingan dosen pembimbing. Setelah memperoleh persetujuan dilanjutkan dengan penyusunan instrumen penelitian. Jadwal konsultasi ditetapkan bersama dengan Dosen pembimbing untuk rencana penyelesaian tiap tahap yang terukur.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan dalam penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada penelitian kepustakaan, penulis melakukan pengumpulan serta pengkajian data mengenai topic penelitian, baik data primer maupun data sekunder. Sedangkan pada penelitian lapangan, data dikumpulkan melalui proses wawancara dengan narasumber terkait konflik penyadapan getah pinus dan damar di TNGGP yang berasal dari pihak pengelola TNGGP dan masyarakat. Selain itu, penulis juga melakukan observasi.

3. Tahap Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan, baik data primer, sekunder, akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu mengkelompokkan (mengkatagorikan) dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas kebenarannya. Kemudian dihubungkan dengan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan,

(21)

21

sehingga akan diperoleh jawaban atas permasalahan yang menjadi topik utama dalam penelitian

1.9. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, pada bab ini juga berisi metode yang digunakan dalam penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data serta sistematika penulisan. Bab dua gambaran lokasi penelitian dan konflik di kawasan konservasi TN Gunung Gede Pangrango berisi mengenai letak geografis dan demografi kawasan TN Gunung Gede Pangrango serta sejarah konflik kawasan konservasi antara pihak pengelola kawasan dengan masyarakat di sekitar kawasan TN Gunung Gede Pangrango. Bab tiga menjelaskan mengenai analisis konflik kawasan konservasi antara pihak pengelola kawasan dengan masyarakat yang terus terjadi. Bab empat menguraikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengambilan getah pinus dan damar di dalam kawasan TN Gunung Gede Pangrango. Terakhir, bab lima berisi simpulan dan saran serta rekomendasi mengenai resolusi konflik di kawasan TN Gunung Gede Pangrango.

Referensi

Dokumen terkait

Umur para pekerja secara keseluruhan diatas 30 tahun dan berpendidikan tamatan SD, SMP dan SMA sedangkan Teknisi bertamatan S1 dan usaha budidaya ikan kerapu cantang di KJA

Penelitian pemanfaatan tepung jagung sudah dilakukan oleh Suarni (2005) dengan judul substitusi tepung jagung dan tepung terigu pada kue kering. Diperoleh hasil jadi

Pada prototype III dilakukan juga uji coba yang pertama (kelompok kecil) dalam penelitian ini adalah para mahasiswa semester VI kelas VI.I yang berjumlah lima orang yang

Dari analisis diagram sebab akibat dapat diketahui faktor- faktor yang menyebabkan kerusakan pada paving di perusahaan industri rumah tangga UD 2003 adalah tenaga kerja

Dari hasil analisis pengujian yang dilakukan terhadap system informasi bimbingan koseling ini maka system dapat berjalan dengan baik dan system ini sangat

Kebijakan pengembengan wilayah wilayah masyarakat dalam UU ini di sebutkan dalam pasal 3 (f) “ menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang

Alinea 4: Perjelas pertanyaan penilitian artikel ini: Pedoman/petunjuk manakah yg dapat diberi kepada jemaat masa kini untuk memilihara pergaulan dgn Tuhan melalui doa.. Alinea

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, didihkan dengan 25 mL asam sulfat encer P selama 5 menit, kum- pulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring