• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pernikahan Misyar Menurut Yusuf Qardhawi. perempuan tersebut tidak pindah untuk ikut kepada laki-laki yang datang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pernikahan Misyar Menurut Yusuf Qardhawi. perempuan tersebut tidak pindah untuk ikut kepada laki-laki yang datang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB II

KAJIAN TEORITIK A. Pernikahan Misyar Menurut Yusuf Qardhawi

Pernikahan misyar bukanlah merupakan bentuk pernikahan yang baru, namun merupakan sebuah fenomena yang masyhur di kalangan masyarakat sejak dulu. Adapun menurut Yusuf Qardhawi pernikahan misyar ialah ketika seorang laki-laki mendatangi pihak perempuan dan perempuan tersebut tidak pindah untuk ikut kepada laki-laki yang datang kepadanya. Dan kebanyakan pernikahan ini terjadi pada isteri ke dua dan laki-laki yang sudah menikah terlebih dahulu yang telah mempunyai isteri di tempat ia tinggal.

Pernikahan semacam ini mempunyai tujuan yaitu agar suami dapat bebas dari kewajibannya kepada isteri keduanya yaitu memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah serta hak-hak yang harus di penuhi oleh suami seperti halnya isteri pertamanya. Dan menurut Yusuf Qardhawi pembebasan hak suami ini hanya dapat dilaksanakan dengan pernikahan semacam ini. Ia juga menjelaskan bahwa pernikahan misyar tidak hanya mempunyai tujuan untuk sekedar untuk bersenggama sebagaimana yang dikatakan oleh masyarakat yang menentangnya, namun jauh daripada itu di dalam islam sendiri pernikahan mempunyai tujuan sebagai sarana agar spesies manusia tetap terjaga, serta sebagai sara untuk mendapatkan ketenangan, serta tempat untuk saling mangasihi dan saling menyayangi satu sama lain.

(2)

Pernikahan misyar ini diceritakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa pada saat ia masih kecil, ada seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan ia memiliki dua orang anak. Dan pada saat beberapa tahun kemudian janda tersebut menikah lagi dengan seorang laki-laki dari desa sebelah, namun laki-laki tersebutlah yang dating menghampiri janda tersebut karena ia memiliki anak. Setiap minggu laki-laki tersebut selalu menghampiri isterinya yang janda selama sehari atau dua hari. Dan tidak sedikit pun laki- laki itu memberikan nafkah maupun tempat tinggal kepada janda tersebut.

Istilah dari pernikahan misyar sendiri tidak diketahui secara pasti, namun istilah tersebut berkembang dengan cepat di kalangan masyarakat sebagian besar negara teluk, dan makna pernikahan misyar ini menurut mereka ialah lewat dan tidak lama-lama.

Dalam pernikahan misyar ini pula Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa rukun dari pernikahan ialah yang bertama ijab qabul, dan ia mengharapkan pula bahwa ijab qabul ini dapat di ketahui masyarakat agar dapat diketahui bahwa pernikahan tersebutv adalah sah dan bukan perzinahan. Menurutnya pemberitahuan kepada khalayak ramai ini telah ditentukan oleh agama dengan batas minimal yaitu dua orang saksi, sebagaimana pula yang telah disepakati oleh jumhur ulama terkait saksi pernikahan, serta tidak adanya penentuan batas waktu pernikahan, hal inilah yang membedakan pernikahan misyar ini dengan pernikahan mut’ah. Dan pula mempelai laki-laki harus menyerahkan maskawin kepada perempuan,

(3)

meskipun perempuan tersebut nantinya akan mengembalikan mas kawin kepada laki-lakinya tersebut atau dikenal dengan istilah tanazul. Maka dengan terpenuhinya empat perkara di atas, menurut syariat pernikahan tersebut dianggap sah. Dan menurut Yusuf Qardhawi tidak diperbolehkan pula dalam pelaksanaan akad nikah tersebut menyebutkan bahwa perempuan akan memberikan keringanan yaitu dengan menjatuhkan hak- haknya dalam nafkah kecuali nafkah bersenggama, karena di khawatirkan akan menghilangkan tujuan pernikahan, dan jika hal tersebut terjadi maka pernikahan tersebut akan batal.

