• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat berhubungan dengan kondisi psikologis individu, serta dapat melihat sejauh mana kepuasan hidup yang dirasakan (Wu & Zhou, 2010). Kesejahteraan subjektif memiliki dua dimensi utama yaitu kognitif dan afektif. Tellegen (Diponegoro, 2006) menyatakan bahwa afek positif merupakan perasaan semangat, aktif dan waspada. Afek negatif merupakan ketegangan dan ketidaknyamanan akibat dari berbagai macam mood yang tidak mengenakkan seperti marah, takut, rasa bersalah, tidak disukai, dan gelisah. Dimensi kognitif mengarah pada kepuasan hidup yang merupakan hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu akan merasa lebih puas dengan kehidupannya ketika dapat menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik (Diener, 2000). Kepuasan hidup merupakan bagian dari dimensi kognitif yaitu penilaian kognitif individu mengenai kehidupan. Semakin banyak aktifitas positif yang dilakukan maka semakin besar pula kepuasan hidup yang dirasakan (Csikszentmihalyi, 1999).

Kesejahteraan subjektif pada remaja dapat meningkat, apabila remaja tersebut memiliki kebutuhan dalam memenuhi kepuasan hidupnya serta mampu menentukan tujuan hidup. Kedua hal tersebut, menjadi suatu hal yang sifatnya pararel dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif pada remaja (Eryilmaz, 2011). Kesejahteraan subjektif dapat diperoleh remaja dengan melewati tiap tahap perkembangan dengan positif (Huebner, 2004; Eryilmaz, 2011). Hasil

(2)

penelitian menunjukkan bahwa, usia menjadi prediktor dalam perubahan well- being. Individu di sekolah dasar memiliki afek positif yang tinggi, serta kepuasan

hidup yang dirasakan lebih baik dibanding individu di sekolah menengah pertama. Pada usia kanak-kanak, individu belum cukup banyak memahami konsep emosi yang terjadi dalam diri sedangkan pada usia remaja awal individu mulai mengalami perubahan emosi (Greene, 1990; Chang, McBride-Chang, Stewart, & Au, 2003). Pada usia remaja, individu mengalami perubahan emosi yang dipengaruhi oleh perubahan hormon, selain itu individu juga mengalami perubahan kognitif. Pola pikir individu yang berubah mampu memengaruhi hubungan sosialnya (Ben-Zur, 2003) dan membutuhkan kedekatan dengan orangtua untuk mempelajari penyesuaian sosial, tetapi tidak lagi untuk mengontrol perilakunya (Evanjeli, Prawitasri-Hadiyono, Hakim, Yuniarti & Kim, tanpa tahun).

Sebagai remaja yang mengalami perubahan, individu mengalami perubahan emosi yang berhubungan dengan persepsi dalam menilai dirinya dan individu lain. Hal tersebut dimulai pada masa periode remaja awal ke periode remaja tengah (Ben-Zur, 2003). Remaja yang tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi, dapat mengalami kecemasan, perasaan tidak menyenangkan atau aneh, dan merasa terasing (Bugental &

Grusec, 2006). Remaja yang memiliki kesejahteraan subjektif tinggi dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Pola asuh yang tepat, lingkungan sekolah dan komunitas yang baik dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif remaja, serta menyiapkan remaja untuk berkembang menjadi individu yang dewasa.

Faktor internal yang dapat pula memengaruhi kesejahteraan subjektif remaja

(3)

antara lain, seperti harapan, efikasi diri, harga diri, independence dan assertiveness (Park, 2004).

Efikasi diri dianggap penting dalam membantu remaja untuk mengatasi perubahan dalam perkembangan psikososial (Riaz, Yasien, & Khanam, 2011).

Erikson (Desmita, 2005) menjelaskan di masa remaja, individu dihadapkan pada proses pencarian jati diri yang terjadi di tahap identitas dan kekacauan identitas.

Dalam proses pencarian jati diri tersebut, individu merasakan dirinya siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbaharui. Proses pencarian jati diri yang mengalami kekacauan dapat menyebabkan individu merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang.

Hasil penelitian Luszczynska, Scholz, & Schwarzer (2005) menunjukkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi mampu mengurangi emosi negatif yang ada dan meningkatkan kesejahteraan subjektif pada diri individu tersebut.

Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi memiliki kualitas hidup yang baik dan sehat dalam lingkup emosi, sosial, maupun kognisi. Penelitian yang dilakukan Tong & Song (2004) pada beberapa mahasiswa di China terlihat bahwa efikasi diri yang rendah pada mahasiswa tersebut, kesejahteraan subjektif yang dimiliki juga rendah karena kurangnya dukungan pada kondisi psikologis yang mampu meningkatkan stres pada mahasiswa tersebut.

