11
Secara keseluruhan bab ini menjelaskan tentang teori yang digunakan dalam penelitian, perumusan hipotesis, dan model penelitian. Berikut ini penjelasan dari masing - masing sub bab tersebut.
2.1. Tinjauan Pustaka
Perilaku konsumen merupakan sesuatu hal yang tidak dapat secara langsung dikendalikan, termasuk oleh perusahaan demi tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian informasi ataupun studi – studi yang berkaitan dengan perilaku konsumen perlu dilakukan. Penelitian ini menggunakan salah satu konsep perilaku.konsumen yaitu purchase intention (niat beli). Niat beli dapat disebabkan oleh faktor external maupun internal konsumen. Teori – teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1.1. Theory of Reasoned Action
Berbagai literatur dalam bidang pemasaran menggunakan bermacam – macam teori, salah satu teori yang paling popular dalam memprediksi perilaku pembelian yaitu Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behaviour. TRA dicetuskan oleh Martin Fisbein dan Icek Ajzen sebagai penyempurnaan dari Information Integration Theory yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Berdasarkan TRA, niat merupakan hasil dari sikap terhadap
perilaku (Fishein & Ajzen, 1975). Sehingga sikap yang positif atau sikap yang negatif dapat memicu niat untuk seseorang melakukan sesuatu (Suzanne & Paulo, 2014). Niat berperilaku telah digunakan sejak lama untuk memprediksi suatu tindakan.
Teori ini menyediakan kerangka dasar model penelitian untuk mempelajari sikap terhadap perilaku. Selain itu TRA membuktikan bahwa niat merupakan perhatian utama, karena niat merupakan pemediasi penyebab terjadinya perilaku dari sikap maupun variabel lain (Dharmmesta, 1992). Beberapa penelitian sebelumnya telah mengaplikasikan TRA sebagai dasar model penelitiannya. Seperti dalam penelitian Teo dan van Schaik (2012) menggunakan empat model (integrated theory, TRA, TPB, TAM) untuk menjelaskan model mana yang terbaik digunakan dalam memprediksi niat para pengajar menggunakan teknologi. Selain itu dalam penelitian Shih dan Fang (2006) mereplikasi dan menambahkan model TRA untuk menyelidiki faktor yang menyebabkan niat mengadopsi internet banking. Gotschi et al., (2010) menyebutkan bahwa TRA merupakan teori yang paling tepat untuk meneliti green consumer behavior.
2.1.2. Niat Beli (Purchase Intention)
Berdasarkan teori keperilakuan, niat muncul terlebih dahulu sebelum seseorang memutuskan melakukan pembelian. Ng & Paladino (2009) mendefinisikan perilaku berniat sebagai ukuran
seseorang untuk mengeksekusi tujuan dari perilaku tersebut. Niat beli merupakan kemungkinan konsumen untuk bersedia membeli produk atau jasa di masa yang akan datang (Wu et al., 2011). Pada penelitian Dodds et al., (1991) mendefinisikan niat beli sebagai kemungkinan konsumen bersedia membeli produk setelah konsumen merasa tertarik dan ingin mengonsumsi produk tersebut yang dilihatnya. Koetler (2006) juga mendefinisikan purchase intention sebagai suatu hal yang mendahului dan menentukan setiap konsumen sebelum melakukan keputusan pembelian.
Melakukan pengukuran terhadap niat beli konsumen sebenarnya juga mencerminkan perilaku pembelian konsumen di masa depan (Grewal et al., 1998). Pengukuran dapat dilakukan melalui seberapa tinggi niat konsumen untuk membeli produk tertentu atau pengukuran dapat juga melalui penelusuran faktor apa saja yang memicu niat konsumen membeli suatu produk. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi niat beli konsumen semakin tinggi pula kemungkinan perilaku konsumen tersebut untuk membeli suatu produk.
2.1.3. Sikap (Attitude)
Niat membeli produk juga dipengaruhi oleh attitude konsumen terhadap suatu produk tersebut. Attitude juga merupakan salah satu faktor penting dalam proses pengambilan keputusan. Sikap terhadap
perilaku mengacu pada evaluasi pribadi mengenai hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan sebelum melakukan tindakan (Kim & Chung, 2011). Amstrong & Koetler (2009) juga mendefinisikan attitude sebagai konsistensi seseorang untuk mengevaluasi sesuatu hal yang disukai ataupun tidak disukai, perasaan, dan kecenderungan terhadap suatu objek maupun ide. Attitude juga dapat di definisikan sebagai evaluasi konsep yang dilakukan secara menyeluruh oleh seseorang (Peter & Olsen, 1999). Menurut Bagozzi et al (2002) attitude merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku dengan konsisten mengenai hal yang disukai atau tidak disukai pada suatu objek.
Berdasarkan Theory of Reasoned Action, pengukuran attitude ditekankan pada niat pembelian suatu merek. Maka dapat dikatakan attitude merupakan suatu respons evaluative. Respon tersebut hanya dapat muncul apabila individu dihadapkan pada suatu rangsangan yang menghendaki adanya reaksi, yang dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai attitude terhadap niat beli bahan bakar minyak.
2.1.4. Pengetahuan lingkungan (Environment Knowledge)
Kondisi lingkungan dalam beberapa dekade terakhir semakin lama semakin memprihatinkan, pengetahuan akan kondisi lingkungan mutlak dibutuhkan agar dapat berperilaku dan melakukan sesuatu yang lebih baik terhadap lingkungan. Pengetahuan atau informasi
tentang kerusakan lingkungan telah membangkitkan tindakan - tindakan perlindungan terhadap lingkungan, hal tersebut menimbulkan perilaku eco-friendly consumption (Moisander, 2007). Seiring dengan meningkatnya popularitas green product, banyak konsumen mencari produk yang lebih ramah lingkungan dari yang di gunakan sebelumnya (Nimse et al., 2007). Termasuk diantaranya produk BBM yang lebih ramah lingkungan. Environment knowledge merupakan kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi masalah atau isu berkaitan dengan lingkungan yang mempunyai efek terhadap perilaku seseorang tersebut (Laroche et al., 2001). Selain itu environment knowledge cenderung dapat mengubah perilaku pembelian seseorang lebih berkontribusi terhadap lingkungan (Kim & Chung, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh D’souza et al., (2006) menyatakan bahwa environment knowledge dikembangkan dalam dua bentuk:
1. Konsumen perlu diberikan edukasi untuk dapat memahami akibat suatu produk terhadap lingkungan.
2. Pengetahuan konsumen dalam suatu produk itu sendiri membantu produk tersebut diproduksi dengan lebih environmentally friendly way.
2.1.5. Kewajaran Harga (Price Fairness)
Harga merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan konsumen sebelum melakukan proses pembelian. Harga didefinisikan
sebagai sebuah nilai yang ditentukan untuk suatu barang maupun jasa yang ditentukan dengan membayarkan sejumlah uang (Buchari Alma, 2002). Konsumen tentu saja menginginkan harga yang dikeluarkan sesuai dengan yang di dapatkan pada suatu produk tertentu. Price fairness didefinisikan sebagai penilaian konsumen apakah harga jual suatu produk dapat cukup dibenarkan, sebanding dengan keunggulan yang akan di dapatkan (Xia et al., 2004).
Price fairness juga dapat diartikan sebagai persepsi konsumen tentang keunggulan yang ditawarkan suatu produk relatif sama dengan besarnya pengorbanan mereka membayar produk tersebut, sehingga harga yang ditagihkan dapat dikatakan wajar (Monroe, 2003). Schiffman dan Kanuk (2007) berpendapat bahwa penilaian masing - masing konsumen terhadap kewajaran harga suatu produk yang ditawarkan berbeda - beda tergantung dari latar belakang dan kondisi konsumen itu sendiri. Berbagai pengertian diatas sesuai dengan definisi praktis dari Mowen & Minor (2002) yang menyebutkan bahwa harga itu mengenai harapan pada hubungan harga – mutu, dalam rentang harga tertentu untuk sebuah produk, konsumen mengharapkan bahwa harga yang tinggi mengidentifikasikan mutu yang lebih baik.
2.1.6. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Suatu produk harus dapat membentuk persepsi positif pada benak konsumen, termasuk diantaranya persepsi mengenai kualitas produk tersebut. Semakin baik persepsi kualitas yang dirasakan maka semakin besar pula kemungkinan konsumen untuk membeli. Perceived quality adalah suatu penilaian konsumen terhadap keunggulan produk secara keseluruhan (Zeithaml, 1988). Menurut Kirmani dan Baumgartner (2000) perceived quality juga dapat di definisikan sebagai evaluasi konsumen terhadap keunggulan suatu produk berdasarkan unsur intrinsic (performa, ketahanan, dan lain sebagainya) serta unsur extrinsic (nama merek, jaminan keunggulan, dan lain sebagainya). Perceived quality merupakan pemikiran konsumen dengan membandingkan ekspektasi dan performa atau kualitas yang sesungguhnya (Parasuraman et al., 1990). Perceived quality juga didefinisikan sebagai penilaian konsumen terhadap keistimewaan suatu produk (Aaker and Jacobson, 1996).
2.1.7. Persepsi Manfaat (Perceived Benefit)
Menurut Lymperopoulus et al., (2010) konsumen menilai alternatif produk yang tersedia di pasaran dengan memanfaatkan berbagai atribut sebagai indikator kualitas, perceived benefit merupakan cerminan dari indikator kualitas yang dipersepsikan konsumen. Perceived benefit dapat dibagi menjadi dua grup, yaitu:
1. Manfaat langsung
Dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dinilai secara objektif, selain itu manfaat tersebut mengacu pada fungsional produk. Contohnya seperti bahan pembuatan produk.
2. Manfaat tidak langsung
Dapat diartikan sebagai sesuatu yang dinilai secara subjektif atau extrinsic, otomatis penilaiannya berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Contohnya seperti citra merek, harga.
Perceived benefit dapat di definisikan sebagai harapan seseorang terhadap produk yang akan memberi keuntungan pada dirinya setelah menggunakan produk tersebut (Chaniotakis et al., 2010).
2.2. Pengembangan Hipotesis
2.2.1. Hubungan antara perceived benefit terhadap attitude
Penelitian yang dilakukan oleh Chaniotakis et al (2009) menjelaskan bahwa manfaat yang dirasakan konsumen yang mereka dapatkan dari produk private label sayuran beku mempunyai dampak langsung terhadap attitude konsumen. Pendapat tersebut juga terdapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Veloutsou et al (2004) dan Tzimitra-Kalogianni et al (2002). Lymperopoulus et al (2010) juga
mengemukakan bahwa attitude konsumen terhadap produk private label deterjen yang dikeluarkan oleh ritel dipengaruhi oleh perceived benefit. Penelitian yang dilakukan oleh Fock et al., (2005) mengatakan bahwa perceived benefit merupakan faktor yang mempengaruhi attitude konsumen.
Penelitian-penelitian terdahulu di dapatkan hasil bahwa ada hubungan antara perceived benefit dengan attitude konsumen. Sehingga hipotesis yang dirumuskan adalah.
H1: Perceived benefit berpengaruh positif terhadap attitude
2.2.2. Hubungan antara perceived quality terhadap attitude
Perceived quality adalah suatu penilaian konsumen terhadap keunggulan produk secara keseluruhan (Zeithaml, 1988). Gopal Das (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa ada hubungan positif antara perceived quality terhadap attitude pada produk ritel. Dodds et al (1991) juga membuktikan perceived quality suatu produk mempengaruhi attitude konsumen terhadap produk tersebut, selain itu disebutkan bahwa perceived quality merupakan kunci sukses suatu merek (Hoch and Banerji, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh (Bolton, 1998; Richardson et al., 1994) menemukan bahwa proses pembuatan keputusan konsumen secara garis besar dipengaruhi oleh perceived quality dibandingkan dengan faktor lain. Adanya hubungan yang signifikan antara perceived quality terhadap attitude didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Hansen (2005). Dari penjabaran tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah.
H2: Perceived quality berpengaruh positif terhadap attitude
2.2.3. Hubungan antara price fairness terhadap attitude
Terkadang seseorang paham apa yang dimaksud dengan wajar saat seseorang itu melihat atau mempunyai pengalaman dalam hal tersebut, tetapi sulit untuk mengatakan apa yang dimaksud dengan wajar. Ketika harga dinilai berbeda dari harga yang disarankan dalam suatu transaksi, perbedaan harga tersebut mungkin mengakibatkan munculnya persepsi ketidakwajaran. Menurut Chang et al., (1994) price fairness adalah persepsi subjektif konsumen tentang harga produk maupun jasa. Jadi price fairness dapat juga di definisikan sebagai harga yang rasional (Schein, 2002). Pada penelitian Hansen (2005) dijelaskan bahwa konsumen yang merasakan perbedaan harga antara produk dalam negeri dan produk luar negeri dengan kualitas yang sama menyebabkan preferensi mereka terhadap produk dalam negeri berubah. Price fairness juga terbukti berpengaruh signifikan terhadap attitude konsumen atas produk hijau (Mainieri et al., 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Xia et al., (2004) dan Herrmann et al., (2007) menyatakan bahwa price fairness telah berpengaruh positif
terhadap attitude. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah
H3: Price fairness berpengaruh positif terhadap attitude
2.2.4. Hubungan antara environment knowledge terhadap attitude
Kerusakan lingkungan telah menjadi isu hangat pada beberapa tahun terakhir, dengan banyaknya informasi terkait isu tersebut menyebabkan konsumen merubah perilaku pembelian mereka menjadi lebih ramah lingkungan. Fenomena tersebut diperkuat oleh penelitian Moisander (2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang kerusakan lingkungan telah membangkitkan tindakan - tindakan perlindungan terhadap lingkungan yang menimbulkan perilaku eco-friendly consumption.
Environment knowledge adalah pengetahuan tentang apa yang diketahui oleh seseorang tentang lingkungan, kunci untuk mengetahui dampak - dampak yang diterima oleh lingkungan, atau tindakan kolektif yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan (Mostafa, 2007). Chan (1999) mengatakan ecological knowledge sebagai pengetahuan seseorang tentang isu yang berkaitan dengan lingkungan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chryssohoidis and Krystallis (2005) terungkap bahwa nilai-nilai yang bersangkutan dengan kesehatan dan lingkungan memicu attitude terhadap niat membeli makanan organik. Ecological concern and knowledge merupakan bagian penting untuk
memprediksi attitude toward green products (Chan and Lau, 2010).. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah
H4: Environment knowledge berpengaruh positif terhadap attitude
2.2.5. Hubungan antara attitude terhadap purchase Intention
Attitude merupakan kecenderungan untuk mempelajari secara konsisten sesuatu yang menguntungkan dan tidak menguntungkan tentang objek tertentu, diharapkan dengan attitude positif akan menyebabkan niat yang lebih besar untuk berperilaku (Fisbein & Ajzen, 1975). Berdasarkan Theory Reasoned Action (TRA) perilaku pembelian ditentukan oleh niat pembelian dan attitude mempengaruhi niat pembelian seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Kim & Park (2005) menyatakan bahwa attitude terhadap pembelian online berpengaruh signifikan terhadap niat pembelian melalui online shop. Adanya pengaruh pada attitude terhadap niat beli juga ditunjukkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh (Paladino and Baggiere, 2008; Matos et al., 2007; Wee et al., 2005). Berdasarkan penjabaran tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah
2.3. Model Penelitian
Kerangka penelitian dalam penelitian ini merupakan analisa variabel yang mempengruhi niat konsumen untuk membeli bahan bakar Pertalite. Berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan maka pengaruh antar variabel digambarkan dalam bentuk model sebagai berikut :
Sumber: konstruksian peneliti, 2016
Gambar II.1 Model Penelitian
Gambar II.1 merupakan model yang berasal dari pengembangan penelitian Gopal Das (2014) dengan merekonstruksi beberapa hubungan antar variabel dari penelitian yang dilakukan oleh Chaniotakis et al (2009), Khandelwal (2012), Lizawati (2012), serta Kim & Chung (2011).
