viii ABSTRAK
Firmansyah, Guntur. 2015. “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji nilai-nilai moral novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Tujuan penelitian ini untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, dan latar; nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel; dan implementasi hasil penelitian dalam pembelajaran di SMA.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan juga untuk memaparkan implementasi hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di SMA.
Dari analisis data, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna, sedangkan tokoh tambahan adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasa-basi, dan angkuh.
Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Ada tiga latar dalam novel ini, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu.
Nilai-nilai moral dalam novel ini terkandung dalam diri tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis kritis.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra untuk SMA. Dalam penelitian ini diberikan contoh rencana pelaksanaan pembelajaannya. Guru bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih kreatif dalam memilih metode dan bahan pembelajaran.
ix ABSTRACT
Firmansyah, Guntur. 2015. “The Moral Values Contained in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna (A Review of Sociological Literature) and Its Implementation in Learning Literature for Grade XI of Senior High School”. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.
This research reviews the moral values embedded in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. The aim of this research is to present the characters, characterization, plot, and setting; the moral values contained in the novel; and the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.
This research applies sociological approach to literature. Meanwhile, the method used is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is used to present the characters, characterization, plot, setting, and moral values, as well as the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.
From the analysis, it can be concluded that the major characters in this novel are Arjuna and Karna, whereas the minor characters are Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Duma, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, and Kusir Adirata. The plot of Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna is advancing. It can be seen in the composition of the plot i.e. the occurrence of exposure, stimulation, tension, conflict, complication, resolution, and completion. There are three settings in this novel namely physical setting, social setting, and temporal setting.
The moral values of this novel are embedded in the characters. Those moral values are honesty, authentic values, responsibility, moral autonomy, moral courage, humbleness, as well as being realistic and critical.
The findings of this research can be learning materials for high school literature. The example of the lesson plan is also presented in this research. The teachers of Indonesian Language and Literature are expected to be more creative in selecting the method and the learning materials.
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN
SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh: Guntur Firmansyah
08 1224 062
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN
SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh Guntur Firmansyah
08 1224 062
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv MOTO
“No matter how deep the night, it always turns to day, eventually.”
( Brook )
“It’s over when you give up”
( Brook )
“I don’t care what the society says. I’ve regretted doing anything. I will survive and do what I want to.”
( Roronoa Zoro )
“There is no such thing as impossible in this world.”
( Marshall D. Teach )
“Then stand up right away! And don’t act like you’re about to die! It’s not like
you! Even if there are billows of smoke, we can still see the sky. We can still see
the ocean!”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya yang tidak seberapa ini untuk orang-orang yang selalu memberikan kepercayaan dan harapannya kepadaku.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang disebutkan di
dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2015
Penulis,
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Guntur Firmansyah
Nomor Induk Mahasiswa : 08 1224 062
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan karya ilmiah kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang berjudul:
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH ( SUATU TINJAUAN
SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas,
dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 31 Juli 2015
Yang menyatakan,
viii ABSTRAK
Firmansyah, Guntur. 2015. “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji nilai-nilai moral novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Tujuan penelitian ini untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, dan latar; nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel; dan implementasi hasil penelitian dalam pembelajaran di SMA.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan juga untuk memaparkan implementasi hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di SMA.
Dari analisis data, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna, sedangkan tokoh tambahan adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasa-basi, dan angkuh.
Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Ada tiga latar dalam novel ini, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu.
Nilai-nilai moral dalam novel ini terkandung dalam diri tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis kritis.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra untuk SMA. Dalam penelitian ini diberikan contoh rencana pelaksanaan pembelajaannya. Guru bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih kreatif dalam memilih metode dan bahan pembelajaran.
ix ABSTRACT
Firmansyah, Guntur. 2015. “The Moral Values Contained in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna (A Review of Sociological Literature) and Its Implementation in Learning Literature for Grade XI of Senior High School”. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.
This research reviews the moral values embedded in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. The aim of this research is to present the characters, characterization, plot, and setting; the moral values contained in the novel; and the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.
This research applies sociological approach to literature. Meanwhile, the method used is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is used to present the characters, characterization, plot, setting, and moral values, as well as the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School.
From the analysis, it can be concluded that the major characters in this novel are Arjuna and Karna, whereas the minor characters are Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Duma, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, and Kusir Adirata. The plot of Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna is advancing. It can be seen in the composition of the plot i.e. the occurrence of exposure, stimulation, tension, conflict, complication, resolution, and completion. There are three settings in this novel namely physical setting, social setting, and temporal setting.
The moral values of this novel are embedded in the characters. Those moral values are honesty, authentic values, responsibility, moral autonomy, moral courage, humbleness, as well as being realistic and critical.
The findings of this research can be learning materials for high school literature. The example of the lesson plan is also presented in this research. The teachers of Indonesian Language and Literature are expected to be more creative in selecting the method and the learning materials.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”, penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu, yaitu:
1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univeritas Sanata Dharma.
2. Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Kaprodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, selama ini menjadi Pembimbing Akdemik yang baik.
3. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi I yang
sabar dan selalu mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Romo Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi
II yang terus memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk
meyelesaikan skripsi.
5. Robertus Marsidiq, selaku staf Sekretariat Program Studi PBSI yang turut
membantu kelancaran skripsi ini.
6. Segenap dosen PBSI yang selama ini telah membagi ilmu dan pengalaman
kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
7. Bapak dan ibu penulis (Bapak Sugijanta dan Ibu Sartinah) yang selalu sabar
dan senantiasa memanjatkan doa bagi penulis.
8. Kakak penulis, Tyas Subhekti, dan adik penulis, Tri Wahyuni, terima kasih
xi
9. Fransiska Ida, Petrus Kanisius, Maria Evi, Vicky Aprilia, dan Eka Nopin
selaku teman-teman yang bersama-sama berjuang untuk menyelesaikan
skripsi, terima kasih atas dukungan dan doanya; serta Chyntia Radeani,
terima kasih atas masukan, dukungan, dan bantuannya kepada penulis.
10. Teman-teman PBSI yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima
kasih atas kerjasamanya selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata
Dharma.
11. Teman-teman UKPM natas yang turut serta membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang secara
langsung atau tidak langsung telah membantu. Semoga kebaikan dan doa yang
dipanjatkan untuk penulis mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun
demikian, besar harapan penulis bahwa penelitian ini berguna dan menjadi
inspirasi bagi peneliti selanjutnya.
Yogyakarta, 31 Juli 2015
Penulis,
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
6.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra ... 26
6.4 Bentuk Nilai Moral yang Kuat ... 27
xiii
6.4.2 Nilai Otentik ... 28
6.4.3 Kesediaan untuk Bertanggung jawab ... 28
6.4.4 Kemandirian Moral ... 28
6.4.5 Keberanian Moral ... 29
6.4.6 Kerendahan Hati ... 29
6.4.7 Realistis dan Kritis ... 30
7. Implementasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA ... 31
7.1.Kurikulum ... 31
7.1.1 Pengertian Kurikulum ... 31
7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ... 31
7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP .. 32
7.1.4 Perencanaan Pembelajaran KTSP ... 33
7.2.Pembelajaran Sastra di Tingkat SMA ... 36
7.2.1 Pelajaran Sastra ... 36
7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra ... 37
7.2.3 Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra ... 39
xiv
3. Kesediaan untuk Bertanggungjawab ... 84
4. Kemandirian Moral ... 87
5. Keberanian Moral ... 91
6. Kerendahan Hati ... 94
7. Realistis dan Kritis ... 99
BAB V RELEVANSI HASIL ANALISIS NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI .... 108
A. Pemilihan Bahan Pembelajaran ... 109
1. Aspek Bahasa ... 109
2. Aspek Psikologis ... 111
3. Aspek Latar Belakang Budaya ... 111
B. Relevansi Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI ... 113
BAB VI PENUTUP ... 132
A. Kesimpulan ... 132
B. Implikasi ... 135
C. Saran ... 136
DAFTAR PUSTAKA ... 137
BIOGRAFI PENULIS ... 139
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan zaman selalu diikuti dengan perkembangan sarana dan
prasarana yang semakin maju. Perkembangan zaman yang demikian pesatnya
seakan menggiring kita pada kehidupan yang lebih baik dengan kemajuan
teknologi. Namun, dalam perkembangan zaman itu, ada hal yang sering kali
dilupakan masyarakat, bahkan mungkin berangsur-angsur akan hilang dari diri
kita, yaitu nilai-nilai moral.
Masalah moral bisa menjadi masalah yang akan menggelisahkan apabila
tidak segera kita atasi. Dengan rutinitas yang harus dilakukan dengan serba
cepat, pekerjaan yang harus diselesaikan dengan sempurna, dan hal-hal
lainnya yang memfokuskan kita pada diri sendiri seringkali membuat kita lupa
bahwa kita adalah mahluk sosial. Kita adalah bagian masyarakat. Kita perlu
berinteraksi dengan masyarakat. Dalam interaksi itu, kita harus menggunakan
norma-norma moral. Hal inilah yang saat ini mulai berangsur-angsur hilang
dalam kehidupan bermasyarakat.
Meskipun demikian, sebenarnya ada berbagai macam hal yang
memberikan pelajaran moral bagi kita dalam kehidupan sehari-hari, salah
satunya yaitu karya sastra dalam bentuk cerita fiksi. Sebagai sebuah karya
imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui
sarana fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 2). Menurut Nurgiyantoro (2010: 3), fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta
interaksinya dengan Tuhan.
Karya sastra mempunyai pengaruh dan peranan dalam kehidupan
masyarakat. Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan
martabat manusia (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sifat-sifat luhur kemanusiaan
tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya sifat-sifat itu dimiliki dan
diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Sastra mempunyai fungsi-fungsi
sosial dalam masyarakat, yaitu: (1) sastra berfungsi sebagai perombak atau
pembaharu, (2) karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan (3) sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur (Endraswara, 2013: 81).
Terkait dengan hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan mengenai karya sastra, yaitu: (1) karya sastra ditulis
oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat; (2) karya sastra
hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3)
medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
permasalahan sosial dalam masyarakat, menganalisis, dan memberikan
pelajaran kembali kepada masyarakat.
Salah satu karya sastra fiksi yang dikenal oleh masyarakat adalah novel.
Novel adalah karya fiksi yang berbentuk prosa naratif atau biasa juga disebut
teks naratif (Nurgiyantoro, 2010: 8). Berbeda dengan cerpen, formalitas
bentuk cerita novel jauh lebih panjang. Sejumlah cerita yang panjang,
katakanlah berjumlah ratusan halaman jelas tak dapat disebut sebagai cerpen,
melainkan lebih tepat sebagai novel. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo
Amrih sebagai subjek penelitian.
Novel ini mengambil kisah dari cerita wayang yang diadaptasi dari kisah
legendaris Mahabharata. Kisah dunia wayang dapat membuat kita selalu
bercermin dan mawas diri. Seperti juga kehidupan manusia, dalam kisah
kehidupan wayang selalu saja ada pertemuan antara kebaikan dan keburukan,
kebijakan dan ketamakan. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian,
kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijaksanaan,
kebimbangan, dendam, dan kekecewaan tersaji dan terangkum dalam sebuah
novel. Novel ini mengangkat kisah pertempuran 2 pemanah, Arjuna-Karna,
yang kaya dengan drama, air mata, hingga kebajikan dan perjuangan atas
pilihan hidup.
Menurut peneliti, kisah yang disajikan dalam novel Pertempuran 2
novel ini adalah hasil adaptasi dari kisah Mahabharata, hal yang diceritakan
dalam novel ini disesuaikan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia,
sehingga novel ini termasuk salah satu karya yang patut kita banggakan.
Kedua, sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian lain yang
menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini sebagai
subjek penelitian. Ketiga, novel ini penuh dengan nilai keteladan,
nilai-nilai kemoralan, dan nilai-nilai-nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Berbagai nilai ini sesuai dan dapat mendukung penelitian yang peneliti
lakukan. Peneliti adalah calon pendidik. Oleh karena itu, peneliti berusaha
mengimplementasikan penelitian ini dengan pembelajaran Bahasa Indonesia
di SMA kelas X. Dengan berberapa latar belakang di atas, peneliti mencoba
untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Nilai-Nilai Moral dalam
Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu
Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di
SMA Kelas XI”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah deskripsi tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel
Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih?
2. Nilai-nilai moral apa saja yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah
Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel
Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih.
2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah:
Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih.
3. Mendeskripsikan relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2
Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih terhadap pembelajaran Sastra di SMA kelas XI.
D. Manfaat Penelitian
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat
sebagai berikut:
1. Bagi guru Bahasa Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi
guru Bahasa Indonesia untuk menganalisa karya sastra, khususnya
nilai-nilai moral di dalam karya sastra.
2. Bagi pembaca karya sastra
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
apresiasi pembaca karya sastra terhadap karya sastra itu sendiri.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu acuan bagi
E. Batasan Istilah 1. Nilai
Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (Depdiknas, 2008: 963).
2. Moral
Moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; susila (Depdiknas,
2008: 929).
