• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data

Data pada penelitian kompetensi sosial anak usia dini diperoleh melalui pengukuran skala kompetensi sosial, kemudian dianalisis untuk mengetahui perbedaan kompetensi sosial anak yang ditinjau dari bentuk keluarga. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif, sehingga analisis data menggunakan angka yang diperoleh dari proses skoring yang diolah menggunakan metode statistik. Melalui deskripsi data, peneliti akan menjabarkan hasil dari data yang telah diolah.

Hasil perhitungan data deskriptif penelitian kompetensi sosial anak usia dini yang ditinjau dari bentuk keluarga sebagai berikut :

Tabel 2. Descriptive statistic Kompetensi Sosial

N Mean Std. Deviation Min Max

Keluarga Utuh 34 92,91 5,796 83 105

Keluarga Tidak

Utuh 30 60,87 8,278 45 77

Total 64 77,89 17,576 45 105

Tabel descriptive statisticmenunjukkanjumlah responden adalah 64.

Jumlah responden sebanyak 64 dengan pembagian 34 responden untuk keluarga utuh dan 30 responden untuk keluarga tidak utuh.Jumlah item yang digunakan dalam skala instrumen ini sebanyak 23 item dengan nilai tertinggi pada setiap item adalah 5 sehingga jumlah nilai tertinggi yaitu 115. Data mengenai kompetensi sosial anak usia dini pada keluarga utuh dengan nilai minimum = 83 dan nilai maksimum =105. Nilai rata-rata adalah 92,91 dengan standar deviasi sebesar 5,796.

(2)

Perhitungan statistik data kompetensi sosial anak usia dini pada keluarga tidak utuh sesuai dengan tabel diatas ditunjukkan bahwa kompetensi sosial anak pada keluarga tidak utuh memperoleh nilai terendah (minimum) sebesar 45, dan nilai tertinggi (maximum) sebesar 77, dengan nilai rata-rata 60,87 dan standar deviasi sebesar 8,278.

2. Hasil Uji Persyaratan Analisis a). Uji Normalitas

Tabel 3. Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnov

Statistic df Sig.

Keluarga Utuh ,091 30 ,200

Keluarga Tidak Utuh ,094 30 ,200

Diketahui hasil uji normalitas data kompetensi sosial anak usia dini ditinjau dari bentuk keluarga yaitu nilai normalitas untuk kompetensi sosial anak pada keluarga utuh adalah 0,091 dan 0,094 untuk kompetensi sosial anak pada keluarga tidak utuh.

Nilai signifikansi data kompetensi sosial anak pada keluarga utuh sebesar 0,200 dan kompetensi sosial anak pada keluarga tidak utuh yaitu 0,200 yang ditunjukkan pada kolom Kolmogorov-smirnov. Uji normalitas data memiliki kriteria apabila nilai signifikansi > 0,05 maka data berdistribusi normal, dan apabila nilai signifikansi < 0,05 maka data berdistribusi tidak normal.

Hasil uji normalitas ditunjukkan dengan nilai signifikansi data untuk kriteria kompetensi sosial anak usia dini pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh masing-masing mempunyai nilai > 0,05. Hal ini diartikan bahwa data kompetensi sosial anak usia dini pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh berdistribusi normal.

(3)

b). Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linier secara signifikan atau tidak. Hasil uji homogenitas dari penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Kompetensi Sosial

Levene Statistic

df 1

df

2 Sig.

3,345 1 6

2 ,072

Hasil uji homogenitas varian antar kelompok menggunakan Anova satu arah diperoleh signifikansi 0,072 > 0,05 yang berarti varian antar kelompok adalah homogen, artinya alternatif jawaban dalam kelompok memiliki variansi yang sama.

3. Hasil Uji Hipotesis

Uji hipotesis penelitian ini adalah Ha : terdapat perbedaan

kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun yang ditinjau dari jenis keluarga utuh dan keluarga tidak utuh.

Ketentuan seperti berikut :

a. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan kompetensi sosial anak usi 5-6 tahun pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh.

b. Jika signifikansi > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh.

(4)

Penelitian ini menggunakan one way anova SPSS 17 for windows untuk mengetahui perbedaan kompetensi sosial anak pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh. Hasil analisis yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil Uji Hipotesis

ANOVA Kompetensi Sosial

Df F Sig.

Between Groups 1 327,722 ,000

Within Groups 62

Total 63

Berdasarkan hasil uji anova diperoleh F hitung 327,722 dengan nilai signifikansi 0.000 < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya terdapat perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun pada keluarga utuh dan tidak utuh.

B. Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini untuk menguji perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun dari struktur keluarga, yaitu keluarga utuh dan keluarga tidak utuh di TK Gugus Kartini Kecamatan Bendosari. Hasil dari pengujian hipotesis dalam penelitian yaitu terdapat perbedaan kompetensi sosial anak usia dini pada keluarga utuh dan keluarga tidak utuh. Anak yang hidup dengan keluarga utuh dalam pengasuhan ibu dan ayah mempunyai kompetensi sosial yang lebih baik dibanding anak yang hidup dalam keluarga tidak utuh yang disebabkan oleh perceraian.

Johnson, dkk., (2008) menyebutkan bahwa keluarga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial anak.

Keluarga terbagi dalam beberapa bentuk, salah satu bentuk keluarga berdasakan keutuhan adalah keluarga utuh dan keluarga tidak utuh atau bercerai (Sunarto, 1993). Keluarga utuh merupakan keluarga dengan

(5)

struktur atau susunan anggota yang lengkap adanya ayah, ibu, dan anak yang hidup atau tinggal dalam satu atap rumah dalam kondisi yang harmonis. Keluarga tidak utuh memiliki struktur yang kurang lengkap yaitu ketidakhadiran atau hilangnya salah satu peran orang tua yang disebabkan oleh perceraian.

Struktur keluarga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial anak usia dini. (Amato, 2005) menyebutkan bahwa perkembangan sosial anak diperngaruhi oleh kualitas hubungan keluarga terutama orang tua. Keluarga yang memiliki hubungan atau ikatan yang harmonis dalam keluarga utuh akan menghasilkan anak – anak yang memiliki perilaku sosial positif sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Anak yang memiliki kompetensi sosial cenderung memiliki sikap patuh terhadap aturan, mau berbagi kepada teman lain, mudah beradaptasi dengan lingkungan, dapat membangun relasi yang positif dengan teman sebaya, memiliki kepekaan terhadap suatu masalah yang sedang terjadi, mau berbaur dan bekerjasama dengan teman dalam sebuah kelompok permainan. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian oleh (Denham, 2003) yang menjelaskan bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial tinggi memiliki relasi yang positif, sikap kooperatif, dan rasa empati terhadap orang lain.

Hasil penelitian ini menunjukkan anak yang berada dalam lingkup keluarga utuh, memiliki kompetensi sosial yang berkembang sesuai dengan aspek perkembangan anak. Saat berada di sekolah, anak cenderung mudah menyesuaikan diri, patuh terhadap aturan yang ditunjukkan dengan sikap mau menaati peraturan yang dibuat oleh guru dan melaksanakan perintah guru. Aspek lain yang terlihat bahwa anak memiliki kompetensi sosial yaitu ketrampilan interpersonal atau kemampuan individu dalam membawa diri untuk melakukan suatu hal tanpa adanya paksaan dari orang lain. Misalnya, anak merapikan kembali mainan setelah dipakai bermain tanpa diingatkan oleh guru atau teman. Perilaku prososial yang ditunjukkan dengan anak mau bermain dengan teman lain, mau berbagi

(6)

mainan ataupun makanan, dan mau menolong atau berempati dengan teman yang sedang sedih juga meunjukkan bahwa kompetensi sosial anak berkembang dengan optimal.

Keluarga yang utuh membuat anak bahagia. Sebuah penelitian oleh kelompok riset tren anak, menekankan pentingnya pengasuhan anak oleh kedua orang tua kandung. Hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa, rata-rata anak yang hidup dan diasuh sejak lahir oleh kedua orang tua memiliki perilaku sosial yang cenderung lebih baik daripada anak yang hidup pada keluarga tunggal dan mengalami konflik keluarga (Carlson, Marcia & Corcoran, Mary, 2001). Ryan, Martin, & Brooks-gunn (2006) menyebutkan bahwa anak yang diasuh oleh kedua orang tua memiliki tingkat pencapaian akademik yang baik.

Brophy-Herb, dkk., (2007) menyatakan bahwa struktur keluarga, terutama orang tua tunggal, memiliki kaitan dengan kompetensi sosial anak. Perceraian orang tua memiliki dampak yang signifikan bagi kompetensi sosial anak. Anak akan mengalami masalah sosial, emosional, dan perilaku yang melanggar aturan. Selain itu, perceraian juga berpengaruh pada tingkat kompetensi sosial di sekolah, yang akan menyebabkan masalah internalisasi dan eksternalisasi jangka panjang serta mengalami kesulitan dalam pencapaian perkembangan akademik (Bornstein, Hahn, & Haynes, 2010). Semrud-Clikeman (2007) menyatakan anak yang kompetensi sosialnya rendah cenderung menunjukkan perilaku bermasalah pada tahapan perkembangannya, anak mengalami kesulitan melakukan adaptasi sosial dan emosional, serta mengalami kesulitan dalam perkembangan akademik dan kognisi.

Hasil penelitian kompetensi sosial anak pada keluarga tidak utuh yang disebabkan oleh perceraian yaitu anak cenderung lebih agresif saat bermain dengan teman, tidak mau mengalah bahkan suka menyendiri apabila ditegur oleh guru. Saat kegiatan di dalam kelas pun, anak sulit untuk konsentrasi atau bahkan suka mengganggu teman lain. Perilaku yang menyimpang lebih sering ditunjukkan oleh anak laki-laki, meskipun

(7)

tidak dipungkiri penyimpangan-penyimpangan tersebut juga dapat dilakukan oleh anak perempuan. Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Davis dan Forsythe (2004) yang menyatakan bahwa anak yang menjadi korban perceraian orang tua, tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis menyebabkan anak tidak mendapat kepuasan psikis yang cukup sehingga anak akan mengalami kendala dalam mengembangkan kompetensi sosialnya.

Anak usia dini yang hidup atau tinggal dengan orang tua tunggal karena perceraian cenderung akan menunjukkan perilaku sosial yang menyimpang dan memiliki kompetensi sosial cenderung lebih rendah daripada anak yang tumbuh lebih beruntung pada keluarga utuh (Moore, dkk., 2006). Masalah yang paling umum terlihat pada anak dari keluarga tidak utuh adalah depresi, stres, kesepian, agresi, dan ketidakpatuhan (Herwing dkk, 2004). Kume (2015), yang mengatakan bahwa seorang anak yang diasuh oleh orangtua tunggal akan bermasalah dalam hal perilakunya.

Kompetensi sosial anak pada keluarga tidak utuh yang berada dalam pengasuhan ayah atau ibu memiliki perbedaan. Umumnya pengasuhan anak telah diimplikasikan sebagai pengaruh penting pada perkembangan anak (Taylor, Repetti, & Seeman, 1997) dan (Hoghughi, 1998). Namun studi tentang pengasuhan yang lebih banyak dibahas adalah pengasuhan ibu, sangat sedikit perhatian tentang bagaimana peran ayah dalam pengasuhan anak (Belsky, dkk., 2006 & Pendry, Adam, 2008).

Hubungan ayah dan anak yang positif dapat meningkatkan perkembangan sosial dan emosional seorang anak (Amato, 1994). Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana hubungan ayah dengan anak yang dipengaruhi oleh kualitas hubungan ayah dan ibu dalam perkawinan, dengan demikian dijelaskan bahwa perilaku pengasuhan ayah paling baik dalam konteks stabilitas perkawinan. Ketika perselisihan perkawinan terjadi, ayah menunjukkan efek bawaan dalam hubungan orang tua dengan anak (Krishnakumar & Buehler, 2000). Sifat dan makna hubungan ayah

(8)

dengan anak mungkin sangat rentan terhadap efek negatif dari perceraian, karena perceraian dapat mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan anak dengan ayah (Peters & Ehrenberg, 2008) dan mengurangi waktu pengasuhan ayah terhadap anak yang biasanya adaptif (Amato & Gilbreth, 1999). Nielsen (2011), menyebutkan bahwa beberapa dekade ini hubungan ayah dengan anak akan rusak dikarenakan perceraian kedua orang tuanya bukan dikarenakan hanya sebatas adanya masalah antara ayah dengan anak.

Naluri ayah dalam mengasuh anak tentu tidak seperti seorang ibu (Meuwissen & Carlson, 2015). Namun, demi anak, ayah harus bisa menjalankan peran tersebut ketika menjadi ayah tunggal. Sebagai seorang single parent, peran ayah dalam keluarga tentu saja menjadi lebih luas.

Selain dituntut memegang peran pencari nafkah, ayah juga harus mengurus berbagai keperluan rumah tangga, yang paling penting memastikan tumbuh kembangnya anak berjalan dengan baik (Dian, 2012).

City (1985) menyebutkan bahwa ayah lebih menjadi teman bermain.

Permainan yang dipilih oleh ayah cenderung permaianan yang melibatkan kemampuan fisik anak, permainan yang unik dan dapat mengeksplor berbagai aspek, serta tidak dapat diprediksi. Hasil penelitian ini menunjukkan anak yang diasuh oleh ayah tunggal memiliki kompetensi sosial seperti mudah beradaptasi, memiliki rasa percaya diri, dan keberanian. Pernyataan tersebut sesuai bahwa ayah sangat berperan dalam mambangun kepercayaan diri dalam hubungan sosial (Williamson, 2004)

Anak yang diasuh oleh ibu cenderung lebih pandai membawa diri dan terkendali. Hal tersebut terjadi karena ibu melibatkan lebih banyak stimulasi visual dan aktivitas yang dapat diprediksi (City, 1985). Anak yang diasuh oleh ibu cenderung memiliki empati yang lebih baik daripada anak yang diasuh oleh ayah. Ibu cenderung menekankan pengasuhan atau pelatihan verbal, perasaan, dan ketrampilan interpersonal. Ibu memiliki peran dalam merawat dan mengasuh anak (Rispoli, McGoey, Koziol, &

Schreiber, 2013). Pada kasus ibu tunggal karena bercerai, seorang ibu

(9)

memiliki tingkat stres yang berbeda (Kesner & McKenry, 2001). Seorang ibu yang hidup dalam lingkungan yang suportif tentu akan memiliki kondisi psikis yang lebih baik dibanding ibu tunggal dengan lingkungan yang kurang mendukung. Ibu yang memiliki psikis baik akan mempengaruhi pengasuhan terhadap anak, anak tidak terlantar dan selalu dalam perawatannya. Akan tetapi, keadaan akan berubah setelah terjadi perceraian. Bagi orang tua tunggal memilih bekerja akan membutuhkan waktu, tenaga dan konsentrasi penuh yang mengakibatkan keberadaanya di rumah berkurang. Terutama waktu untuk mengasuh anak-anaknya, sehingga anak-anaknya kurang mendapat pengasuhan secara optimal dari orang tua. Hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang tidak mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis menurun, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas (Dagun, 1990).

Pengasuhan terbaik bagi perkembangan sosial anak adalah pengasuhan yang seimbang dari kedua orang tua. Hal tersebut didukung oleh pernyataan apabila struktur keluarga sudah tidak utuh karena adanya perceraian, sebaiknya tetap diupayakan untuk menjaga komunikasi yang baik demi tercapainya aspek perkembangan yang optimal. Selaras dengan penyataan Buserman (2002) orang tua yang sudah bercerai namun masih saling mengasuh anak secara bersama-sama akan berdampak lebih baik dibandingkan jika harus mempunyai orangtua yang bercerai dan melakukan pengasuhan sendiri sebagai orang tua tunggal, karena hal ini akan menimbulkan efek yang negatif dalam hal sikap sosial.

Zanden (Wahini, 2002) menyatakan bahwa fungsi keluarga sebagai tempat belajar pertama terjadinya sosialisasi antar individu yang dapat membantu anak untuk menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas. Lingkungan luas yang dihadapi anak usia dini adalah lingkungan sekolah, di sekolah anak akan berinteraksi dengan teman lain dan guru.

Anak yang memiliki kompetensi sosial tinggi cenderung lebih mudah

(10)

untuk melakukan adaptasi sosial dan memiliki perkembangan akademik yang baik di lingkungan sekolah. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Lindsey & Berks (2019) yang menyebutkan bahwa adaptasi sosial dan perkembangan akademik anak dapat berkembang dengan baik apabila selama masa perkembangan anak memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi sosialnya.

Hasil lain pada penelitian ini adalah pentingnya peran sekolah pada perkembangan kompetensi sosial anak. Sekolah memiliki peran dalam merangsang kompetensi sosial, guru sebaiknya memberikan kesempatan pada anak untuk terlibat dalam kegiatan kelompok dan menjaga interaksiagar anak tidak merasa kesepian. Guru di sekolah juga harus mempertimbangkan treatmen dalam menghadapi anak yang mempunyai latar belakang keluarga bercerai. Kompetensi sosial anak yang optimal akan mempengaruhi pencapaian akademik dan kesiapan anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pernyataan tersebut di dukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa kesiapan anak memasuki dunia sekolah berkaitan dengan kompetensi sosial anak (Huffman, dkk., 2000). Brooks dan Dubois (1995) menyatakan kompetensi sosial pada dasarnya memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemampuan akademik anak.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menempuh mata kuliah ini, mahasiswa mampu menerapkan dan menguasai konsep dasar analisis survival dalam melakukan inferensi pada bidang ilmu kehidupan

YUNUS BIN ABD... YUNUS

Perbedaan dari ketiga video profile tersebut dengan Perancangan Video Profil sebagai Media Informasi Pada Lorin Solo Hotel adalah dilihat dari konsep video dengan

Pada motif g² dan g³ merupakan pengulangan dari birama ke dua pada motif g¹ yang tidak beraturan akan tetapi terstruktur dan dalam suasana yang sama, yang mengalamin

Bab Keempat, berisi hasil dan pembahasan yang meliputi pengenalan Muhammad Iqbal dengan mendeskripsikan latar belakang kehidupan, karya- kary, metodologi, sumber, corak

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi fraksi etanolik akar tem- puyung (Sonchus arvensis L.) dalam pengembang- an obat kemoterapi kanker kolon

Pengertian kalibrasi menurut ISO/IEC Guide 17025:2005 dan Vocabulary of International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara

Dalam rangka mewujudkan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara internasional di Kwala Namu yang dimaksudkan untuk menjamin keamanan