Pengguguran hak atau tanazul ini mempunyai syarat yaitu jika seorang perempuan melakukan tanazul setidaknya ia harus memiliki wali yaitu antara lain yang terdiri dari bapak, saudara laki-laki, dan orang-orang yang tidak rela melihat perempuan menjadi korban yang ditelantarkan oleh laki-laki (bagi mazhab yang mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan).

Dan faktor dari adanya pengguguran hak tersebut ialah di anataranya yaitu tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya.

Dasar hokum dari pengguguran hak ini ialah seperti yang dilakukan oleh isteri Rasulullah yaitu Saudah binti Zam’ah, ia adalah isteri nabi yang kedua setelah Khadijah r.a, dan ia mempunyai umur yang cukup tua sehingga ia khawatir jika rasulullah tidak akan memperlakukannya dengan mesra, dan ia juga takut jika rasulullah akan menceraikannya, dan tidak dapat berkumpul dengan rasulullah di hari akhir sebagai Ummul Mukminin, maka cepat-cepatlah ia memberikan tanazul kepada nabi untuk dikumpuli, dan

(4)

memberikan haknya sepenuhnya kepada isteri rasulullah yang lainnya yaitu Aisyah r.a. sesuai dengan firman Allah Qs. An-Nisaa’ : 128 yang berarti bahwa :

“Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebesar-besarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka”.

Adapun dengan adanya komentar mengenai tanggung jawab seorang laki-laki terhadap isterinya, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa Allah telah memberikan tanggung jawab kepada laki-laki terhadap perempuannya yaitu mengawasi perempuan tersebut beserta seluruh keluarganya, dengan model perkawinan ini lai-laki tidak dituntut untuk memberikan nafkah dan memberikan tempat tinggal. Adapun Allah memberikan tanggung jawab kepada laki-laki untuk menjaga perempuan atas dua sebab. Yang pertama Allah telah memberikan laki-laki kelebihan berupa kesabaran dan keampuan dalam menghadapi kesulitan. Untuk menjadi seorang pemimpin, laki-laki lebih berbakat dan sifat tanggung jawab mereka lebih tinggi di bandingkan perempuan. Lalu yang kedua sebagian mereka ada yang bersedia memberikan nafkah untuk diberikan kepada golongan yang lain, dalam perkawinan misyar ini laki-laki juga tetap harus memberikan maskawin sebagai tanda bahwa laki-laki tersebut telah memberikan nafkah kepada isterinya. Oleh karena itu dalam pernikahan misyar ini sudah terpenuhilah kewajiban atau tanggung jawab laki-laki

(5)

terhadap isterinya, dengan adanya tanazul dari isterinya tersebut dalam hal nafkah, bukan berarti ia menerima tanazul dalam masalah tanggung jawab.12 B. Pernikahan Misyar Menurut Ulama

Dalam hal hukum dari pernikahan misyar sendiri rupanya para ulama mempunyai perbedaan pendapat mengenai hukum pernikahan misyar, terdapat tiga kelompok dalam memandang pernikahan misyar ini yaitu:

Kelompok pertama yang memperbolehkan melakukan praktik pernikahan misyar. Kelompok ini di dominasi oleh ulama kontemporer yang telah memfatwakan pernikahan ini, yang menganggap bahwa pernikahan misyar ini termasuk dari pernikahan syar’i yang sah dalam hukum islam.

Sebagian ulama yang memperbolehkan ini menganggap bahwa pernikahan model misyar ini bukanlah sebuah anjuran, dan sebagian yang lainnya menganggap bahwa pernikahan misyar ini hukumnya mkruh walaupun dalam hukum melakukannya tetap sah, karena pencabutan hak isteri di dalam pernikahan ini tidaklah mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan, selama rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinan ini tetap akan sah dalam perspektif agama. Yusuf Qhardawi adalah salah satu ulama yang memperbolehkan pernikahan ini, dan ia berpendapat bahwa pernikahan ini di perbolehkan karena pernikahan semacam ini termasuk dalam pernikahan konvensional. Dan menurutnya pernikahan ini juga akan mewujudkan maslahat syariat, yang mana suami isteri dapat menyalurkan

12Yusuf Qarhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Gema Insani, 2002).

