• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA. Skripsi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Veronika Mentari Sih Putranti 174114027

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

JANUARI 2021

(2)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Irnawan Dwi Riyanto dan Lucyana Dwi Tutik Kusmandari,

semua yang saya kasih, dan segenap pembaca karya ini.

(3)

vi MOTO

“Tak ada satu ilmu pun yang lebih penting dari ilmu lainnya. Kecerdasan punya seribu muka.”

(Andrea Hirata)

(4)

ix

ABSTRAK

Putranti, Veronika Mentari Sih. 2021. Aspek Sosial dalam Novel Maria dan Mariam Karya Farahdiba: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis serta mendeskripsikan struktur novel dan aspek sosial dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk menganalisis aspek sosial dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Jenis penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi pustaka. Teknik yang digunakan adalah teknik baca dan catat.

Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis stuktural dan aspek sosial. Analisis struktural mengkaji tokoh dan penokohan, latar, dan alur dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Tokoh utama dalam novel ini Maria dan tokoh tambahannya adalah Mariam, Guru Dharmo, Fallah, Ira, Nilzam, dan Jivan. Latar dalam novel ini terbagi menjadi tiga, yaitu latar waktu, tempat, dan sosial-budaya. Latar tempat dalam novel ini meliputi Kota Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Latar waktu dalam novel ini, yaitu tahun 1996. Latar sosial-budaya dalam novel ini meliputi latar sosial-budaya pondok pesantren konservatif yang masih memegang tradisi serta peraturan kolot serta latar sosial-budaya masyarakat Indonesia secara umum yang egois, materialistis, dan tidak dapat menghargai budaya maupun penggiat budaya. Alur dalam novel ini dibagi menjadi lima, yaitu 1) Tahap penyituasian, 2) Tahap pemunculan konflik, 3) Tahap peningkatan konflik, 4) Tahap klimaks, dan 5) Tahap penyelesaian. Aspek sosial yang terdapat dalam novel ini dibagi menjadi tiga, yaitu aspek budaya, lingkungan sosial, dan ekonomi. Aspek budaya meliputi kepercayaan/agama, politik, seni, simbol, dan tradisi. Aspek kepercayaan/agama tampak dalam ajaran agama Islam, lembaga, dan kelompok radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Aspek politik tampak dalam konflik kepentingan penguasa. Aspek seni tampak melalui kebiasaan hidup masyarakat Indonesia sehari-hari. Aspek simbol tergambar melalui simbol-simbol kepercayaan dan budaya. Aspek tradisi tergambar melalui tradisi yang terdapat di pondok pesantren dan tradisi komunitas bissu di Sulawesi. Aspek lingkungan sosial dibagi menjadi dua, yaitu hubungan sosial dan kriminalitas. Hubungan sosial ada yang bersifat positif dan negatif. Aspek kriminalitas dalam novel ini tergambar melalui tindakan yang melanggar hukum pidana. Aspek ekonomi dalam novel ini dibagi menjadi kemiskinan dan gaya hidup. Aspek kemiskinan tergambar melalui kesulitan akibat rendahnya pendapatan. Aspek gaya hidup

(5)

x

tergambar melalui perilaku sehari-hari yang dipengaruhi oleh kemampuan daya beli, teknologi, dan keadaan lingkungan sosial.

Kata kunci: Struktur novel, sosiologi sastra, aspek sosial.

(6)

xi ABSTRACT

Putranti, Veronika Mentari Sih. 2021. Social Aspects in Maria and Mariam Novel by Farahdiba: Sociology of Literature Study. Undergraduate Thesis (S1). Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research analyses the social aspects that contained in Maria and Mariam novel by Farahdiba. The aims of this research are to analyze and describe the structures of the novel and the social aspects in Maria and Mariam novel by Farahdiba.

This research used sociological of literature theory to analyze the social aspects of Maria and Mariam novel by Farahdiba. The research was a qualitative analysis. The data collection method used was literature review method. The techniques used were reading and taking notes technique.

Based on the results, there were two aspects, namely structural analysis and social aspects. The structural analysis analysed the characters and characterizations, settings, and plots in Maria and Mariam novel by Farahdiba.

The main character in this novel was Maria and the additional characters were Mariam, Guru Dharmo, Fallah, Ira, Nilzam, and Jivan. The setting in this novel is divided into three settings, there were time, place, and socio-cultural settings. The settings of place in this novel were Yogyakarta, Solo and Jakarta cities. The setting of time in this novel was 1996. The backgrounds of socio-cultural in this novel were conservative Islamic boarding schools’ socio-cultural backgrounds which still adhered to old-fangled traditions and rules as well as Indonesian people’ socio-cultural background in general which were selfish, materialistic, and disrespect to the culture or cultural activists. The plots in this novel were divided into five stages, those were 1) exposition stage, 2) emergence of conflict stage, 3) rising action stage, 4) climax stage, and 5) conflict resolution stage. The social aspects in this novel were divided into three, namely aspect of culture, aspect of socio-cultural, and aspect of economy. The aspects of cultural were belief / religion, politics, art, symbols and traditions. The belief / religion aspects could be seen in the teaching of Islam, institutions, and radical groups on behalf of Islam. The political aspects appeared in the conflict of the authorities’ interests.

The art aspects were seen through the Indonesian people’s daily habits of life. The symbolic aspects were known through the symbols of belief and culture. The tradition aspects were reflected in the traditions found in Islamic boarding schools and the bissu community’s traditions in Sulawesi. The socio-cultural aspects were divided into two categories, namely socialization and crime. There was socialization that positive and negative. The crime aspect in this novel was illustrated through acts that break criminal law. The economic aspects in this

(7)

xii

novel were divided into namely poverty and lifestyle. The poverty aspect was reflected in the difficulties that caused by low income. The lifestyle aspects were illustrated through the behaviours which were influenced by purchasing power, technology, and social conditions.

Keywords: novel structure, sociology of literature, social aspect.

(8)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

MOTO ... vi

KATA PENGANTAR. ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 5

1.4.2 Manfaat Praktis ... 5

1.5 Kajian Pustaka ... 5

1.6 Pendekatan ... 9

1.7 Landasan Teori ... 12

1.7.1 Teori Strukturalisme ... 12

1.7.2 Sosiologi Sastra ... 16

1.7.3 Aspek Sosial ... 19

1.8 Metode Penelitian ... 20

1.9 Sistematika Penyajian ... 22

BAB II STRUKTUR NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA ... 24

2.1 Pengantar ... 24

2.2 Tokoh dan Penokohan ... 24

2.2.1 Tokoh Utama ... 25

2.2.2 Tokoh Tambahan... 39

2.2.3 Tabel 1: Rangkuman Tokoh dan Penokohan ... 46

2.3 Latar atau Setting ... 46

2.3.1 Latar Tempat ... 46

2.3.2 Latar Waktu ... 51

2.3.3 Latar Sosial-Budaya ... 52

2.3.4 Tabel 2: Rangkuman Latar ... 58

2.4 Alur atau Plot ... 59

2.4.1 Tahap Penyituasian ... 59

2.4.2 Tahap Pemunculan Konflik ... 60

2.4.3 Tahap Peningkatan Konflik ... 61

2.4.4 Tahap Klimaks ... 64

2.4.5 Tahap Penyelesaian Konflik ... 64

(9)

xiv

2.4.6 Tabel 3: Rangkuman Alur ... 67

2.5 Rangkuman ... 68

BAB III ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA ... 69

3.1 Pengantar ... 69

3.2 Budaya ... 69

3.2.1 Kepercayaan/Agama ... 70

3.2.2 Politik ... 75

3.2.3 Seni ... 77

3.2.4 Simbol ... 79

3.2.5 Tradisi ... 81

3.2.6 Tabel 4: Rangkuman Budaya ... 83

3.3 Lingkungan Sosial ... 83

3.3.1 Hubungan Sosial ... 83

3.3.1.1 Hubungan Sosial Individu dengan Individu ... 84

3.3.1.2 Hubungan Sosial Individu dengan Kelompok ... 85

3.3.1.3 Hubungan Sosial Kelompok dengan Kelompok ... 88

3.3.2 Kriminalitas ... 89

3.3.3 Tabel 5: Rangkuman Lingkungan Sosial ... 92

3.4 Ekonomi ... 92

3.4.1 Kemiskinan ... 93

3.4.2 Gaya Hidup ... 96

3.4.3 Tabel 6: Rangkuman Ekonomi ... 99

3.5 Rangkuman ... 99

BAB IV PENUTUP ... 102

4.1 Kesimpulan ... 102

4.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karya sastra yang tercipta dari proses kreatif seolah tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, hal tersebut terjadi karena sebuah karya sastra sebenarnya berisi tentang segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Di dalam sebuah karya sastra, terlebih novel, kehidupan manusia digambarkan secara paling lengkap dan menyeluruh, sebab pengarang menampilkan waktu dan rangkaian cerita yang panjang (Safari, 2018: 183).

Proses kreatif dalam melahirkan sebuah karya sastra dialami dengan cara yang berbeda-beda dari pengarang yang satu dengan pengarang yang lain. Di dalam novel, seorang pengarang seolah menciptakan suatu dunia sendiri sebagai refleksi dari realita keadaan yang terjadi di dunia nyata. Maka dari itu, dalam sastra ada kehidupan masyarakat yang sifatnya imajiner, tetapi imajiner yang dimaksud bukan berarti terlepas dari kenyataan yang ada. Adanya kehidupan yang berupa aktivitas masyarakat imajiner dalam karya sastra membuat karya sastra dapat dinilai, diinterpretasikan, dan dianalisis dengan seperangkat konsep dan teori sosiologis (Kurniawan, 2012: 7).

Melalui novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, pembaca seolah dapat membayangkan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya pada masa itu.

Novel Maria dan Mariam juga seakan digunakan oleh pengarangnya untuk menjadi media dalam menyampaikan kritik dan keprihatinannya terhadap situasi sosial yang terjadi di masyarakat. Novel Maria dan Mariam sendiri mengisahkan

(11)

2

tentang dua perempuan bernama Maria dan Mariam yang memiliki karakter yang bertolak belakang. Meski sama-sama besar di lingkungan yang unsur agamisnya sangat kental, tetapi mereka berdua memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda mengenai sebuah agama itu sendiri. Mariam besar di pesantren yang sangat ketat dalam menjaga warisan agama Islam dan dikelilingi oleh orang-orang yang konservatif. Hal itu menjadikan pertemuannya dengan Maria, seorang perempuan dengan pandangan yang terbuka dan membenci sikap kolot masyarakat dalam mempertahankan budaya, menjadi sangat bermakna.

Pertemuan Maria dan Mariam terjadi ketika Maria mengikuti kegiatan pesantren kilat di sebuah pesantren tempat Mariam tinggal. Maria merasa tidak betah tinggal di pesantren karena aturan-aturan dan suasana di pesantren tidak cocok dengannya. Maria akhirnya terpaksa dikeluarkan dari pesantren karena kesalahpahaman. Setelah keluar dari pesantren, Maria bertemu seorang guru spiritual bernama Guru Dharmo yang mengajarinya banyak pelajaran hidup yang berharga.

Sosok Maria digambarkan memiliki karakter yang unik oleh pengarangnya.

Maria adalah tokoh yang memiliki watak selalu ingin tahu dan tidak mudah puas, serta digambarkan sebagai perempuan yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaumnya. Di dalam novel ini diceritakan tentang perjalanan Maria dalam menghadapi polemik melawan pandangan masyarakat yang konservatif dan terikat kuat oleh budaya Timur yang lekat dengan unsur agama.

Latar sosial yang digambarkan di dalam novel ini adalah keadaan ketika masyarakat pada waktu itu diikat oleh budaya patriarki sebagai akibat dari

(12)

3

kesewenang-wenangan dalam menafsirkan ayat-ayat di dalam Kitab Suci Alquran, sehingga terciptalah pandangan bahwa perempuan memiliki derajat yang lebih rendah dibanding laki-laki (Viustana, 2009: 4). Novel Maria dan Mariam akan dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra untuk mengetahui serta mendeskripsikan aspek-aspek sosial yang terkandung di dalam novel ini. Menurut Ratna (2004: 1), sosiologi sastra bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dan menjelaskan bahwa rekaan tidak berlainan dengan kenyataan.

Farahdiba atau yang biasa dipanggil Fay dibesarkan di keluarga nahdiyin dan sempat menjadi salah satu pengurus organisasi yang berada dalam naungan Nahdlatul Ulama (NU). Farahdiba juga pernah menjadi aktivis dan aktif dalam organisasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Selain itu, Farahdiba juga pernah aktif di National Integration Movement (NIM), sebuah organisasi lintas- agama yang mengangkat isu-isu kebangsaan. Novel Maria dan Mariam ditulis oleh Farahdiba karena ia menaruh perhatian besar kepada kebangkitan budaya lokal.

Alasan peneliti tertarik untuk meneliti novel Maria dan Mariam karena cerita yang disuguhkan dalam novel ini memuat kompleksitas mengenai kehidupan yang menarik untuk dianalisis. Bentuk kompleksitas kehidupan yang tercermin dalam novel ini seperti permasalahan agama, kebudayaan, dan interaksi sosial antartokohnya.

Sebuah karya sastra dapat diposisikan untuk menjadi pusat bahasan yang difokuskan pada kajian intrinsik teks yang kemudian dihubungkan dengan

(13)

4

fenomena yang sedang terjadi ketika karya tersebut diciptakan oleh pengarang (Putra, 2018: 13). Oleh karena itu, teori sosiologi sastra dipilih peneliti untuk menganalisis novel ini karena terdapat unsur-unsur sosial. Unsur-unsur sosial dalam novel ini meliputi kelompok sosial, kebudayaan, kekuasaan, serta interaksi sosial yang dapat dihubungkan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat ketika novel diciptakan. Aspek sosial sendiri dapat dimaknai sebagai cara memandang aksi, interaksi, dan fenomena sosial (Setianingsih, 2016: 3).

Novel Maria dan Mariam dipercaya oleh peneliti tidak lahir begitu saja dari kekosongan budaya. Melalui novel ini, pengarang dengan lugas menyampaikan permasalahan sosial yang dialami oleh masyarakat. Budaya patriarki dan peran sebuah agama dalam membentuk struktur sosial dalam masyarakat menjadi latar keadaan di dalam novel ini. Sesuai dengan rekam jejak sosial yang pernah terjadi, novel Maria dan Mariam tidak hanya hadir untuk menjadi media kritik sosial bagi masyarakat, tetapi juga dipercaya sebagai cerminan realitas keadaan sosial yang tengah terjadi ketika novel tersebut diciptakan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba?

1.2.2 Bagaimanakah aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut.

(14)

5

1.3.1 Mendeskripsikan struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

1.3.2 Mendeskripsikan aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan akan mendapatkan manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan kajian sosiologi sastra untuk memahami aspek sosial yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai karya sastra dan pemahaman tentang novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi dalam penelitian sastra Indonesia, khususnya mengenai analisis novel dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

1.5 Kajian Pustaka

Viustana (2009), dalam skripsinya meneliti novel Maria dan Mariam karya Farahdiba dengan pendekatan kritik sastra feminis. Latar belakang dalam analisis yang dilakukannya berupa adanya ketertindasan perempuan secara psikis karena kesewenang-wenangan para laki-laki dalam menafsirkan ayat-ayat di Kitab Suci, hal tersebut tidak hanya terlihat di dalam pesantren saja, tetapi juga terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Viustana menemukan dua hasil penelitian, sebagai

(15)

6

berikut. (1) Tokoh dan penokohan yang meliputi dua tokoh utama, yaitu Maria dan Mariam yang memiliki karakter bertolak belakang. (2) Adanya modernisasi perempuan. Bentuk modernisasi yang terlihat adalah modernisasi dalam berpikir dan bertindak. Contoh modernisasi berpikir adalah perempuan memiliki kebebasan berpikir atau menyampaikan pendapat. Mandiri dalam menjalankan kehidupan serta memiliki kebebasan dalam berpenampilan adalah contoh bentuk modernisasi bertindak pada perempuan. Dua bentuk modernisasi tersebut telah terjadi pada dua tokoh utama novel ini, yaitu Maria dan Mariam.

