• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2017"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TAHUN 2017

LAPORAN KAJIAN EVALUASI PERATURAN DAERAH

PEMANTAUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2012

TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

(2)

LAPORAN KAJIAN EVALUASI PERATURAN DAERAH

PEMANTAUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2012

TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

(3)

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang 1 B. Metode Pengumpulan Data 3 C. Teknik Pengumpulan Data 4 D. Identifikasi Masalah 4 E. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik 13 E.1. Tujuan Naskah Akademik 13 E.2. Kegunaan Naskah Akademik 13 F. Metode Yuridis 14 F.1. Metode Yuridis Normatif 14 F.2. Metode Yuridis Empiris 14 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS 16 A. Kajian terhadap Teori 16 B. Telaah Pustaka Disabilitas 18 C. Kajian terhadap Asas 20 D. Kajian terhadap Praktik dan Permasalahan 21 E. Implikasi Atas Rancangan Undang-Undang 26 BAB III EVALUASI ATAS PERATURAN TERKAIT 31 A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat ... 31

B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 33

C. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ... 34

D. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD ... 34

E. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ... 43

BAB IV LANDASAN 44

A. Landasan Filosofis 44

B. Landasan Sosiologis 45

C. Landasan Yuridis 46

BAB V MATERI MUATAN 49

A. KETENTUAN UMUM 49

A.1. Definisi Disabilitas 49

A.2. Klasifikasi Disabilitas 50

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

(4)
(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Perda Disabilitas Provinsi DIY) telah dilaksanakan selama 5 (lima) tahun. Perda ini menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat penyandang disabilitas, mulai dari pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sosial, seni dan olah raga, pemberitaan, politik, hukum, hingga penanggulangan bencana. Dalam salah satu pertimbangannya, peraturan ini mengikuti amanat dari Undang-undang Dasar 1945, bahwa setiap warga negara dianggap memiliki hak, kewajiban, peran dan posisi yang sama dimata hukum. Orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus, sering mengalami diskriminasi karena mereka dianggap berbeda dengan warga negara yang lain. Hak-hak mereka diabaikan bahkan dilanggar. Diskriminasi tersebut dengan terang-terangan berlanjut setelah perda disabilitas DIY ini disahkan. Alat penegakkan hukum peraturan tersebut masih dianggap lemah karena orang-orang tersebut belum bisa menikmati hak dan kewajiban yang diatur dalam Peraturan tersebut.

Indonesia sebagai negara yang menganut Pancasila sebagai dasar ideologinya.Pada sila kelima berbunyi, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, namun belum seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum disabilitas sudah merasakan keadilan.Fakta dari hal yang paling sederhana, misalnya aksesibilitas pada fasilitas publik, belum mengakomodir secara penuh bagi disabilitas untuk menikmati akses tersebut. Jumlah disabilitas di Indonesia pada tahun 2007 diprediksi sekitar 7,8 juta jiwa (Suharto, Edi, 2010). Sebuah angka yang sebenarnya relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah sekitar lebih dari dua ratus juta jiwa.

(6)

Namun bagaimanapun juga, kaum disabilitas memili hak sebagai warga negara. Demikian selayaknya semangat pelayanan tidak dipengaruhi jumlah besar atau kecilnya pengguna layanan. Sebagaimana hak warga negara Republik Indonesia yang dalam UUD NRI 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan warga negara lainnya tanpa terkecuali. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Untuk itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah hendaknya memberikan perhatian yang cukup kepada para penyandang disabilitas tersebut, termasuk dalam hal akses pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan publik.

Kenyataan di lapangan yang menunjukkan kondisi sebaliknya, minimnya sarana pelayanan sosial dan kesehatan, pendidikan yang terkotak-kotakan, serta sulitnya mengakses pekerjaan yang sebenarnya tidak mempermasalahkan hambatan fisik. Sebenarnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengatur hal ini dalam Pasal 27 dan Pasal 31.Namun demikian, tampaknya kehadiran sejumlah peraturan yang mengatur permasalahan tersebut belum mampu menjadi pegangan untuk menciptakan kesetaraan tanpa diskriminasi. Apalagi dalam penggunaan istilah misalnya, telah menimbulkan stigma negatif oleh masyarakat terhadap disabilitas yang dianggap tidak mampu. Pun demikian, ketentuan yang ada masih terlalu abstrak, dalam arti belum mampu menjelaskan apa yang harus dilakukan selama ini.

Kajian yang melihat isu disabilitas dalam kerangka hokum dan perundang-undangan sudah banyak berkembang di berbagai negara. Hal tersebut berpengaruh langsung terhadap konsep dan cara pandang terhadap disabilitas dalam kaitannya dengan produk hukum. Pandangan tersebut sudah berkembang baik di suatu negara bahkan dalam konvensi internasional. Faktanya, sudah terdapat perubahan yang signifikan dari perkembangan itu, yaitu disabilitas sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu tragedi yang segala

(7)

permasalahannya dapat hanya diseleksaikan dengan bantuan. Disabilitas sudah dipandang sebagai bagian dari keragaman umat manusia dan kemanusiaan yang hadir ditengah masyarakat. Selain itu, disabilitas sudah tidak lagi hanya dilihat dari aspek medis, yang hanya akan mengarah kepada pemaknaan “normal” dan “tidak normal”, tetapi sudah bergeser dengan dilihat dari aspek sosial, yaitu melihat dari hambatan yang muncul dari hasil interaksi dan kondisi lingkungan sekitar.

B. Metode Pengumpulan Data

Pada dasarnya Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perlindungan dan Pemehuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas menggunakan metode evaluasi. Hasil akhir yang dicapai dari kegiatan ini berdasarkan pada kerangka kerja evaluasi yaitu:

Pertama, bahwa evaluasi yang dilakukan terhadap output, outcome dan impact merupakan

bentuk akuntabilitas kinerja dan pengendalian mutu implementasi produk hukum atau peraturan;

Kedua, bahwa evaluasi dilakukan untuk mengetahui gambaran bagaimana kekuatan dan

kelemahan implementasi di lapangan; Ketiga, bahwa evaluasi dilakukan untuk mengetahui dampak yang diperoleh paska implementasi, yang terdiri dari dampak yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan; Keempat, mengetahui bagaimana rekomendasi program berdasarkan analisis yang dilakukan dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat.

Cakupan dari kegiatan ini meliputi evaluasi terhadap kondisi awal yang diawali oleh bagaimana kualitas produk hukum yang dilakukan, pengaruh faktor dan faktor eksternal, hingga analisis dampak pelaksanaannya. Sedangkan indikator yang dicapai dalam kegiatan adalah sebagai berikut: Pertama, aspek masukan (input) yang mencakup bagaimana proses terbentuknya produk hukum tersebut. Kedua, aspek proses/ aktivitas antara lain kondisi factual pelaksanaan di lapangan. Ketiga, aspek keluaran (output) yang mencakup aspek hasil dari proses implementasi yang berkaitan dengan kuantitas. Keempat, aspek manfaat (outcome) yang terkait

(8)

pada siapa yang dapat mengambil manfaat atau menggunakan produk yang dihasilkan. Kelima, aspek dampak (impact) yang berkaitan dengan sejauh mana perubahan dalam masyarakat yang diakibatkan dari produk hukum tersebut, baik dampak yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait dengan konsekuensi metode yang digunakan maka dalam proses melakukan kajian evaluasi harus meliputi beberapa kegiatan, yaitu pengkhususan (specification), pengukuran (measurement), analisis dan rekomendasi. Pengkhususan merupakan kegiatan untuk melakukan identifikasi terhadap tujuan dan kriteria mengenai bagian mana program yang akan dievaluasi. Pengukuran merupakan aktivitas untuk melakukan pengumpulan informasi yang berkaitan/ relevan dengan objek yang menjadi sasaran evaluasi. Sedangkan analisis terkait dengan melakukan telaah terhadap data atau informasi yang telah terkumpul dalam rangka menyusun kesimpulan. Tahap terakhir yaitu rekomendasi yaitu bagaimana hasil analisis yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai pijakan untuk memberikan masukan atau pengembangan apa yang dapat dilakukan di masa yang akan datang.

C. Teknik Pengu mpulan Data

Dalam studi evaluasi ini terdapat beberapa teknik pengumpulan data yaitu Focus Group Discussion dan melakukan penelitian terhadap suatu usaha mandiri yang mempekerjakan difabel.

D. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hasil FGD yang telah kami laksanakan pada tanggal 21 April 2017 di Fakultas Hukum UGM, bersama dengan perwakilan dari pemerintah yaitu dinas social Yogyakarta, yayasan social mardi woto, difajek, serta komunitas difabel dari berbagai Universitas, terlontar permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di DIY, yang

(9)

masih terjadi setelah pelaksanaan Perda Disabilitas DIY. Persoalan -persoalan tersebut antara lain:

Bullying dan Masalah Pendidikan

Kerap kita jumpai bullying yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas. Bila dirunut secara mendalam, peristiwa ini terjadi karena buruknya pengelolaan pendidikan yang tidak sedari dini menanamkan rasa toleransi. Permasalahan pokok adalah bagaimana di negara ini tingkat pendidikan para penyandang disabilitas dan orang normal dapat disetarakan, atau setidaknya mendekati. Karena kita tahu bahwa pendidikan disabilitas di negara ini seperti dianak tirikan. Karena kita tahu bahwa negara dan pemerintahan seperti tidak serius menangani permasalahan tentang pendidikan untuk para penyandang disabilitas. Seperti terlihat bahwa negara menyediakan sendiri sekolah khusus untuk para disabilitas yang berbentuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Tetapi masih banyak permasalahan yang harus segera diselesaikan. Sepeti kurangnya fasilitas dan tenaga pengajar untuk para penyandang disabilitas.

Karena kita tahu bahwa para penyandang disabilitas tidak bisa disamakan dengan para pelajar normal. Mereka memerlukan fasilitas khusus untuk mendukung kegiatan belajar mereka. Selain itu tidak semua pengajar dapat mengajar para penyandang disabilitas. Dan itulah yang membuat para penyandang disabilitas mengalami tingkat pendidikan yang kurang sesuai. Namun dewasa ini banyak yang berpikiran bahwa dengan adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah suatu kesalahan besar. Karena seharusnya para penyadang Disabilitas dapat bersekolah disekolah yang normal. Sehingga tidak adanya suatu kesenjangan yang diciptakan. Sehingga dapat bergaul dengan normal selama kegiatan pembelajaran.

Kesempatan Kerja yang kurang untuk para penyandang Disabilitas

Permasalahan yang muncul sekarang ini adalah bagaimana seorang penyandang disabilitas dapat mempunyai kesempatan kerja yang sesuai dan cukup. Karena sekarang ini

(10)

banyak lapangan pekerjaan yang tidak mau menerima para penyandang disabilitas. Walaupun sebenarnya mereka mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Padahal didalam Undang-undang Ketenagakerjaan sudah diatur bahwa dalam 100 orang pekerja harus ada 1 orang penyandang disabilitas. Tetapi masih banyak yang tidak menhiraukan hal tersebut. Permasalahan kedua dalam hal kesempatan kerja untuk para disabilitas adalah kurangnya kesadaran para penyandang disabilitas untuk berwirausaha sendiri. itu disebabkan karena memang dari dulu tidak adanya semacam penyuluhan-penyuluhan kepada para penyandang disabilitas tentang bagaimana para menciptakan suatu lapangan pekerjaan sendiri

Sarana dan Prasarana di Fasilitas layanan publik (gedung pemerintahan, trotoar,

toilet umum, transportasi umum, dll) yang kurang representatif;

Permasalahan yang muncul sekarang ini adalah kurang ramahnya fasilitas layanan publik bagi penyandang disabilitas. Mulai dari trotoar yang naik turun, gedung-gedung publik yang tidak memiliki elevator, toilet umum yang tidak terjangkau bagi kaum disabilitas dan sebagainya. Belum lagi sarana transportasi umum seperti bus Trans Jogja yang tidak menyedia-kan askses khusus bagi penyadang disabilitas. Pemerintah Daerah dapat mendorong perusaha-an-perusahaan di DIY untuk mengalokasikan sebagian dana CSR mereka untuk digunakan demi memperbaiki kondisi layanan publik di DIY.

Konsep “Nrimo” dari Difabel atas Stigma “Cacat” yang Selama Ini Melekat

Berdasarkan studi dan wawancara terhadap beberapa difabel maka diperoleh hasil bahwa mereka cenderung “nrimo” atas kecacatan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kecacatan yang dimilikinya. ‘Penyakit’ yang membius manusia modern hingga kini adalah konsep kenormalan yang membedakan manusia menjadi "normal" dan "tidak normal". Manusia ‘normal’ didefinisikan sebagai mereka yang lengkap secara fisik. Maka kebalikan dari ‘yang normal’ itu, mereka yang ‘berbeda’ secara fisik disebut ‘tidak normal.’ Konsep tentang normal/

(11)

tidak normal ini selanjutnya berimplikasi pada pemaknaan kata ‘cacat’ dan ‘tidak cacat.’ Sederhananya dapat disebut demikian: ‘normal berarti tidak cacat’ dan ‘tidak normal berarti cacat.’

Definisi “cacat” adalah masalah kategori yang dibentuk dengan kuasa standart mayoritas. Cacat merupakan sebuah reproduksi yang menembus alam bawah sadar, hingga kemudian menjadi kesepakatan yang susah untuk ditolak atau digugat. Sebuah perjalanan yang ditentukan oleh kuasa yang menopangnya.1

Senada pula dengan yang diungkapkan oleh Albrecht and Levy bahwa kecacatan adalah sebuah konstrusi sosial yang kemudian berkembang menjadi realitas objektif.

We contend that disability definitions are not rationally determined but socially constructed. Despite the objective reality, what becomes a disability is determined by the social meanings individuals attach to particular physical and mental impairments. Certain disabilities become defined as social problems through the successful efforts of powerful groups to market their own self interests. Consequently the so-called ‘objective’ criteria of disability reflects the biases, self-interests, and moral evaluations of those in a position to influence policy. (Albrecht and Levy, 1981, 14)

Dengan mendasarkan pada kelengkapan fisik, konsep ini secara otomatis telah membagi manusia ke dalam dua kelompok kelas, yakni kelas utama/ atas yang ditempati oleh orang-orang normal dan kelas bawah yang ditempati oleh orang-orang cacat. Hal tersebut diperkuat oleh Foucault (1991):

Kategori cacat merupakan sesuatu yang dibentuk oleh pertarungan modal, baik modal sosial, material, atau pun simbol. Orang-orang normal merupakan kelompok dominan yang mendominasi dengan berbagai modal yang dimiliki untuk meneguhkan posisi dominannya secara terus-menerus. Sehingga kategori cacat tersebut menjadi “doxa” (keyakinan atau opini) yang seolah-olah benar, mendarah daging dan tak perlu digugat.2

Orang-orang normal/ tidak cacat ditempatkan dalam kelas atas karena mereka memiliki fisik dan indra yang lengkap. Lebih penting lagi, dengan kelengkapan fisik tersebut mereka

1

Slamet Thohari, 2010, Menormalkan yang dianggap Tidak Normal, Difabel dalam Lintas Sejarah dalam Jurnal Perempuan: Mencari Ruang untuk Difabel, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Vol 65.

2

Michel Foucault, 1991, Dicipline and Punish: The Birth of The Prison, Allen Lane, London, hlm 138.

(12)

mampu melakukan apa saja untuk memenuhi hajat hidup mereka. Sementara, bagi kelas bawah (kelompok rentan) yang memiliki keterbatasan secara fisik dipandang mengalami hambatan-hambatan dalam mengakses pemenuhan hajat hidup mereka. Dengan adanya pembedaan atau stigma ini, maka cacat dengan demikian sangat mungkin dimaknai sebagai kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun—siapa yang ingin disebut sebagai ‘tidak normal’ atau ‘cacat’? Kalau saja manusia boleh memilih—termasuk para difabel—dalam kondisi bagaimana ia ingin dilahirkan, pastilah semua menginginkan kesempurnaan fisik, sehingga dapat hidup layaknya manusia lain yang dikarunia fisik lengkap serta berfungsi dengan baik.

Dikalangan difabel, keterpisahan ruang ini lantas memunculkan sebuah pemaknaan baru mengenai kondisi mereka, semacam self wisdom. Self wisdom yang mereka miliki berupa sikap

legowo dalam menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa mereka difabel. Sikap nrimo terhadap

kondisi mereka sendiri inilah yang pertama kali diperlukan bagi para difabel. Sikap nrimo pulalah yang akhirnya menjadi prinsip hidup dan “modal” bagi mereka untuk survive, dimana mereka tidak lagi perlu untuk menggantungkan diri mereka kepada pertolongan orang lain ataupun kebijakan pemerintah pro-difabel. Survive berarti mereka mampu menjalani hidupnya dan mampu melakukan hal-hal yang sulit secara mandiri.

Nrimo juga memiliki benang merah yang begitu erat dengan konsep bersyukur

sebagaimana yang diungkapkan Emmons (2003; 2004). Yaitu, emosi di mana seseorang akan merasa puas dengan apa yang ia peroleh. Juga, mampu merumuskan manfaat dari apa yang ia terima3. Kepuasan atas hidup yang diberikan membuat mereka terus berupaya untuk maju dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan.

Karena berperilaku nrimo, kaum difabel dapat menjaga kestabilan emosi positifnya.

3 Emmons, R.A. & Mc Cullough, M.E. 2003. Counting blessing versus burdens: An esperimental investigation of

gratitude and subjective well-being in daily life. Journal of personality an Social Psychology, 81, 2, 377-389 dalam artikel yang disusun oleh Manda Firmansyah. 2009. Katalisator Penyembuh itu Bernama Nerimo. Yogyakarta.

(13)

Mereka dapat berpikir jernih untuk mencari cara bangkit dari keterpurukan. Keberserahan diri secara total membuat dirinya tak berlarut dalam kesedihan dan tenggelam dalam stigma yang dilekatkan padanya. Hal itulah yang kemudian menjadi interpretasi difabel dalam pemaknaan hidup mereka. Tak heran bila mereka dapat eksis ditengah-tengah hegemoni stigma abnormalitas yang melekat pada difabel.

Dalam konteks para difabel yang bekerja di tempat wilayah studi, konsep nrimo ini hadir dalam setiap diri (personal). Masing-masing dari mereka mengaktualisasikan bentuk nrimo ini dengan cara yang berbeda-beda. Akan tetapi semuanya bermuara pada satu hal, yaitu upaya untuk menunjukkan eksistensi diri mereka pada khalayak umum. Salah satu pondasinya adalah dengan memiliki rasa nrimo terlebih dahulu atas kondisi mereka, baru kemudian mereka bisa menemukan bentuk untuk tetap eksis di lingkungan masyarakat.

Riwayat bagaimana seseorang menjadi seorang difabel juga mempengaruhi bagaimana konsep nrimo yang dimilikinya. Hal ini dipengaruhi oleh proses yang dilalui oleh masing-masing difabel. Misalnya saja antara difabel sejak lahir dengan difabel karena kecelakaan maupun bencana pasti berbeda. Proses yang dilalui seorang difabel sangat mempengaruhi sejauh mana seorang difabel mampu menerjemahkan konsep nrimo dalam realitas kehidupannya. Hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh penulis dilapangan yang akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Konsep Nerimo bagi Difabel Sejak Lahir

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa konsep nrimo yang berada di benak masing-masing difabel berbeda satu sama lain. Difabel sejak lahir memiliki proses yng lebih panjang. Artinya, difabel sejak lahir lah yang memiliki lebih banyak kecenderungan untuk ditempeli stigma negatif oleh masyarakat. Terlebih lagi konsepsi masyarakat yang masih tradisional dan menganggap bahwa difabilitas sejak lahir adalah sebuah aib atau semacam

(14)

kutukan akibat perbuatan buruk orang tua dimasa lalu. Oleh sebab itu, difabel sejak lahir menerima lebih banyak tempelan stigma.

Proses yang dilalui difabel sejak lahir cukup panjang, maksudnya dimulai dari seseorang tersebut terlahir difabel, kebanyakan orang tua awalnya selalu tidak bisa menerima kondisi tersebut. Bahkan sampai seseorang ini berusia kanak-kanak, “bisik-bisik tetangga” akan tetap terdengar, walaupun hanya sebatas bahan obrolan dan tidak sampai pada tindakan-tindakan cemoohan ataupun yang lebih ekstrim seperti tindakan menyakiti. Namun hal tersebut sangat mempengaruhi bagaimana nantinya seorang difabel memiliki konsep nrimo yang seperti apa. Seperti yang di ungkapkan oleh Mbak Puji dan Mbak Kartini, difabel sejak lahir, mereka memiliki kesamaan background story, yaitu pada awalnya ada salah satu keluarga yang tidak dapat menerima keberadaan mereka dan disisi lain ada juga anggota kelurga yang menjadi “pembela” utama, dan seseorang itulah yang kemudian menjadi pembentuk utama bagaimana konsep nrimo tertanam dalam diri seorang difabel.

Mbak Puji merupakan sosok difabel yang sangat tegas dan bahkan terkesan keras. Konsep nrimo-nya cenderung sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap orang-orang maupun kondisi disekitarnya. Dia tidak serta merta menerima apapun perlakuan yang ditujukan padanya, dia selalu harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang dari tindakan-tindakan tersebut.

Nrimo yang bukan sekedar nrimo ini lahir dari latar belakang kehidupan Mbak Puji yang keras.

Pada masa kelahirannya, ayahnya begitu tidak menerima kedifabelannya dan dimasa kecilnya saudara-saudaranya selalu menjadikannya obyek untuk dikerjai dan dipermainkan. Tak jarang penyiksaan-penyiksaan fisik juga diterimanya. Satu-satunya pembela dirumahnya adalah ibunya yang juga seringkali mendapat cacian dari ayahnya sejak Mbak Puji dilahirkan. Hal itulah yang kemudian membuat Mbak Puji memiliki watak yang sangat keras dan tidak mau menerima segala sesuatu begitu saja.

(15)

Lain Mbak Puji, lain pula dengan Mbak Kartini. Mbak Kartini merupakan sosok difabel yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kaum difabel lain. Menurutnya ada lebih banyak orang yang lebih menderita jika dibandingkan dengannya. Sikap nrimo yang dimiliki oleh Mbak Kartini ini berasal dari didikan buleknya yang menanamkan sikap menerima segala perlakuan yang ditujukan padanya terkait dengan kedifabelannya dengan sikap santai saja. Karena apapun itu, seperti misalnya pandangan-pandangan aneh dari orang-orang sekitar, pertanyaan-pertanyaan tidak mengenakkan dari teman-teman, ataupun gunjingan dari tetangga akan berlalu dengan sendirinya seiring dengan waktu. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengembangkan dan membuktikan pada masyarakat disekitarnya bahwa dirinya mampu dan berpikir bahwa ada lebih banyak orang yang mengalami hal atau kondisi yang lebih buruk.

Dengan demikian konsep nrimo difabel sejak lahir berawal dari proses yang ada dalam keluarga. Bagaimana keluarga memperlakukan difabel lahir di masa kanak-kanaknya menentukan konsep nrimo yang selanjutnya akan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Konsep Nrimo bagi Difabel karena Gempa

Ditengah stigma normalitas yang begitu menghegomoni Pertanyaan menggelitik juga terlontar dari mulut wartawan asal Jerman kepada dosen psikologi UGM, Kwartarini, Ph.D.,

“Apakah rakyat telah mengalami ganguan jiwa?” Meskipun terkesan konyol, pertanyaan

tersebut sebenarnya lahir dari pemahaman teoritis yang mendalam. Bahwa bila terdapat ketidaksesuaian antara peristiwa yang terjadi dan emosi yang timbul maka seseorang itu bisa didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Itu pula yang terjadi pada rakyat umum. Umumnya orang akan berlinang air mata ketika menceritakan musibah yang dialaminya. Terlebih, yang memakan korban jiwa. Tetapi, masyarakat Bantul dapat mengutarakan kehilangannya sembari tersenyum, bahkan tertawa. Kondisi di atas merupakan konsekuensi logis dari adanya anugerah

(16)

yang menjadi anti-musibah, salah satunya nerimo. Energi yang terkandung dalam perilaku

nerimo lebih besar tinimbang bobot ujian yang diberikan-Nya. Tak heran bila rakyat Bantul

dapat pulih selekas itu. Kearifan lokal telah menjadi katalisator reaksi penyembuhan.4

Artikel tersebut menjelaskan bagaimana konsep nrimo yang dimiliki oleh difabel korban gempa bersifat penerimaan diri yang kolektif. Kepasrahan kolektif ini diperoleh karena korban bencana, dalam hal ini gempa merasakan dampak bencana tersebut secara bersama-sama. Sehingga memunculkan perasaan senasib dan memiliki beban penderitaan yang sama.

Termasuk para korban yang menjadi difabel. Telah disebutkan bahwa di Bantul misalnya, korban yang mengalami luka fisik yang serius dan menjadi difabel berjumlah 1271 orang. Hal ini secara tidak langsung membuat para korban tidak merasa sendiri. Selain itu juga perhatian dari berbagai pihak terhadap bencana tersebut setidaknya membuat para difabel merasa diperhatikan dan mendapatkan bantuan dalam berbagai bentuk sampai dianggap bisa kembali mandiri.

Pemaknaan bahwa bencana merupakan suratan takdir menjadi salah satu hal pembentuk konsep nrimo bagi difabel korban gempa. Dalam hal ini para difabel tidak terlalu mempertanyakan atau menyalahkan Tuhan atas nasib yang mereka alami.

“ya mau gimana lagi mbak, saya pikir itu sudah takdir Gusti Allah, gak mungkin menyalahkan siapa-siapa. Gak ada yang pengen menjadi seperti ini, tapi untung-untungan masih diberi kesempatan hidup.” (Wawancara dengan Mbak Sri).

3. Konsep Nrimo bagi Difabel karena Kecelakaan

Difabel karena kecelakaan memiliki shock yang lebih besar dibandingkan dengan difabel karena gempa dan difabel dari lahir. Jika difabel sejak lahir memiliki proses yang panjang terkait

4

Manda Firmansyah. 2009. Kumpulan Naskah Annual Essay Competition Terbaik: Katalisator Penyembuh itu

(17)

dengan pemaknaan dirinya akan kedifabelannya dan difabel karena gempa memiliki rasa kebersamaan yang lebih karena mengalami kedifabelan secara bersama-sama, lain halnya dengan difabel karena kecelakaan.

Difabel kecelakaan tidak memiliki proses yang panjang seperti difabel sejak lahir. Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka, difabel korban kecelakaan mengalami perbedaan kondisi yang sangat signifikan, yaitu dari kondisi normal menjadi cacat. Hal tersebut terjadi begitu cepat dan menimpa individu. Sehingga secara umum difabel karena kecelakaan memiliki kecenderungan merasa sendiri dan sangat menderita secara personal. Tidak ada perasaan merasa senasib dan mengalami musibah bersama-sama seperti korban gempa.

Berdasarkan hal tersebut, difabel korban kecelakaan mengalami proses penerimaan diri yang lama. Mereka harus merekonstruksi ulang pemaknaan dirinya sebagai seorang individu dalam komunitas masyarakat. Bagaimanapun juga sebelumnya mereka memiliki kehidupan yang normal dan dengan sekejap seluruh pola kehidupannya harus berubah.

E. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

E.1. Tujuan Naskah Akademik

Penyusunan Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberi rumusan, konseptualisasi, metode, pertimbangan, dan solusi terhadap persoalan kesenjangan sosial atas perlakuan diskriminasi bagi para penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945.

E.2. Kegunaan Naskah Akademik

Kegunaan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan dan referensi penyusunan dan pembahasan kebijakan dalam bentuk peraturan Perundang-undangan, khususnya

(18)

perubahan Peraturan Daerah tentang Disabilitas di DIY. Naskah akademik ini diharapkan mampu memberi gambaran yang komprehensif berkaitan dengan pemecahan permasalahan yang melatarbelakangi seputar perlakuan negara dan masyarakat terhadap para penyandang disabilitas khususnya dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, dan layanan publik. Oleh karena itu dengan adanya kajian ini dapat ditentukan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam memecahkan masalah tersebut.

Beradasarkan tujuan dan kegunaan di atas, maka diharapkan peraturan daerah yang mengatur tentang penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diubah dengan memasukan beberapa perbaikan .

F. Metode Yuridis

F.1. Metode Yuridis Normatif

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka guna menelaah data khususnya data sekunder berupa Undang-Undang dan peraturan terkait untuk dilihat kesesuaian muatan peraturan ini secara vertikal dan horizontal.

F.2. Metode Yuridis Empiris

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris dilakukan melalui focus group discussion yang mengundang para penyandang disabilitas, kelompok masyarakat terkait, serta pemerintah daerah serta dengan melakukan penilitian terhadap pengalaman di

(19)

masyarakat tentang sistem pendidikan dan ketenagakerjaan terhadap penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.

(20)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS

A. Kajian terhadap Teori

Hak Asasi Manusia (HAM) dipercaya sebagai nilai yang bersifat universal. Suatu nilai yang universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu.Nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.HAM mempunyai sejarah yang panjang dalam usahanya menegakkan hak-hak individu terhadap negara. Sejarah ini dapat ditelusuri mulai dari “Magna Charta” yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan monarki di Inggris sejak rezim Raja John (1215), berlanjut ke masa Reformasi (abad ke-16) di Eropa, lalu ke Perancis dengan “Declaration des droits de I’homme et du citoyen” (1789), dan selanjutnya ke Amerika dengan “Bill of Rights” (1791). Karena perkembangannya bermula di Barat, sering dikatakan bahwa HAM adalah suatu konsepsi Barat.