Model penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan antara lima variabel yaitu H1 perceived benefit berpengaruh terhadap attitude, H2 yaitu
perceived quality berpengaruh terhadap attitude, H3 yaitu price fairness berpengaruh terhadap attitude, H4 yaitu environment knowledge berpengaruh terhadap attitude, H5 yaitu attitude berpengaruh terhadap purchase intention. 2.4. Posisi Studi
Tabel II.1
Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Variabel Alat
UJi
Hasil
Independen Mediasi Moderasi Dependen
1. Chaniotakis et al, 2009 Perceived Economic Situation Perceived Benefit Trust Attitude Purchase Intention
SEM Niat konsumen dalam membeli produk private-label berupa sayuran beku secara langusng dipengaruhi oleh
attitude konsumen terhadap
produk tersebut.
Attitude konsumen terhadap
produk private-label sayuran beku secara langsung dipengaruhi oleh perceived
benefit dan secara tidak
langsung dipengaruhi oleh trust dan perceived economic
situation. 2. Gopal Das, 2014 Self Congruity Retailer Awareness Retailer Associations Perceived Quality Attitude Toward Retailer Purchase Intention
SEM Self Congruity, Retailer Awareness, Retailer Associations, dan Retailer Perceived Quality secara
positif berpengaruh pada
attitude terhadap retailer.
Serta attitude terhadap retailer mempengaruhi niat membeli.
Lanjutan 3. Khandelwal, 2012 Price Fairness Consumer Attitude
SPSS Terdapat Sembilan faktor yang mempengaruhi price
fairness, namun faktor-faktor
tersebut tidak selalu
berpengaruh signifikan bila di ujikan di 2 kota yang berbeda.
price fairness juga diketahui
berpengaruh signifikan terhadap attitude konsumen.
4. Lizawati, 2012 Environment Knowledge Environment Concern Attitude Green Purchase Intention
SPSS EK dan EC secara signifikan mempengaruhi green
purchase intention.
EK berpengaruh negatif terhadap attitude konsumen
5. Kim & Chung, 2011
Consumer Values
Attitude Intention to Buy
SPSS Diketahui bahwa attitude terhadap organic skin care
product mempengaruhi niat
konsumen untuk membeli produk skin care tersebut.
6. Studi ini Perceived Benefit Perceived Quality Price Fairness Environment Knowledge Attitude Purchase Intention SEM
Sumber: Data Primer yang diolah, 2016
Pada tabel II.1 terdapat beberapa contoh penelitian terdahulu yang masing-masing variabel dalam penelitian tersebut menjelaskan hubungan antar
variabel yang beberapa diantaranya dikonstruksi pada penelitian ini. Persamaan hasil-hasil dari penelitian diatas adalah penggunaan variabel attitude yang kemudian memunculkan niat untuk membeli pada konsumen.
Berdasarkan teori keperilakuan dijelaskan bahwa niat membeli (purchase intention) produk tertentu terbentuk dari sikap (attitude) konsumen terhadap produk tersebut, seperti yang dijelaskan pada penelitian Chaniotakis et al (2009), Gopal Das (2014), dan Lizawati (2012). Pada penelitian ini attitude (attitude) konsumen dibentuk dari empat variabel amatan yaitu persepsi manfaat (perceived benefit), persepsi kualitas (perceived quality), kewajaran harga (price fairness), dan pengetahuan lingkungan (environment knowledge). Perceived benefit dalam penelitian Chaniotakis et al (2009) merupakan salah satu variabel yang membentuk attitude konsumen. Dalam penelitian Gopal Das (2014), dijelaskan bahwa perceived quality membentuk attitude konsumen.
Selanjutnya harga produk yang dinilai wajar dapat membentuk attitude terhadap produk dan merupakan salah satu pertimbangan konsumen dalam memutuskan untuk melakukan pembelian, seperti yang dijelaskan pada penelitian Khandelwal (2012) price fairness berpengaruh terhadap attitude. Lalu seperti yang dijelaskan di latar belakang bahwa isu-isu pemanasan global yang dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat, membuat banyak pihak lebih memperhatikan unsur lingkungan dalam kegiatan mereka. Informasi atau pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungan semakin bertambah dan mudah diakses oleh masyarakat. Hal tersebut dapat menumbuhkan attitude konsumen terhadap suatu produk, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Lizawati (2012).