Sipayung (2016), dalam skripsinya yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra”

meneliti mengenai konflik sosial yang terdapat dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Dalam penelitian ini, hasil kajiannya dibagi menjadi dua, yaitu analisis struktur novel dan sosiologi sastra. Struktur novel berisi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Hasil dari penelitiannya tersebut ditemukan 1) konflik karena perbedaan orang-perorangan dalam novel Maryam meliputi perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok. 2) Konflik karena perbedaan kebudayaan dalam novel Maryam meliputi kebudayaan khusus atas dasar kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus atar dasar kelas sosial.

Hastuti (2018), dalam artikel yang berjudul “Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Kajian Sosiologi Sastra” membahas mengenai dominasi dan pertentangan antara kelas atas Eropa (Bourjuis) dan kelas bawah pribumi

(16)

7

(Proletar) dan perlawanan kaum proletar kepada kaum bourjuis. Dominasi dan pertentangan kelas tersebut ditunjukkan dengan pandangan bahwa orang-orang Eropa lebih pintar dan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding pribumi.

Melalui analisis sosiologis sastra terhadap novel ini, dapat disimpulkan bahwa novel Bumi Manusia mengungkapkan cerminan kehidupan masyarakat peralihan di abad ke-21 di Jawa Timur. Gambaran hubungan sosial antara orang Eropa dan pribumi terlihat dari perlakuan dan sikap orang-orang pada masa itu yang merasa jika orang Eropa memiliki derajat yang lebih tinggi sehingga mereka harus dipatuhi dan bebas mendominasi kaum pribumi yang dianggap memiliki derajat yang lebih rendah. Namun, meski begitu masih ada orang-orang yang menganggap bahwa perbedaan kelas tersebut bukan halangan atau hambatan untuk membangun relasi dengan orang yang memiliki derajat yang berbeda.

Safari (2018) pernah melakukan penelitian terhadap novel Belantik karya Ahmad Tohari menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dalam artikelnya yang berjudul “Novel Belantik Karya Ahmad Tohari Pendekatan Sosiologi Sastra”, Safari membahas mengenai korelasi antara penceritaan novel Belantik dengan realitas masyarakat sewaktu novel Belantik ditulis. Dalam penelitiannya tersebut dapat diperoleh kesimpulan, yaitu (1) konteks sosial pengarang dalam novel Belantik, yaitu mengungkapkan bahwa latar belakang pengarang sebagai santri,

redaktur media masa, maupun domisili Ahmad Tohari mempengaruhi penceritaan dalam novel Belantik. (2) Gambaran masyarakat yang tercermin dalam novel Belantik mengungkapkan adanya korelasi antara gambaran masyarakat dalam novel Belantik dengan realita masyarakat pada waktu novel ini diciptakan, dan (3)

(17)

8

fungsi sosial dalam novel Belantik adalah sebagai penghibur dan perombak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai religiositasitas dan moral yang baik, seperti sifat tolong menolong kepada sesama dan cinta kasih antara keluarga perlu dijadikan panutan, adapun nilai moral yang tidak baik tidak pantas untuk ditiru.

Ibed (2018) dalam tesisnya meneliti mengenai permasalahan sosial dalam novel Salah Pilih karya Nur St. Iskandar menggunakan perspektif sosiologi sastra Alan Swingewood. Salah satu dasar pemikirannya adalah menganggap karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya yang mencerminkan keadaan sosial budaya pada suatu zaman. Dalam hal ini struktur karya sastra secara keseluruhan tidak penting, yang penting adalah unsur-unsur sosiobudaya sebagai proses refleksi keadaan zaman. Dalam penelitiannya, Ibed membicarakan tentang kehidupan masyarakat dan segala macam permasalahan sosial di dalam novel yang berkaitan erat dengan latar belakang adat dan kebudayaan masyarakat Minangkabau. Dari penelitiannya tersebut dapat ditarik kesimpulan, yaitu dalam novel Salah Pilih ada beberapa hubungan antartokoh yang menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa- peristiwa dengan masalah sosial. Bentuk-bentuk permasalahan sosial dalam novel Salah Pilih meliputi kemiskinan, kurangnya pendidikan, kesenjangan sosial,

kejahatan, disorganisasi keluarga, pelanggaran terhadap adat, anti sosial, perdebatan tentang adat, penderitaan perempuan terhadap poligami, dan kolonialisme yang mementingkan kekuasaan.

Hasbullah (2018), dalam skripsinya yang berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Ma Yan Karya Sanie B. Kuncoro: Tinjauan Sosiologi Sastra Ian Watt” membahas mengenai keterkaitan antara latar sosial pengarang dengan latar

(18)

9

sosial dalam novel yang diciptakannya. Penelitiannya tersebut membahas mengenai novel Ma Yan sebagai cerminan sosial masyarakat dan fungsi sosial sastra. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra dalam novel Ma Yan dengan pendekatan sosiologi sastra Ian Watt.

Penelitian mengenai analisis sosiologi sastra untuk novel Saman karya Ayu Utami pernah dilakukan oleh Aisyah (2019). Dalam artikelnya yang berjudul

“Analisis Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Sosiologi Sastra”, Aisyah membahas mengenai hubungan karya sastra dengan pengarangnya, dengan masyarakat, dan fungsi sosial sastra yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa kompleksitas persoalan yang diceritakan dalam novel Saman akurat dengan data-data tentang peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia. Dalam novelnya, Ayu mengutarakan pemikirannya mengenai agama, seks, pernikahan, ras, ekonomi, dan politik. Penulisan novel Saman tidak lepas dari latar belakang Ayu Utami sebagai penulisnya yang pernah

berprofesi sebagai wartawan, aktivis, dan seorang perempuan yang tinggal di tengah masyarakat yang masih meyakini nilai-nilai kebudayaan timur yang konservatif. Novel Saman menceritakan tentang proses pengambilan lahan, nepotisme, penculikan, dan kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.

1.6 Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan intrinsik seturut paradigma Rene Wellek dan Austin Warren. Paradigma Rene Wellek dan Austin Warren

(19)

10

melahirkan dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik (Rohman, 2020: 59).

Pendekatan intrinsik karya sastra meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Pendekatan ekstrinsik meliputi sastra dan biografi, sastra dan psikologi, sastra dan masyarakat, sastra dan seni (Rohman, 2020: 59).

1.6.1 Sastra dan Biografi

Pencipta karya sastra menjadi penyebab utama dari lahirnya sebuah karya sastra, karena hal itulah penjelasan mengenai kepribadian dan kehidupan pengarang menjadi metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Jika biografi pengarang menjadi bernilai jika dapat memberi masukan tentang penciptaan terhadap karya sastra. Selain itu, biografi juga dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya. Biografi juga dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif (Wellek, 2014: 74).

Terdapat tiga sudut pandang mengenai biografi pengarang. Pertama, sudut pandang yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan sebuah karya sastra yang sebenarnya. Kedua, sudut pandang yang mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi pengarang. Ketiga, sudut pandang yang memperlakukan biografi sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan maupun psikologi penciptaan artistik. Dari ketiga sudut pandang tersebut, yang relevan dengan studi sastra adalah sudut pandang pertama (Wellek, 2014: 74).

1.6.2 Sastra dan Psikologi

(20)

11

Menurut Renne Wellek dan Austin Warren, terdapat empat kemungkinan pengertian dari istilah “psikologi sastra”. Pertama, dapat memiliki arti sebagai studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, dapat diartikan sebagai studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, untuk mempelajari dampak atau efek karya sastra terhadap pembaca (psikologi pembaca). Dari keempat pengertian tersebut, yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah pengertian ketiga (Wellek, 2014: 81).