Faktor lain yang mampu memengaruhi kesejahteraan subjektif remaja melalui lingkungan sosial, antara lain stable dan secure, hubungan dengan orangtua, saudara, dan teman-teman. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan kepuasan hidup dan memiliki efek yang positif terhadap kesejahteraan subjektif remaja (Seligman, 2002). Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan pada

(4)

117 siswa sekolah menengah pertama di kota Yogyakarta dan Solo, diperoleh hasil sebanyak 37 siswa (32%) dalam domain pribadi, bahagia memiliki postur tubuh/fisik yang bagus. Hal tersebut oleh remaja, digambarkan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan bentuk fisik yang terjadi pada dirinya. Dalam domain sekolah, sebanyak 43 siswa (37%) bahagia ketika memiliki banyak teman dibanding dengan memiliki nilai yang bagus yang diperoleh dari 17 siswa (15%). Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa remaja mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kognitif dan pola pikir yang mampu memengaruhi hubungan sosialnya. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan subjek yang bahagia memiliki banyak teman.

Individu yang bahagia memiliki hubungan sosial yang baik, dan hubungan sosial yang baik mampu menciptakan kebahagiaan (Diener & Biswas-Diener, 2008). Perilaku sosial seperti hubungan interpersonal, jumlah teman yang dimiliki, keterlibatan dalam organisasi dan kegiatan sosial, dan mengikuti kegiatan keagamaan merupakan hal-hal yang memiliki pengaruh terhadap emosi positif dan dapat meningkatkan mood positif pada individu (Synder & Lopez, 2002). Tingginya efektifitas emosi positif dapat mungkin terjadi ketika individu difokuskan terlibat dalam lingkungan sosial (Clark & Watson, 1999).

Kemampuan sosial di masa remaja awal mengalami perubahan, begitu pula dengan pertemanan yang dimiliki karena kemampuan kognisi yang telah berubah menjadi pemikiran abstrak (Clikeman, 2007). Piaget menjelaskan bahwa, perkembangan kognitif pada periode remaja awal juga berubah dari tahap operasional konkrit menjadi tahap operasional formal. Penalaran moral juga berdampak pada perkembangan kognitif remaja awal, terjadi proses berpikir dan membuat penilaian terhadap tindakan yang benar dan baik untuk dilakukan

(5)

(Joronen, 2005). Kemampuan untuk berpikir secara abstrak pada remaja mulai muncul yang kemudian menyatu dengan pengalaman sosial, sehingga menghasilkan suatu perubahan besar dalam memahami diri sendiri dan individu lain. Sebagian remaja ketika mendapat penolakan atau diabaikan oleh teman sebaya, maka akan muncul perasaan kesepian atau permusuhan. Penolakan yang diterima dapat menimbulkan perilaku-perilaku menyimpang atau bahkan muncul tindakan kriminalitas (Desmita, 2005).

Hasil penelitian Sitepu (2010) menyimpulkan, remaja merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan individu lain sehingga kemampuan sosial yang baik dapat mengurangi dampak stres. Remaja yang mampu menjalin dan mempertahankan pertemanan dapat mengurangi stres akademik dan ketidakmampuan bersosialisasi dalam lingkungan sekolah.

Berdasarkan hasil penelitian awal, dalam hubungan pertemanan yang dilakukan pada 117 siswa SMP di Yogyakarta dan Solo secara lingkungan sosial siswa merasa bahagia karena banyak teman yang dimiliki dalam bermain dan belajar (36%), bahagia karena memiliki teman-teman yang baik (25%), teman-teman yang dapat dijadikan tempat untuk bercerita (27%), bahagia karena teman selalu ada setiap saat (10%), dan dapat menerima segala kekurangan yang dimiliki (2%). Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa teman bermain dan belajar dapat juga dijadikan sebagai tempat curhat dan hal tersebut penting bagi remaja. Hal tersebut juga menggambarkan bahwa, pertemanan dan hubungan sosial dapat menciptakan kesejahteraan subjektif bagi siswa tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa remaja di China (Carlsson, Lampi, Li & Martinsson, 2011) memperlihatkan, bahwa pada variabel hubungan interpersonal, interaksi dengan orangtua dan teman sangat penting bagi

(6)

kesejahteraan remaja. Remaja yang memiliki banyak teman dan berinteraksi serta memiliki banyak waktu bersama keluarga berhubungan dengan meningkatnya tingkat kebahagiaan remaja tersebut. Jadi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan pada remaja, salah satunya dapat berfokus pada hubungan dengan teman, orangtua, maupun lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian Suldo, et.al (2009) diperoleh hasil bahwa, kesejahteraan subjektif dapat diperoleh dari keluarga, pengalaman di sekolah, maupun di lingkungan sosial individu. Pengalaman di sekolah salah satunya yaitu, dapat berupa kompetensi sosial yang dimiliki oleh siswa untuk dapat beradpatasi dengan lingkungannya.

Penelitian yang dilakukan Savage (2011) menunjukkan, siswa dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemampuan akademik yang bagus, dukungan sosial dari teman dan keluarga, dan kesehatan fisik yang baik. Jadi, dengan kepuasan hidup dan emosi positif yang banyak dan tidak adanya kecenderungan munculnya psikopatologi, maka hal tersebut dapat memaksimalkan fungsi akademik, kompetensi sosial, dan kesehatan fisik pada siswa. Kompetensi sosial menentukan keberhasilan individu terhadap hubungan interpersonal dan lingkungan sosial individu. Kompetensi sosial sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Spence, 2003).

