• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I. Pendahuluan. bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I. Pendahuluan. bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Pada saat itu bangsa Belanda melalui maskapai dagangnya, VOC, juga bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu persinggahannya adalah Nusantara bagian timur, khususnya Makassar. Pada awalnya Kompeni menilai bahwa Makassar adalah tempat singgah yang paling strategis untuk berlayar ke dan dari Maluku serta tempat yang paling penting untuk mencapai tujuan VOC, yaitu berdagang rempah-rempah.

Kemajuan pesat yang dialami oleh Makassar di bidang perdagangan dimungkinkan oleh jatuhnya Malaka ke tangan portugis pada tahun 1511. Jatuhnya Malaka melapangkan peluang bagi pengembangan kedudukan pelabuhan Makassar menjadi pelabuhan singgah dan bandar niaga yang ramai pada jalur perdagangan di bagian utara (Poelinggomang, 2004:31). Pada akhirnya, pada permulaan abad ke-17 Makassar telah menjadi bandar niaga yang terpenting (Poelinggomang, 2004:33).

Bersamaan dengan itu, Sulawesi Selatan mengalami sebuah masa yang berbeda, yaitu banyaknya penguasa lokal dan pengikutnya yang beralih memeluk agama Islam. Keberhasilan sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan tersebut tidak lepas dari keterlibatan Raja Goa pertama yang juga memeluk agama Islam. Pada pertengahan abad ke-17, Goa menjadi salah satu kerajaan terkuat dan

(2)

terbesar dalam sejarah Nusantara. Akan tetapi, kekuatan besar yang dimiliki Kerajaan Goa harus berakhir seiring dengan hancurnya benteng pertahanan yang menjadi simbol kekuatan dan kejayaan kerajaan tersebut, Benteng Sombaopu, pada tahun 1669 (Andaya, 2004:1).

Benteng tersebut berhasil dihancurkan berkat kerjasama antara Kompeni dengan orang Bugis, musuh Goa. Arung Palakka dan orang Bugis bersepakat untuk bekerja sama dengan pihak Kompeni untuk melawan Kerajaan Goa. Keberpihakan Arung Palakka pada Kompeni itu menimbulkan adanya perang Makassar yang melibatkan berbagai pihak, antara lain adalah Sultan Hasanuddin, Arung Palakka, dan Belanda. Arung Palakka adalah seorang sultan bawahan dari Bugis. Ketidaksenangan Palakka terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin dimanfaatkan Belanda sebagai alat untuk dapat menyerang Kesultanan Hasanuddin. Pada akhirnya Arung Palakka diajak bekerja sama dengan Belanda dalam hal politik dan militer.

Pada bulan Desember 1666, armada VOC tiba di Makassar. Seperti yang diharapkan oleh pihak Belanda, kembalinya Arung Palakka dari tempat pengasingan telah mendorong orang-orang Bugis di Bone dan Soppeng untuk bangkit melakukan pemberontakan melawan kekuasaan Makassar. Speelman berhasil menghancurkan armada Makassar di dekat Butung sedangkan Arung Palakka memimpin sebuah serangan melalui daratan yang sangat sulit. Akhirnya VOC dan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang dan Sultan Hasanudin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya, 18 November 1667 (Ricklefs, 1991:98).

(3)

Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu Nusantara masih dikuasai oleh negara-negara yang berdaulat. Pihak terjajah, kaum bumiputera, sering diposisikan sebagai pihak inferior sedangkan pihak penjajah, bangsa Belanda, diposisikan sebagai pihak superior. Sebagai pihak inferior, bangsa terjajah mendapat perlakuan yang berbeda dari bangsa penjajah. Mereka lebih sering „diam‟ dan menurut pada segala perintah yang diberikan pihak superior.

Pada saat pergulatan pihak superior dan inferior tersebut, terjadi berbagai peperangan yang melibatkan pihak pribumi dengan pihak Belanda yang berwatak imperialis. Akan tetapi, pada umumnya perlawanan terhadap sekutu Belanda tersebut hanya mengatasnamakan bangsa masing-masing, misalnya Demak, Goa-Tallo, dan sebagainya.

Berbagai perlawanan yang dilakukan bangsa pribumi tersebut merupakan salah satu tanda bahwa pengaruh yang dibawa oleh bangsa penjajah sudah sangat ekstrim sehingga sangat menganggu kenyamanan bersama. Salah satu pengaruhnya adalah dampak perekonomian yang cukup signifikan akibat adanya monopoli perdagangan rempah-rempah. Selain dampak dalam bidang perekonomian, penjajahan juga memberi dampak dalam bidang karya sastra.

Sejak abad ke-17, di Nusantara, dikenal adanya kesusastraan yang bertema peperangan antara penguasa kolonial dengan bumiputera. Jumlah kesusastraan Melayu klasik yang bertema peperangan antara penguasa kolonial dengan kaum bumiputera semakin bertambah ketika Nusantara memasuki abad ke-18, seiring

(4)

dengan berubahnya situasi politik di wilayah Nusantara yang disebabkan Belanda semakin agresif dalam meluaskan kekuasaannya (Hasjmy dkk. (Ed), 1995:xii).

Salah satu contoh karya sastra yang bertema peperangan adalahSyair

Perang Mengkasar (selanjutnya disingkat SPM). SPM merupakan hasil karya

Enci‟ Amin, juru tulis Sultan Goa, yang menceritakan kembali peristiwa Perang Makassar. Syair tersebut tidak memuat adanya strategi perang, Enci‟ hanya memusatkan perhatian pada perjalanan orang Makassar dalam menghadapi Belanda.

Skinner mengungkapkan beberapa keunikan yang terdapat dalam syair ini, salah satunya adalah cara pengarang dalam menggambarkan tindakan Speelman ketika menawan 5.000 tawanan perang Makassar di sebuah pulau tanpa dibekali makanan sampai mereka mati kelaparan (Skinner, 2008:19). Keunikan yang lain adalah intensitas pengarang dalam menggunakan bahasa Aceh dan Minangkabau dalam syair ini, mengingat syair ini menceritakan sejarah perang Makassar.

Apabila ditelisik lebih jauh dalam SPM terdapat beberapa hal yang merupakan rekam jejak dari masa kolonialisme, contohnya adalah resistensi bangsa terjajah pada masa penjajahan. Oleh karena itu, untuk meneliti SPM diperlukan adanya teori poskolonialisme. Dalam hal ini teori poskolonialisme diperlukan untuk mengkaji lebih mendalam perihal bangsa penjajah dan terjajah serta berbagai hal yang berkaitan dengan pengaruh yang ditimbulkan akibat peristiwa penjajahan bangsa Eropa.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana representasi Makassar dan Bone pada masa terjadinya Perang Makassar?

1.2.2 Bagaimana resistensi masyarakat Makassar terhadap bangsa penjajah serta kontestasi antara Goa dan Bone dalam Syair Perang Mengkasar?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis.

1.3.1 Tujuan Teoretis

Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi masyarakat Bone dan Makassar pada masa terjadinya perang Makassar. Pemahaman mengenai kondisi tersebut merupakan bekal untuk mengetahui resistensi masyarakat Makassar dan Bone terhadap penguasaan Belanda di Makassar dalam SPM.

Berdasarkan kedua tujuan pokok tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman terhadap karya sastra klasik yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia, khusunya Syair Perang Mengkasar. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan penelitian sastra Indonesia.

(6)

1.3.2 Tujuan Praktis

Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk membantu pembaca dalam upaya memahami perjuangan masyarakat Makassar dalam menghadapi penjajahan Belanda yang terepresentasikan dalam SPM. Pada tahap selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra klasik yang ada di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mendorong minat peneliti lainnya untuk ikut mengembangkan penelitian sastra, khususnya sastra lama.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap SPM karya Enci‟ Amin dengan menggunakan teori poskolonialisme belum pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang menggunakan objek material maupun teori yang sama dapat dikemukakan di sini.

Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai sumber diketahui bahwa penelitian mengenai SPM pernah dilakukan oleh Skinner pada tahun 1963. Penelitian tersebut merupakan disertasi C. Skinner untuk meraih gelar Ph.D di Universitas London. Terdapat beberapa hal yang diungkapkan oleh Skinner dalam disertasinya tersebut. Pertama, Skinner mengidentifikasi posisi teks dengan tokoh yang dibicarakan dalam SPM. Kedua, menghubungkan peristiwa sejarah dalam

SPM dengan peristiwa sejarah yang menjadi dasar penulisan syair tersebut. Ketiga,

mengungkap eksistensi teks, termasuk kemungkinan waktu penulisan.

Dalam penelitiannya Skinner menggunakan dua manuskrip, yaitu koleksi dari SOAS (manuskrip S) dan Perpustakaan Leiden (manuskrip L). Pada bait 1-13 didasarkan pada manuskrip L karena bait tersebut tidak terdapat dalam manuskrip

(7)

S, sedangkan bait 14-73 Skinner lebih memilih penulisan pada manuskrip L karena lebih dekat dengan waktu (dan ruang) teks aslinya. Pada bait 74-534 tidak terdapat dalam manuskrip L sehingga manuskrip S digunakan sebagai sumbernya.

Anwar (2009:330-337) meneliti posisi teks SPM dengan fokus pada otensitas historis, transformasi emosi, dan eksistensi orang-orang Melayu di Gowa. Dalam penelitiannya tersebut Ahyar menggunakan beberapa pendekatan, yaitu hermeneutika-historis, teori respons, dan interpretasi berdasarkan teori emosi Jean Paul Sartre. Selain itu, Ahyar juga mengemukakan dua pertanyaan fundamental yang timbul dari eksistensi SPM, yaitu mengapa SPM lahir dalam bentuk sastra dan bahasa Melayu serta untuk siapa SPM tersebut diorientasikan oleh pengarang.

Kurniawan (2012) menyatakan beberapa hal yang berkaitan SPM. SPM memiliki corak wacana antikolonial yang sangat khas. Terdapat adanya ungkapan-ungkapan kasar yang menyebutkan Belanda sebagai musuh bumiputra. Bumiputra dinarasikan pengarang sebagai kaum Islam sedangkan liyan penjajah didefinisikan sebagai kafir Nasrani. Proses pembentukan relasi Islam-Nasrani cenderung menggunakan identitas religius sebagai faktor pembeda, bukan sekedar diferensiasi melalui kesatuan geopolitik (Timur-Barat).

Dalam teks SPM ditemukan adanya ajaran perang sabil yang dapat diposisikan sebagai sebuah wacana antikolonial. Pandangan mengenai perang kolonial antara masyarakat terjajah dan liyan penjajah di dalam narasi-narasi teks

(8)

tanpa kecuali. Sebaliknya, setiap muslim yang meninggalkan kewajiban berperang berarti telah mengkhianati agama Islam.

Berdasarkan berbagai penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa belum pernah dilakukan adanya penelitian mengenai resistensi masyarakat terjajah dan penjajah yang terepresentasikan dalam SPM dengan menggunakan analisis poskolonialisme.

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini mencoba menjawab rumusan masalah dengan menggunakan teori poskolonialisme. Teori poskolonialisme dianggap sebagai teori yang sesuai untuk membahas SPM karena syair tersebut membahas masalah perlawanan masyarakat Makassar dan Bone terhadap pendudukan Belanda di Makassar. “Barat” dan “Timur” merupakan dua subjek yang berlawanan. Kata “Timur” sebenarnya bersifat kanonik. Istilah ini merujuk pada Asia atau Timur, baik secara geografis, moral, maupun budaya (Said, 2010:46). Orang-orang Eropa menganggap bangsa “Timur” adalah sebuah bangsa yang sangat berbeda dari bangsanya, bahkan berbagai argumen diungkapkan demi menguatkan anggapan bangsa tersebut. Dengan kata lain, orang Timur hampir selalu dikendalikan dan

direpresentasikan oleh struktur-struktur yang mendominasinya (Said, 2010:59).

Munculnya pikiran-pikiran miring tentang Timur sebenarnya lebih disebabkan adanya budaya Barat kontemporer tidak melihat Timur sebagai suatu kekuatan yang harus dialami dan dirasakan secara murni (Said, 2010:320). Bagi orang-orang Eropa, Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka.

(9)

Lebih dari itu, orang Eropa selalu menganggap Timur sebagai daerah jajahan mereka yang terbesar, terkaya, dan tertua selama ini. Timur juga dianggap sebagai sumber bagi peradaban dan bahasa Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain”(the other) bagi Eropa (Said, 2010:2).

Dapat dikatakan bahwa Timur dianggap sebagai “tontonan” karena tingkah lakunya yang aneh dan berbeda dengan bangsa Barat sedangkan Barat diasumsikan sebagai “penonton” yang memiliki kehalusan budi pekerti. Pada awalnya mereka memang berniat untuk memberadabkan bangsa Timur, tetapi pada dasarnya niat tersebut hanyalah sebuah alasan untuk menguasai bangsa Timur.

Penguasaan Barat atas Timur menimbulkan adanya sebuah diskriminasi, baik dalam segi politik, pemerintahan, keadilan, dan sebagainya. Kapitalisme yang terjadi di daerah koloni tidak menyebarluaskan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Proses bahan mentah dikerjakan di Eropa sedangkan daerah koloni tidak mendapat manfaat apapun dari praktek ilmu pengetahuan modern dan teknologi tersebut. Ini adalah bagian dari indoktrinasi kolonial bahwa kolonialisme Barat membawa manfaat peradaban Barat; yang terjadi adalah bahwa kolonialisme Barat menghalangi berbagai manfaat dari peradaban Barat (Alatas, 1988:30).

Berbagai kecurangan yang dilakukan Barat tersebut menyebabkan masyarakat Asia Tenggara atau bangsa Timur menghadapi sejumlah masalah, antara lain adalah masalah pendapatan, korupsi, dan pembangunan. Pada dasarnya

(10)

sifat masyarakat Asia Tenggara yang relatif statis diakibatkan oleh kekuasaan kolonial. Kolonialisme memisahkan negara ini satu sama lain dan untuk sebagian besar dari dunia Barat secara keseluruhan (Alatas, 1988:31).

Dalam terminologi ilmu pengetahuan humaniora atau humanities mutakhir persoalan pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap bangsa terjajah sampai ke masa kemerdekaan bangsa tersebut disebut persoalan pascakolonial (Faruk, 2007:5). Secara etimologis postkolonial berasal dari kata „post‟ dan kolonial sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya (Ratna, 2011:205).

Manneke mengemukakan bahwa sasaran kritik pascakolonial adalah membongkar pola-pola hubungan kuasa tersebut untuk menguak ketimpangan yang melandasinya (Manneke, 2008:x). Visi poskolonial menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun superioritas Barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur. Oleh karena itu, sasaran visi postkolonial adalah subjek kolektif intelektual Barat, kelompok oriental menurut pemahaman Edward Said (Ratna, 2011:)

Poskolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson, 1999:8). Melalui teori poskolonialisme dapat diketahui perihal hubungan antara penjajah dan terjajah. Pihak terjajah, dalam hal ini adalah

(11)

bumiputera, merupakan subjek yang mendapat perlakuan berbeda dari bangsa penjajah. Bangsa penjajah menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa yang bodoh, malas, dan berhubungan dengan hal-hal yang buruk.

Bangsa penjajah menganggap bahwa dirinya adalah bangsa yang paling unggul sehingga bangsa terjajah harus lebih banyak belajar dari mereka. Alasan tersebut yang menyebabkan mereka semakin bersemangat dalam menjajah bangsa Timur, terutama Indonesia. Said (2010:1) mengungkapkan bahwa orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka. Bahkan sejak zaman dahulu Timur telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, kenangan, panorama yang indah, dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan.

Aschroft (2003:301) mengemukakan bahwa kritik poskolonial muncul melalui dua jalan utama. Pertama, melalui pembacaan terhadap teks-teks poskolonial yang spesifik dan dampak-dampak yang muncul akibat penciptaannya dalam dan atas dasar konteks sosial dan historis yang spesifik. Kedua, melalui „revisi‟ terhadap kiasan-kiasan dan mode-mode yang telah ada seperti alegori, ironi, dan metafora dan pembacaan ulang teks-teks „kanonik‟ dalam kerangka pikir praktik diskursif poskolonial.

Day dan Foulcher menyatakan bahwa dalam kajian sastra

„postkolonialisme‟ merupakan strategi bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut (Day dan Foulcher dalam

(12)

Clearing a space, 2008:3). Pendekatan poskolonial juga banyak membantu dalam

mencermati realitas “lain” dalam sejarah kolonialisme – juga nasionalisme – yang tidak bisa direduksi begitu saja menjadi kategori-kategori dalam oposisi biner (Niwandhono, 2011:29).

Menurut Spivak (via Faruk, 2007:6), wacana kolonial bukan sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Bahkan wacana tersebut dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek yang memberdayakan bagi masyarakat terjajah. Resistensi, menurut Spivak, bukan tanpa risiko. Risiko fundamentalis yang mengonstruksi identitas subjek sebagai sesuatu yang esensial harus pula dilawan.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Penetapan objek kajian, SPM, merupakan langkah awal dalam tahap pengumpulan data. Peneliti tidak akan menempuh metode filologi karena telah tersedianya hasil transliterasi SPM yang dilakukan oleh seorang ahli, Skinner. Skinner (2008) mendasarkan penelitiannya pada dua manuskrip, manuskrip yang terdapat di SOAS (manuskrip S) dan manuskrip yang terdapat di Universitas Leiden (manuskrip L). Pada penelitiannya tersebut ia menggunakan metode legger (landasan), yaitu peneliti memilih satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya kemudian naskah tersebut dijadikan landasan atau induk teks (Baried

(13)

dkk., 1994:67). Manuskrip yang dianggap unggul oleh Skinner adalah manuskrip L. Oleh karena itu, manuskrip L dijadikan landasan dalam penelitiannya sedangkan manuskrip S digunakan sebagai pelengkap.

Apabila peneliti melakukan transliterasi dikhawatirkan akan menghasilkan sebuah transliterasi yang tidak maksimal. Selain itu, faktor yang menyebabkan peneliti tidak melakukan transliterasi adalah keterbatasan peneliti dalam menjangkau keberadaan manuskrip. Manuskrip SPM hanya tersedia di perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS) dan perpustakaan Universitas Leiden. Kedua faktor tersebut merupakan faktor penyebab pemilihan hasil transliterasi dari Skinner sebagai bahan kajian dalam penelitian in.

Penentuan objek kajian dilanjutkan dengan melakukan mengumpulkan berbagai data yang berhubungan dengan SPM, misalnya pengumpulan data historis yang menjadi latar belakang SPM. Setelah data-data tersebut dikumpulkan,

SPM akan dianalisis dengan menggunakan teori poskolonialisme serta melihat

latar belakang historis yang mendasari pembuatan syair tersebut.

1.6.2 Metode Analisis Data

Tahap pertama yang akan dilalui dalam menganalisis data adalah tahap pembacaan. Dalam tahap ini, peneliti akan menggunakan metode pembacaan kontrapuntal. Said (1995: 106-107) menawarkan pembacaan kontrapuntal untuk membaca sebuah teks dengan disertai pemahaman akan apa yang tercakup mengenai persoalan yang berhubungan dengan visi-visi perlawanan menentang segala bentuk kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa

(14)

Eropa pada masa itu. Pembacaan kontrapuntal juga harus disertai proses pemahaman mengenai ideologi yang ditunjukkan oleh pengarang. Dapat dikatakan bahwa metode pembacaan kontrapuntal sesuai untuk memahami sebuah objek kajian yang akan dianalisis dengan menggunakan teori poskolonialisme.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam penelitian ini disusun dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi relasi masyarakat Makassar dan Bone pada masa terjadinya perang Makassar. Bab III berisi resistensi masyarakat Makassar terhadap bangsa penjajah serta kontestasi antara Goa dan Bone dalam Syair Perang Mengkasar. Bab IV berisi penutup.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis minat beli dan persepsi konsumen terhadap kualitas produk mobil

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan perbedaan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya mengenai sistem pengendalian internal pada

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan pada subyek dengan berdasarkan survei pendahuluan

Batasan masalah dari penelitian yang dilakukan penulis adalah mengenai bagaimana persepsi masyarakat Malaysia terhadap tuduhan klaim atas reog yang terjadi pada

Penelitian tentang pembelian impulsif berdasarkan pendidikan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kosasi (2014), menunjukkan bahwa seseorang yang tingkat

Interpretasi mengenai faktor yang mempengaruhi pola permukiman tradisional masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur juga akan dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu mengenai

Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian, ada banyak faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota. Diantaranya adalah

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini terkait dengan penelitian tentang pengolahan