Psikologi dapat digunakan untuk mengklasifikasikan seorang pengarang berdasarkan tipe psikologi dan fisiologinya. Menurut Renne Wellek dan Austin Warren, psikologi mampu menguraikan kelainan jiwa atau meneliti alam bawah sadar seorang pengarang. Dalam meneliti hal tersebut, bukti-bukti dapat diambil dan dikumpulkan dari dokumen di luar sastra atau dari karya sastra sendiri. Dalam melakukan penelitian dan menginterpretasikan sebuah karya sastra sebagai bukti dari psikologi pengarang, psikolog perlu untuk mencocokkannya dengan dokumen di luar sastra (Wellek, 2014: 94).

1.6.3 Sastra dan Masyarakat

Sastra merupakan institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial dan sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia (Wellek, 2014: 98).

Penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya mengaitkan sastra dengan situasi, sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Penelitian

(21)

12

tersebut dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukannya dalam masyarakat (Wellek, 2014: 98-99).

1.6.4 Sastra dan Pemikiran

Sastra kerap dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai sebuah pemikiran yang terbungkus oleh bentuk khusus sehingga sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat (Wellek, 2014: 121).

Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat karena sejarah sastra sejajar serta mencerminkan sejarah pemikiran.

Baik secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, pengarang terkadang menyatakan bahwa dirinya merupakan penganut aliran filsafat tertentu, mempunyai hubungan dengan paham-paham yang dominan pada zamannya, atau mengetahui garis besar ajaran dari paham-paham tersebut (Wellek, 2014: 122).

1.6.5 Sastra dan Seni

Sastra memiliki hubungan yang rumit dengan seni rupa maupun seni musik. Karya seni, seperti misalnya benda dan manusia, kerap menjadi objek dari karya sastra. Begitu pun dengan seni musik juga banyak digunakan dalam sastra, seperti dalam lirik atau drama (Wellek, 2014: 140).

1.7 Landasan Teori

1.7.1.Teori Strukturalisme

Strukturalisme memberi perhatian terhadap kajian unsur-unsur teks kesastraan. Analisis struktural karya sastra fokus pada unsur-unsur intrinsik yang membangunnya, yaitu plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain- lain. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan untuk

(22)

13

memaparkan fungsi dan keterkaitan berbagai unsur karya sastra. (Nurgiyantoro, 2015: 60).

Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis adalah tokoh dan penokohan, latar, dan alur. Ketiga analisis tersebut penting dan untuk mendukung penelitian terkait aspek sosial di dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

1.7.1.1 Tokoh dan Penokohan

Pengertian tokoh merujuk kepada orang atau pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang atau pelaku dalam cerita (Nurgiyantoro, 2015: 247). Tokoh dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu, misalnya tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh berkembang, dan tokoh tipikal. Namun, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tokoh utama dan tokoh tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang penceritaannya diutamakan dan menjadi peranan penting dalam novel sehingga paling banyak diceritakan. Tokoh utama menjadi penentu perkembangan plot karena diceritakan paling banyak dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik sehingga memengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama bisa saja tidak selalu muncul dalam setiap kejadian, namun kejadian tersebut tetap dapat dikaitkan dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2015: 259). Tokoh tambahan tidak muncul dalam setiap cerita atau hanya muncul sesekali saja sehingga sedikit sekali memegang peranan dalam cerita (Satinem, 2019: 58).

1.7.1.2 Latar

(23)

14

Dalam cerita fiksi, latar digunakan sebagai landas tumpu, tempat, waktu, dan aturan kehidupan bermasyarakat sebagaimana kehidupan manusia di dunia nyata. Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu sehingga cerita tersebut sunguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2015: 302-303).

Terdapat unsur-unsur latar yang dibagi berdasarkan tiga unsur pokok, yaitu unsur waktu, tempat, dan sosial-budaya (Nurgiyantoro, 2015: 314).

1.7.1.2.1 Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya suatu peristiwa di dalam karya fiksi yang biasanya menggunakan nama lokasi tertentu dan inisial tertentu.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertetntu setidaknya harus mencerminkan dan tidak bertentangan dengan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Agar dapat mendeskripsikan keadaan suatu tempat tertentu, pengarang harus menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan. Latar tempat dalam novel biasanya berpindah-pindah meliputi beberapa lokasi (Nurgiyantoro, 2015: 314-317).

1.7.1.2.2 Latar Waktu

Latar waktu berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi dan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual dan ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Novel yang ditetapkan sesuai dengan waktu sejarah tertentu harus disesuaikan juga aspek fisik yang lain agar cerita koheren dan masuk akal. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan sosial karena penceritaan di dalam karya fiksi harus mengacu pada waktu tertentu

(24)

15

sehingga tidak menyebabkan ketidaksesuaian deskripsi dalam cerita dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi (Nurgiyantoro, 2015: 318-321).

1.7.1.2.3 Latar Sosial-Budaya

Latar sosial-budaya menunjuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial suatu masyarakat di tepat tertentu yang diceritakan dalam karya fiksi. Perilaku kehidupan sosial masyarakat mencakup kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir serta bersikap. Latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh di dalam cerita (Nurgiyantoro, 2015: 322).

1.7.1.3 Alur atau Plot

Alur atau yang biasa disebut plot merupakan rangkaian urutan peristiwa yang membangun cerita. Alur membawa cerita untuk memecahkan konflik yang ada di dalamnya (Rohman, 2020: 61).

Agar dapat disebut sebagai plot, hubungan antarperistiwa dalam karya fiksi harus memiliki hubungan sebab-akibat (Nurgiyantoro, 2015: 167). Terdapat lima tahapan plot dalam karya fiksi, yaitu 1) Tahap penyituasian, 2) Tahap pemunculan konflik, 3) Tahap peningkatan konflik, 4) Tahap klimaks, dan 5) Tahap penyelesaian Nurgiyantoro, 2015: 209-210).

1.7.1.3.1 Tahap Penyituasian

Tahap penyituasian atau situastion merupakan tahap pembukaan dalam cerita yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita (Nurgiyantoro, 2015: 209).

1.7.1.3.2 Tahap Pemunculan Konflik

(25)

16

Tahap pemunculan konflik atau generating circumstances adalah tahap ketika mulai muncul masalah-masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap ini menjadi tahap awal munculnya konflik dan konflik tersebut akan terus berkembang pada tahap selanjutnya (Nurgiyantoro, 2015: 209).

1.7.1.3.3 Tahap Peningkatan Konflik

Tahap peningkatan konflik atau rising action adalah tahap ketika konflik yang telah terjadi mulai berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

Dalam tahap ini, pertentangan dan benturan antarkepentingan masalah dan tokoh mengarah ke klimaks (Nurgiyantoro, 2015: 209).

1.7.1.3.4 Tahap Klimaks

Tahap klimaks atau climax merupakan tahap ketika konflik maupun pertentangan yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dalam sebuah cerita dialami oleh tokoh-tokoh utama yang menjadi pelaku dan penderita terjadinya konflik utama (Nurgiyantoro, 2015: 209).

1.7.1.3.5 Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian atau denouement adalah tahap terakhir ketika konflik telah mencapai klimaks dan diberi jalan keluar lalu cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 2015: 210). Dalam tahap penyelesaian, satu per satu konflik atau masalah yang terjadi menemukan solusi sehingga ketegangan antartokoh menurun dan cerita berakhir (Lianawati, 2019: 106).

1.7.2 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio dalam bahasa Yunani, yaitu socius yang artinya bersama-

(26)

17

sama, bersatu, kawan, teman dan dari kata logi atau logos yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Pada perkembangan berikutnya, kata sosio atau socius berarti masyarakat dan logi atau logis berarti ilmu. Sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan atau evolusi masyarakat dan makna sastra bersifat lebih spesifik setelah menjadi kata jadian menjadi kesusastraan yang artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2004: 1-2).

Tujuan sosiologi sastra adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya terhadap masyarakat dan menjelaskan bahwa sebuah rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra dikonstruksi secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatif tersebut tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Sebuah karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi merupakan gejala sosial (Ratna, 2004: 11).

Sosiologi merupakan ilmu objektif kategoris yang membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sollen), sementara itu sastra memiliki sifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Definisi sosiologi sastra yang merepresentasikan hubungan interdisipliner yang masuk ke dalam ranah sastra mencakup (1) pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan di dalamnya; (2) pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan di dalamnya; (3) pemahaman terhadap sebuah karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya; (4) hubungan dialektika antara sastra dan juga masyarakat (Kurniawan, 2012: 5).

(27)

18

Relasi sosiologi dan sastra yang dimediasi oleh sastra melahirkan buah analisis sosiologis yang sifatnya objektif menggunakan seperangkat teori, hukum, dan konsep ilmu sosiologis untuk menganalisis karya sastra. Hal tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan relasi antara karya sastra dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat yang direpresentasikannya (Kurniawan, 2012: 7).

Sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Sosiologi mencoba untuk mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, berlangsung, dan tetap ada. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat, bagaimana manusia berusaha untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu (Damono, 1978:

6-7).

Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa sebuah karya sastra merupakan ekspresi dan bagian dari masyarakat. Dengan demikian, maka memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Taum, 1997: 47).

Kajian sosiologi sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren yang disebut sebagai teori ekstrinsik menitikberatkan model kajian karya sastra pada persoalan seperti sosiologi pengarang, sosiologi sastra, dan pengaruh sastra pada pembaca. Pada sosiologi pengarang, yang dikaji adalah biografi, status sosial, ideologi pengarang dari suatu karya sastra dan segala hal yang berhubungan dengan kapasitas pengarang sebagai penghasil sastra. Pada sosiologi sastra, yang dikaji adalah masalah-masalah sosial yang tercermin atau mungkin tersirat dalam suatu karya sastra maupun yang menjadi tujuan penulisan karya sastra itu sendiri.

(28)

19

Sementara pengaruh sastra pada pembaca mengkaji persoalan yang dialami pembaca dan pengaruh suatu karya sastra terhadap pembacanya atau pada masyarakat umum (Sujarwa, 2019: 40).

1.7.2 Aspek Sosial

Pengertian aspek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima adalah sudut pandang tertentu dan sosial diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Fenomena yang terjadi di masyarakat dijelaskan melalui sudut pandang tindakan sosial yang terjadi karena pihak yang berinteraksi melakukan interpretasi terhadap tindakan orang lain dan saling memahami maknanya (Suharjito, 2019: 160-161)

Aspek sosial dimaknai sebagai cara memandang aksi, interaksi, dan fenomena sosial dalam kehidupan sosial (Setianingsih, 2016: 3). Menurut Soelaeman (2009:

173), aspek sosial dibagi berdasarkan bidang sosialnya, yaitu (1) budaya yang meliputi kepercayaan, seni, nilai, simbol, norma, moral, politik, dan pandangan hidup umum yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat, (2) lingkungan sosial, meliputi hubungan sosial, kelas sosial, profesi, kependudukan, kriminalitas, pelacuran, dan sebagainya, (3) ekonomi, meliputi produksi, distribusi, konsumsi, pendapatan, kemiskinan, gaya hidup, dan lain sebagainya.

Istilah kebudayaan dalam arti luas adalah produk-produk tindakan, interaksi manusia, dan karya cipta manusia yang berupa materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmateri meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan tata cara hidup masyarakat (Soelaeman, 2015: 67).

(29)

20

Dalam lingkungan sosial, terdapat satuan-satuan yang melingkari individu, yaitu lembaga, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkungan sosial memiliki karakteristik yang setiap kali berbeda fungsi, struktur, peranan, dan proses yang berlangsung di dalamnya. Posisi, peranan, dan tingkah laku diharapkan sesuai dengan tuntutan satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu (Soelaeman, 2015:

124).

Dalam ekonomi, terdapat pola relasi yang meliputi pola relasi antara manusia sebagai subjek dengan sumber kemakmuran, seperti alat produksi, fasilitas negara, dan kekayaan sosial. Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi menyangkut masalah distibusi hasil dan pola relasi peranan subjek sebagai komponen sosial- ekonomi yang berkaitan dengan mekanisme pasar (Soelaeman, 2015: 230).

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan struktural (objektif) dan pendekatan mimetik. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.

Maka dengan demikian, pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur- unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik (Ratna, 2004: 73).

Akar sejarah pendekatan mimetik adalah pandangan Plato yang berpendapat bahwa karya sastra tidak dapat mewakili kenyataan yang sesungguhnya karena merupakan tiruan (Ratna, 2004: 70). Sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik sebab pendekatan mimetik memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan (Wiyatmi, 2006: 97)

(30)

21 1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian (Zed, 2008: 3). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang relevan terkait novel Maria dan Mariam. Sumber referensi berupa buku- buku, artikel, maupun tulisan yang terkait dengan objek penelitian yang diteliti.

Teknik yang digunakan dalam metode pengumpulan data adalah dengan teknik baca dan teknik catat. Teknik baca dilakukan dengan membaca novel Maria dan Mariam secara berulang-ulang agar mendapat pemahaman tentang

cerita sehingga menemukan data yang diperlukan. Untuk memahami karya sastra, diperlukan kemampuan membaca agar dapat memaknai isi dalam bacaan karya sastra tersebut (Gasong, 2019: 14). Teknik catat dilakukan setelah teknik pertama selesai dilakukan dengan mencatat data dan dilanjutkan dengan mengklasifikasikannya (Sudaryanto, 1993: 135).

1.8.2 Metode Analisis Isi

Data yang telah terkumpul akan dianalisis menggunakan metode analisis isi yang berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal dalam bentuk bahasa, atau dalam nonverbal. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksud berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan termasuk propaganda. Jadi, yang termasuk keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia (Ratna, 2004: 48).

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(31)

22

Metode penyajian analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Dalam metode deskriptif kualitatif, hasil data penelitian berupa pemaknaan karya sastra yang disajikan secara deskriptif (Sengke, 2018: 17).

1.8.4 Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

Judul Novel : Maria dan Mariam

Pengarang : Farahdiba

Tahun Terbit : 2006

Penerbit : PT. One Earth Media

Jumlah : xxii+281 halaman

Cetakan : Pertama

ISBN : 9792620001

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, sistematikanya adalah sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang dibagi lagi menjadi delapan sub bab, yaitu (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat hasil penelitian, (5) pendekatan, (6) tinjauan pustaka, (7) pendekatan, (8) landasan teori, (9) metode penelitian, dan (10) sistematika penyajian.

(32)

23

Bab II berisi penjelasan dan deskripsi hasil analisis struktur novel Maria dan Mariam yang meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan alur dalam cerita. Bab

III berisi deskripsi aspek sosial yang meliputi aspek budaya, lingkungsan sosial, dan ekonomi yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Bab IV berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran bagi penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.

(33)

24 BAB II

STRUKTUR NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA 2.1 Pengantar

Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Struktur novel yang akan dianalisis meliputi tokoh dan

penokohan, latar, dan alur. Mengenai struktur karya sastra, Nurgiyantoro (2015:

57) berpendapat sebagai berikut. “Struktur karya sastra juga menunjuk pada pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.”

Analisis struktur novel Maria dan Mariam bertujuan untuk memaparkan keterkaitan antarunsur dan hubungan tiap unsur tersebut dalam membangun cerita di dalam novel.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku dalam cerita dan penokohan adalah watak atau karakter tokoh tersebut. Istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas karena mencakup tokoh dalam cerita dan pelukisan perwatakannya dalam cerita sehingga memberi gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2015: 248).

Tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, tokoh utamanya adalah Maria. Tokoh- tokoh tambahannya adalah Mariam, Guru Dharmo, Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan.

Berikut analisis tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

(34)

25 2.2.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang penceritaannya diutamakan dan paling banyak diceritakan dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama selalu hadir dalam setiap kejadian dan menentukan perkembangan plot cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2015: 259). Berikut analisis tokoh utama dan penokohannya.

2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan Maria

Maria merupakan perempuan yang memiliki tidak terlalu memperhatikan penampilan. Ia tidak seperti perempuan masa kini yang akan berdandan cantik atau memakai pakaian yang rapi. Maria senang berpenampilan sederhana dan biasa saja. Selain gaya berpakaiannya yang bebas, Maria adalah perempuan yang cerdas, kritis, dan tidak takut berbicara secara terus terang. Hal itu tampak dari kutipan berikut.

(1) Saat itu di depan sekretariat, tempat pendaftaran pesantren kilat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara lantang, “Spada! Assalammu’alaikum!” Lalu terlihat seorang gadis manis namun dengan dandanan layaknya seorang aktivis yang baru habis berdemonstrasi di depan Markas Kodam.

Bercelana jins lusuh, menggantungkan ransel di bahu kanannya dan berkaos hitam dengan tulisan: “Kaum Demokrat Mencibir Ketika Perempuan Bersikap Kritis”.

(Farahdiba, 2006: 10) (2) “Loh, aku juga Islam, Mbak. Bagiku, Nabi Isa, Yesus Kristus, adalah orang yang sama, seperti halnya Maria, Mariam, Yusuf atau Joseph. Setiap nama toh bisa ditulis dengan cara yang berbeda-beda. Yang penting artinya sama.” kembali Maria terdiam. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang demikian ajaib. Keterusterangannya membuat gerah, sekaligus penasaran.

(Farahdiba, 2006: 13) (3) “Jadilah diri kalian apa adanya, sepenuhnya. Jangan seperti yang lainnya.

Lagipula, kita ini siapa bisa menentukan keyakinan seseorang itu salah atau benar? Memangnya kita sudah ketemu sendiri sama Tuhan dan

(35)

26

Bertanya: ‘Han, han ... agama yang paling bener yang mana ya ‘Han?” Ira menjadi geli sendiri. Inilah bagian yang paling disukainya dari sepupu sintingnya. Bebas bicara apa saja, dan tidak ada yang bisa membantahnya.

(Farahdiba, 2006: 42) Dalam kutipan di atas diperlihatkan bagaimana kesan pertama Mariam ketika bertemu Maria. Mereka bertemu ketika Maria mendaftarkan diri menjadi peserta kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh Pondok Pesantren Al-Aziz.

Perempuan yang datang ke pesantren biasanya berpenampilan rapi, sopan dan sudah mengenakan busana muslim. Namun, penampilan Maria sungguh berbeda dari perempuan lain yang akan mengikuti kegiatan pesantren kilat. Maria digambarkan sebagai perempuan muslim dengan pemikiran yang terbuka, ia tidak takut menyampaikan pendapatnya secara terus terang. Maria juga membenci aturan-aturan yang dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(4) Dalam tiga minggu saja, Mariam yang berusaha keras untuk

“menaklukkan” Maria, sesungguhnya malah mendapatkan segunung inspirasi dari sahabatnya. Pertanyaan-pertanyaannya sungguh tak terduga.

Begitu bebas. Namun, memiliki ketulusan. Mariam dapat merasakannya.

Maria punya pandangan yang aneh sekali tentang bagaimana menjadi perempuan Islam sejati. “Bagiku, keislaman tidak harus ditonjolkan dengan pakaian atau simbol-simbol yang lain, Mbak. Yang penting, ia membawa kebaikan buat semua. Ia juga harus bisa menerima kemajuan, termasuk dalam bidang fashion, ilmu pengetahuan, film, musik, dan sebagainya. Tidak kaku, dan... agak gaul gitu lho, Mbak,” ujarnya suatu kali, meniru-niru gaya remaja ibukota.

(Farahdiba. 2006: 34) Dalam kutipan (4) diperlihatkan bahwa Maria adalah perempuan muslim yang dapat menerima keterbukaan pemikiran terhadap kemajuan. Ia juga membenci aturan-aturan kolot yang dapat menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian orang. Menurut Maria, aturan-aturan yang ada di pondok pesantren

(36)

27

butuh diperbaharui seturut perkembangan zaman. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(5) Ia gelisah memikirkan aturan-aturan tidak adil yang berlaku di pondok pesantren, di jaman modern seperti sekarang ini. Kenapa tidak ada aturan yang lebih terbuka, yang lebih maju? Intervensi terlalu besar terhadap hak- hak setiap orang. Ia tak habis mengerti mengapa orang tidak boleh saling jatuh cinta. Menurutnya, dunia ini hanya bisa menjadi semakin baik, kalau semakin banyak orang yang jatuh cinta. Jangan-jangan orang yang membuat segala macam peraturan itu adalah orang-orang yang sudah mati rasa—atau terlalu munafik?

(Farahdiba, 2006: 20) (6) “Ya, sepakat. Tapi, aturan dalam pondok itu sangat menyesatkan para santri. Mereka kelak hanya akan seperti itu saja pola pikirnya. Bagaimana bisa mengharapkan kemajuan? Gus Falah harus ikut bertanggung jawab dengan pola pikir santri itu, bila kelak mereka menjadi pemimpin dalam bidangnya masing-masing,” Maria masih sengit.

“Terlalu jauh kamu berpikr Maria,” giliran Gus Falah yang memanas. “ Gus bisa lihat sendiri... Apa kata orang-orang di luar sana, nanti. Pantas saja kalau kita dibilang kampungan. Dalam hal-hal yang sangat umum pun kita masih belum bisa bersikap terbuka. Kita masih terus-terusan dikungkung. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tidak ada kebebasan untuk bersikap dan berpendapat. Katanya percaya demokrasi, tapi keputusan akhir selalu dari...”

(Farahdiba, 2006: 54) Dalam kutipan (5) dan (6) diperlihatkan saat Maria mengkritik peraturan di pondok pesantren yang menurutnya sudah ketinggalan zaman. Maria menginginkan perubahan pola pikir dan aturan yang menurutnya akan membawa kemajuan bagi pondok pesantren. Maria juga kerap dicap berbeda karena pemikiran dan cara pandangnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(7) “Ha ha ha ha... sepertinya selalu begitu. Aku sendiri bingung. Di hampir setiap lingkungan yang aku kunjungi atau di manapun aku beraktifitas, selalu saja aku dicap aneh dan berbeda,” ujar Maria lebih santai.

(Farahdiba, 2006: 56) (8) “Iya. Seperti sekarang ini. Banyak orang yang tidak bisa menerima cara

pandangku. Kemudia mereka mengucilkanku. Ada pula yang mengatakan

(37)

28

bahwa aku sudah gila, sudah melanggar disiplin moral segala. Aku sendiri tidak mengerti, disiplin moral itu seperti apa.”

(Farahdiba, 2006: 56) Dalam kutipan (7) dan (8) diperlihatkan bahwa Maria sering tidak diterima oleh lingkungannya karena cara berpikirnya dan sikapnya yang suka mengkritisi sesuatu. Selain itu, Maria adalah orang yang memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap banyak hal. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(9) Maria merasa terhibur mendengarkan penjelasan papanya. Namun rasa penasaran akan Tuhan dan akan kehidupan setelah mati, terus terbawa dalam hidupnya. Maria tidak puas dan tidak akan pernah puas sebelum ia menemukan sendiri jawabannya.

(Farahdiba, 2006: 86) (10) Akhirnya Maria terus terang, “Martha, ada keinginan yang sangat dalam hatiki, untuk mengenali sesuatu yang mungkin masih misterius buatku..

Aku sendiri tidak tahu persis apa... Kamu tahu latar belakang keluargaku.

Kadang-kadang aku masih bingung dan tidak terima bila ada yang bertanya, ‘Agamamu apa, Maria’ Biasanya, aku tak peduli dengan pertanyaan itu... Biasanya aku akan balik bertanya, ‘Memangnya Tuhan beragama apa’ Tapi, sekarang, aku benar-benar pusing. Apa sebenarnya makna agama buat manusia? Mengapa semua oang mempersoalkannya?

Apa itu Tuhan? Kita semua membicarakanNya, kadang-kadang mengatasnamakanNya, tapi berapa banyak yang sudah mengenalNya?

Aku ingin, Martha. Aku ingin mencari, meskipun aku tidak tahu harus mulai dari mana....”

(Farahdiba, 2006: 96-97) Kutipan (9) dan (10) menunjukkan bahwa Maria memiliki rasa penasaran yang tinggi dan memiliki ambisi untuk mencari jawaban atas banyaknya pertanyaan dalam hidupnya. Maria merasa gelisah ketika rasa penasarannya belum terjawab. Selain itu, Maria adalah sahabat yang setia. Maria meanganggap Mariam sebagai sahabat sekaligus mentornya di pondok pesantren. Ia rela dikeluarkan dari pondok pesantren untuk melindungi nama baik Mariam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(38)

29

(11) Maria, akhirnya memang harus pergi. Aturan untuk menjaga kewibawaan pondok harus dipertahankan. Dalam setiap hubungan yang melibatkan santri laki-laki dan perempuan, biasanya, keduanya yang harus pergi meninggalkan pesantren. Namun, kali ini, hanya Maria yang pergi. Ada 1001 alasan yang dapat digunakan untuk mempertahankan Falah. Intinya, Falah hanyalah korban. Titik.

Hanya karena kesamaan nama, “De’ Mar”, Maria telah berkorban demi sahabat barunya. Semua orang percaya bahwa Maria yang mempunya hubungan dengan Gus Falah. Maria sendiri tidak tega melihat Mariam terusir dari lingkungan yang telah membesarkannya. Di atas semua itu, ia merasa harus terus mendorong hubungan antara Mbak Mar dengan Gus Falah.

(Farahdiba, 2006: 33-34) Maria rela dijadikan kambing hitam untuk menutupi hubungan Mariam dan Gus Falah agar Mariam tidak diusir dari pondok pesantren. Tindakan itu dilakukannya karena sudah tidak betah berada di pondok pesantren. Maria berharap akan menemukan kebebasannya lagi setelah keluar dari pondok pesantren.

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang kejadiannya lebih sedikit diceritakan dalam novel dibandingkan tokoh utama dan kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama (Wicaksono, 2017: 186). Tokoh-tokoh tambahan dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba adalah tokoh Mariam, Guru Dharmo, Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan. Berikut dipaparkan analisis tokoh dan penokohannya.

2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan Mariam

Siti Mariam adalah santriwati yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Aziz. Ia menjadi santriwati kebanggaan pesantren karena cerdas dan parasnya yang cantik.

(39)

30

Kecantikan dan kepintarannya membuat dua orang lelaki, yaitu Kiai Shiddieq dan anaknya, Gus Falah, jatuh hati kepadanya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(12) Siti Mariam lebih dikenal dengan panggilan “Mbak Mar”. Selain cantik dan pintar, ia seorang hafidzah—hapal di luar kepala semua ayat Al- Qur’an. Predikat yang sungguh membanggakan seluruh pondok pesantren, khususnya Ibu Nyai Fatimah, istri Almarhum Kiai Haji Faqih, tokoh yang dulu mengasuh Pondok Pesantren Al-Aziz.

(Farahdiba, 2006: 6) (13) “Ibu tidak pernah bertanya lebih dulu padaku, apakah aku suka atau

menerima lamaran Kiai Shiddieq,” ujar Mariam lirih.

“Bilang saja sama Ibu, kalau kamu keberatan... ‘Aku ndak cinta sama Kiai bangkotan itu’. Selesai perkara.”

“Astagfirullah ‘De, jangan begitu. Bagaimana kalau didengar orang- orang... Beliau itu Kiai besar, tidak baik menghujat seperti itu.”

(Farahdiba, 2006: 9) (14) “Mbak Mar, aku tidak bisa membayangkan kalau Gus Falah sampai tahu.

Ia harus bersaing dengan ayahnya sendiri. Sorry, Mbak, tapi Gus Falah harus tahu kalau bapaknya juga mengincar calon mantunya.”

(Farahdiba, 2006: 15) Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa Mariam diam-diam menjalin hubungan dengan Gus Falah, anak Kiai Shiddieq. Sementara itu, Kiai Shiddieq juga berniat menjadikan Mariam istrinya. Mariam ingin menolak lamaran Kiai Shiddieq, tetapi ia tidak tega melihat ibu asuhnya sedih jika ia menolak lamaran itu.

Mariam adalah perempuan yang kritis. Namun, ia tidak dapat mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Ia iri dengan keberanian Maria yang tidak takut mengungkapkan pendapatnya secara gamblang. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(15) Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikiannya. Ibu Nyai yang sering mendengarkan keluh-kesahnya, seringkali cuma bisa tersenyum kala mendengar ide-idenya yang tidak biasa. Ibu Nyai sendiri

(40)

31

sudah mengajarinya untuk tidak terjebak dalam simbol dan lebih mengutamakan substansi.

(Farahdiba, 2006: 12) (16) “Aduh De’, kamu ini ada-ada saja,” kali ini Mariam harus menahan geli sekuat tenaga. Ucapan Maria seperti mewakili salah satu lintasan pikirannya sendiri yang tak pernah berani ia ungkapkan. Entah mengapa ia menyukai kawannya yang kurang ajar ini. Sejenak ia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Maria.

(Farahdiba, 2006: 10) Dalam kutipan (15) dan (16) dipelihatkan bahwa Mariam sebenarnya kritis dan terbuka terhadap hal-hal baru.. Namun, lingkungan pesantren yang kental dengan budaya patriarki membuatnya tidak bisa menyuarakan pikiran dengan bebas.

Mariam yang tidak sanggup menolak lamaran Kiai Shiddieq memilih untuk kabur dari pondok pesantren. Ia sudah tidak tahan tinggal di lingkungan pondok pesantren yang malah membuatnya terkungkung dan tidak bebas untuk mengekspresikan diri. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(17) “Ibu Nyai tetap menikahkanku dengan Kiai Shiddieq, hari ini. Dan sekarang saatnya aku menentukan sikap. Aku kabur meninggalkan mereka. Aku sudah tak tahan...,” meledaklah tangis Mbak Mr. Tidak ada lagi kesan anggun, keibuan yang selama ini ia tunjukkan pada para santri, termasuk pada Maria.

Aku sudah capek, Maria. Kali ini, aku ingin menjadi diriku sendiri.

Perkawinan ini tidak boleh terjadi. Satu-satunya jalan, aku harus pergi meninggalkan lingkungan yang mengungkungku. Aku harus, aku harus...”

Maria tidak berbicara apa-apa. Ia hanya memeluk sahabatnya yang sedang terguncang itu.

(Farahdiba, 2006: 66) Mariam mendatangi Maria untuk meminta pertolongan agar dapat pergi sejauh mungkin dari Kota Yogyakarta. Mariam tidak ingin kembali lagi ke pondok pesantren dan ingin mencari kebebasan. Maria menyuruh Mariam pergi ke Jakarta bersama Ira, saudara sepupunya. Keputusan Mariam untuk kabur dari

(41)

32

pondok pesantren membuat Maria terkejut dan senang. Selama ini, Mariam tidak pernah berani mengambil keputusan karena lingkungan pondok yang menjadikan perempuan sebagai subordinat. Selepas keluar dari pondok pesantren, kehidupan Mariam justru berubah drastis.

(18) “Setahun lebih aku bekerja di Cafe itu. Saat itulah, aku benar-benar menjadi orang yang mandiri. Bebas menentukan langkahku sendiri. Tidak munafik,” kata-kata yang terakhir diucapkannya dengan sedikit keras.

Mariam sempat terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pengunjung setia Cafe, anak seorang pejabat tinggi, yang akhirnya putus karena pacarnya sangat pencemburu. Sejak saat itu, Mariam tidak pernah mau lagi membina hubungan asmara dengan pria lokal yang disebutnya

“anak mami” itu. Dari sana pula ia kemudian bertemu dengan Andrew, kekasihnya saat ini.

(Farahdiba, 2006: 269) (19) Maria sedih mendengar cerita Mbak Mar. Meski tidak diekspresikan, Maria merasa ada kegetiran yang terpendam di balik penampilan Mbak Mar. Perubahan yang terlalu drastis semacam itu, baginya sangat tidak wajar. Ia telah cukup banyak mengamati berbagai jenis karakter orang.

Mereka yang mudah berubah secara ekstrem, biasanya memiliki tingkat ketidakstabilan mental yang tinggi. Ia kasihan terhadap sahabatnya ini.

Dulu “kearab-araban”, kini “kebarat-baratan”.

(Farahdiba, 2006: 270) Mariam mengekspresikan diri sebebas-bebasnya setelah tidak lagi tinggal di pondok pesantren. Namun, kepribadian Mariam yang berubah drastis justru membuat Maria sedih dan prihatin karena Mariam telah menjadi ‘gadis metropolis’.

2.2.2.2 Tokoh dan Penokohan Guru Dharmo

Guru Dharmo atau Dharmo Budi adalah pemilik padepokan spiritual sekaligus guru spiritual Maria. Ia memiliki perawakan tinggi besar dengan sorot mata tajam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(42)

33

(20) Maria menoleh. Tampak seorang laki-laki tinggi besar dengan kulit agak gelap. Sorot matanya tajam, namun teduh. Sosok yang sulit ditebak. Sesaat Maria termangu, ia tak tahu harus bagaimana sekarang.

(Farahdiba, 2006: 78) (21) Senin sore. Maria sudah mendatangi padepokan Guru Dharmo. Ia sengaja datang lebih awal, berharap bisa berbincang-bincang dengan Guru Dharmo. Namun, sebelum memasuki lantai dua rumah itu, ia berpapasan dengan Armapali.

(Farahdiba, 2006: 105) Dalam kutipan (20) dan (21) diperlihatkan perawakan Guru Dharmo. Ia memiliki toko kain dan padepokan spiritual, tempat Maria mendaftarkan diri sebagai muridnya. Sebagai seorang guru spiritual, Guru Dharmo adalah orang yang bijaksana. Pemikirannya yang tidak biasa kadang membuat Maria tidak memahami ajaran Guru Dharmo dengan mudah. Meski begitu, Maria menganggap bahwa ajaran dari Guru Dharmo dapat menjawab pertanyaan- pertanyaannya selama ini dan mengobati kegelisahannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

(22) Tiba-tiba Guru Dharmo berbicara pula tentang materalisme yang berkembang di zaman edan ini, “kita tanpa terkecuali, telah menjadi sangat materialistik. Apapun yang kita lakukan, selalu kita nilai dengan uang.

Melihat harga barang yang mahal, kita menuduh si penjual barang terlalu materialistik—padahal, sikap kita yang terlalu berhitung ‘untung-rugi’-pun tak lain adalah cerminan dari betapa materialistiknya diri kita. Oleh karena itu, di zaman ini, kita harus menyadar-nyadarkan diri, setiap saat. Setiap detik.” Di bagian belakang, Maria terisak dengan perlahan. Pelajaran pertama tentang kesadaran sudah ia dapatkan. Ia hanya tak menyangka bahwa untuk melangkah maju, selalu akan ada rasa sakit dan air mata.

(Farahdiba, 2006: 108) (23) Tak mudah baginya menerima perkataan Gurunya, Padahal, yang dibicarakan adalah soal-soal keseharian. Guru Dharmo tidak pernah berbicara tentang Tuhan yang abstrak. Ia bicara tentang Tuhan yang dapat ditemui oleh setiap orang—dan justru itu, ia tidak dimengerti oleh orang kebanyakan.

(Farahdiba, 2006: 110)

(43)

34

(24) Di bawah bimbingan Guru Dharmo, Maria menyadari bahwa mencintai lingkungan dan memperhatikan hal-hal kecil di sekitar kita, sesungguhnya adalah tindakan-tindakan besar. Dengan menggunakan bahasa sains modern yang populer, Guru Dharmo menjelaskan bahwa setiap benda atau bentuk, sesungguhnya adalah bentuk lain dari energi. Segala sesuatunya adalah energi! Tidak ada yang namanya benda mati. Energi itu saling berinteraksi dengan pikiran dan emosi kita, manusia—yang juga merupakan bentuk energi yang lebih tinggi.

(Farahdiba, 2006: 111-112) Dalam kutipan (22), (23), dan (24) diperlihatkan ajaran-ajaran yang diberikan Guru Dharmo kepada para pengikutnya di padepokan. Ajaran-ajaran Guru Dharmo memberikan banyak pengaruh terhadap cara berpikir Maria. Maria menganggap Guru Dharmo mampu menjawab segala pertanyaan dan rasa penasarannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(25) “Jadi, beragama perlu atau tidak...?” tanya Maria masih penasaran.

“Ha ha ha ha... Kau harus menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaanmu.

Sekarang tergantung padamu. Tak ada jawaban yang berlaku sama untuk setiap orang. Kau tak bisa meminta orang lain terus menyuapimu, Kau harus mencapai kesadaranku, Maria. Jangan terus-menerus menjadi pengikutku.”

(Farahdiba, 2006: 120) (26) Sejak pertemuannya dengan Guru Dharmo, rasa gelisah itu sempat hilang entah ke mana. Dulu, ia gelisah karena setiap tempat maupun lingkungan yang ia singgahi selalu saja memiliki cara pandang yang berbeda dengannya—mulai dari keluarga besar Papanya yang tidak menyukai perkawinan kedua orangtuanya hingga ke lingkungan pesantren yang sempat dimasukinya. Semua itu, dalam pikirannya, sudah dapat diatasi ketika “mondok” di padepokan Guru Dharmo selama sebulan penuh.

(Farahdiba, 2006: 129) Dalam kutipan (26) dan (27) diperlihatkan bahwa Maria sangat tergantung pada Guru Dharmo. Maria seolah menemukan orang yang dapat menjawab semua pertanyaannya terkait banyak hal, seperti agama dan kehidupan.

Namun, Guru Dharmo berharap agar Maria dapat menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaannya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

Gambar

Tabel 1: Rangkuman Tokoh dan Penokohan
Tabel 2: Rangkuman Latar
Tabel 3: Rangkuman Alur
Tabel 4: Rangkuman Budaya
+3

Referensi

Dokumen terkait

Gedung perpustakaan enam lantai dengan basement dibangun di wilayah gempa dua direncanakan dengan daktail penuh dan berdiri di atas tanah sedang. Data struktur.. Gedung terdiri

The common problems faced by students are difficulty to pronounce words, the students consider that learning English is very difficult, they often speak their Javanese

Based on research data analysis it can be concluded that; (1) English MGMP for Junior High School in Kota Pontianak contribute greatly to the development of

Sikap yang baik dalam melakukan pemeriksaan sangat diperlukan dalam penbetukan kompetesi.Palpasi Leopold merupakan cara untuk menentukan letak janin normal atau tidak

Ketiga, terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dan efikasi diri dengan prokrastinasi Penyelesaian laporan persalinan mahasiswa (p=0,004). Kata Kunci : Kadar Hemoglobin ,

Ade Nurulita Dewi. DESCRIPTIVE STUDY ON TEACHING ENGLISH TO CHILDREN BY USING SONGS AND GAMES TO THE FIFTH YEAR STUDENTS OF SD NEGERI KARANGJOMPO PEKALONGAN.

dihasilkan sebuah konsep Tugas Akhir tentang keindahan bentuk visual biola, tiap bagian-bagian biola yang saling mendukung satu sama lain merupakan sebuah kesatuan

didik pada kelas yang akan menjadi obyek penelitian. 2) Menyusun waktu yang tepat untuk melakukan pelaksanaan tindakan. 3) Menentukan materi yang akan dibantu dengan media