• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA KEPEMIMPINAN DALAM PELAKSANAAN MANAJEMEN ORGANISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUDAYA KEPEMIMPINAN DALAM PELAKSANAAN MANAJEMEN ORGANISASI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

39

BUDAYA KEPEMIMPINAN DALAM PELAKSANAAN

MANAJEMEN ORGANISASI

Denny Erica Manajemen Informatika

Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika Jakarta Jl. Kramat Raya No. 18 Jakarta Pusat

Email: denny.dea@bsi.ac.id

ABSTRACT

The Culture of leadership represented one of reflection from organization as a whole, which can influence at execution of organizational management. The leadership of non something new but remain to be important and relevant to be studied by all theoretical, practitioner, politician and even by society of generally. Cultural role and function of leadership more caused at role of strategies in organizational of governmental goodness, corporate world, and also the organization socialized.

Keywords:Leadership, Management, Organizational.

I. PENDAHULUAN

Perencanaan dalam melakukan pelatihan dan pengembangan adalah hal yang sama penting dengan bentuk-bentuk layanan, tugas atau tindakan lainnya. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan dengan sedikit atau tanpa perencanaan akan berlalu dengan sedikit atau bahkan tanpa ada pembelajaran, menjadi program pelatihan yang membingungkan bagi pelatih dan pesertanya, atau pelatih dan pelatihannya kehilangan kredibilitas di mata peserta pelatihan dan para manajernya, yang menyebabkan proses pelatihan menjadi kurang bermakna. Perencanaan tidak menjamin pelatihan akan berlangsung dengan sangat efektif, tetapi paling tidak, perencanaan dalam suatu program pelatihan akan membuat program pelatihan tersebut menjadi kredibel, menyenangkan, dan efektif.

Terdapat beberapa fenomena organisasional yang dapat dikategorikan sebagai gejala pemicu munculnya kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan, seperti tidak tercapainya standar pencapaian kerja, karyawan tidak mampu melaksanakan tugasnya, karyawan menjadi tidak produktif, tingkat penjualan yang menurun, dan tingkat keuntungan yang menurun, adalah beberapa contoh kasus mengenai gejala-gejala umum yang sering terjadi di dalam organisasi. Maka dari itu sebuah organisasi/perusahaan agar dapat mewujudkan eksistensinya dalam rangka

mencapai tujuan memerlukan perencanaan sumber daya manusia (human resource planning) yang efektif. Perencanaan sumber daya manusia merupakan suatu proses manajemen di dalam menentukan posisi yang diinginkan di masa depan terhadap pergerakan sumber daya manusia, sedangkan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah seperangkat proses dan aktivitas yang dilakukan bersama oleh manajer sumber daya manusia dan manajer lini untuk menyelesaikan masalah organisasi yang terkait dengan manusia.

Perencanaan sumber daya manusia (Human Resource Planning) yang baik merupakan salah satu fungsi dalam Manajemen Sumber daya manusia (MSDM) yang mengorientasi pada bagaimana menyusun langkah-langkah strategi di dalam menyiapkan sumber daya manusia secara tepat. Hal ini diperlukan agar organisasi/perusahaan dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis. Keselarasan antara perencanaan sumber daya manusia (SDM) dapat membangun kinerja organisasi yang mampu mengadaptasi dengan perubahan tadi. Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber daya manusia yang efektif bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena perencanaan efektif terhadap pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia membutuhkan suatu pemikiran, pertimbangan jangka pendek maupun jangka panjang.

(2)

40

Apabila organisasi memiliki komitmen terhadap suatu bentuk pelatihan, dan komitmen tersebut diwujudkan dalam program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang relevan dan memadai, program pelatihan tersebut harus diterjemahkan ke dalam tindakan praktis. Tugas menerjemahkan ke dalam tindakan praktis biasanya menjadi tanggung jawab departemen sumber daya manusia dan pelatihan. Persiapan yang diperlukan dalam merencanakan suatu pelatihan ditentukan oleh: (a) jenis organisasi, (b) ukuran organisasi, (c) distribusi individu, kelompok kerja atau tim, (d) kisaran peran kerja dan jumlah peran individu, (e) kebutuhan individu di setiap tingkatan, dan (f) inisiatif khusus, seperti: komitmen terhadap manajemen yang berkualitas, memprioritaskan pada customer service, dan memberikan pendidikan vocational.

Perencanaan dan pengenalan pola pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan dalam sebuah organisasi akan bergantung pada jumlah faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dan dilakukan sebelum perencanaan program secara detail dilakukan. Kegiatan perkenalan akan menjadi perencanaan umum, mencakup: (a) pengenalan tentang pelatihan dan pengembangan pada suatu organisasi sebagai suatu layanan baru, (b) modifikasi pengembangan program pelatihan dan pengembangan yang ada sebagai hasil perubahan atau kebutuhan tambahan organisasi, (c) modifikasi program pelatihan dan pengembangan yang ada sebagai hasil dari identifikasi kebutuhan individu, (d) pengenalan, pengembangan atau modifikasi aspek-aspek pelatihan yang baru, seperti materi pelatihan yang sudah ada dikembangkan menjadi materi pelatihan yang baru ke dalam program, (e) pengenalan, pengembangan atau modifikasi sesi individu yang sudah ada dalam program, (f) pengenalan, pengembangan pembelajaran terbuka, pelatihan yang didukung komputer (computer assisted training - CAT), pelatihan berbasis komputer (computer based training - CBT), pelatihan berbasis internet, dan isu teknologi baru lainnya.

Secara sistem sebenarnya pelatihan merupakan salah satu bentuk dari pengembangan SDM. Namun dalam prakteknya selalu disandingkan antara pelatihan dan pengembangan. Pengembangan berbeda dengan pelatihan baik dilihat dari segi fokus, jangka waktu, dan ukuran efektifitas. Menurut Sjafri Mangkuprawira ( http://indosdm.com/pengembangan-sdm-vs-daya-saing-global), “Fokus pelatihan terletak

pada belajar kegiatan dan perilaku spesifik, mendemonstrasi teknik dan proses. Sementara fokus dalam pengembangan terletak pada pemahaman konsep dan konteks informasi, pengembangan pendapat, dan pengembangan kapasitas untuk menjalankan tugas. Sedangkan dari sisi jangka waktu, pelatihan lebih singkat dan pengembangan lebih lama. Jika dilihat dari ukuran efektifitas, pelatihan adalah penilaian kinerja, analisis manfaat-biaya, test kelulusan, dan sertifikasi. Sementara itu ukuran efektifitas pengembangan pada karyawan kualifaid tersedia ketika dibutuhkan, peluang promosi, dan keunggulan kompetitif yang berbasis SDM”. Jenis pengembangan SDM yang dilakukan untuk peningkatan kapabilitas karyawan sangat bergantung pada kondisi individu dan kapabilitas yang dibutuhkan organisasi. Akan tetapi pada umumnya pengembangan SDM yang dilakukan dalam peningkatan kapabilitas karyawan adalah dalam hal orientasi pada pekerjaan, kualitas pengambilan keputusan, nilai-nilai etika dan ketrampilan teknis. Dalam hal kapabilitas non-teknis yang dibutuhkan organisasi meliputi kemampuan bekerja dalam situasi penuh tekanan, bekerja secara independen, memecahkan masalah secara tepat, dan kemampuan memanfaatkan pengetahuan yang lalu dalam situasi yang baru. Jenis kemampuan tersebut sering tidak sukses diajarkan lewat bangku kursus dan sebaliknya akan efektif melalui proses sosialisasi pekerjaan atau jalur tidak formal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perancangan Program Pelatihan dan Pengembangan

Kebutuhan akan perencanaan dan perancangan atas suatu program pelatihan dan pengembangan dapat dipicu oleh dua kejadian, yaitu: (a) adanya hasil penjajakan kebutuhan berdasarkan kecurigaan terhadap suatu masalah, dan (b) pengenalan metode kerja dan operasi baru atau yang direvisi. Kedua hal tersebut dapat dijadikan sebagai penjajakan dan analisis kebutuhan akan suatu pelatihan. Pendahuluan (precursor) bagi sebuah program pelatihan adalah sebagai salah satu bentuk TNIA (Training Needs Identification and Analysis) (Leslie Rae, 2005:35). Upaya pencarian informasi merupakan suatu bentuk tanggung jawab dari seorang perencana pelatihan dan jangan terlalu mengharapkan informasi secara lengkap tersebut akan

(3)

41

diberikan oleh seseorang atau diperoleh begitu

saja tanpa dicari. Salah satu ciri utama perencana yang buruk adalah bersikap pasif atau menyerahkan semuanya kepada sumber daya untuk memperoleh informasi yang lebih lanjut. Menurut Leslie Rae (2005:46), sebelum aspek pelatihan dan pengembangan serta evaluasi ditentukan, analisis kebutuhan akan pelatihan harus dilakukan untuk menentukan apakah: (a) pelatihan dalam hal tertentu benar-benar dibutuhkan, (b) sudah jelas betul apakah pelatihan itu untuk pemula atau remedial, (c) apakah orang-orang yang bersangkutan benar-benar perlu dilatih, (d) segala hal menyangkut materi pokok pelatihan telah diputuskan, dan (e) tingkat pengetahuan atau keahlian yang dimiliki seluruh calon peserta telah dipertimbangkan.

Setelah dilakukan konsolidasi terhadap berbagai informasi tersebut, program pelatihan dan pengembangan dapat dilaksanakan. Bidang-bidang yang perlu dipertimbangkan meliputi: (a) materi seperti apa saja yang akan dipakai, (b) bentuk pelatihan seperti apakah yang kiranya paling efektif, (c) bentuk kegiatan praktik seperti apakah yang akan digunakan, berapa porsinya, dan dalam program yang mana, (d) berapa lama program akan selesai, (e) berapa instruktur/pelatih dan pembicara tamu yang akan dilibatkan, (f) bagaimana pelajaran terbuka akan dilakukan, dan (g) di mana pelatihan atau pembelajaran akan dilakukan. Beberapa pertanyaan terakhir yang mesti diajukan begitu pelatihan dirancang adalah: (a) berbentuk apakah evaluasinya nanti, (b) berapa waktu dan orang yang dibutuhkan untuk evaluasi tersebut, (c) kapan evaluasi dilakukan, (d) siapa yang bertugas mendesain, mengatur, menganalisa, dan melaporkannya, serta (e) apa yang perlu diperhatikan atau apa yang harus dilakukan dari hasilnya nanti (Leslie Rae, 2005:49).

yang mutlak penting dalam program pelatihan adalah kepastian tentang tujuan akhir yang bisa dicapai dari program tersebut, suatu tujuan yang benar-benar komprehensif dan tidak akan menimbulkan salah paham, berapa lama, standar yang harus dicapai, ada tidaknya toleransi, dan sebagainya. Evaluasi yang efektif memerlukan patokan tujuan-tujuan ini, jika tidak tim penilai tidak akan tahu apa yang harus mereka evaluasi dan ukuran seperti apa yang bisa mereka pakai untuk menilai bahwa pelatihan dan pembelajaran telah berhasil.

MANAJEMEN SENIOR

PEMBELAJAR

MANAJER PELATIHAN MANAJER LINI

PELATIH

Gambar 1: kwintet Pelatihan Sumber: Rae Leslie (2005)

Meskipun manajemen senior tidak terlibat secara langsung di dalam perencanaan dan perancangan pada suatu program pelatihan seperti yang digambarkan pada gambar 1, namun manajemen senior mempunyai tanggung jawab moril, baik di awal proses maupun di akhir proses di dalam menyelenggarakan pelatihan dan penerapannya secara efektif. Menurut Leslie Rae (2005:51) Peran manajemen senior dalam kwantet pelatihan (training quintet), adalah: (a) mengembangkan dan menerbitkan strategi pelatihan, (b) secara aktif melibatkan fungsi pelatihan ditahap-tahap awal perencanaan, (c) mewajibkan evaluasi dilaksanakan, dan (d) memeriksa serta mendiskusikan hasil-hasil evaluasi. Sedangkan manajer pelatihan harus menjadi kekuatan penggerak dalam kemajuan evaluasi pelatihan yang ada di bawah tanggung jawabnya.

B. Mempertimbangkan Peserta Potensial Dalam proses perencanaan, dengan mendasarkan pada poin diatas, kita mengasumsikan bahwa TNIA yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan perlu adanya program pelatihan dan pengembangan, dan semua informasi penting telah diperoleh dari berbagai sumber (Leslie Rae, 2005:52). Apabila TNIA menghasilkan rekomendasi-rekomendasi dasar, proses perencanaan bertanggung jawab untuk memberi muatan terhadap apa yang sudah direkomendasikan (putting the flesh on the bones) (Leslie Rae, 2005:52), termasuk menerjemahkan berbagai tujuan yang telah diidentifikasi kedalam rencana aksi. Pertimbangan terhadap berbagai faktor pembelajaran dan pelatihan yang mempengaruhi masyarakat harus menjadi

(4)

42

prioritas utama dalam proses perencanaan, karena pelatihan melibatkan orang-orang, mengubah keterampilan dan sering kali juga mengubah perilaku mereka. Manakala menyangkut orang, di situlah faktor-faktor yang berpengaruh harus dipertimbangkan. Pada tahapan ini istilah-istilah yang dipergunakan di dalam mempertimbangkan peserta potential, seperti: siswa (student), peserta pelatihan (trainee), peserta (participant), dan pembelajar (learners). Selama beberapa tahun belakangan ini program pelatihan dan pengembangan telah berkembang melalui berbagai pendekatan akademis, yang mana para pembelajar betul-betul merupakan siswa (student), dari berbagai kegiatan yang bersifat mendidik (didaktik) maka mereka yang hadir dan dilatih disebut peserta pelatihan (trainee). Meskipun ada perbedaan penekanan keilmuan, seorang peserta (participant) adalah seseorang yang menghadiri dan mengambil bagian, tetapi tidak perlu belajar dari partisipasinya tersebut. Sedangkan untuk istilah pembelajar (leaner). hampir sama dengan peserta namun lebih banyak melakukan proses pembelajaran dari apa yang diberikan di program pelatihan tersebut (Leslie Rae, 2005:53).

Revolusi dalam program pelatihan telah meningkatkan kesadaran tentang perbedaan sifat pelajar sebagai individu atau kelompok dari individu. Pengikut berbagai studi tipe kepribadian dari pakar psikologi, David Kolb telah menjadi artistek dari konsep modern tentang cara masyarakat belajar (Kolb’s Cycle of Experiential Learning). Siklus Pembelajaran, yang ditunjukkan dalam Gambar 2, mengemukakan bahwa proses pembelajaran pada umumnya dimulai dengan pengalaman sipembelajar, baik perasaan, emosi, dan

lain-lain.

Gambar 2 : Siklus Belajar Kolb Sumber: Karin Kirk (2009)

Dari Gambar 2, Siklus Belajar Kolb menurut Karin Kirk (2009), dapat dijabarkan, sebagai berikut:

a. Aktivis (activist) (Active Experimentation)

Adalah orang-orang yang senang melakukan sesuatu dan senang akan inovasi, tetapi cenderung cepat bosan dan mencari hal-hal lain yang menarik minatnya. Pembelajar yang aktivis menyukai saat pembelajaran berdasarkan pengalaman dengan banyak kegiatan, permainan, latihan, dan minimal sesi-sesi input.

b. Reflektor (reflectorist) (Reflective

Observation)

Orang dengan preferensi ini biasanya pembelajar yang merasa aman, meskipun tertarik dengan konsep-konsep dan ide-ide baru, mereka akan lebih suka duduk di belakang dan mengamati peserta yang lain, menyarikan pembelajaran dari hasil pengamatannya. Mereka senang melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dan berhati-hati sebelum membuat suatu gerakan. Jika ini merupakan preferensi yang kuat maka mereka akan terbelenggu di dalamnya dan menjadi sangat terganggu dengan para aktivis yang ingin bergabung.

c. Teoretikus (theorist) (Abstract

Conceptualization)

Tipe pembelajar ini juga harus merefleksikan, tetapi secara lebih mendalam karena mereka mendesak untuk mengetahui dan memahami semua prinsip, model, dan teori di belakang setiap gagasan pembelajaran. Berbagai pendekatan dipertentangkan satu sama lain dan pendekatan terbaik yang dianalisis. Mereka cenderung berfikir secara logis, rasional, dan objektif, serta terganggu dengan kesan-kesan dan pendekatan yang subjektif.

d. Pragmatisis (pragmatist) (Concrete

Experience)

Adalah aktivis yang giat mencoba metode dan ide-ide baru, tetapi hanya jika hal ini praktis dan mereka dapat melihat aplikasi langsung dan spesifik pada pekerjaan mereka. Karena mereka sesungguhnya orang-orang yang praktis dan sederhana, yang akan membenamkan diri mereka dalam mengatasi masalah dan saat membuat keputusan, selama

(5)

43

ada produk akhir yang benar-benar dapat

digunakan dengan baik.

C. Menetapkan Sasaran Pelatihan dan Pengembangan

Seseorang atau kelompok yang telah menyelesaikan TNIA, akan memiliki garis besar sasaran dan tujuan dari pelatihan yang ditawarkan. Selanjutnya, oleh perencana dan perancang hal tersebut akan diterjemahkan dalam program pelatihan yang spesifik. Sasaran akhir dari pelatihan dan pengembangan harus dirumuskan dengan kalimat yang jelas dan dapat dimengerti, yaitu terkait dengan apa yang akan dicapai dari pelatihan tersebut dan berbagai pembelajaran apa yang dapat diperoleh di akhir pelatihan tersebut. Sebuah sasaran, untuk pelatihan atau apa pun, dapat didefinisikan sebagai pernyataan formal yang jelas dari suatu hasil akhir yang diharapkan, yang dicapai melalui serangkaian kegiatan yang diperinci dalam program. Hal yang harus ditetapkan adalah sebagai berikut: (a) apa yang harus diketahui atau dikerjakan oleh pembelajar pada akhir program, atau dengan kata lain perubahan apa yang akan diharapkan atau hasil apa yang akan diperoleh, (b) bagaimana mereka akan memperagakan sebagian besar dari pembelajaran ini, sebagai kondisi-kondisi untuk evaluasi, (c) standar apa yang mereka perlukan untuk mencapai tingkat kompetensi, dan (d) analisis berbagai halangan dan kendala yang akan mengganggu dalam upaya mewujudkan sasaran. Penentuan sasaran dilakukan dengan menggunakan manfaat SMART, yaitu: Spesific (spesifik), Measurable (terukur), Achievable (dapat dicapai), Relevant (relevan), dan Time-bound (dibatasi waktu/jangka waktu) (Leslie Rae, 2005:53).

D. Merencanakan Evaluasi Program Pelatihan dan Pengembangan

Mengingat evaluasi mencakup proses pelatihan secara keseluruhan, maka suatu proses perencanaan dan perancangan evaluasi harus diperhatikan sejak awal sebelum kegiatan pelatihan tersebut dilaksanakan. Selain itu perencana harus mengetahui alasan mengapa evaluasi perlu dilaksanakan sehingga mereka dapat memastikan bahwa kegiatan ini termasuk dalam proses pelatihan secara keseluruhan. Alasan melakukan evaluasi, karena: (a) evaluasi dapat membenarkan investasi dalam pelatihan, (b) evaluasi dapat memastikan bahwa pelatihan bertujuan untuk membuat

perubahan dalam pelaksanaan pekerjaan para individu dan organisasi, (c) dapat mengevaluasi investasi pelatihan yang berkenaan dengan biaya dan nilai manfaat (bagi staf lini bawah), (d) evaluasi memastikan adanya kemungkinan tanggapan yang valid terhadap tantangan-tantangan dalam penyelenggaraan pelatihan, (e) evaluasi menyediakan berbagai instrument untuk mendapatkan bukti yang konkret sehingga memungkinkan manajemen senior untuk mengetahui keefektifan dari program pelatihan, (f) evaluasi memungkinkan penilaian pelatihan dan perancangan program pelatihan, (g) evaluasi memastikan bahwa sasaran program pelatihan akan dapat dicapai, (h) evaluasi menunjukkan apakah pembelajar dapat mencapai sasaran pribadinya, (i) evaluasi membantu pembelajar untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya, apa yang harus mereka lakukan terhadap pembelajaran yang sudah diterimanya, dan membuat mekanisme untuk dapat melakukan hal-hal yang praktis dari pembelajaran, (j) evaluasi membantu mencari masukan untuk perbaikan program pelatihan, (k) evaluasi membantu pembelajar untuk menilai pencapaian sasaran pribadi mereka dan memberikan informasi yang jelas kepada para manajer untuk melakukan hal yang sama, (l) evaluasi merupakan kesempatan paling efektif untuk melibatkan lebih banyak orang, bukan hanya pelatih dan pembelajar, dan (m) evaluasi mendukung implementasi praktis dari pembelajaran oleh pembelajar ketika kembali ke pekerjaannya.

Sulit untuk mengatakan golden rule seperti apa ukuran desain evaluasi selain bahwa format evaluasi harus kongruen dengan jenis pelatihan dan pengembangan yang dievaluasi. Sering bentuk evaluasi digunakan untuk segala macam proses pembelajaran yang ditawarkan, tanpa memperdulikan apakah relevan atau tidak. Biasanya bentuk evaluasi seperti itu tidak valid atau tidak ada gunanya. Prinsip utama yang mendasari rancangan bentuk evaluasi adalah bahwa proses evaluasi harus mengarah pada tujuan pelatihan dan pembelajaran untuk memastikan tujuan tersebut benar-benar diterapkan dengan efektif. Pertimbangan mengenai bentuk pelatihan akan jelas-jelas menentukan jenis evaluasi dan banyaknya pengukuran yang mesti dilakukan dalam evaluasi itu, meski secara umum tetap harus dilihat apakah evaluasi harus disertai: (a) pre-testing atau pre-knowledge untuk mengukur tingkat keahlian dan pengetahuan peserta, (b) penilaian untuk mengawali kursus dengan melakukan penilaian preprogram ataupun memastikan hal ini dengan bentuk pelatihan

(6)

44

yang lebih spesifik, (c) evaluasi sementara harian atau dengan interval tertentu, hal ini sering dipertimbangkan jika program pelatihan dilakukan lebih dari satu hari, (d) evaluasi akhir program atau aktivitas untuk mengetahui reaksi atau segala yang terkait, (e) bentuk rancangan kegiatan dan berbagai rencana penggunaannya, dan (f) pengaturan evaluasi jangka panjang dan jangka menengah, baik dengan kunjungan maupun dengan korespondensi, dan dilakukan oleh siapa. Yang juga penting dalam tahap perencanaan dan perancangan adalah konfirmasi pengaturan dengan pihak-pihak selain staf pelatihan yang mungkin atau harus dilibatkan dalam proses evaluasi dan tanggung jawab mereka. Pada tahap ini pihak yang bertanggung jawab dalam bidang evaluasi harus menjamin bahwa para kuintet tahu benar akan tanggung jawab mereka dan benar-benar akan berbuat sesuatusesuai tugas mereka. Secara khusus, kontak dengan manajer para peserta sangatlah penting, terutama untuk memberi dukungan tambahan sebagai penunjang briefing prakursus dan briefing penutupan kursus, dan semua yang terkait dengan hal tersebut.

Yang tidak kalah penting dalam program dan proses evaluasi adalah keterlibatan aktif para manajer peserta. Merekalah yang akan dan harus terlibat dalam analisis kebutuhan pelatihan dan menyepakati bahwa staf mereka akan diberi kesempatan mempelajari berbagai macam keahlian atau prosedur baru, atau menjalani pelatihan remedial untuk membawa mereka ke tingkat kompetensi standar sebagaimana diharapkan. Kesepakatan ini menuntut para manajer terlibat dan tidak lepas tangan dari tindakan selanjutnya. Sering begitu suatu pelatihan disepakati, para manajer, karena alasan yang bisa diterima, mengatakan, “sekarang ini adalah urusan bagian pelatihan atau HRD”. Manajer tidak boleh lepas tangan dari semua itu, dan kalau budaya perusahaan memang bagus, bagian pelatihan akan bisa meminta komitmen para manajer untuk mendukung dan terlibat secara langsung. Manajer memang sangat sibuk bahkan biasanya berada dalam posisi yang sangat sulit dan serba membingungkan, namun segala upaya harus dilakukan untuk memperoleh komitmen mereka. Secara teori, meminta komitmen mereka akan berdampak kepada perkembangan, peningkatan keahlian, efisiensi, sikap, dan efektivitas kerja karyawan.

Perencanaan evaluasi harus mulai selama merencanakan dan merancang program pelatihan. Menurut Leslie Rae (2005: 281),

salah satu model evaluasi yang paling sederhana adalah model Kirkpatrick (model evaluasi empat tingkat), yaitu: Tingkat 1. Reaksi; Tingkat 2. Pembelajaran; Tingkat 3. Tingkah laku; dan Tingkat 4. Hasil.

Gambar 3: Model Kirkpatrick (Model Evaluasi Empat Tingkat)

Sumber: Kirkpatrick (1959)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis diantaranya adalah:

1. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan dengan membaca buku literatur tentang kepemimpinan, manajemen dan organisasi, selain itu juga melakukan rujukan elektronik dari internet.

2. Observasi

Observasi dilakukan dalam bentuk observasi non perilaku yaitu dengan mengambil data-data sekunder yang terdapat di internet baik dari situs yang berkaitan dengan budaya kepemimpinan dalam pelaksanaan manajemen organisasi yang ada di Amerika dan Inggris, maupun dari situs yang berkaitan dengan budaya kepemimpinan dalam pelaksanaan manajemen organisasi yang ada di Indonesia, kemudian menganalisa data tersebut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perancangan Program Pelatihan dan Pengembangan

Jika dilihat peran manajer pelatihan dalam kwintet pelatihan, adalah: (a) menyepakati prinsip dan program pelatihan, (b) keterlibatan dan penghubung dengan manajemen senior, (c) mengendalikan kebijakan dan praktek evaluasi, (d) memeriksa hasil evaluasi, dan (e) menyiapkan laporan evaluasi untuk manajemen senior. Untuk manajer lini mempunyai fungsi dalam kwintet pelatihan, adalah: (a) identifikasi kebutuhan pelatihan, (b) seleksi staf untuk mengikuti pelatihan, (c) keterlibatan dalam desain

Tingkat 1 - Reaksi Tingkat 2 - Pembelajaran Tingkat 3 - Tingkah laku Tingkat 4 - Hasil

(7)

45

pelatihan, (d) keterlibatan dalam pelatihan dan

dukungan pelatihan, (e) keterlibatan dalam desain evaluasi, (f) briefing prakursus, (g) debriefing pascakursus, (h) dukungan implementasi pembelajaran, dan (i) evaluasi jangka menengah dan panjang. Keterlibatan langsung dan aktif para instruktur/pelatih dalam program pelatihan, mempunyai peranan, sebagai berikut: (a) mendukung manajer lini dalam identifikasi kebutuhan-kebutuhan pelatihan dan peran-peran analisis kebutuhan pelatihan, (b) mendesain dan mengimplementasikan validasi program, (c) mendesain dan mendukung atau mengimplementasikan keseluruhan evaluasi, (d) mendukung manajer lini dalam peran briefing dan debriefing mereka, dan (e) mendukung manajer lini dalam peran evaluasi jangka menengah dan panjang mereka. Peranan yang terakhir dalam kwintet pelatihan adalah peranan peserta pembelajaran, yaitu: (a) keterlibatan dalam perencanaan dan desain program pelatihan, (b) keterlibatan dalam perencanaan dan desain proses evaluasi, dan (C) perhatian dan dukungan pada pendekatan evaluasi. Jika kultur ini ditanamkan dalam organisasi bersama para manajer senior, manajer pelatihan dan manajer lini, dan di antara para instruktur/pelatih dan peserta pembelajaran, tidak hanya evaluasinya akan lebih efektif daripada biasanya, tetapi juga pelatihan dan pengembangan akan lebih efektif dan dipandang sangat beharga bagi organisasi. Pengembangan kultur yang seportif ini tidak akan tercapai dalam semalam tanpa komitmen dari instruktur/pelatih dan manajer pelatihan. B. Mempertimbangkan Peserta Potensial

Dalam rangka belajar dari pengalaman ini, yang diperlukan hanya membiarkan pengalaman itu terjadi, selanjutnya bergerak menuju aspek-aspek lain dari siklus tersebut. Kecenderungan yang sering terjadi adalah orang berhenti pada suatu tingkatan dan menyetujui pengalaman itu. Apa yang seharusnya terjadi adalah pengalaman itu direfleksikan berkenaan dengan apa yang terjadi, kapan itu terjadi, siapa yang membuat itu terjadi, apa hasil dari aksi tersebut, dan sebagainya. Dari refleksi itu, langkah selanjutnya adalah menggambarkan kesimpulan yang terkait dengan pengalaman tersebut, apa yang baik dan buruk dari hal itu dan mengapa, apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil, dan mengapa. Sebagai hasil dari konseptualisasi dengan cara ini dan identifikasi apa yang telah dipelajari, tingkatan terakhir

adalah melakukan eksperimen bagaimana melakukan reaksi di masa depan dalam situasi serupa, dan tentu saja apa yang akan dilakukan dengan pelajaran yang telah dicapai pada tahapan sebelumnya dari siklus tersebut. peristiwa pembelajaran yang benar-benar seimbang harus memastikan bahwa isi pembelajaran termasuk kesempatan untuk mengikuti tahapan siklus secara penuh dan peserta diberi dorongan dan waktu untuk memperhatikan seluruh tahapan. Pada hubungan antara siklus pembelajaran, ada empat gaya yang teridentifikasi: (a) aktivis (activist), reflektor (reflectorist), teoretikus (theorist), dan pragmatisis (pragmatist).

C. Menetapkan Sasaran Pelatihan dan Pengembangan

Menetapkan sasaran pelatihan dan pengembangan jika dilihat dari penentuan sasaran yang dilakukan dengan menggunakan manfaat SMART (Leslie Rae, 2005:55), maka: 1. Spesific (spesifik)

Jika sebuah sasaran tersebut spesific, maka: (a) ada arah dan kejelasan sasaran, (b) setiap orang tahu secara tepat apa yang diharapkan dari sasaran tersebut, tanpa ada maksud lain atau ambigu, (c) memungkinkan untuk mengetes tingkat keterukuran. (dihubungkan dengan aspek lain dari SMART), (d) memungkinkan untuk mengetes bahwa sasaran dapat dicapai, (e) memungkinkan untuk menetapkan skala waktu berdasarkan informasi yang spesifik, (f) membantu dalam mengalokasikan sumber daya secara efektif, dan (g) memperjelas rencana sehingga poin-poin yang menjadi pelemah dapat teridentifikasi.

2. Measurable (terukur)

Jika sebuah sasaran tersebut measurable, maka: (a) kepastian berbagai standar yang telah ditetapkan, dapat diukur dan diidentifikasi pada saat awal perencanaan, (b) memungkinkan untuk memantau kemajuan dari perencanaan dan mengevaluasi hasil akhir, serta menentukan apakah materi yang diinginkan telah masuk dalam perencanaan, dan (c) memungkinkan membuat perubahan jika sistem pengukuran yang ada akan memunculkan suatu masalah.

(8)

46

Jika sebuah sasaran tersebut achievable, maka: (a) sasaran yang terlihat begitu besar dan menakutkan dapat dipecah ke dalam sasaran yang lebih kecil, dengan unsur yang lebih mudah dicerna, (b) memastikan target yang akan dicapai realistis, mendorong para perencana untuk berpikir melalui langkah demi langkah dalam pelatihan dan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam suatu proses pelatihan, (c) penyusunan sasaran yang realistis akan membantu para pembelajar dalam mencapai kemajuan secara logis dan realistis.

4. Relevant (relevan)

Jika sebuah sasaran tersebut relevant, maka para perencana mesti yakin bahwa sasaran dan isi materi pelatihan yang sedang dirancang adalah sangat relevan baik untuk kelompok pembelajar ataupun untuk program pelatihan. Beberapa sesi dan aktivitas, dan lainnya, bisa jadi merupakan favorit bagi perencana dan pelatih, tetapi pertanyaannya adalah apakah semua itu relevan dengan program. Ini bukannya bermaksud mengesampingkan icebreaker yang tidak relevan dan memperluas rentang pembelajaran yang perlu dimasukkan dalam suatu program tertentu.

5. Time-bound (dibatasi waktu/jangka

waktu)

Jika sebuah sasaran tersebut time-bound, maka: (a) akan memberikan suatu dorongan untuk mengerjakan segala sesuatunya sesuai dengan rencana dan juga memastikan bahwa segala yang dianggap penting sudah masuk pada rencana program, dan (b) akan membantu para perencana untuk mencapai tugas mereka secara tepat waktu, menetapkan prioritas beban kerja, dan membantu para pembelajar untuk menghubungkan aktivitas pelatihan dengan jenis pekerjaan yang akan mereka laksanakan. D. Merencanakan Evaluasi Program

Pelatihan dan Pengembangan

Pada model kirkpatrick dengan keempat level/tingkatan, dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan evaluasi program pelatihan dan pengembangan, dengan membagi kedalam 4 (empat) tingkatan, yaitu: Tingkat 1. Reaksi

Evaluasi di tingkat ini mengukur sikap dan reaksi peserta program pelatihan. Sikap dan

reaksi ini harus menjadi pandangan yang sangat subjektif (sering kali mereka merefleksikan dengan sikap yang kurang serius), dan ini meragukan apakah mereka dapat dianggap serius karena mengindikasikan nilai dari suatu pembelajaran, mengingat ada penekanan yang sedikit spesifik dalam proses pembelajaran tersebut. Ini berbeda jauh dari penilaian program yang lebih ilmiah dan objektif dalam hal butir-butir evaluasi, sebab ada begitu banyak pertimbangan nilai subjektif yang bisa mempengaruhi objektivitas. Evaluasi ini dapat dilihat dari seberapa tingkat kepuasan pelanggan/klien terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh para peserta/karyawan yang berkaitan dalam hal tersebut.

Tingkat 2. Pembelajaran

Berkaitan dengan pembelajaran yang dicapai oleh para peserta, yang berkaitan dengan sejauh mana para peserta mengubah sikap-sikap, meningkatkan pengetahuan atau keterampilan sebagai hasil dari program pelatihan. Pembelajaran ini bisa dievaluasi dengan penggunaan control groups, pre-testing, dan post-testing.

Tingkat 3. Tingkah laku

Mempertimbangkan dampak pelatihan terhadap perilaku pembelajar dan sejauh mana transfer pengetahuan, ketrampilan, dan sikap terjadi sebagai hasil dari mengikuti program pelatihan. Evaluasi dapat dilakukan dengan penggunaan control groups secara kontinu, memberikan waktu agar perubahan perilaku bisa terjadi, mengevaluasi sebelum dan sesudah program, mensurvei atau mewawancarai para peserta secara langsung, pengulangan evaluasi pada saat-saat yang tepat, dan mempertimbangkan kerugian-kerugian versus keuntungan-keuntungan dari bentuk evaluasi ini.

Tingkat 4. Hasil

Pengembangan evaluasi di tingkat ini meliputi usaha untuk merasionalisasi nilai pembelajaran dan implementasinya di tempat kerja, dari sudut pandang kembalinya investasi oleh organisasi (ROI-Return on Investment).

Model Kirkpatrick dengan keempat level/tingkatan memberikan kesan kesederhanaan dan kemudahan operasi, tetapi level yang sedikit itu menutupi kekayaan aktivitas dan kesulitan dalam masing-masing level/tingkatan. Para instruktur/pelatih yang ingin dapat melakukan evaluasi yang efektif,

(9)

47

tetapi mengkhawatirkan waktu dan

sumber-sumber yang diperlukan, dan sejauh mana evaluasi itu dibutuhkan, bisa mendapatkan bimbingan dari standar yang telah dipublikasikan, yaitu National Vocational Qualification (NVQ). Standar yang diuraikan dalam literatur training and development national vocational qualification (TD NVQ), menunjukkan bahwa kualifikasi dibagi menjadi Units of Competence, dengan masing-masing unit berkaitan dengan bidang peranan instruktur/pelatih. Jadi, kita dapatkan bahwa Key Role E2 (mengevaluasi efektifitas program-program pelatihan dan pengembangan) mengandung tiga unit, yaitu: (a) Unit E21-mengevaluasi program-program pelatihan dan pengembangan, (b) Unit E22-meningkatkan program-program pelatihan dan pengembangan, dan (c) Unit E23-mengevaluasi sesi-sesi pelatihan dan pengembangan. Dengan demikian, Unit of Competency ini mewajibkan kandidat NVQ memiliki pengetahuan praktis dan ketrampilan yang luas dalam praktik evaluasi, yang detail-detailnya ditunjukkan dalam subdivisi unit-unit tersebut, yaitu Elements of Competence.

V. KESIMPULAN

Pada dasarnya, pengembangan sumber daya manusia adalah proses sepanjang masa yang melekat erat pada setiap karyawan yang bekerja pada suatu organisasi/perusahaan. Artinya proses perencanaan yang lebih efektif terhadap pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia sudah menjadi suatu kebutuhan organisasi dan individu secara berkesinambungan yang sesuai dengan dinamika eksternal. Misalnya, tentang jenis-jenis keahlian tertentu yang dimiliki oleh para karyawan harus terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi/perusahaan dan pelayanan yang baik terhadap pelanggan/klien. Dengan demikian organisasi/perusahaan akan menuai hasil yang positif, apabila semua karyawan dapat melakukan pekerjaannya

secara efektif. Maka dari itu, agar karyawan memberikan hasil yang lebih efektif, mereka memerlukan suatu pelatihan yang selalu disesuaikan dengan fungsi jabatan dan tanggung jawab yang dimilikinya. Selain itu, pada program pelatihan yang baik, bukan hanya para “profesional” atau para “pelatih purnawaktu” yang hanya terlibat dalam proses ini, tetapi juga manajer personalia, manajer lini, supervisor, dan pemangku tugas adalah orang yang semestinya turut ambil bagian secara efektif di dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pelatihan tersebut. Karena perencanaan sumber daya manusia (Human Resource Planning) yang baik merupakan salah satu fungsi di dalam Manajemen Sumber daya manusia (MSDM) yang mengorientasi pada bagaimana menyusun langkah-langkah strategi di dalam menyiapkan sumber daya manusia secara tepat. Hal tersebut dapat menjadikan organisasi/perusahaan dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis.

DAFTAR PUSTAKA

Mangkuprawira, Sjafri. Fokus, jangka waktu, dan ukuran efektifitas pelatihan dan pengembangan. Diambil dari: http://indosdm.com/pengembangan-sdm-vs-daya-saing-global (Accessed 18 November 2008)

Kirk Karin. Kolb's Cycle of Experiential Learning. Diambil dari: http://serc.carleton.edu/sp/library/envi roprojects/what.html (Accessed 7 Agustus 2009)

Rae Leslie. 2005. Effective Planning. Kogan Page, London.

_______ . 2005. Using Evaluation in Training and Development. Kogan Page, London.

(10)

Gambar

Gambar 1: kwintet Pelatihan  Sumber: Rae Leslie (2005)
Gambar 2 : Siklus Belajar Kolb  Sumber: Karin Kirk (2009)

Referensi

Dokumen terkait

UIN Suska merupakan salah satu lembaga yang dapat menampung aspirasi masyarakat yang menyimpan benda budaya dimana berada; (4) demikian pula UIN Suska dapat

hak tanggungan, adapun parate eksekusi dan eksekusi melalui penjualan dibawah tangan tidak memerlukan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Kalau dilihat dari susbtansi

Data ini juga menunjukkan secara spesifik penempatan oksida besi di antara lembaran bentonit yang makin meningkat dengan meningkatnya suhu seperti yang diperoleh dari data

Jangka waktu RTRW ataupun RZWP-3-K berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal 9 ayat (2) UU No 14 Tahun

Tujaun penelitian ini adalah mengklasifikasikan pelanggan berdasarkan tabel transaksi dengan pendekatan knowledge discovery from data (KDD) dan metode data mining naïve

Hasil uji parsial menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap dysfunctional audit behaviour mungkin karena walaupun responden memiliki komit- men organisasi

(produc), harga (price), promosi (promotion), distribusi (distribution). Keempat bauran ini akan diukur pengaruh dan kepentingan setiap bauran pemasaran

2) Pengujian kuat patah dan daya redam pada batako dengan serbuk kaca. Tidak adanya pengujian- pengujian tersebut pada penelitian ini dikarenakan alat/mesin untuk