Remaja awal yang mengalami perubahan dalam memandang dan mengatasi lingkungan sosial, dianggap penting berpengaruh terhadap menciptakan emosi positif dan kualitas hidup yang baik (Wu & Zhou, 2010; Eryilmaz, 2011). Hal tersebut dikarenakan, perubahan fisik yang terjadi dalam diri remaja awal mampu merubah emosi dan kognitif remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan

(7)

dan menjalin hubungan dengan individu lain, termasuk orangtua (Joronen, 2005;

Paikoff & Brooks-Gunn, 1991; Ben-Zur, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini ingin melihat kontribusi efikasi diri sosial dan kompetensi sosial dalam menentukan kesejahteraan subjektif pada remaja. Efikasi diri sosial sebagai bentuk penilaian subjektif remaja terhadap dirinya dan kompetensi sosial sebagai kemampuan untuk dapat bersosialisasi dengan baik agar dapat diterima dengan baik pula dalam membangun hubungan.

B. Rumusan Masalah

Kesejahteraan subjektif dapat diperoleh atau terbentuk karena adanya dukungan dari beberapa faktor baik dari individu itu sendiri, keluarga, guru, maupun lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin meneliti apakah efikasi diri sosial dan kompetensi sosial dapat berkontribusi dalam menentukan kesejahteraan subjektif pada remaja awal? dan seberapa besarkah sumbangan yang diberikan?

C. Tujuan Penelitian

Kesejahteraan subjektif dapat diperoleh dari sumbangan berbagai faktor salah satunya adalah efikasi diri sosial dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Oleh sebab itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan efikasi diri sosial dan kompetensi sosial dalam membentuk kesejahteraan subjektif pada remaja awal.

(8)

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi bagi bidang psikologi perkembangan dalam memahami kesejahteraan subjektif pada remaja, khususnya remaja awal.

2. Memberikan kontribusi bagi ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dalam penerapan aplikasi ilmu psikologi di kehidupan masyarakat.

3. Memberikan pengetahuan mengenai efikasi diri sosial dan kompetensi sosial sebagai sarana dalam meningkatkan dalam kesejahteraan subjektif pada remaja awal.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kesejahteraan subjektif telah banyak dikemukakan oleh beberapa penelitian yang dilakukan. Salah satunya yang dilakukan oleh Horst & Coffé (2011) yang mengemukakan bahwa hubungan relasi sosial dalam hal ini pertemanan dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif pada individu.

Latif (2013) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa dalam menjalin hubungan sosial yang baik diperlukan kemampuan penyesuaian sosial yang baik pula dalam lingkungan. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dalam meningkatkan penyesuaian sosial dipengaruhi oleh kompetensi sosial yang dimiliki oleh individu.

Penelitian mengenai efikasi diri telah banyak pula dilakukan dengan menghubungkan beberapa variabel antara lain efikasi dan dukungan sosial keluarga terhadap self regulated learning (Adicondro & Purnamasari, 2011), efikasi diri terhadap orientasi masa depan (Pudjiastuti, Damayanti, & Bellanisa, 2012), dan juga efikasi diri terhadap motivasi berprestasi (Wahyuni, 2013). Ada

(9)

juga yang meneliti mengenai kesejahteraan subjektif pada mahasiswa dipengaruhi oleh kematangan beragama dan efikasi diri. Mahaiswa yang memiliki afek positif lebih dominan daripada afek negatif, puas terhadap diri sebagai pribadi, serta memiliki keinginan untuk mengaktualisasikan diri. Efikasi diri dapat menjadi prediktor positif bagi kesejahteraan subjektif mahasiswa. Mahasiswa yang yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan serangkaian tugas dan tanggung jawab, lebih percaya diri untuk mengembangkan potensi, memiliki empati yang kuat, mandiri, serta bersikap positif terhadap diri dan ditandai oleh rendahnya tingkat stres, kecemasan, dan perasaan negatif yang lain (Kuswardani, 2010).

Penelitian yang dilakukan saat ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu efikasi diri sosial dan kompetensi sosial digunakan sebagai prediktor dalam menentukan kesejahteraan subjektif pada remaja.

Referensi

Dokumen terkait

Work family conflict berpengaruh terhadap stres kerja dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wirakristama (2011) bahwa konflik peran ganda berpengaruh

Oleh karena itu, penelitian dengan judul Evaluasi Perencanaan Geometrik Jalan Menggunakan Metode vehicles tracking analysis (Studi Kasus: Jalan Lingkar Luar Barat Kota

Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada anak-anak, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K – Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram, dapat

Proses import merupakan kegiatan pengiriman peta hasil digit yang telah di standarisasi dari Autocad ke aplikasi GeoKKP (Geospasial Komputerisasi Kantor Pertanahan),

Pada analisis ini, untuk mendukung masjid besar dengan RTH yang ideal di Kota Bandung, maka masjid besar dalam tahap pembangunan ataupun masih dalam tahap perencanaan

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan