• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hasil dari pembangunan ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hasil dari pembangunan ekonomi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hasil dari pembangunan ekonomi bervariasi, ada yang menguntungkan dan juga ada yang merugikan. Hasil yang menguntungkan adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pendapatan yang tinggi, jiwa yang lebih sehat dan rendahnya angka kematian karena fasilitas kesehatan yang mudah untuk diakses, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berkeahlian hasil dari kemajuan di bidang pendidikan. Selain manfaat, pembangunan ekonomi juga mendatangkan masalah. Todaro (2009) menyebutkan bahwa terdapat 3 masalah pembangunan, yaitu: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan

Keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhannya.

Indikator pertumbuhanpun beragam. Dalam penelitian ini, pertumbuhan ekonomi diukur melalui pendapatan per kapita. Pada tahun 1970-an, pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan dari pembangunan. Indonesia, pada masa orde baru melakukan perbaikan dan penambahan infrastruktur dalam jumlah dan biaya yang besar. Selain infrastruktur, bantuan dibidang kesehatan dan pendidikan pun terus diberikan oleh pemerintah. Semua hal ini merupakan sebuah proses untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemikiran tentang tujuan pembangunan ekonomi mulai berubah saat pertumbuhan ekonomi tinggi tidak membuat rakyat sejahtera. Setelah diteliti lebih

(2)

wilayah maupun tingkatan masyarakat. Fenomena ketidakmerataan pembangunan ini dikenal dengan sebutan ketimpangan pendapatan atau kesenjangan. Pada kondisi sebuah wilayah dengan ketimpangan pendapatan tinggi, pertumbuhan malah menjadi penderitaan bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan inflasi, namun kekakuan upah membuat upah lambat menyesuaikan dengan kondisi perekonomian.

Saat ini, hampir semua negara memperhatikan aspek pemerataan dalam pembangunannya. Kebijakan – kebijakan pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah mengandung distribusi pendapatan dan pendanaan diutamakan kepada daerah yang berada dalam kategori tertinggal. Namun, tidak mengabaikan kondisi wilayah dengan ekonomi yang baik.

Walaupun ketimpangan pendapatan merupakan fenomena yang timbul dalam proses pembangunan, Todaro (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang tinggi akan menyebabkan kerugian. Pertama, ketimpangan pendapatan akan menyebabkan inefsiensi ekonomi karena ketimpangan pendapatan akan membuat populasi yang dapat memperoleh akses ke kredit semakin kecil. Kedua, ketimpangan pendapatan akan menurunkan stabilitas sosial dan solidaritas sehingga menyebabkan tingginya angka kriminal di sebuah negara. Ketiga, ketimpangan pendapatan dipandang tidak adil karena banyak ketimpangan yang terjadi disebabkan oleh faktor keberuntungan.

Ketimpangan tinggi akan lebih dirasakan oleh golongan berpendapatan menengah dan rendah tetapi sebenarnya negara secara keseluruhan akan dirugikan.

Ketimpangan akan menyebabkan perekonomian lebih tidak efisien dan produktif. Hal ini disebabkan oleh 3 hal, yaitu: penurunan investasi publik dan pendidikan,

(3)

mendistorsi perekonomian, hukum, regulasi, serta akan mempengaruhi moral tenaga kerja (Stiglitz, 2013: 115).

Ketimpangan pendapatan dapat diukur melalui ketimpangan distribusi pendapatan. Pengukur ketimpangan pendapatan distribusi pendapatan yang paling sering dipakai adalah koefisien gini atau indeks gini. Ketimpangan pendapatan antar regional dapat dilihat dari Indeks Williamson dan Indeks Enthropi Theil.

Sen (1997) membedakan antara ketimpangan pendapatan dengan ketimpangan ekonomi. Perbedaan mendasar antara keduanya disebabkan sifat alamiah ekonomi yang mampu menangkap kebebasan dan pengaruh antara perilaku individu satu dengan yang lain yang mana tidak dapat diukur hanya melalui data pendapatan dan komoditas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam

laporannya pada tahun 2008 menyatakan bahwa salah satu pengukur ketimpangan pendapatan adalah indeks gini. Sebuah indeks dengan skala 0 sampai 100. Angka 0 menunjukkan bahwa pendapatan terdistribusi setiap penduduk memiliki pendapatan yang sama sementara angka 100 menunjukkan angka sangat timpang yaitu pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja.

Arsyad (2010) mengklasifikasikan ketimpangan pendapatan suatu negara berdasarkan koefisien gini. Negara-negara yang memiliki ketimpangan tinggi adalah 0.5-0.7, negara dengan ketimpangan pendapatan sedang 0.36- 0.4, dan negara berketimpangan rendah 0.2-0.35. Pada praktiknya, tidak ada negara memiliki kemerataan sempurna (0) dan ketimpangan sempurna (1).

Tahun 1982 – 1994 merupakan periode koefisien gini dunia meningkat. Titik tertinggi adalah ketika koefisien gini dunia mencapai 0.53. Ketimpangan distribusi

(4)

pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan tersebut. Ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya dialami oleh negara – negara berkembang. Pada tahun 1980, Amerika Serikat dan Belanda masing – masing memiliki koefisien gini 0.33 dan 0.314. Namun, negara – negara eropa yang menerapkan sistem pajak tinggi memiliki angka ketimpangan yang relatif rendah. Pada periode waktu yang sama, Norwegia dan Swedia memiliki koefisien gini 0.255 dan 0.264. Walaupun semua negara mengalami ketimpangan distribusi pendapatan tetapi negara – negara dengan pendapatan menengah cenderung lebih timpang. Ketimpangan tidak hanya menyebabkan tingginya angka koefisien gini tetapi juga menghambat pembangunan.

Stiglitz (2013) menyatakan bawa peningkatan ketimpangan merupakan akibat dari jarak yang semakin lebar antara kelompok pendapatan tertinggi dengan yang lain.

Alasan dari peningkatan jarak ini adalah perilaku rent seeking1. Perilaku rent seeking akan membuat bagian dari pembangunan lebih besar dinikmati oleh golongan pendapatan tinggi sehingga membuat bagain yang dapat dinikmati oleh golongan lain mengecil.

Menurut Milanovic terdapat 3 hal yang menyebabkan trend positf pada ketimpangan distribusi pendapatan. Pertama, penurunan pendapatan relatif negara – negara Amerika Latin di tahun 1980an. Kedua, penurunan pendapatan relatif negara – negara Eropa Timur dan pecahan Uni Soviet di akhir tahun 1980an dan di awal tahun 1990an. Ketiga, performa negara – negara Afrika yang kurang baik. Tahun 2008, Milanovic menghitung indeks gini dengan menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2005 menemukan indeks gini dunia pada tahun 2008 sebesar 70 atau setara dengan 0.7 (koefisien gini).

1Perilaku individu yang menggunakan sumberdayanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tanpa memberikan benefit pada masyarakat.

(5)

Wolff menyebutkan bahwa terdapat 8 faktor penyebab meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan. Faktor – faktor tersebut meliputi: Perubahan teknologi, revolusi tekonologi informasi, peningkatan perdagangan internasional dan perpindahan antar negara, perubahan tenaga kerja ke jasa, faktor kelembagaan, restrukturisasi perusahaan melalui metode outsource, dan perubahaan distribusi pendidikan. Kedelapan faktor ini merupakan penyebab peningkatan ketimpangan di Amerika Serikat (Wolff, 2009: 386).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa koefisien gini Indonesia di tahun 2013 adalah 0.41 angka ini naik 0.03 dari data yang dihimpun BPS pada tahun 2010. Kenaikan angka koefisien gini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan Indonesia meningkat dalam 3 tahun terakhir. Trend meningkatnya distribusi pendapatan telah terjadi sejak 2008.

Menurut Kuncoro dalam artikelnya yang diterbitkan Koran Kompas (22/3), Trend indeks gini dan pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak searah. Namun, pada suatu titik, angka ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Negara yang saat ini mengalami fenomena perlambatan ekonomi akibat ketimpangan pendapatan adalah Cina (Ye tian).

(6)

GRAFIK 1.1

KOEFISIEN GINI INDONESIA 2007 – 2013

Sumber: Badan Pusat Statistika

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki trend koefisien gini meningkat. Pada tahun 2013 koefisien gini Provinsi DIY merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa, termasuk jika dibandingkan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Padahal, pendapatan per kapita Provinsi DIY tergolong rendah.

Dalam lingkup nasional Provinsi DIY berada di urutan kedua setelah Provinsi Papua (0.442), sebagai provinsi yang memiliki ketimpangan distribusi pendapatan tertinggi.

0.300 0.320 0.340 0.360 0.380 0.400 0.420

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Koefisien GIni

Tahun

Koefisien Gini Indonesia

(7)

GRAFIK 1.2

PERBANDINGAN KOEFISIEN GINI ANTAR PROVINSI DI PULAU JAWA TAHUN2007-2013

Sumber: Badan Pusat Statistika

Provinsi DIY secara keseluruhan memiliki koefisien gini diatas koefisien gini Nasional. Namun, bila ditinjau per kabupaten/kota di dalam Provinsi DIY, 4 dari 5 kabupaten/kota merupakan wilayah dengan ketimpangan pendapatan rendah. Pada tahun 2013, Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul, Sleman, dan Kota Yogyakarta masing-masing memiliki koefisien gini sebesar 0.2371, 0.2959, 0.3213, 0.2126, 0.4366. Kota Yogyakarta merupakan satu – satunya daerah dengan koefisien gini yang tinggi, bahkan memiliki perbedaan yang jauh dengan wilayah lain dalam provinsi DIY.

0.275 0.295 0.315 0.335 0.355 0.375 0.395 0.415 0.435

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Koefisien Gini

Tahun

DIY Jawa Barat Jawa Timur banten jawa tengah DKI

(8)

GRAFIK 1.3

PERBANDINGAN KOEFISIEN GINI ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN2007-2013

Sumber: Badan Pusat Statistika

B. Rumusan Masalah

Ketimpangan pendapatan Daerah Istimewa Yogyakarta yang diukur dengan koefisien gini adalah 0.439. Padahal, PDRB per kapita Provinsi DIY tergolong rendah, yaitu 7 juta rupiah. Dari 5 kabupaten/kota di Provinsi DIY hanya Kota Yogyakarta yang memiliki angka ketimpangan pendapatan tinggi. Namun, Kota Yogyakarta merupakan Ibu Kota Provinsi dengan kepadatan penduduk 11.957 jiwa perkilometer persegi

C. Pertanyaan penelitian

Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah hipotesis Kuznets tentang U terbalik berlaku di Provinsi DIY?

2. Apa faktor – faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Provinsi DIY?

0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Koefisien Gini

Tahun

Bantul Kulonprogo Gunung Kidul Sleman

Kota Yogyakarta

(9)

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi ketimpangan di Provinsi DIY. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji Hipotesis Kuznets tentang U terbalik di Provinsi DIY

2. Untuk mengetahui pengaruh PDRB per kapita, tingkat melek huruf, pengeluaran pemerintah, dan pengangguran di Provinsi DIY

E. Manfaat Penelitian

1. Menjadi literatur untuk penelitian berikutnya yang bertemakan ketimpangan pendapatan khususnya yang mengambil studi kasus lingkup interprovinsi

2. Menjadi referensi bagi instansi-instansi pemerintah dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan.

F. Batasan Penelitian

Pemilihan periode penelitian dari tahun 2004 hingga 2013 untuk menghindari dampak krisis multidimensi pada tahun 1997-1998 yang terjadi di Indonesia dan terkait ketersediaan data. Penelitian ini menggunakan variabel koefisien gini, PDRB per kapita, tingkat melek huruf, pengeluaran pemerintah, dan tingkat pengangguran terbuka di semua kabupaten/kota di Provinsi DIY. Pemilihan variabel didasarkan pada studi empiris yang sebelumya pernah dilakukan untuk tema penelitian ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dalam rentang waktu yang berbeda-beda.

(10)

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 BAB I PENDAHULAN

Membahas mengenai pendahuluan penelitian. Pendahuluan memuat latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Membahas mengenai penelitian serupa yang telah dilakukan teori-teori yang mendasari penelitian ini. Selain itu, dibahas mengenai hipotesis yang digunakan.

 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Membahas mengenai uraian metode dan alat analisis yang akan digunakan

 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Membahas mengenai hasil dan pembahasan penelitian yang. Terdiri dari gambaran umum wilayah penelitiaan, model regresi penelitian, pembahasan, dan pembuktian hipoteis.

 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Menyajikan kesimpulan dari hasil analisis dan saran untuk penelitian berikutnya

--oOo--

Referensi

Dokumen terkait

3.2.4 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kota Makassar, 2015/Population... xii

dari aspek inilah dibentuklah CSI, seperti yang sudah dijelaskan di atas, agar dapat mengkordinir para anggota yang tersebar di berbagai daerah. Setelah melalui

Tahap selanjutnya, sebanyak 20 ml media agar Muller Hinton dalam keadaan cair ditambahkan 20 μl bakteri uji yang telah diukur optical density (OD) dengan menggunakan

Sekarang akan menunjukan bahwa parameter smoothing

Aktivitas kendaraan pada Area Sukun dan Terminal Terboyo yang menghasilkan emisi terjadi pada saat hot start dan cold start, kendaraan bergerak, ketika waktu

Pada bulan Juli 2017, kelompok yang memberikan andil/sumbangan terhadap inflasi adalah kelompok transpor, komunikasi & jasa keuangan sebesar 0,19 persen selanjutnya

Pembelahan sel berlangsung pada jaringan yang merupakan titik tumbuh (meristem) atau sel-sel induk gamet. Pada sel-sel organ atau jaringan terjadi pembelahan

Pengujian dilakukan untuk 2 kuisoner yaitu kuisioner kerangka kerja pengendalian biaya dan kuisioner cost control function breakdown structure. Kuisioner Kerangka