United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) atau

Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas terdiri dari 50 Pasal dan Optional Protocol. Konvensi memuat hak-hak sosial, ekonomi, budaya, politik dan sipil secara komprehensif.Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menandai adanya perubahan besar dalam melihat permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau gangguan fungsional dari fisik, mental atau intelektual, dan termasuk juga mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan sehari-hari yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkungannya. Pemahaman penyandang disabilitas merupakan istilah dan pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan istilah dan pengertian

(21)

penyandang cacat dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia.

Indonesia ikut menandatatangani Konvensi tanggal 30 Maret 2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatangan dengan urutan kesembilan. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan didampingi oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi, Ph.D., dan Ketua Umum Persatuanm Penyandang Cacat Indonesia (sekarang Persatuanm Penyandang Disabilitas Indonesia) Siswadi, MBA. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi suatu perjanjian internasional yang berdampak pada sosial, penganggaran, dan politik perlu mendapat pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk Undang-Undang, termasuk Konvensi Hak–hak Penyandang Disabilitas tersebut.

Hal ini menunjukkan perhatian serius pemerintah dalam memperhatikan isu disabilitas, salah satunya dengan upaya ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas tersebut.Sesuai dengan Pasal 43 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi yang memiliki konsekuensi untuk mengikat diri dengan ketentuan dalam konvensi.Keiinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.Tujuan pengesahan Konvensi tersebut adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.

Tahun 2007 lalu lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia telah menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Disabilitas (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with

Disabilities). Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi tersebut, yaitu

menghormati harkat dan martabat penyandang cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh,

(22)

aksesibilitas, penghormatan terhadap perbedaan, dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan.

B. Telaah Pustaka Disabilitas

Meskipun Michel Foucault tidak pernah secara khusus berbicara mengenai disability, namun dalam karya awalnya, Michel Foucault pernah menjelaskan konsep normal dan abnormal dalam studinya mengenai Kegilaan dan Peradaban. Di situ Foucault menggambarkan bagaimana perlakuan masyarakat abad pertengahan terhadap orang-orang yang dianggap gila, penyandang cacat, penderita kusta yang diasingkan dari kehidupan sosial karena dianggap bukan manusia yang normal. Mereka dipasung, dikurung, bukan saja karena penyakitnya dianggap bisa menular, tetapi juga karena tidak enak dipandang5.

Dalam konteks penelitian ini, stigma yang disematkan pada difabel juga dapat dilihat sebagai penggambaran perlakuan masyarakat terhadap difabel. Foucault memberikan pisau analisis yang mendalam mengenai bagaimana pembentukan relasi kuasa dalam kuasa tubuh (bio-power) melalui konsepsi “normal dan abnormal.” Foucault menjelaskan hal ini melalui konsep relasi kuasa dan pengetahuan, dimana keduanya bekerja secara mutualisme. Pengetahuan menghasilkan kekuasaan, demikian sebaliknya. Ini berarti pengetahuan bukan sekedar kumpulan tanda, pernyataan, pemikiran, ataupun cara penyampaian pemikiran tersebut, tetapi juga semua aturan dan pengandaian yang memungkinkan diproduksinya pernyataan tentang eksistensi dan reproduksi sosial6.

Konsep Foucault mengenai relasi kuasa dan pengetahuan sekaligus memberikan kerangka bagaimana wacana mengenai “normalitas” dan “abnormalitas” dikostruksi dan dijadikan pandangan umum dalam wacana publik salah satunya disebut sebagai “bio power.”

5

Fillingham, Lydia, Alex. 2001. Foucault untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 29 -33 dalam Supartini. 2009. Proposal Disertasi Celebrate ti Difference (Studi tentang Gerakan Sosial Penyandang Cacat di Indonesia).

Yogyakarta : Tidak Diterbitkan

6

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2004. Hermeneutika Pascakolonialisme: Soal Identitas. Yoyakarta: Kanisius , hal. 19

(23)

Bio power dalam pandangan Foucault berpijak pada konsepnya mengenai tubuh dan kuasa, yakni bagaimana tubuh dapat menciptakan suatu hegemoni diri atas yang lain melalui sebuah konsep normal/abnormal. Tubuh merupakan tempat yang paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat Barat modern. Tubuh adalah tempat dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro (most minute) mempertautkan dirinya dengan sirkulasi kekuatan impersonal dalam skala besar. Lebih jauh tercapai suatu kejelasan bagaimana suatu tubuh sampai digolong-golongkan, dikonstruksi, ditematisasikan, dan dimanipulasi oleh kekuasaan7. Foucault menempatkan tubuh dalam ranah politik, menghubungkannya dengan relasi kuasa, dimana tubuh dibuat untuk patuh/tunduk, dipandang sebagai sesuatu yang produktif, serta mampu dimanfaatkan untuk kepentingan secara ekonomi dan politik melalui teknik-teknik tertentu8.

Dalam pandangannya mengenai tubuh, Michel Foucault mengikuti teori atau paham konstruksionisme yang bertentangan dengan teori naturalis tubuh. Menurutnya, tubuh merupakan hasil konstruksi dari masyarakat. Maksudnya, tubuh menerima makna dari masyarakat—jadi, tubuh adalah reseptor makna, bukan generator/pelahir makna. Hal itu berarti bahwa sepanjang sejarah, masyarakatlah yang menentukan bagaimana tubuh seharusnya diperlakukan, dimaknai, dihargai, dst. Melalui diskursus yang sarat akan proyek kekuasaan, tubuh telah dimanfaatkan, diubah, ditransformasikan, didisiplinkan, dan dikontrol oleh masyarakat agar menjadi tubuh yang taat (docile body)9.

Lebih lanjut Foucault menyatakan bahwa orang tertentu dianggap gila pertama-tama bukan karena ia tidak mampu berpikir sehat dan menggunakan tubuhnya dengan baik, melainkan karena masyarakat yang menentukan bagaimana kriteria orang yang sehat. Kegilaan dianggap suatu penyimpangan, maka disisihkan dari masyarakat.

Padahal seharusnya tubuh itu sendirilah yang memiliki kuasa atas dirinya. Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa stigma-stigma yang berkembang dalam masyarakat tidak lebih hanya merupakan persepsi-persepsi terhadap kaum difabel yang justru akan menekan

7

Argyo, Dermartoto. 2005. Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Hlm 14

8

Smart, Barry. 2002. Michel Foucault. New York: Routledge, hal. 69

9 http://hirekaeric.wordpress.com/2009/08/13/michel-foucault-tubuh-konstruktif-dan-kedisiplinan/. Diakses pada 16

(24)

kemampuan difabel untuk menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu sebenarnya yang paling memahami kondisi difabel adalah difabel itu sendiri. Kecacatan tubuh bukan satu-satunya hal yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menjustifikasi kemampuan seseorang.

C. Kajian terhadap Asas

Asas-asas yang menjiwai pembentukan Peraturan Darerah tentang Disabilitas meliputi:

1. Asas Tujuan

Menghormati dan melindungi hak-hak kaum disabilitas, dalam hal ini khususnya hak atas pendidikan dan pekerjaan, sebagai bagian dari hak asasi manusia agar dapat hidup secara layak dan kesetaraan sama seperti lainnya.Yang dimaksudkan dalam hal ini ialah, hak atas pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.Dengan itu maka penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. 2. Asas Kepastian Hukum

Perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berdasarkan peraturan-perundang-undangan yang ada, tidak mendiskriminasi mereka. Termasuk affirmative

policy jika benar-benar dibutuhkanharus, dalam arti mengambil langkah-langkah yang

layak untuk melindungi dan memajukan perwujudan ini atas dasar. 3. Asas Penghormatan pada Martabat yang Melekat

Kebebasan individual khususnya kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemandirian orang-orang.Termasuk Penghormatan atas kapasitas yang berkembang pada penyandang disabilitas dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang disabilitas untuk melindungi identitas mereka. Termasuk pula Pemerintah memberikan prioritas dalam perlindungan dan penyelamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, seperti situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan,dan bencana alam.

(25)

4. Asas Non Diskriminasi

Non-diskriminasi yang juga bermakna kesetaraan kesempatan.Bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.Penyandang disabilitas dimaknai berbeda kemampuan bukan tidak bisa, sehingga tidak boleh ada pengkotak-kotakan dalam berbagai aspek kehidupan.

5. Asas Partisipasi Penuh dan Efektif dalam Masyarakat

Dengan terjaminnya hak penyandang disabilitas atas pendidikan dan pekerjaan, maka penyandang disabilitas dapat turut serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang samadalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

6. Asas Penghormatan pada Keberagaman

Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan antar sesama manusia.

7. Asas Aksesibilitas

Melalui peraturan yang berlaku, dapat menjamin akses penyandang disabilitas terhadap: aksesibilitas fisik seperti lingkungan fisik dan transportasi; dan aksesibilitas non-fisik seperti informasi dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi. Juga fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau sarana umum baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, atas dasar kesetaraan dimana dalamnya harus termasuk identifikasi dan penghapusan semua hambatan terhadap aksesibilitas.

D. Kajian terhadap Praktik dan Permasalahan

Pengangguran merupakan masalah yang selalu aktual setiap harinya, apalagi menyangkut tentang kesempatan kerja bagi para penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sangat kecil kemungkinannya untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada saat ini. Jika memang ada yang bekerja di sana, persentasenya demikian kecil. Dengan adanya

(26)

Undang ini, diharapkan kesempatan bagi para penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan akanlebih terjamin. Salah satu caranya yaitu dengan meningkatkan kuota pekerja penyandang disanilitas di perusahaan yaitu sebesar lima persen.

Dalam praktik selama ini, permasalahan yang terjadi di lingkup lapangan pekerjaan dan pendidikan salah satunya diakibatkan karena masyarakat masih terpengaruh istilah yang selama ini melekat bagi para penyandang disabilitas. Istilah “penyandang disabilitas” ini dulu dikenal dengan istilah “penyandang cacat” yangmana masih digunakan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyanadang Cacat. Keberadaan istilah ini dari segi hukum mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kaum disabilitas. Istilah “penyandang cacat” yang dipergunakan selama ini sudah tidak lagi dikendaki maupun relevan dengan alasan:

Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif.

Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan sesorang.

Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggi-tingginya.

Dampak secara psikologis dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain: menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat” mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak diharapkan, dan memposisikan sebagai korban

(27)

Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah menimbulkan kekeliruan dalam memahami eksistensi orang yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak cacat. Padahal ke-‘cacat’-an bukanlah suatu keadaan yang menentukan kualitas terhadap yang dianggap normal. Bukan pula ukuran suatu keterbatasan eksistensi manusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan ‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika meng hadapi kehidupan itu sendiri, dibandingkan manusia lainnya.

Pada waktu akan ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru yang diinginkan adalah sebagai berikut :

Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut (deskriptif maksimalis).

Mendeskripsikan fakta nyata.

Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif (tidak melecehkan). Menumbuhkan semangat pemberdayaan.

Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif). Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian.

Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat.

Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi konvensi. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional.

(28)

Memperhatikan perspektif linguistik.

Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.

Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Karena berbagai alasan inilah akhirnya disetujui untuk menggunakan istilah “disabilitas” sebagai terjemahan ke Bahasa Indonesia, berbeda dengan istilah “penyandang cacat” dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, maupun istilah “persons with disabilities” atau disabilitas (dis-ability yang berarti tidak mampu) dalam dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD).

Selain disabilitas dan penyandang cacat, di Indonesia juga dikenal istilah ‘difabel’, yang merupakan akronim dari dua kata bahasa Inggris Different Abbility yang berarti kemampuan yang berbeda. Istilah ini muncul untuk menggantikan istilah penyandang cacat yang diskriminatif dan melihat manusia sebagai sosok yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok normal dan tidak normal hanya berdasarkan kelengkapan kondisi fisiknya.

Fakta menunjukkan bahwa yang sebenarnya ada perbedaan cara dalam menyelesaikan sebuah masalah. Kurniawan10 menyebutkan beberapa kelompok yang termasuk dalam deskripsi ini adalah sebagai berikut:

a) Pengguna kursi roda;

b) Ambulant disabled;

c) Ketulian dan gangguan pendengaran;

10

Harry Kurniawan, Implementasi Aksesibilitas Pada Gedung Baru Perpustakaan UGM ((Indonesia Journal of Disability Studies, vol 1 issue 1, Juni 2014), hlm. 46

(29)

d) Keterbatasan visual;

e) Keterbelakangan mental;

f) Orang dengan keterbatasan kemampuan kognitif;

g) Orang dengan beragam keterbatasan kemampuan;

h) Lanjut usia; dan

i) Anak-anak

Perdebatan mengani syarat jasmani dan rohani dalam suatu jabatan sudah menjadi perdebatan sejak lama. Ada pihak yang menganggap itu penting agar seseorang yang menempati suatu jabatan itu tidak terhambat dalam menjalankan tugasnya. Argumentasi itu mendapat kritikan karena syarat jasmani dan rohani terkadang tidak fokus kepada melihat potensi hambatan, tetapi sekadar melihat kondisi fisik seseorang, yang belum tentu menghambat seseorang dalam menjalan tugasnya. Syarat itupun kerap mengklasifikasikan disabilitas sebagai faktor yang tidak layak dianggap sehat jasmani atau rohani.

Terlepas dari perdebatan yang ada, pencantuman syarat sehat jasmani dan rohani dalam proses pengisian suatu jabatan sudah menjadi lumrah pada saat ini. Bahkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa seorang Presiden dan Wakil Presiden pun dipersyaratkan harus sehat jasmani dan rohani. Dalam perspektif HAM, kesehatan jasmani dan rohani jelas tidak bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak politiknya ataupun hak kesamaan kesempatan berdasarkan atas hukum. Aspek jasmani dan rohani hanya digunakan sebagai catatan dan bahan pertimbangan, terutama setelah yang bersangkutan menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, syarat sehat jasmani dan rohani tidak dapat menjadi syarat yang menentukan terpilih atau tidaknya seseorang. Berbeda dengan pandangan dalam aspek medis, kesehatan

(30)

jasmani dan rohani menjadi sangat penting, karena kondisi tidak sehat jasmani dan rohani adalah tidak normal atau sakit.

Hal berikutnya yang perlu diperjelas dalam hal ini adalah posisi disabilitas, apakah termasuk dalam situasi sehat jasmani dan rohani, atau tidak. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, terutama dalam level undang-undang, pengatura mengenai sehat jasmani dan rohani mengalami perubahan. Pada Pasal 1 angka 9 UU Nomor 4 Tahun 1979 menegaskan bahwa kecacatan adalah kondisi terhambatnya jasmani dan rohani, sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi cacat adalah kondisi tidak sehat jasmani dan rohani. Ketentuan itu bertahan selama hampir 26 tahun sebelum disahkannya UU Nomor 14 Tahun 2005 yang pada penjelasan Pasal 8 dinyatakan bahwa cacat tidak masuk dalam kriteria jasmani dan rohani. Selanjutnya, ketentuan itu dirujuk dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 dan UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menegaskan hal yang sama. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengisian jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden tidak memperhatikan kondisi disabilitasnya.

E. Implikasi Atas Rancangan Undang-Undang

Berdasarkan identifikasi permasalahan dan latar belakang permasalahan, urgensi pembentukan Undang-Undang Pemberdayaan Disabilitas adalah: a. mengubah paradigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas; b. membentuk induk pengaturan terhadap aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam hukum positif di Indonesia, yang dibagi lagi menjadi beberapa bagian: b.1. Pemenuhan Hak atas Pendidikan bagi Disabilitas; b.2. Pemenuhan Hak atas Lapangan Pekerjaan bagi Disabilitas; dan b.3. Pemberlakuan Sanksi Administratif.

(31)

Mengubah Paradigma Masyarakat terhadap Penyandang Disabilitas

Ketentuan di dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memunculkan paradigma seolah keberadaan penyandang cacat sebagai orang yang tidak bisa melakukan apa-apa dengan keterbatasan yang dimilikinya. Pasal 1 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental”.

Dengan telah diratifikasinya Convention on The Right Person with Disability (CRPD), Indonesia telah mengganti istilah atau terminologi yang lebih halus dari “penyandang cacat”, yaitu menjadi “penyandang disabilitas”.

Beberapa alasan penggantian istilah penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas yaitu karena istilah ini:

1. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut; 2. Mendeskripsikan fakta nyata;

3. Tidak mengandung unsur negatif;

4. Menumbuhkan semangat pemberdayaan; 5. Memberikan inspirasi hal-hal positif;

6. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah; 7. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian;

8. Dapat diserap dan dimengerti oleh berbagai kalangan secara cepat;

9. Bersifat representatif, akomodatif, dan baku untuk kepentingan ratifikasi konvensi; 10. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis; 11. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional;

12. Memperhatikan perspektif linguistik;

(32)

13. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; 14. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan;

15. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan; 16. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Perlakuan yang tidak sama karena adanya keterbatasan sebagai stigma negatif yang dimiliki oleh penyandang disabilitas ini masih ditemukan dalam banyak aspek. Dalam hal pekerjaan misalnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan sehat jasmani dan rohani menjadi salah satu ketentuan yang selalu ada. Hal tersebut dianggap penting karena alat tubuh masih dianggap sebagai alat penunjang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Padahal bisa jadi pekerjaan tersebut dapat dilakukan namun dengan cara dan alat yang berbeda. Paradigma yang telah terkonstruksi dalam masyarakat, bagi pada kalangan akademisi, birokrat, pengusaha, dan lapisan masyarakat lainnya secara tidak langsung telah memberikan tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Membentuk Induk Pengaturan terhadap Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas

dalam Hukum Positif di Indonesia.

Induk pengaturan yang akan dibentuk harus memuat poin-poin penting yang mencakup beberapa hal yang lebih spesifik mengenai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, yang mencakup:

1. Pemenuhan Hak atas Pendidikan bagi Disabilitas

Dalam bidang pendidikan, laporan dari UNICEF menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen penyandang disabilitas di negara berkembang tidak bersekolah. Di Indonesia, Pemerintah telah memberikan pendidikan khusus bagi penyandang

(33)

disabilitas dengan membangun Sekolah Luar Biasa, namun dengan adanya peraturan tentang Pemberdayaan Disabilitas ini, maka para penyandang disabilitas tidak mesti harus bersekolah di SLB tersebut sesuai dengan jenis disabilitasnya. Mereka bisa bersekolah di sekolah-sekolah biasa dengan diberikan fasilitas yang sesuai kebutuhannya.

Harapan adanya peraturan ini yaitu terciptanya kesempatan bagi para penyandang disabilitas memperoleh pendidikan di sekolah inklusif, yang mana untuk mencapai tujuan tersebut, maka diatur mengenai kemempuan tenaga-tenaga pengajar di sekolah inklusif untuk melayani siswa-siswi penyandang disabilitas tersebut. Melihat masih minimnya penerimaan sekolah inklusif terhadap siswa-siswi penyandang disabilitas, maka peraturan ini akan memberikan ketentuan bahwa setiap sekolah harus menyediakan kuota calon siswa-siswinya khusus untuk penyandang disabilitas yaitu sebesar 5 (lima) persen, sehingga kesempatan para penyandang disabilitas tersebut terjamin dalam mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak pada umumnya.

2. Pemenuhan Hak atas Lapangan Pekerjaan bagi Disabilitas

Bahwa Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 berbunyi, “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Meski pemerintah terus menggalakkan perlindungan terhadap pekerja yang menyandang disabilitas dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP -205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, serta Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan. Namun, kenyataannya terdapat masalah internal dan eksternal

(34)

tersendiri yang dialami oleh penyandang disabilitas tersebut. Keterbatasan yang mereka alami mampu menjadi alasan bagi perusahaan-perusahaan untuk menolak mempekerjakan para penyandang disabilitas.

3. Pemenuhan hak atas layanan publik

Adanya ketentuan-ketentuan baru dalam peraturan ini akan memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses yang lebih mudah dan memadai.

(35)

BAB III

EVALUASI ATAS PERATURAN TERKAIT

A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Secara eksplisit, kita juga memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang memberikan landasan hukum secara tegas tentang hak-hak penyandang cacat. Pengakuan dasar juga terlihat dari konsideran yang menegaskan, secara nasional menegaskan penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Namun demikian, selain proteksi normative, kita juga berharap ada uraian praktis yang dapat menjamin proteksi itu dalam cakupan yang lebih dinamis.

Tidak hanya itu, seharusnya istilah yang digunakan tidak menimbulkan stigma negative. Di dalam Undang-Undang ini, masih terdapat kekeliruan pemahaman terhadap penyandang disabilitas, yang dapat menimbulkan stigma negative dan berpengaruh terhadap ketentuan-ketentuan selanjutnya berikut pemahamannya.Sehingga tidaklah heran jika penyandang disabilitas selama ini kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi, namun juga kurang affirmative policy jika memang benar-benar dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal di bawah ini:

Pasal 1 yang berbunyi:“Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; dan c. penyandang cacat fisik dan mental”.

(36)

Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 1, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, dan Pasal 22 yang memuat ketentuan “pemenuhan hak bagi penyadang cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya serta kemampuannya”. Kemudian tidak ada penjelasan lebih lanjut kalimat tersebut.

Pasal 1 angka 5 yang berbunyi, “Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.”.kemudian pada Pasal 17 dijelaskan yang berbunyi, “Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.” Berikutnya pada Pasal 6, 16, 18, 20, dan 22 terkait rehabilitasi. Ini menimbulkan persepsi bahwa penyandang cacat seolah menjadi masalah social karena tidak mampu berbaur dengan masyarakat, juga disamakan seperti penyalahguna narkoba.

Tidak hanya itu, terkait hak penyandang disabilitas atas pendidikan dan bekerja, tidak diatur secara rinci, maupun ketentuan yang kemudian akan diatur lebih lanjut pada peraturan Perundang-undangan di bawahnya belum mampu memberikan jawaban. Misalnya pada kutipan Pasal 6 yang berbunyi, “Setiap penyandang cacat berhak memperoleh: 1. pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan”. Begitu pula terkait pendidikan pada Pasal 11, 12, 14, 17, 18, 29.Termasuk terkait hak atas pekerjaan hanya ada pada Pasal 6 dan 13, itupun masih secara abstrak hanya menyatakan hak mendapatkan pekerjaan yang layak. Siapapun tentu secara logika yang sehat, penyandang disabilitas berhak atas pekerjaan yang layak, tidak perlu ditulis secara abstrak namun tidak menjelaskan apa yang harus dilakukan demi memenuhi hak tersebut.

(37)

B. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Karena kecuali jumlah penyandang cacat semakin terus bertambah, eksistensi mereka membutuhkan perlindungan yang lebih konkret dan antisipatif. Penyandang cacat memiliki hak-hak fundamental berikut kewajibannya, sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Fakta yang masih menunjukkan sisi keprihatinan terhadap nasib dan masa depan mereka. Sosialisasi dan diseminasi terhadap HAM penyandang cacat merupakan langkah cerdas yang dapat membangun apresiasi manusia secara universal.

Ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam upaya penyandang disabilitas memenuhi haknya, masih dijelaskan secara abstrak, belum jelas, tidak rinci, juga dicampurkan dengan lainnya yang seolah tidak mampu memenuhi haknya. Hal ini terlihat pada beberapa pasal seperti:

Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi, ”Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuankhusus”. Pasal 42 yang berbunyi, ”Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan/atau

cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Pasal 54 yang berbunyi, ”Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”.

(38)

C. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 19 berbunyi, “Pelatihankerjabagi tenaga kerja penyandang cacat dapat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.”. Kesalahan yang sama terjadi kembali sama seperti pada Undang-Undang yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni kalimat “dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan”. Tentu saja ketentuan pasal ini berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh hak atas pekerjaan yang layak.Seharusnya melihat dari jenis kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh penyandang disabilitas yang bersangkutan, kemudian mendapat kesempatan magang dan pelatihan khusus. Tidak adanya pasal khusus yang tidak hanya menjelaskan secara abstrak, namun juga seharusnya menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan, atau juga terkait bagaimana cara memenuhi hak tersebut pada umumnya.

D. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD

Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol (CRPD -

Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas dan Protokol Opsional) merupakan seperangkat instrumen hukum yang mengatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas. CRPD lahir setelah puluhan tahun PBB bekerja untuk mengubah sikap dan pendekatan untuk penyandang disabilitas. CRPD merupakan wujud puncak perubahan paradigma gerakan disabilitas dari cara pandang lama yang melihat penyandang disabilitas sebagai "objek" amal dan perlindungan sosial kepada cara pandang baru yang melihat penyandang disabilitas sebagai "subjek" yang memiliki hak, yang mampu mengklaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif.

(39)

Awalnya, ide membentuk sebuah konvensi mengenai hak penyandang disabilitas pertama kali dilakukan pada 19 Desember 2001 melalui Resolusi Majelis Umum 56/168 yang mengamanatkan pembentukan Komite Ad Hoc untuk membahas keberadaan konvensi. Sejak

CRPD mencakup sejumlah pengaturan kunci terkait aksesibilitas (Pasal 9), penyandang disabilitas perempuan dan anak (Pasal 6 dan 7), mobilitas (Pasal 20), kesehatan (Pasal 25), pendidikan (24), rekreasi dan olahraga (Pasal 30), pekerjaan dan lapangan kerja (Pasal 27), akses terhadap keadilan (Pasal 13), partisipasi politik (Pasal 29), persamaan dan nondiskriminasi (Pasal 5). CRPD menandai perubahan besar dalam melihat permasalahan penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam pembukaan, CRPD melihat kembali pada aturan-aturan yang ada dalam Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Internasional mengenai Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi mengenai Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT), Konvensi Hak -Hak Anak (CRC) dan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Di dalam Pasal 3 tentang Prinsip Umum pada CRPD dijelaskan, prinsip-prinsip Konvensi adalah sebagai berikut:

(a) Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;

(b) Nondiskriminasi;

(c) Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;

(40)

(d) Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanu siaan;

(e) Kesetaraan kesempatan; (f) Aksesibilitas;

(g) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan

(h) Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan identitas mereka.

Di dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 dinyatakan, bahwa penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu menandatangani konvensi tersebut, Indonesia menandatangani tanpa reservasi. Akan tetapi dengan catatan, tidak menandatangani optional protocol konvensi tersebut.

Sebagai negara penandatangan konvensi, Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini. Sehingga timbul akibat hukum bagi negara untuk merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan Perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan. Indonesia sebagai penganut paham dualisme, pemberlakuan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional ke dalam hukum nasional tidak hanya ratifikasi, namun juga harus melalui prose sagar diimplementasikan ke dalam peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan dari hukum internasional yang telah diratifikasi.

(41)

Sebagai negara yang telah meratifikasi CPRD, Indonesia memiliki kewajiban untuk merealisasikan hak-hak yang termuat dalam CRPD, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi negara, termasuk mengubah peraturan perundang-perundang-undangan, kebiasaan dan praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, serta pelaksanaan program yang didukung oleh politik anggaran untuk menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan. Kewajiban-kewajiban negara yang dimuat dalam Konvensi ini antara penyandang disabilitas, serta pelaksanaan program yang didukung oleh politik anggaran untuk menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan. Kewajiban-kewajiban negara yang dimuat dalam Konvensi ini antara lain:

1. Terkait persamaan dan nondiskriminasi: Negara mencegah semua diskriminasi yang didasarkan atas disabilitas dan menjamin perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi penyandang disabilitas terhadap diskriminasi atas dasar apapun

2. Terkait hak penyandang disabilitas perempuan dan anak: Negara menjamin penyandang disabilitas menikmati hak yang melekat untuk hidup atas dasar kesamaan dengan manusia lain (Pasal 10), menjamin persamaan hak penyandang disabilitas perempuan (Pasal 6) dan melindungi penyandang disabilitas anak (Pasal 7).

3. Terkait pengakuan di muka hukum Negara menjamin hak yang sama bagi penyandang disabilitas dalam memiliki atau mewarisi properti, dalam mengendalikan masalah keuangan mereka dan dalam memiliki persamaan akses terhadap pinjaman bank, kredit perumahan dan bentuk-bentuk lain kredit keuangan (Pasal 12). Negara menjamin akses efektif terhadap keadilan didasarkan atas kesamaan dengan yang lain (Pasal 13), dan memastikan penyandang disabilitas menikmati hak atas kebebasan dan keamanan, dan adanya kondisi disabilitas tidak menjadi alasan pembenaran bagi pencabutan kebebasan (Pasal 14).

Referensi

Dokumen terkait

Jika produk ini mengandung komposisi bahan dengan batas paparan; pemantauan personal area kerja atau biologi mungkin diperlukan untuk menentukan efektifitas ventilasi atau

Prarancangan Pabrik Furfuril Alkohol dari Furfural dan Hidrogen Kapasitas 20.000 Ton/Tahun Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

KESATU : Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Perihal Hasil Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Penyertaan

Fungsi Pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Istimewa dilaksanakan salah satunya dengan cara membahas bersama Kepala Daerah dan menyetujui atau tidak menyetujui

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa, setelah mendengar pertimbangan Dewan-dewan Perwakilan Rakyat Daerah otonom bawahan yang bersangkutan, dan setelah disetujui oleh

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menugaskan kepada instansi teknis yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta berupaya tetap memperhatikan seperti hasil evaluasi yang disampaikan, bahwa penyediaan anggaran untuk belanja DPRD