(6)

Hasrat batinnya, dan juga kehidupan kekeluargaan yang di bangun atas dasar kemuliaan. Dan menurut Qardhawi pernikahan ini sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan yaitu ijab qabul, saling meridhoi kedua mempelai, saksi, wali, kedua mempelai, mahar yang di sepakati. Dan setelah terpenuhinya semua rukun dan syarat tersebut maka telah menjadin suami isterilah kedua mepelai tersebut yang juga mempunyai hak dan kewajiban suami isteri dari adanya perkawinan tersebut. Hanya saja kedua mempelai tersebut telah menyepakati dan ridho bahwa tidak adanya tuntutan atas suami untuk tinggal bersama dan terkait waktu suami ingin menziarahi isterinya tersebut maka kapan saja di perbolehkan.

Adapun ulama lainnya yang juga mendukung pendapat yang memperbolehkan pernikahan ini ialah Yusuf al-Duraysh, menurutnya pendapat yang menentang pernikahan ini ialah karena tedapat upaya untuk menyembunyikan atau merahasiakan pernikahan ini, baik oleh wali, saksi, ataupun kedua mempelai. Dan menurutnya pernikahan misyar ini memang benar bukan pernikahan yang ideal, namun tidaklah kosong dari tujuan- tujuan besar lainnya di dalam pernikahan ini. Dan adapun beberapa ulama lainnya yang memperbolehkan pernikahan ini ialah Syaikh Abd al-Aziz bin Baz, Syaikh Abd al-Aziz Alu al-Syaikh, Syaikh ALI Jum’ah al-Shafi, wahbah Zuhayli, Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Syaikh Su’ud al-Shuraym.

Kelompok kedua yaitu kelompok yang tidak memperbolehkan atau yang mengharamkan pernikahan misyar ialah Nasir al-Din al-Albani, Muhammad Zzuhayli, Ali Qurah Dagi, dan Ibrahim Fadhil. Adapun

(7)

pendapat mereka ialah adanya upaya merahasiakan dan menyembuntikan pernikahan ini yang sangat menonjol. Oleh karena itu menurut mereka adanya jalan menuju kemungkaran dalam pernikahan ini, dan kemungkinan besar akan dilakukan oleh orang-orang yang telah rusak pribadinya dengan dalih melakukan pernikahan yang sejatinya pernikahan ini menjadi tunggangan mereka untuk merealisasikan tujuan jelek mereka. Dan ulama- ulama yang mengaharamka pernikahan ini juga berpendapat bahwa pernikahan ini tidak dapat mewujudkan orientasi-orientasi tujuan pernikahan, seperti halnya hidup bersama dalam hubungan suami isteri, lalu menjalankan jalinan kasih saying, perhatian terhadap pasangan dan anak- anak dari hasil perkawinan ini, dan tidak adanya keadilan terhadap isteri- isteri lainnya. Dan ulama lainnya yang juga mengharamkan pernikan ini ialah Syeikh Nashiruddin al-Albani, lalu Syeikh Abdul Sattar al-Jubali.

Beliau berpendapat bahwa pernikahan misyar ini dapat menyebabkan sorang suami tidak merasa mempunyai tanggug jawab atas keluarganya, dan kemungkinan besar yang akan terjadi yaitu suami akan dengan meudah mentalak isterinya. Apalagi sangat dimungkinkan pernikahan misyar ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa adanya wali, dan semua ini akan menjadikan pernikan semacam ini hanyalah sebuah pernmainan dalam menyalurkan hawa nafsu semata.

Syaikh Abu Malik Kalam bin al-Sayyid Salim, al-Jubaili juga mennentang pendapat ulama yang memperbolehkan pernikahan misyar ini, menurutnya argument yang digunakan untuk memperbolehkan pernikahan

(8)

ini sangat tidak cocok, yaitu pernikahan misyar dapat meminimalisir perawan-perawan atau janda-janda tua yang kaya raya dan tidak butuh kehadiran suami untuk memberikan nafkah. Menurutnya bahwa perawan atau janda-janda seperti ini tidak banyak, dan justru akan berbuah buruk kepada perawan dan janda lainnya yang miskin. Lalu menurutnya juga akad dalam pernikahan misyar ini tetap sah dan legal namun syaratnya gugur, oleh karena itu perkawinan ini tetap mengimplikasikan syariat yaitu penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban memberikan nafkah yang adil jika poligami, dan dalam hal ini isteri berhak untuk menuntut, namun tidak masalah jika isteri dengan suka rela dan ridho untuk melepaskan hak-haknya tersebut.

Dan kelompok terakhir yaitu kelompok yang tawaqquf dalam menetapkan hukum pernikahan misyar ini. Karena menurut mereka dalil- dalil pendukung atau penentang dalam pernikahan ini masih tidak jelas dan tidak dapat meyakinkan. Dan menurut mereka perlu dilakukan penelitian dan kajian yang mendalam terkait pernikahan tersebut. Dan adapun ulama dalam kelompok ini ialah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Uthaymin.13 C. Wali dalam Perkawinan

Wali dalam perkawinan sendiri adalah salah satu dari rukun perkawinan. Menurut Sayid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Fiqih Sunnah, wali perrkawinan adalah sesuatu yang diharuskan ada menurut

13 Chomim Tohari, “Fatwa Ulama Tentang Hukum Nikah Misyar Perspektif Maqasid Shari’ah,”

Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 13, no. 2 (2013): 207–32.

(9)

syariat yang bertugas untuk melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa. Adapun menurut Abdurrahman al-Jjazri mendefinisikan wali dalam perkawinan itu ialah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang untuknya menentukan sahnya akad pernikahan, maka tidak akan sah sebuah akad kecuali dengan adanya wali, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik, sulthan dan penguasa yang berwenang.14 Adapun wali menurut Suyuti Thalib dalam bukunya yang berjudul “Hukum Keluarga Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam”

menjelaskan bahwa wali itu ada beberapa macamnya yaitu:

1. Wali nasab, menurut aliran patrilineal, nasab di artikan keluarga dalam hubungan garis keturunan atau hubungan darah. Wali nasab yang berarti anggota keluarga laki-laki untuk calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinar dengan caloon pengantin. Wali nasab mempunyai hak untuk memaksa dengan siapa seseorang perempuan harus menikah. Wali nasab ini juga disebut sebagai wali mujbir.

2. Wali hakim, seorang penguasa atau seorang wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Wali hakim berlaku ketika adanya halangan atau kesulitan untuk di hadirkannya wali nasab ataupun adanya halangan-halangan dari wali nasab untuk menghadiri sebuah perkawinan. Maka mempelai perempuan dapat

14 Hidayatullah, FIQIH, Edisi Pert (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjar, 2019).

(10)

menggunakan wali hakim dalam melangsungkan pernikahannya sebagai salah satu pemenuhan dalam rukun perkawinan.

3. Hakam, ialah seorang yang statusnya masih keluarga memperlai perempuan, namu bukan merupakan salah satu bagian dari wali nasab dan tidak mempunyai hubungan darah dengan perempuan tersebut, namun ia mempunyai pemahaman dalam agama yang dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan. Dan dalam ajaran bilateral wali tersebut dapat dilakukan oleh keluarga dari garis keturunan ayah ataupun ibu, dan bahkan lebih jauh lagi dari pemahaman bilateral, dalam pemikiran hukum keluarga islam, wali tersebut dapat dilakukan oleh pihak perempuan dari keluarga ibu.

4. Muhakam, yaitu seorang laki-laki yang bukan dari keluarga dari pihak mempelai perempuan ataupun seorang penguasa, namun ia mempunyai pemahaman dalam keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali pernikahan. Dalam hal ini wali untuk pernikahan ini tidak dapat sama sekali di cari baik dari pemerintahan, dan untuk menyempurnakan syarat dan rukun perkawinan dan haruslah memilih seseorang lainnya untuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut.15

Adapun syarat wali dalam pernikahan dalam islam sendiri ialah:

1. Laki-laki 2. Berakal sehat

15 Ibid.91-92

(11)

3. Adil 4. Merdeka

5. Tidak dalam ihram baik itu haji Umroh 16

Syarat perkawinan ini juga di atur secara bernegara di Indonesia, yaitu pada Kompilasi Hukum Islam pada bagian ke tiga tentang wali nikah pada pasal 19 sampai dengan 23, pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wali nikah ada dua macam yaitu yang pertama wali nasab, dan yang kedua wali hakim.17 Adapun ketentuan urutan wali nasab yang terkandung dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada empat kelompok yang jika di simpulkan maka urutannya sebagai berikut:

1. Ayah Kandung

2. Kakek (dari garis keturunan ayah) 3. Saudara laki-laki sekandung 4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6. Anak laki-laki dari saudara seayah

7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara seayah

9. Saudara laki-laki ayah sekandung 10. Saudara laki-laki ayah seayah

16 Umar Haris Sanjaya and Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2017).

17 Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, and Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2018.

(12)

11. Anak laki-laki dari paman sekandung 12. Anak laki-laki dari paman seayah 13. Saudara laki-laki kakek seayah

14. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek sekandung 15. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek seayah.

Dalam hal ini urutan diatas adalah jika wali pertama dalam urutan diatas tidak dapat menjadi wali, maka wali kedua dan seterusnya yang dapat mengantikan posisinya, dan begitu seterusnya secara tertib urutannya.18

Dasar hukum dari wali nikah sendiri terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 yang berarti:

“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang makruf, akan tetapi para suai mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Lalu pada QS. An-Nur ayat 32 yang berarti:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sehayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”

Dan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang di riwayatkan oleh Khamsah yang di muat dalam kitab Sunan Ibnu Majah, Juz I yang berarti bahwa:

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah:

sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Barang siapa di antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahinya berhak atas mahar dengan sebab dihalalkannya farjinya. Demikian pula apabila terjadi pertentangan tentag walinya maka sulthan adalah wali bagi seorang yang tidak mempunyai wali”.(HR.Khamsah kecuali Nasai’i)

18 Sanjaya and Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.

(13)

Dan pada hadist nabi Muhammad lainnya telah melarang seseorang perempuan yang menikah tanpa adanya wali, disebutkan dalam hadist riwayat Ibnu Majah dan Daru Quthni yang berarti:

Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan juga seorang perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri. Karena hanya perempuan berzinalah yang menikahkan dirinya sendiri”

Adapun ayat-ayat dan hadist-hadist di atas menjelaskan bahwa wali dalam pernikahan itu adalah sebuah hal yang harus di penuhi sebagai syarat dan rukun pernikahan, maka dalam hal ini status wali dalam pernikahan itu adalah hal yang wajib dan barus di pernuhi agar perkawinan dapat menjadi sah secara agama dan pula telah disbeutkan sebelumnya bahwa secara bernegara wali pernikahan menjadi salah satu syarat dalam perkawinan, maka kehadiran wali dalam pernikahan harus terpenuhi agar pernikahan juga di anggap sah secara bernegara.19

D. Pendapat Para Ulama Tentang Wali Dalam Pernikahan

Mengenai permasalah perwalian dalam pernikahan ini ternyata masih mendapat banyak perdebatan dalam pembahasannya oleh para ulama.

Khususnya di Indonesia sendiri wali menjadi salah satu syarat dan rukun dalam melakukan pernikahan, dalam artian bahwa jika tidak ada wali maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah, hal ini berlaku pada tatanan hukum nasional yang di atur dalam perundang-undangan.

19 Hidayatullah, FIQIH, Edisi Pertama (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjar, 2019)

(14)

Adapun menurut ulama mazhab mengenai pemahaman dalam penafsiran ayat terkait pernikahan sendiri rupanya mempunyai perbedaan pendapat, pada surat QS: Al-Baqarah ayat 232 yang berarti:

”Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, lalu selesailah masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka untuk menikah kembali dengan suaminya, jika telah terdapat kerelaan dan keridhaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang di nasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”

Maka mazhab Maliki berpendapat bahwa di dalam ayat tersebut terkandung larangan terhadap para wali untuk menghalangi perempuan yang di bawah perwaliannya untuk menikah dengan laki-laki yang sudah di ridhainya. Ayat ini merupakan dalil Qath’I yang dimana dalam hal ini bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mengadakan akad nikah secara langsung dalam suatu pernikahan. Sebab, akad nikah itu merupakan hak dari kaum laki-laki.20 Dan hak perempuan ialah menuntut untuk di nikahkan oleh walinya, dan wali lah yang melangsungkan pernikahan tersebut. Dan menurut mazhab Maliki pula bahwa perempuan janda tidak dapat dinikahkan oleh walinya kecuali atas dasar keridhaan si janda tersebut. Dan jika janda memiliki hak dalam masalah izin dan kerelaan dalam pernikahan, maka hal ini tidak menjadikan janda tersebut memiliki hak dalam menikahkan dirinya sendiri bahkan dengan orang yang sekufu.21

20 Soraya Devy, Waki Nikah Urutan Dan Kewenangan Dalam Perspektif Imam Mazhab (Aceh:

Sahifah, 2017).

21 Mahbub Ainur Rofiq, “Telaah Pandangan Ulama Salaf Atas Hadis Tentang Kebolehan Menikah Tanpa Wali,” SAKINA: Journal of Family Studies 3, no. 1 (2019).

(15)

Adapun menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berpendapat bahwa siapapun wali perempuan janda atau gadis boleh menikahkan walau tanpa adanya izin dari mereka (gadis atau janda). Dan ketentuan tersebut hanya berlaku pada ayah kandung dari sang gadis tersebut. Maka dalam hal ini dapat kita pahami wali dalam hal ayah kandung dapat menikahkan anak gadisnya secara mutlak, sedangkan janda ketentuan ini tidak berlaku. Dan menurut imam Syafi’I hak seorang janda lebih besar daripada hak walinya, namun perempuan janda tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, karena hak yang dimiliki seorang perempuan yang janda disini hanyalah hak dalam persoalan kerelaan atau perizinan untuk dinikahkan.22 Maka dari pendapat imam Syafi’I tersebut dapat kita simpulkan bahwa wali menurut mazhab Syafi’I berlaku wajib secara mutlak kepada perempuan gadis ataupun janda, hanya saja hak dalam kerelaan atau izin lebih besar pada perempuan janda sehingga wali tidak bias menikahkan janda kecuali atas dasar izin janda tersebut, dan baik janda ataupun gadis sudah pasti tidak dapat menikahkan dirinya sendiri atas dasar alasan apapun.

Dan menurut imam Syafi’I pula terkait penafsiran QS: Al-Baqarah ayat 232 di atas ialah sebuah larangan untuk para wali menghalangi perempuan untuk menikah dengan calon suaminya. Dan adapun larangan untuk mencegah perempuan menikah dengan calonnya tersebut adalah sebuah gambaran bahwa para wali adalah orang yang berhak untuk menikahkan perempuan.23

22 Ibid.8

23 Devy, Waki Nikah Urutan Dan Kewenangan Dalam Perspektif Imam Mazhab.

(16)

Adapun menurut mazhab Hambali bahwa perempuan janda secara khusus yang berarti bukan perempuan gadis, tidak boleh dinikahkan oleh walinya kecuali atas dasar izin dari janda tersebut. Menurut Zainuddin bin Utsman dari kalangan Muhammadiyah mengatakan bahwa jika janda yang di ceraikan oleh suaminya sudah baligh maka tidak boleh seorang wali menikahkannya kecuali atas dasar izin dari janda tersebut. Dan ulama Hambali juga membedakakn antara janda yang masuk usia Sembilan tahun dan usia sebelumnya. Menurutnya bahwa jika janda tersebut sudah masuk pada usia Sembilan tahun, maka tidak sah jika wali menikahkan tidak berdasarkan izin darinya. Dan apabila perempuan tersebut berusia kurang dari sembilan tahun, maka boleh bagi ayahnya atau walinya untuk menikahkannya.24

Jika pandangan ke tiga mazhab di atas menyebutkan bahwa peran wali dalam pernikahan adalah sesuatu yang harus terpenuhi maka menurut mazhab Hanafi seorang perempuan yang tidak memiliki pasangan baik perempuan itu gadis ataupun janda memiliki hak penuh atas dirinya untuk melaksanakan akad pernikahan hal ini di dasarrkan pada hadist nabi yang berarti:

“Perempuan yang tidak bersuami itu lebiih nerhak atas dirinya sendiri daripada wali”

dan hadist di atas diperkuat kembali dengan dalil lainnya yang mempunyai makna bahwa seseorang perempuan yang sudah sampai umurnya atau akalnya dan mereka bias menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam

24 Ibid. 159

(17)

pernikahan.25 Adapun penafsiran Mazhab Hanafi terkait dengan QS. Al- Baqarah ayat 232 ialah merupakan larangan suami yang telah mentalak isterinya untuk melarang isterinya tersebut menikah lagi sampai iddahnya habis, dan menurutnya objek pembicaraan dalam ayat tersebut adalah suami dan bukanlah wali. Dan menurutnya bahwa pada ayat ini juga menjelaskan bahwa seorang perempuan boleh melakukan akad pernikahan secara mandiri tanpa izin wali. Hal tersebut didasarkan pada adanya keterkaitan pelaksanaan akad nikah secara langsung kepada perempuan tanpa adanya syarat izin wali. Dan selain itu ayat menurutnya ayat tersebut mengandungb adanya larangan untuk menghalangi perempuan atau perempuan untuk mengadakan akad nikah apabila perempuan dan calon suaminya telah rela satu sama lain.26

Ulama Hanafi juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah atas diri sendiri, baik dia perawan ataupun janda. Dan tidak ada yang boleh menghalanginya untuk melakukan akad tersebut, namun dengan syarat bahwa calon suaminya tersebut adalah sekufu dengan mahar yang tidak kurang dari mahar mitsil. Dan jika perempuan tersebut tidak menikah dengan yang sekufu maka wali boleh membatalkan pernikahannya tersebut. Hal ini sejalan dengan mayoritas ulama imamiyah yang berpendapat bahwa perempuan yang sudah masuk

25 Siti Ninik Purnawati, “Nikah Tanpa Wali Dalam Kitab Bada’i’ As-Shana’i’” (Universitas Islam Negri Walisongo Semarang, 2015).

26 Soraya Devy, Waki Nikah Urutan Dan Kewenangan Dalam Perspektif Imam Mazhab (Aceh:

Sahifah, 2017).

(18)

pada masa baligh dan berakal sehat maka perempuan tersebut sangat di perbolehkan untuk melakukan transaksi apapun bagi dirinya sendiri termasuk di dalamnya yaitu pernikahan baik janda ataupun gadis, meskipun ia memiliki ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya, ataupun tidak di restui ayahnya atau anggota keluarganya maka tidak menjadi permasalahan.

Hal ini didasarkan pada QS.Al-Baqarah ayat 232 di atas.27

E. Tinjauan tentang Kesadaran Hukum sebagai bagian dari Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum merupakan sebuah disiplin ilmu dalam kajian ilmu social dan ilmu hukum. Menurut Wighjosoebroto sosiologi hukum merupakan sebuah cabang kajian dari ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya. Dan perbedaan sosiologi hukum dengan ilmu-ilmu sosiologi lainnya ialah pada fokusnya yaitu berfokus pada masalah otoritas dan kontrol pada kehidupan manusia yang relatifnya selalu berada pada keadaan yang tertib dan berketeraturan.28Adapun menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum merupakan cabang dari ilmu yang mempelajari suatu hukum dalam konteks sosial, sebuah cabang ilmu yang mengkaji secara analitis dan empiris yang memoelajari pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.29

27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2006).

28 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009).

29 Ibid. 117

(19)

Sosiologi hukum sendiri secara teoritis analisis dan empiris menyoroti terkait pengaruh gejala sosial terhadap hukum, oleh karena itu secara umum ada dua pendapat mengenai sosiologi hukum secara umum yaitu:

1. Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa sosiologi hukum harus diberikan sutu fungsi global. Dalam artian bahwa sosiologi hukum ini haruslah menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi soaial dan sebagai sara dari keadilan.

Di dalam fungnya itu maka hukum dapat memperoleh bantuan yang besar melalui sosiologi hukum, di dala mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tersebut diharapkan berfungsi.

2. Dan pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum sendiri justru dalam bidang penerangan dan pengkadaran.30

Adapun ruang lingkup kajian sosiologi hukum sendiri menurut soerjono soekanto adalah hubungan timbal balik anatara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Yang berarti hukum dalam ruang lingkup ini ialah suatu komplesk dari prilaku, tindakan atau sifat manusia yang bertujuan untuk mencapai kepada perdamaian dalam pergaulan hidup. Maka dari batasan ruang lingkup tersebut, Soerjono dalam bukunya yang berjudul

30 Hendrojono, Sosiologi Hukum Pengaruh Perubahan Masyarakat Dan Hukum (Surabaya:

Srikandi, 2005).

(20)

Pokok-Pokok Sosiologi Hukum menyebutkan kegunaan dari sosiologi hukum sendiri yaitu:

1. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan- kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.

2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan Analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk merubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan- keadaan sosial tertentu.

3. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di masyarakat.31

Kesadaran hukum adalah salah satu aspek yang dapat di teliti dalam implementasi hukum di masyarakat. Adapun kesadaran hukum menurut Ewick dan Silbey bahwa kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara dimana masyarakat memahami hukum dan institusi-instusi hukum, pemahaman-pemahaman yang bermakna pengalaman dan tindakan orang- orang.32 Oleh karena itu menurut pendapat yang diutarakan oleh Ewick dan Silbey maka dapat di artikan bahwa kesadaran hukum sebagai persoalan

31Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999).

32 Rahma Marsinah, “Kesadaran Hukum Sebagai Alat Pengendali Pelaksana Hukum Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 6, no. 2 (2016).

(21)

hukum sebagai perilaku, dan bukanlah hukum sebagai norma atau aturan.

Adapun menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum memberikan pengertian bahwa kesadaran hukum sendiri merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada ataupun hukum yang diharapkan ada atau di cita-citakan. Dan yang ditekankan pada kesadaran hukum sendiri adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum itu sendiri, bukanlah penilaian atas hukum terhadap kejadian-kejadian yang kongkrit dalam masayarakat yang bersangkutan.33

Adapun indikator-indikator kesadaran hukum sendiri menurut Soerjono Soekanto yaitu:

1. Pengetahua Hukum

Yaitu pengetahuan seseorang terhadap beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan itu berkaitan dengan perilaku yang diperbolehkan ataupun dilarang oleh hukum.

2. Pemahaman Hukum

Yaitu mengenai pemahaman atas isi hukum atau subtansi hukum tertentu. Maka dalam makna lain bahwa pemahaman hukum ialah suatu pengertian atas isi dan tujuan dari suatu peraturan yang terkandung dala hukum tertentu, yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan manfaatnya untuk pihak-pihak yang pada

33 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali, 1982).

(22)

hidupnya tidak disyaratkan untuk mengetahui terlebih dahulu terkait adanya suatu aturan tertulis.

3. Sikap Hukum.

Yaitu suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya suatu manfaat yang ada pada hukum tersebut dan hukum tersebut akan memberikan keuntungan jika ditaati.

4. Perilaku Hukum.

Perilaku hukum merupakan aspek utama dalam pembahasan kesadaran hukum, karena dapat kita lihat disini bahwa apakah suatu peraturan dapat berlaku ataukah tidak dapat berlaku didalam masyarakat, yaitu dengan pola masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku ataukah tidak mematuhi peraturan tersebut.34

Namun tidaklah mudah dalam membangun kesadaran hukum masyarakat, hukum sebagai fenomena sosial yang merupakan suatu pengendali masyarakat atau sosial kontrol ini tidaklah dapat berjalan sesuai dengan tujuannya seperti mewujudkan ketertiban sosial, dan kedamaian serta kesejahteraan masyarakat jika kesadaran hukum tersebut tidak ada pada jati diri masyarakat. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi atas ketidak sadarannya masyarakan akan pentingnya sebuah hukum yaitu:

1. Adanya ketidak pastian hukum

34 Warsito, “Menumbuhkan Kesadaran Hukum Di Masyarakat Dan Dunia Perguruan Tinggi,” Osf Preprints, 2019, https://doi.org/10.31219/osf.io/t5fvu.

(23)

2. Peraturan-peraturan bersifat statis

3. Tidak efesiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang berlaku.35

35 Zulkarnain Hasibuan, “Kesadaran Hukum Dan Ketaatan Hukum Masyarakat Dewasa Ini,”

Jurnal Justitia 1, no. 1 (2013).

Referensi

Dokumen terkait

Demikian juga halnya pada uji aktivitas sitotoksik terhadap fraksi 6 yang merupakan fraksi paling aktif dalam simplisia kulit batang mahkota dewa menunjukkan bahwa iradiasi

Didapatkan melalui S tudi ini bahwa alternatif terbaik berdasarkan biaya untuk Perencanaan Perbaikan Tanah untuk Jalan di Bukit adalah Penggunaan Geomembran

Empat variabel yaitu komite audit, komisaris independen, kepemilikan institusional, dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba, dengan

Oleh karenanya aktor dapat menentukan apakah sebuah struktur itu akan membatasi (constraining) atau justru menjadi kemungkinan peluang (enabling). Dengan berdasarkan pada

Beliau adalah salah seorang dari delapan orang pertama (Assabiqul awwalun) yang menerima aqidah Islam. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah saw., yang

Namun, karena Assembly 

Untuk menghasilkan 1 Kg bahan kering kebutuhan air untuk Kg bahan kering kebutuhan air untuk sorgum, jagung , barley, gandum dan sorgum, jagung , barley, gandum dan  padi adalah

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah dalam menanamkan ideologi Muhammadiyah dan faktor-faktor apa saja yang menjadi