• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-nya, sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-nya, sehingga"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3 KATA PENGANTAR

Puji syukur dihaturkan kepada Allah atas petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga tugas penelitian dalam rangka melaksanakan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi ini dapat diselesaikan dengan baik, meskipun hal itu dilakukan di tengah-tengah kesibukan peneliti sebagai dosen pengajar dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Malang.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji tentang batas-batas materi muatan peraturan daerah (Perda) yang merupakan wewenang Pemerintahan Daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penelitian ini sangat penting artinya, karena banyak Perda yang dibuat oleh Kepala Daerah bersama-sama DPRD, tetapi oleh pemerintah pusat dibatalkan dengan alasan materi muatan yang diatur dalam Perda-perda tersebut bukan merupakan urusan yang menjadi wewenang Pemerintahan Daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, terkait dengan otonomi daerah, pemerintah daerah harus memiliki pemahaman dan interpretasi yang sama dengan pemerintah pusat mengenai batas-batas wewenang (urusan) daerah yang yang dapat dituangkan menjadi materi muatan Perda, supaya tidak terjadi konflik wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau konflik wewenang antar pemerintah daerah.

Pada kesempatan ini, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan tugas penelitian

(4)

4 ini, khususnya kepada Dekan Fakultas Hukum, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dan Rektor Universitas Islam Malang.

Kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca senantiasa diharapkan demi penyempurnaan hasil penelitian ini di masa mendatang. Akhirnya, semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang ilmu perundang-undangan di Indonesia yang hingga kini belum banyak dikaji dan diteliti oleh para ahli hukum di bidang hukum ketatanegaraan dan hukum tata pemerintahan.

Malang, 27 Agustus 2005 Peneliti,

(5)

5 ABSTRAK

Materi Muatan Peraturan Daerah

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004 Oleh: Abdul Rokhim

Penelitian tentang Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini memfokuskan kajiannya pada persoalan yang terkait dengan batas-batas wewenang (urusan) pemerintahan daerah yang merupakan materi Peraturan Daerah (Perda)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara lebih mendalam tentang batas-batas wewenang (urusan) pemerintah daerah yang dapat dirumuskan sebagai materi muatan Perda menurut kedua undang-undang tersebut di atas.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis-normatif, yang mengkaji dan menganalisis pokok masalah berdasarkan asas-asas dan norma hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur tentang atau terkait dengan pembentukan Perda, khususnya UU Pemda No. 32/2004 dan UU No. 10/2004. Dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang berwujud bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat maupun bahan hukum sekunder yang berupa literatur-literatur hukum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (a) Pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan DPRD) berwenang membentuk Perda dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Perda dibentuk sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah; (b) Wewenang pemerintahan daerah membentuk Perda bukan merupakan wewenang delegasi dari pemerintah pusat, melainkan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), yaitu wewenang mandiri yang langsung diberikan oleh Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 dan Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004 juncto Pasal 12 UU No. 10/ 2004; (c) Materi muatan Perda, menurut Pasal 12 UU No. 10/ 2004, meliputi:

(1) seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;

(2) materi muatan yang mengatur kondisi khusus daerah atau daerah otonom; dan

(3) materi muatan yang merupakan penjabaran lebih lanjut atau delegasi wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, materi muatan Perda adalah paralel dengan kewenangan

pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Jadi, semua urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai wewenang pemerintah daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan, baik menyangkut hak (wewenang) maupun kewajiban daerah, secara yuridis-normatif merupakan hal-hal (urusan) yang dapat dijadikan sebagai materi muatan Perda.

(6)

6 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL (i)

HALAMAN PENGESAHAN (ii) KATA PENGANTAR (iii) ABSTRAK (v)

DAFTAR ISI (vi)

BAB I : PENDAHULUAN (7)

1. Latar Belakang Masalah (7) 2. Rumusan Masalah (15) 3. Tujuan Penelitian (15) 4. Manfaat Penelitian (15) 5. Metode Penelitian (16) 6. Sistematika Pembahasan (18)

BAB II : LANDASAN TEORITIK DAN KONSEPTUAL (20) 1. Konsep Negara Hukum (20)

2. Eksistensi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum (31) 3. Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan (37)

4. Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (40) 5. Asas-asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan (48)

BAB III : BATAS-BATAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH (52) BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN (68)

1. Kesimpulan (68) 2. Saran-saran (69) DAFTAR PUSTAKA (70)

(7)

7 BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Pasal 18 ayat (1) amandemen kedua UUD 1945, dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud pada pasal ini tidak lain adalah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat: UU Pemda No. 32/2004) yang mengubah dan mencabut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU Pemda No. 22/1999).

Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, menurut Pasal 18 ayat (2) amandemen kedua UUD 1945 juncto Pasal 2 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, menurut Pasal 18 ayat (6) amandemen kedua UUD 1945, pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain.

Peraturan daerah (selanjutnya dapat disingkat Perda) dan peraturan-peraturan lain tersebut dibentuk oleh pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004, dalam rangka menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

(8)

8 urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Yang dimaksud pemerintahan daerah menurut Pasal 3 ayat (1) UU Pemda No. 32/2004 adalah:

a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;

b. Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/ kota dan DPRD kabupaten/kota.

Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) di atas, menurut ayat (2)-nya, terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. Sedangkan yang dimaksud kepala daerah menurut Pasal 24 ayat (2) UU Pemda No. 32/2004 adalah Gubernur untuk daerah provinsi, Bupati untuk daerah kabupaten, dan Walikota untuk kota.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut berarti unsur pemerintahan daerah

menurut undang-undang tersebut meliputi pemerintah daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah dan DPRD.

Salah satu tugas dan wewenang kepala daerah, menurut Pasal 25 butir a dan b UU Pemda No. 32/2004 adalah mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan menetapkan peraturan daerah (Perda) yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Berdasarkan ketentuan ini, pembentukan Perda menurut undang-undang merupakan tugas dan wewenang kepala daerah bersama-sama DPRD. Dengan demikian, kekuasaan negara di bidang legislasi (kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan), dalam hal ini peraturan daerah, menurut undang-undang bukan merupakan kewenangan terpisah dari lembaga legislatif berdasarkan teori pemisahan kekuasaan (separation du pouvoir;

(9)

9

separation of power) seperti yang diajarkan Montesquieu dalam teori Trias Politica,

melainkan merupakan kewenangan bersama antara lembaga eksekutif (pemerintah daerah) dan lembaga legislatif (DPRD). Kalau berpegang teguh pada Trias Politica, maka pembentukan semua peraturan perundang-undangan dilakukan oleh badan legislatif. Dalam kenyataan, badan legislatif (melalui undang-undang) melakukan atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (Bagir Manan dan Kuntata Magnar, 1997:210).

Sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 25 tersebut di atas, Pasal 40 UU Pemda No. 32/2004 menegaskan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi dan anggaran bukan merupakan kewenangan mandiri dan terpisah dari DPRD, melainkan merupakan tugas dan kewenangan bersama pemerintah daerah (baca: kepala daerah). Sedangkan, fungsi pengawasan kepada lembaga eksekutif merupakan wewenang DPRD secara otonom (mandiri).

Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas, DPRD menurut Pasal 42 ayat (1) butir a, b, dan c UU Pemda No. 32/2004, mempunyai tugas dan wewenang:

a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama;

b. membahas dan menyetujui Raperda tentang APBD bersama dengan kepala daerah; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan

perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.

(10)

10 Kewenangan pemerintahan untuk membentuk peraturan perundang-undangan sendiri di daerah merupakan wujud atau realisasi dari prinsip dan kebijakan desentralisasi yang dianut dalam Pasal 18 amandemen kedua UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU Pemda No. 32/2004. Desentralisasi berarti penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 7 UU Pemda No. 32/2004).

Desentralisasi, menurut Philipus M. Hadjon (1997:112), mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan pemerintahan yang lebih rendah (baca: pemerintahan daerah) diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan kepada atau membiarkan satuan pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu itu dapat bersifat penuh atau tidak penuh. Penuh, kalau penyerahan atau membiarkan itu mencakup wewenang untuk mengatur dan mengurus baik mengenai asas-asas, materi maupun cara menjalankannya. Tidak penuh, kalau hanya terbatas pada wewenang untuk mengatur dan mengurus cara menjalankannya. Wewenang penuh untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan daerah yang menjadi wewenangnya itulah yang disebut dengan otonomi. Sedangkan yang terbatas pada cara menjalankan (tidak penuh) disebut tugas pembantuan (medebewind). Perwujudan desentralisasi dalam bentuk otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tanggah daerah. Sedangkan tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta (berpartisipasi) dalam

(11)

11 melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menjalankannya.

Dengan otonomi, pemerintahan daerah berwenang membentuk peraturan perundang-undangan sendiri yang berlaku secara terbatas atau dalam lingkup wilayah hukumnya sendiri. Peraturan perundang-undangan tersebut, di antaranya adalah Perda.

Perda dibentuk berdasarkan atau atas perintah dari peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan undang-undang. Perintah dari peraturan yang tingkatannya lebih tinggi untuk membentuk peraturan yang tingkatannya lebih rendah itu oleh Soehino (2000:160) disebut delegasi perundang-undangan. Delegasi perundang-undangan yang memberikan wewenang kepada pemerintahan daerah untuk membentuk Perda merupakan wujud penerapan prinsip dan kebijakan desentralisasi.

Praktek desentralisasi menurut Rondinell memiliki empat varian, yakni:

dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Dalam konteks tugas pemerintah

memberikan pelayanan publik (public services), apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat itu oleh pemerintah diserahkan kepada pejabat, maka konsep itu dimaknai sebagai dekonsentrasi. Makna dekonsentrasi ini sejalan dengan rumusan

Instituut voor Bestuurswetenchappen, sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon

(1997:113):

“Deconcentratie is de opdracht aan in een hierarchisch verband van een

bestuurslichaam staande ambtenaren of diensten tot de behartiging van bepaalde taken, gepaard gaande met de toekenning van het recht tot regeling en besslissing in de bepaalde gevallen, waarbij de uitendelijke verantwoordelijkheid bij het bestuurslichaam zelf blijf liggen”.

(

Dekonsentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hirarkis dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur

(12)

12 dan membuat keputusan dalam masalah-masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan).

Sebaliknya, apabila kewenangan itu diserahkan kepada daerah otonom, maka konsep itu dimaknai sebagai devolusi yang konsekuensinya akan ada otonomi daerah. Di samping itu, untuk hal-hal tertentu, kewenangan itu dapat diberikan kepada badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya (seperti listrik diberikan kewenangan kepada P.T. PLN, pertambangan diberikan kewenangan kepada P.T. Pertamina, dan lain-lain) dan konsep ini dimaknai sebagai delegasi. Sedangkan, varian keempat adalah apabila kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya, maka konsep ini dimaknai sebagai

privatisasi (Oentarto Sindung Mawardi, 2004:21).

Apabila dikaitkan dengan pendapat tersebut di atas berarti makna desentralisasi yang dirumuskan dalam UU Pemda No. 22/1999 maupun UU Pemda No. 32/2004 merupakan makna sempit dari desentralisasi, hanya dimaknai atau diidentikkan dengan varian ketiga dari desentralisasi, yakni devolusi.

Dari segi politik hukum, desentralisasi (dalam arti devolusi) sengaja dipilih dan ditentukan sebagai kebijakan untuk memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab menurut UUD 1945 dan UU Pemda, pada dasarnya terkait dengan dimensi politik, dimensi administratif dan dimensi ekonomi.

Dari dimensi politik, cita hukum (rechtsidee) yang diharapkan adalah menjadikan pemerintahan daerah sebagai instrumen pendidikan politik dalam rangka mengembangkan demokratisasi. Pemberian otonomi dan pembentukan institusi pemerintahan daerah dapat mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk pemisahan diri sebagai pemerintahan yang berdaulat. Adanya institusi pemerintahan daerah juga mengajarkan kepada

(13)

13 masyarakat untuk menciptakan kesadaran membayar pajak dan sekaligus memposisikan pemerintahan daerah untuk mempertanggungjawabkan penggunaan pajak tersebut.

Dari dimensi administratif, melalui kebijakan desentralisasi diharapkan pelayanan publik akan lebih baik, karena institusi yang memiliki otoritas untuk melayani publik tidak berada di pemerintah pusat melainkan ada di daerah sehingga jaraknya lebih dekat dan lebih mudah dijangkau (accessible). Di samping itu, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat kepada institusi yang melayani (pemerintah daerah) juga diharapkan lebih efektif dan lebih dapat dipertanggung-jawabkan (accountable).

Sedangkan, dari dimensi ekonomi, dengan otonomi daerah (berdasarkan kebijakan desentralisasi) kesejahteraan masyarakat diharapkan lebih mudah diwujudkan. Karena itu, hambatan birokrasi sebagai akibat regulasi yang tumpang tindih dan cenderung mempersulit dalam pengurusan izin usaha di daerah misalnya, semestinya harus segera diatasi dengan kebijakan debirokratisasi melalui regulasi (dalam bentuk Perda, misalnya) yang isinya mempermudah prosedur perizinan dan memberikan iklim usaha yang lebih kondusif bagi masyarakat (investor) di daerah, dan bukan sebaliknya membentuk Perda-perda yang cenderung membebani masyarakat dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah membuat Perda untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, persoalan yang muncul adalah apakah cita hukum (rechtsidee) yang diharapkan oleh pembuat undang-undang dengan kebijakan desentralisasi itu telah berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku? Karena kenyataanya, menurut pengamatan Safri Nugraha (2004:27) saat ini ada ribuan Perda di tingkat provinsi, kabupaten dan kota

(14)

14 telah dibatalkan pemerintah pusat karena berbagai alasan, di antaranya Perda-perda tersebut membebani investor, materinya mengatur urusan yang bukan kewenangan atau melampaui kewenangan yang diberikan, dan sebagainya. Masalah tersebut menjadi semakin kompleks ketika pemerintahan daerah menolak pembatalan Perda mereka dan menuduh pemerintah pusat telah melakukan upaya resentralisasi kekuasaan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang masalah yang terkait dengan batas-batas kewenangan pemerintahan daerah (DPRD dan kepala daerah) dalam membentuk Perda dalam rangka menjalankan hak otonominya sangatlah penting dilakukan. Dengan penelitian ini secara normatif dapatlah diketahui faktor-faktor yang menyebabkan Perda-perda dibatalkan oleh pemerintah karena adanya kesalahaan substantif (materi muatan Perda), dan bukan semata-mata karena adanya kesalahan prosedur dalam pembentukannya. Penelitian ini hanya memfokuskan kajiannya pada keabsahan (validitas) Perda ditinjau dari kewenangan pemerintahan daerah (DPRD dan Kepala Daerah) dalam merumuskan materi muatan Perda sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan. Dengan perkataan lain, penelitian ini hanya mengkaji kewenangan substanstif dalam pembentukan Perda dan tidak menganalisis pada kewenangan prosedural dalam pembentukan Perda. Karena itulah penelitian ini diberi judul: Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

(15)

15 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokok (main issue) yang diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah apakah semua urusan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah demi hukum merupakan materi peraturan daerah?

3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara lebih mendalam tentang batas-batas wewenang (urusan) pemerintahan daerah yang dapat dirumuskan sebagai materi muatan peraturan daerah menurut peraturan perundang-undangan.

4. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan, terutama bidang ilmu perundang-undangan (Gesetzgebungwissenchaft; Wetgevingswetens-chap; Science of

Legislation) yang merupakan bidang ilmu hukum interdisipliner yang akhir-akhir ini mulai

banyak dikembangkan dan dipelajari di Indonesia.

Secara praktis penelitian ini juga diharapkan bermanfaat terutama:

a. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pikiran berkenaan dengan banyaknya Perda yang dibuat oleh pemerintahan daerah, tetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan, oleh pemerintah pusat Perda-perda tersebut dibatalkan;

b. Bagi pejabat pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan anggota DPRD), dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai masalah-masalah (problematik) hukum yang timbul terkait dengan materi muatan Perda;

(16)

16 c. Bagi pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR), melalui penelitian ini diharapkan ada konstribusi pikiran agar kelemahan dan kekurangan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan materi muatan Perda, kiranya dapat dipertimbangkan sebagai masukan dalam melakukan revisi (perubahan) terhadap undang-undang yang mengatur tentang pembentukan Perda.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini meruapakan jenis penelitian yuridis-normatif, yang mengkaji dan menganalisis pokok-pokok masalah berdasarkan asas-asas dan norma hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur tentang atau terkait dengan pembentukan peraturan daerah, khususnya UU Pemda No. 32/2004 dan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang hanya menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum biasanya disebut bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari:

(1) bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang diteliti meliputi:

- Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen pertama sampai dengan keempat); - Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

(17)

17 - Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU No. 10/2004);

- Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini.

(2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995:12-13). Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: dokumen-dokumen, buku-buku dan jurnal hukum, termasuk makalah dan laporan hasil penelitian sebelumnya sepanjang isinya relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan dikumpulkan dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi hukum positif. Inventarisasi hukum positif, menurut Ronny Hanitijo Soemitro (990:13), dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu:

a. penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif;

b. melakukan kompilasi (pengumpulan) norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum positif;

c. melakukan kegiatan pengorganisasian norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan itu dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh.

Sedangkan, bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui kegiatan inventarisasi terhadap bahan-bahan pustaka dan dokumen-dokumen hukum dengan cara melakukan proses identifikasi dan klasifikasi secara logis dan sistematis.

(18)

18

d. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum primer dan sekunder terkumpul secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan inventarisasi hukum positif dan inventarisasi bahan-bahan pustaka dan dokumen, selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis), yakni dengan cara melakukan

interpretasi (penafsiran) terhadap bahan hukum primer, baik secara otentik, historis,

sistematis, dan tekstual-gramatikal. Selanjutnya dicari penjelasannya atau kaitannya dengan bahan hukum sekunder. Setelah itu, hasil analisis isi terhadap kedua jenis bahan hukun tersebut dideskripsikan secara analitis-kualitatif dalam bentuk laporan hasil penelitian yang disusun secara sistematis.

5. Sistematika Pembahasan

Secara sistematis, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai berikut:

Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Metode Penelitian; dan Sistematika Pembahasan.

Bab II berisi Landasan Teoritik dan Konseptual yang merupakan kerangka pemikiran teoritik dan konseptual terkait dengan pokok-pokok masalah yang dibahas dalam bab selanjutnya. Bab ini menguraikan tentang: Konsep Negara Hukum; Eksistensi Peraturan undangan dalam Negara Hukum; Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan: Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan Asas-asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan.

(19)

19 Bab III merupakan bab analisis hasil penelitian yang membahas tentang Batas-batas Materi Muatan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Bab IV berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai kesimpulan hasil penelitian secara keseluruhan serta rekomendasi (saran yang harus ditindaklanjuti) kepada pihak-pihak yang secara otoritatif berwenang dalam pembentukan Perda serta pihak-pihak non-otoritatif yang terkait atau memiliki kepentingan dengan pembentukan suatu Perda.

(20)

20 BAB II

LANDASAN TEORITIK DAN KONSEPTUAL

1. Konsep Negara Hukum

Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum (rechtsstaat; rule of

law), hukum menjadi penglima dan menempati kedudukan yang tertinggi (supremacy of law) di atas kekuasaan negara. Dalam arti, kekuasaan negara baik di bidang pembentukan

undang-undang (legislative power), pemerintahan (executive power) maupun peradilan (judicial power) bersumber, berdasarkan dan dalam batas-batas (koridor) norma hukum.

Dalam konsep negara hukum, menurut Bagir Manan dan Kuntata Magnar (1997:104-105), sekurang-kurangnya ada tiga sendi sebagai dasar konstitusional dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu sendi kerakyatan (demokrasi), sendi negara berdasar atas hukum, dan sendi negara berdasarkan konstitusi.

Pertama, sendi kerakyatan (demokrasi) tertuang dalam sila keempat dasar negara

Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Badan perwakilan rakyat di tingkat pusat, menurut Pasal 2 ayat (1) Amandemen keempat UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta di daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Amandemen kedua UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum pada hakikatnya merupakan pengejawantahan paham kerakyatan

(21)

21 (demokrasi). DPR dan DPRD adalah badan-badan negara yang menjalankan fungsi

legislatif, di samping fungsi pengawasan dan budgetair (penetapan anggaran).

Sendi kerakyatan tidak bisa dipisahkan dari fungsi pengaturan (legislation;

reglementaire). Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menjadi sumber dan sekaligus

pembuat peraturan untuk mengatur diri mereka sendiri dan pemerintahannya. Semua peraturan perundang-undangan pada dasarnya harus dibentuk secara demokratik. Untuk mewujudkan sejauh mungkin prinsip tersebut, sistem perwakilan di Indonesia diadakan baik pada tingkat pemerintahan pusat (MPR dan DPR) maupun pemerintahan daerah (yaitu DPRD). MPR berwenang menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat umum dan mengatur (termasuk menetapkan dan mengubah UUD). DPR (bersama Presiden) membentuk undang-undang. DPRD (bersama Kepala Daerah) membentuk peraturan daerah (Perda).

Dalam sistem pembuatan perundang-undangan (vide, UU No. 10/2004) dan praktek penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia, tidak semua peraturan perundang-undangan dibentuk oleh atau melalui badan perwakilan. Namun demikian, sendi-sendi demokratis sejauh mungkin diperhatikan dan dipertahankan dengan cara delegasi kewenangan yang diatur oleh undang-undang.

Kedua, sendi negara berdasarkan atas hukum. Sebelum UUD 1945 diamandemen, sendi

negara berdasarkan atas hukum tidak tercantum dalam batang-tubuh UUD 1945 melainkan dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan: ”Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Namun, berdasarkan Amandemen ketiga UUD 1945 sendi negara berdasarkan atas hukum dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan: “Negara Indonesia ialah negara

(22)

22 hukum” (Muktie Fadjar, 2003:147). Negara berdasarkan atas hukum (lazim disebut negara hukum) ditandai oleh asas bahwa semua perbuatan atau tindak pemerintahan (dan warga negara) harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteitsbeginsel). Berdasarkan asas ini, kepastian hukum bisa diwujudkan dan perlindungan hukum bagi warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penguasa relatif bisa dijamin. Untuk mewujudkan asas legalitas, tidak ada jalan lain, harus dibuat berbagai peraturan perundang-undangan secara demokratis (berdasarkan prinsip kerakyatan) dan sendi negara berdasarkan atas hukum. Negara semacam ini lazim disebut “negara hukum yang demokratis” (democratische

rechtsstaat). Prinsip kesatuan antara sendi kerakyatan dan negara berdasarkan atas hukum

ini pernah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menyebutkan: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.

Ketiga, sendi negara berdasarkan atas konstitusi (konstitusionalisme). Pada dasarnya

paham negara berdasarkan konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara berdasarkan atas hukum. Kedua sendi ini sama-sama bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menolak tiap bentuk kekuasaan tanpa batas (absolutisme). Pembatasan kekuasaan menurut sendi konstitusionalisme dilakukan dengan menciptakan konstitusi tertulis (UUD). Karena keterkaitan yang erat antara sendi negara hukum dan sendi konstitusionalime, maka salah satu unsur negara berdasarkan atas hukum adalah adanya UUD.

(23)

23 Pembatasan dan pencegahan kekuasaan yang tidak terbatas serta menghindari berbagai tindakan sewenang-wenang tersebut dilakukan melalui penciptaan berbagai perangkat hukum, terutama peraturan perundang-undangan. Prinsip konstitusio-nalisme tidak tercantum dalam batang-tubuh UUD 1945 sebelum diamandemen. Tetapi dalam Amandemen ketiga UUD 1945, prinsip ini secara tegas dimuat dalam Pasal 1 ayat (1): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Secara konsepsional, menurut Muhammad Tahir Azhary (1992:73-74), hingga kini terdapat lima konsep utama negara hukum, yaitu: “Rechtsstaat, Rule of Law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila” . Kelima konsep negara hukum tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang khas.

Konsep “Rechtsstaat” diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit (formal) yang menempatkan fungsi “recht” pada “staat” hanya sebagai alat bagi perlindungan hak-hak asasi manusia secara individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep Kant ini terkenal dengan sebutan “Nachtwakerstaat” atau “Nachtwachterstaat” yang secara harfiah (letterlijk) berarti “negara penjaga malam”.

Dalam perkembangan negara-negara modern abad ke-19, konsep Kant tersebut dinilai kurang memuaskan. Oleh karena itu, kemudian dikembangkan konsep “Rechtsstaat” dalam arti luas yang berwawasan kesejahteraan dan kemakmuran (“welvaarstaat” dan “verzorgingsstaat”) dengan beberapa varian unsur-unsur utama sebagai berikut:

a. Friedrich Julius Stahl, mengetengahkan unsur utama negara hukum meliputi: - pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

(24)

24 - penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatig bestuur); dan - peradilan administrasi negara (Azhary, 1992:66).

b. Scheltema, mengemukakan konsep negara hukum dengan unsur-unsur utama: - kepastian hukum;

- persamaan; - demokrasi; dan

- pemerintahan yang melayani kepentingan umum (Azhary, 1992:66).

c. H.D. van Wijk dan Konijnenbelt, mengutarakan konsep negara hukum dengan unsur-unsur utama:

- pemerintahan menurut hukum (rechtsmatig bestuur); - hak-hak asasi manusia;

- pembagian kekuasaan; dan

- pengawasan oleh kekuasaan peradilan (Attamimi, 1990:311).

d. Zippelius, berbendapat bahwa konsep negara hukum memiliki unsur-unsut utama: - pemerintahan menurut hukum;

- jaminan terhadap hak-hak asasi; - pembagian kekuasaan; dan

- pengawasan yustisial terhadap pemerintah (Attamimi, 1990:311).

Berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur utama yang ada pada konsep negara hukum (rechtsstaat) tersebut banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang “hak-hak asasi manusia secara alamiah”, yakni “right to life, liberty and property” (hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik) serta “asas pemisahan kekuasaan” (separation of power) negara ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisiil (secara salah kaprah lazim disebut

(25)

25 yudikatif) yang dalam perkembangannya dimantapkan lebih lanjut oleh Montesquieu, Blackstone dan Jean Jacques Rousseau (Von Schmid, 1959:214).

John Locke berpandangan, keadaan alamiah dan hak-hak asasi manusia secara alamiah mendahului berdirinya negara. Oleh karena itu, seyogyanya negara tercipta melalui perjanjian sosial (du Contract Social) di antara warga masyarakat dengan tujuan melindungi hak hidup, hak milik dan kebebasan individu. Kekuasaan negara yang terbentuk melalui perjanjian masyarakat itu, perlu diatur dengan perundang-undangan, dan kekuasaan perundang-undangan menempati kekuasaan tertinggi dalam negara (supreme of

law state) serta menjadi tugas utama dari negara. Konsekuensinya, kekuasaan

undangan (legislative power) harus terpisah dengan kekuasaan pelaksana perundang-undangan (executive power) dan kekuasaan peradilan (judicial power). Sungguhpun demikian, konsep Locke belum sepenuhnya dapat diterima karena bertentangan dengan kepentingan kekuasaan (rezim) monarchi absolut yang umumnya berlaku di benua Eropa pada masa itu. Konsep Locke hanya diterima secara terbatas di Inggris sebagai pembenaran terhadap sistem monarchi konstitusional yang menempatkan parlemen sebagai organ negara yang memiliki kekuasaan yang dalam membuat undang-undang dan mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan di tangan Perdana Menteri, sementara Raja Inggris hanya dipandang sebagai simbol pemersatu negara.

Pada abad ke-17 dan 18, pandangan Locke mengenai hak-hak asasi dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu dan Blackstone yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudisiil, serta pemikiran J.J. Rousseau tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas pemisahan kekuasaan dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut

(26)

26 boleh dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi tersebut.

Di negara-negara Anglo Saxon (dapat disebut pula Anglo Amerika), pemahaman terhadap negara hukum umumnya mengikuti konsep “Rule of Law” dari A.V. Dicey dengan unsur-unsur utama: supremacy of law, equality before the law, dan the constitution

based on individual rights (Von Schmid, 1954:244).

Terdapat persamaan dan beberapa perbedaan antara konsep “Rechtsstaat” dan “Rule of Law”. Persamaannya terletak pada landasan filosofis yang menjiwai kedua konsep negara hukum tersebut. Kedua-duanya dijiwai oleh paham liberalistik-individualistik yang mengutamakan jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai dasar utama pembentukan konstitusi dan pembatasan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur). Di samping itu, ada pemisahan antara agama dan negara secara mutlak berdasarkan paham sekuler, dengan demikian atheisme juga dimungkinkan. Sedangkan perbedaannya terletak pada eksistensi peradilan administrasi (negara). Pada konsep “Rechtsstaat” peradilan administrasi negara dijadikan salah satu unsur utama yang bersifat otonom (berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum). Sebaliknya, dalam konsep “Rule of Law” eksistensi peradilan administrasi negara secara otonom dipandang tidak perlu, karena peradilan umum berdasarkan prinsip “equality before the law” dianggap berlaku sama bagi semua orang baik warga biasa maupun pejabat atau badan administrasi negara.

(27)

27 Karakteristik sistem hukum negara Eropa Kontinental dan Anglo Saxon juga ikut mewarnai perbedaan salah satu unsur utama kedua konsep negara hukum tersebut. Sistem hukum Eropa Kontinental yang berwawasan “Civil Law” atau “Modern Roman Law” memiliki karakteristik administratif, sedangkan sistem hukum negara Anglo Saxon yang berwawasan “Common Law” memiliki karakteristik “judicial”. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang menganut konsep “Rechtsstaat”, pembatasan dan pengawasan yudisiil terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau pemerintah (Onrechtsmatige

Overheid Daad) perlu dilembagakan secara otonom. Sedangkan, bagi negara-negara yang

menganut konsep “Rule of Law”, yang terpenting adalah menciptakan peadilan yang adil bagi semua orang berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the

law), jadi tidak perlu lembaga peradilannya yang terpisah (Philipus M. Hadjon, 1987:78).

Namun demikian, dalam perkembangannya sekarang ini, perbedaan antara kedua konsep negara hukum tersebut tidaklah bersifat prinsipiil lagi, karena sama-sama bertujuan untuk menciptakan keadilan berdasarkan atas hukum yang berorientasi pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia (Philipus M. Hadjon (1987:72).

Selanjutnya tentang konsep “Socialist Legality”, menurut Azhary (1992:67-67) mengandung prinsip-prinsip yang berbeda secara prinsipiil dengan konsep “Rechtsstaat” dan “Rule of Law”. Ciri utamanya adalah bersumber dari paham komunis yang menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hak-hak perseorangan (individual). Hak-hak-hak individual menurut konsep ini harus lebur ke dalam tujuan sosialisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat (kolektivisme) di atas kepentingan pribadi individu-individu. Konsep “Socialist Legality” selain bersifat sekuler juga atheis (anti terhadap unsur-unsur atau nilai-nilai yang bersifat transedental).

(28)

28 Konsep “Socialist Legality” tersebut di atas sangat bertolak belakang dengan konsep “Nomokrasi Islam” yang bersumber pada kitab suci Al Qur’an, Sunnah Rasulullah dan al

Ra’yu. Konsep Nomokrasi Islam, menurut Azhary (1992:64), memiliki unsur-unsur pokok:

kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan ketaatan rakyat pada hukum yang sumber tertingginya pada Al Qur’an, Sunnah Rasul dan al Ra’yu.

Menurut Azhary (1992:193), apabila konsep Nomokrasi Islam dibandingkan dengan konsep “Rechtsstaat” dan “Rule of Law”, terdapat keunggulan dan kelebihan Nomokrasi Islam sebagai berikut:

a. Nomokrasi Islam bersumber dari wahyu Allah S.W.T. dan karena itu ia mengandung kebenaran mutlak;

b. Memiliki sifat bidimensional, yaitu: duniawi dan ukhrawi;

c. Nomokrasi Islam berisi nilai-nilai ketuhanan (Ilahiyah) dan kemanusiaan (Insaniyah); d. Nomokrasi Islam dilandasi oleh dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu: (1) Tauhid atau

Ketuhanan Yang Maha Esa (Unitas) dan (2) “amar ma’ruf nahi munkar”, artinya perintah agar manusia berbuat baik (kebajikan) dan mencegah perbuatan buruk;

e. Nomokrasi Islam berlaku bagi seluruh umat manusia. Prinsip-prinsipnya mengandung nilai-nilai yang universal, eternal, dan sesuai dengan fitrah manusia.

Selanjutnya, bagaimana dengan konsep “Negara Hukum Pancasila”? Secara umum, konsep negara hukum Pancasila memiliki unsur-unsur atau ciri-ciri yang mendekati atau mirip dengan konsep Nomokrasi Islam, yaitu:

(29)

29 a. Memiliki ciri-ciri hubungan yang erat antara agama dengan negara yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dalam arti positif, atheisme dan komunisme tidak dibenarkan, serta asas kekeluargaan dan kerukunan.

b. Memiliki unsur-unsur utama: Pancasila, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sistem konstitusi, persamaan dan peradilan bebas (Azhary, 1992:73).

Meskipun ada kedekatan atau kemiripan secara makro antara konsep Nomokrasi Islam dengan konsep negara hukum Pancasila, akan tetapi menurut Marcus Lukman (1997:85) substansinya secara mikro tetap ada perbedaan secara prinsipiil. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum di dalam negara hukum Indonesia lebih berwawasan sosiologis daripada religius. Oleh karena itu, menurut pendapatnya, hukum Islam yang bersumber seutuhnya pada Al Qur’an, Sunnah Rasulullah dan al Ra’yu, dalam bidang-bidang hukum publik tertentu tidak dapat diakomodasikan secara murni dan konsekuen, karena dasar pertimbangan dan substansi normanya dirasakan terlalu ideal. Memang harus diakui, prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan hak-hak asasi manusia berdasarkan Nomokrasi Islam lebih universal, eternal dan sesuai dengan fitrah manusia, akan tetapi prinsip-prinsip tersebut secara faktual tidaklah selalu bersesuaian dengan kepentingan dan kebutuhan yang dapat berubah-ubah setiap saat.

Khusus untuk al Ra’yu, menurut Marcus Lukman (1990:86), secara konsepsional memang boleh saja dipakai sebagai salah satu metode pendekatan untuk mengembangkan asas-asas hukum buatan manusia. Al Ra’yu mengandung pengertian adanya inisiatif para ulama (kaum intelektual) dan ahli hukum Islam untuk berijtihad (berusaha dengan sungguh-sungguh) menggunakan akal pikirannya (al ra’yu) mengembangkan hukum Islam yang bersumber poda Al Qur’an dan Sunnah Rasul guna diterapkan pada

(30)

persoalan-30 persoalan hukum konkrit yang dihadapi oleh masyarakat, baik di bidang pemerintahan maupun hubungan hukum antar pribadi dalam kehidupan masyarakat.

Padmo Wahjono (1983:4-6) mendeskripsikan pemahaman terhadap konsep negara hukum Pancasila adalah sebagai berikut:

a. Bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945;

b. Bahwa asas kekelurgaan mengutamakan “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”;

c. Pengertian negara dan pengertian hukum dilihar dari asas kekeluargaan adalah:

(1) Negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian bermasyarakat” dari status “naturalis” ke status “civil” dengan perlindungan terhadap hak-hak sipil, melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi demikian ini merupan cerminan luhur asas kekeluargaan;

(2) Terdapat tiga fungsi hukum yang bersifat pengayoman dari cara pandang asas kekeluargaan, ialah:

- menegakkan demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dikandung UUD 1945;

- mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan pasal 33 UUD 1945;

- menegakkan perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa secara adil dan beradab.

Berbeda dengan pendapat Padmo Wahjono yang menempatkan asas kekeluargaan sebagai titik pangkal pemahaman negara hukum Pancasila, Omar Seno Adji (1980:24) justru mengangkatnya dari sudut Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi

(31)

31 Pancasila sebagai sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat dinamakan “Negara Hukum Pancasila”. Pendapat ini bertitik tolak dari Ketetapan MPRS Nomor: XX/MPRS/1966 tentang Sumber Hukum dan Tata Tertib Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yang menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Di samping sebagai dasar negara, Pancasila menurut Attamimi (1990:307), merupakan “cita hukum” maupun “norma fundamental negara” yang berlaku sebagai “norma keadilan dan kebenaran” bagi tertib hukum, daya laku dan dayaguna peraturan hukum di Indonesia.

Itulah sebabnya dengan mengacu pada jenis dan hierarki peraturan undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004, maka semua peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari UUD 1945, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai Peraturan Daerah, isinya harus senantiasa dijiwai dan bersumber dari Pancasila. Hal ini juga berarti bahwa secara a contrario semua peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia isinya tidak boleh bertentangan dengan jiwa dan prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2. Eksistensi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum Indonesia Istilah “peraturan perundang-undangan” dalam hal ini digunakan dalam pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya mencakup undang-undang tetapi meliputi pula produk hukum tertulis lainnya, yang dalam konsep hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II disebut dengan wet in meteriele zin (undang-undang dalam arti materiil). Hal tersebut dapat dibaca pada Pasal 7 ayat (1) dan (4) UU No. 10/2004. Penggunaan istilah

(32)

32 peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang begitu luas bukan baru pertama kali, Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 juga menggunakan istilah tersebut.

Menurut Philipus M. Hadjon (2005:1-2), dalam perjalanan waktu yang sekian lama sulit kiranya untuk mengubah istilah itu dengan suatu istilah yang lebih lebih tepat. Istilah “peraturan” jelas merujuk aturan hukum, namun istilah “perundang-undangan” dalam UU No. 10/2004 jelas tidak (hanya) merujuk pada istilah undang-undang. Sebab, istilah “undang-undang” dalam hukum tata negara kita mengandung makna khas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yakni: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dikaitkan dengan Pasal 20 A UUD 1945, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, undang-undang merupakan produk legislasi. Dengan demikian, konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita janganlah dijumbuhkan dengan konsep wet dalam hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II. Konsep wet sebelum Perang Dunia II dibedakan wet in fomelle zin dan

wet in materiele zin. Konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita sejajar dengan

konsep wet in formelle zin. Hukum tata negara kita tidak membedakan konsep undang-undang dalam arti formil dan undang-undang-undang-undang dalam arti materiil. Dengan demikian, istilah perundang-undangan dalam UU No. 10/2004 digunakan secara tidak tepat karena ruang lingkup perundang-undangan yang begitu luas, yaitu meliputi UUD, UU (legislasi) dan peraturan (regulasi; delegated regulation).

Sedangkan istilah atau konsep “negara hukum” sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, secara substansial berarti “. . . negara berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum” (Mochtar Kusumaatmadja, 1995:1-2). Negara hukum juga dapat diartikan sebagai “. . . negara yang

(33)

33 menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum” (Attamimi, 1990:74). Pengertian yang mendasar tersebut terimplementasikan pada salah satu unsur utama konsep “Rechtsstaat” yaitu “pemerintahan berdasarkan undang-undang” (wetmatig

bestuur), yang menurut konsep “Rule of Law” disebut dengan istilah “supremacy of law”

(supremasi hukum).

Hukum adalah sumber utama legitimasi untuk melaksanakan kekuasaan oleh atau atas nama lembaga-lembaga pemerintahan. Melalui undang-undang pemerintah dapat merumuskan dan menerjemahkan kebijakan-kebijakannya. Tanpa undang-undang pemerintah tidak dapat menjalankan roda pemerintahan. Dimanapun, pemerintah membentuk dan memberlakukan untuk mengawasi perilaku pegawai pemerintahan dan warga negara pada umumnya, termasuk bagaimana rakyat mengendalikan perilaku para pejabat negara. (Ann Seidman et al., 2002:14-15).

Dalam konteks UUD 1945, Indonesia dinyatakan sebagai negara hukum dan pemerintahannya berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar). Oleh karena konsep negara hukum Indonesia berdasarkan falsafah Pancasila dan landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945 maka negara hukum Indonesia dapat pula diabstraksikan sebagai negara hukum Pancasila (Marcus Lukman, 1997:100-101).

Padmo Wahjono (1983:2-3) berpandangan bahwa pengertian wetmatig bestuur pada salah satu unsur utama dalam konsep negara hukum dianggap bersifat formal dan “lamban”, karena hanya bertumpu pada undang-undang (wet) berdasarkan asas legalitas. Oleh karena itu perlu diganti dengan prinsip rechtmatig bestuur atau pemerintahan berdasarkan hukum (recht) yang bersifat umum, luas dan luwes, yakni tidak terbatas pada

(34)

34 peraturan yang tertulis, tetapi meliputi pula aturan (norma) hukum yang tidak tertulis. Konstruksi rechtsmatig bestuur memang sangat sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang dulu sebelum UUD 1945 diamandemen tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 angka Romawi III, yaitu: “ . . . mewujudkan cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis”.

Pengertian hukum yang tertulis tidak hanya UUD dan undang-undang, melainkan secara konsepsional mencakup semua peraturan perundang-undangan seperti tercantum dalam UU No. 10/2004. Menurut Attamimi (1992:3), “peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian atau delegasian undang-undang”.

Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang demikian itu dalam kepustakaan Belanda dinamakan dengan “wet in materiele zin” (undang-undang dalam arti materiil) atau “algemeen verbindende voorchrift”, yang meliputi baik peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun peraturan perundang-perundang-undangan di tingkat daerah. Sedangkan, undang-undang dalam arti formil (“wet in formele zin”) tidak lain adalah produk hukum tertulis yang dibentuk oleh parlemen (yang dinamakan “wet”) atau menurut konstruksi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 adalah produk hukum yang dibentuk oleh DPR bersama-sama dengan Presiden yang dinamakan undang-undang.

Peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan (1994:1-3) adalah keputusan tertulis dari pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat (mengikat) umum baik mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Dengan demikian, ciri-ciri dari kaidah peraturan perundang-undangan adalah

(35)

35 abstrak-umum atau umum-abstrak. Namun dalam praktik terdapat karateristik keputusan pejabat atau lingkungan jabatan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam pengertian wet in

materiele zin maupun wet in formele zin, yaitu: beschikking, besluiten van algemeen strekking, plannen, dan beleidsregel.

Bentuk peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya UU 10/2004 dengan sebutan “Keputusan”, misalnya Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri, hanya dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan bilamana materi muatannya mengandung norma-norma yang bersifat umum-abstrak atau umum-abstrak-umum yang ditujukan untuk mengatur tingkah laku, hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Sekarang, sejak berlakunya undang-undang tersebut di atas, keputusan yang bersifat mengatur (regelen) secara umum yang demikian itu tidak boleh dinamakan keputusan, melainkan harus diberi nama “Peraturan”, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan lain-lain, untuk membedakannya dengan keputusan pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan invidual yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara atau yang dalam istilah hukum administrasi lazim disebut “beschikking”.

Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran di atas, Marcus Lukman (1997:115-117) menyimpulkan bahwa konsep peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional Indonesia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

(1) Merupakan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga-lembaga negara, pejabat tata usaha negara di tingkat pusat atau daerah yang mendapat atribusi atau delegasi dari

(36)

36 UUD 1945, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, dan peraturan pelaksanaan lainnya yang keabsahannya dapat diuji secara wetmatigheid;

(2) Materi muatan normanya dapat bersifat umum abstrak, umum konkret, individual umum yang mengatur tingkah laku, kewenangan, tugas, fungsi, hak, kewajiban, status dan tatanan baik yang bersifat intern maupun ekstern;

(3) Bentuk peraturan perundang-undangan:

a. Bentuk utama (landasan konstitusi): UUD 1945, Tap MPR (dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan), Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah;

b. Bentuk peraturan pelaksanaan: peraturan dan keputusan pejabat atau lingkungan jabatan yang bersifat mengatur baik di tingkat pusat maupun daerah;

(4) Hierarki peraturan perundang-undangan:

a. Peraturan perundang-undangan yang bersumber dari atribusian atau delegasian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dikeluarkan oleh lembaga, jabatan atau lingkungan jabatan yang lebih tinggi memiliki derajat atau hierarki yang lebih tinggi;

b. Peraturan perundang-undangan yang bersumber dari atribusian atau delegasian peraturan perundang-undangan yang sederajat dan dikeluarkan oleh lembaga, jabatan atau lingkungan jabatan yang sederajat memiliki kedudukan yang sederajat; c. Peraturan perundang-undangan yang bersumber dari atribusian atau delegasian

(37)

37 jabatan atau lingkungan jabatan yang lebih rendah memiliki kedudukan yang lebih rendah;

d. Khusus peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga, pejabat atau lingkungan jabatan daerah otonom yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi memiliki hierarki bersifat otonom sesuai prinsip-prinsip pada butir (4) a, b dan c di atas yang berlaku di lingkungan masing-masing daerah otonom.

3. Ciri-ciri Peraturan Perundang-undangan

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, menurut Bagir Manan (1992:3), peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum itu, dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Karena hal-hal yang diatur bersifat umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak. Sehingga secara ringkas lazim disebut bahwa ciri-ciri dari kaedah peraturan perundang-undangan adalah umum-abstrak atau abstrak-umum.

Ciri-ciri abstrak-umum atau umum-abstrak tersebut dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis pejabat administrasi yang bersifat individual-konkrit yang lazim disebut beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ciri-ciri abstrak-umum atau umum-abstrak, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala

(38)

38 konkrit tertentu. Sebaliknya, “keputusan” atau ada yang menyebut padanan arti beschikking dengan istilah “ketetapan” atau “penetapan” (Kuntjoro Purbopranoto, 1985:45-46), mempunyai ciri individual-konkrit, berarti mengatur obyek, peristiwa atau gejala konkrit tertentu, misalnya Keputusan Bupati Sidoarjo yang mengangkat si Fulan sebagai Camat di Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo.

Dalam kepustakaan Belanda, menurut Attamimi (1990:200), pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan mencakup semua produk hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (wet in materiele zin), bukan hanya undang-undang dalam arti formil (wet in formiele zin) yang di Indonesia menurut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 disebut undang-undang, yaitu produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama-sama dengan Presiden.

Menurut P.J.P. Tak, peraturan perundang-undangan (wet in meteiele zin) memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, karena merupakan keputusan tertulis maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschrevenrecht; written law);

b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan; organ) yang mempunyai wewenang membuat “paraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen);

c. Peraturan perundang-undangan bersifat (mengikat) umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkrit atau individu tertentu (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997:125).

(39)

39 Undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) disebut juga “algemeen

verbindende voorschrift”, menurut Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Bagir

Manan dan Kuntana Magnar (1997:124), meliputi antara lain: ”de supra nationale

algemeen verbindende voorschriften, wet, AMVB, de ministeriele verordeningen, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciale states verordeningen”.

Hal tersebut di atas dapat kita bandingkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) tersebut, menurut Pasal 7 ayat (2), meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi yang dibuat oleh DPRD provinsi bersama Gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota yang dibuat oleh DPRD kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya (UU Pemda No. 32/2004 menyebut Badan Permusyawaratan Desa) bersama Kepala Desa atau nama lainnya.

(40)

40 4. Asas-asas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Dengan mengutip pendapat Bellefroid, yang dimaksud asas hukum atau asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut, van Eikema Hommes berpendapat, asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1995:33-34).

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, yang dimaksud dengan asas hukum umum menurut Van der Vlies adalah asas-asas yang dapat digunakan oleh hakim untuk melakukan pengujian (toetsen atau toetsing), agar peraturan-peraturan tersebut memenuhi asas-asas dimaksud. Dengan demikian, menurut Attamimi (1990:332), asas-asas hukum di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan lebih bersifat normatif, meskipun sebagaimana dikatakan asas hukum bukanlah aturan (norma) hukum. Sifat normatifnya asas bagi pembentukan peraturan perundang-undangan sama halnya dengan apa yang

(41)

41 dikatakan Scholten tentang asas hukum dalam hukum perdata atau hukum privat, asas hukum adalah akibat asas etik. Di dalam asas hukum, pertimbangan etik itu mendesak masuk ke dalam hukum.

Mengenai asas-asas (hukum) di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, umumnya para ahli membagi menjadi asas-asas yang bersifat formal dan asas-asas yang bersifat material. Asas-asas formal ialah yang menyangkut tata cara pembentukan dan bentuknya, sedangkan asas-asas material ialah yang menyangkut isi atau materinya. Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van

behoorlijke wetgeving), menurut van Angeren baru dapat dibicarakan apabila telah

dituangkan dalam bentuk norma hukum. Hal ini penting agar dengan asas-asas ini pembentukan peraturan perundang-undangan dapat “diukur” dan “diuji” (Attamimi, 1990:322-323).

Menurut Van der Vlies (Attamimi, 1990:330), asas-asas formal dalam pembentukan peraturan yang patut (beginselen van behoorlijke regelgeving) meliputi:

a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijheids beginsel); d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitbaarheid); e. asas konsensus (het beginsel van de consensus).

Sedangkan, asas-asas material dalam pembentukan peraturan yang patut, menurut Van der Vlies (Attamimi, 1990:330-331), meliputi:

a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke

(42)

42 b. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

c. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); d. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); dan

e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele

rechtsbedeling).

Berikut ini diuraikan pengertian dari asas-asas formal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di atas:

a. Asas tujuan yang jelas

Asas ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) mengenai ketapatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, (2) tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk, dan (3) tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut.

b. Asas organ/lembaga yang tepat

Asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sebab, peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk oleh lembaga-lembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan (wetgevingsbevoegdheid), yaitu kekuasaan untuk membentuk hukum (rechtsvorming). Di Indonesia mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan. Materi muatan peraturan perundang-undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan bersangkutan.

(43)

43 Atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibentuknya.

c. Asas perlunya pengaturan

Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Prinsip deregulasi dan penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang tengah dikembangkan di Belanda, juga di Indonesia pada era tahun 90-an, khususnya di bidang investasi, menunjukkan kemungkinan adanya alternatif lain dalam bidang pengaturan. Yang perlu diperhatikan adalah deregulasi bukanlah tanpa regulasi;

dereguleren bukanlah ontregelen, melainkan berarti membentuk peraturan hanya

sepanjang benar-benar diperlukan menurut kebutuhan atau menyederhanakan peraturan yang sudah ada.

d. Asas dapatnya dilaksanakan

Asas ini dapat dipandang sebagai usaha untuk dapat ditegakkannya peraturan undangan. Sebab, tidaklah ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Selain pemerintah, rakyat juga mengharapkan jaminan tercapainya hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan, selain akan menggerogoti kewibawaan lembaga yang membentuknya juga akan menimbulkan kekecewaan pada harapan-harapan rakyat, akibatnya rakyat tidak percaya dan pesimis terhadap lembaga dan produk hukum yang dibuatnya.

Referensi

Dokumen terkait

.... Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suku-suku suatu barisan bilangan merupakan suatu nilai fungsi f dari himpunan bilangan asli ke himpunan bilangan real dengan

Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja (pasal 26 KUH Perdata). Perkawinan hanya dapat dikatakan sah apabila dilakukan dimuka petugas

Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya

Presentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Kabupaten/Kota dan Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Barat Percentage Population Aged 10 Years and Over Who

Populasi dalam Penelitian ini adalah semua Pihak/Instansi yang terkait dengan proses Penyelesaian Kredit Macet pada Bank Jateng Cabang Pati. Agar Penelitian ini

Ayat jurnal untuk mencatat harga pokok penjualan dikurangi nilai sekarang dari nilai sisa yang tidak dijamin untuk mengakui fakta bahwa lessor akan menerima kembali aktiva yang

Yang berada di lingkaran I sampai dengan V adalah kerjasama yang sudah dirintis dan program sudah tersusun, sedang yang berada diluar lingkaran I – V, tapi berada dalam lingkaran

Jagoan Hosting Indonesia tidak dapat memberikan jaminan tersebut apabila tagihan untuk bulan berikutnya sudah tercetak, atau JagFamily sudah menggunakan bandwidth lebih dari 10GB