3. Tokoh
Pelaku atau aktor dalam sebuah cerita sejauh ia oleh pembaca
dianggap sebagai tokoh kongkret, individual (Hartoko, 1986: 144).
4. Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010:
165).
5. Alur
Alur sama dengan plot. Secara komplementer barkaitan dengan
cerita. Cerita sama dengan urutan peristiwa secara kronologis semata-mata
(Hartoko, 1986: 10).
6. Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro,
2010: 216).
7. Novel
Novel merupakan suatu bentuk karya sastra prosa yang menyajikan
tokoh-tokoh dengan watak masing-masing dan berbeda dari tokoh satu
dengan yang lainnya, sehingga dapat menyuguhkan alur cerita yang
menarik untuk dibaca oleh pembaca terutama tentang gambaran kehidupan
masyarakat.
8. Sosiologi sastra
Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra
dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik
pengarang, proses penulisan, maupun pembaca (sosiologi komunikasi
sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) (Rahmanto,
1988: 129).
9. Relevansi
Relevansi adalah hubungan atau kaitan (Depdiknas, 2008: 37).
10.Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang
F. Sumber Data
Judul : Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna
Pengarang : Pitoyo Amrih
Penerbit : DIVA Press
Tahun : 2010
Kota Terbit : Yogyakarta
Jumlah halaman : 426 halaman
G. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, sumber data,
dan sistematika penyajian. Bab kedua adalah kajian pustaka dan kajian teori
yang berisi: sosiologi sastra, tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral,
dan implementasi dalam pembelajaran sastra di SMA. Bab ketiga adalah
metodologi penelitian yang berisi pendekatan, metode penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab keempat adalah hasil
penelitian dan pembahasan. Bab kelima adalah relevansi hasil penelitian
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka
Pertempuran 2 Pemanah : Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih yang terdiri dari 426 halaman ini diterbitkan oleh DIVA Press Yogyakarta pada
tahun 2010 dalam bentuk novel. Sampai saat ini, penulis belum menemukan
penelitian lain yang meneliti novel ini; sedangkan untuk penelitian
sebelumnya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, penulis menemukan 2
penelitian yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Angela Rahma
Purwitasari (2005) dan Sri Windarti Susiani (2006).
Penelitian pertama dilakukan oleh Angela Rahma Purwitasari (2005)
dengan skripsinya yang berjudul “Tokoh, Tema, Nilai Moral Cerita Rakyat si Pahit Lidah serta Strategi Pembelajarannya di Sekolah Dasar.” Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa si Pahit Lidah merupakan tokoh sentral
atau tokoh utama dalam cerita. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita
si Pahit Lidah adalah nilai moral hubungan manusia dengan tuhan, nilai moral hubungan manusia dengan sesama, dan nilai moral hubungan manusia dengan
diri sendiri.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Sri Windarti Susiani (2006)
berjudul “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Moral Novel Ramayana Karya
Sunardi D.M dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas
nilai-nilai moral dalam novel Ramayana karya Sunardi D.M serta implementasinya
dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.
Berdasarkan hasil analisis tokoh, Sri Windarti Susiani mendeskripsikan
17 tokoh dalam penelitiannya. Sedangkan untuk hasil penelitian mengenai
analisis nilai-nilai moral dalam novel yang ditelitinya, Sri Windarti Susiani
menemukan ada 9 nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut yaitu: mawas diri,
cinta, taat, setia, sabar, rela berkorban, bela negara, hormat kepada orang tua,
dan menjaga kesucian diri.
B. Landasan Teori
Berikut ini adalah teori yang digunakan sebagai alat untuk memecahkan
masalah dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah: (1) sosiologi
sastra, (2) tokoh, (3) penokohan, (4) alur, (5) latar, (6) nilai-nilai moral, dan
(7) relevansi dalam pembelajaran sastra di SMA.
1. Sosiologi Sastra
Dalam pandangan Wolf (via Endraswara, 2013: 77), sosiologi
sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan
baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada
teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai
kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra
dengan masyarakat. Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat
dalam sosiologi sastra adalah satra dan sosiologi (Ratna, 2013: 338).
Ratna (2013: 339) mengemukakan bahwa secara definitif,
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra sudah menjadi suatu disiplin
yang baru, yang dengan sendirinya sudah dievaluasi sepanjang periode
perkembangannya, maka sosiologi sastra pun mencoba menciptakan
teori-teori yang secara khas lahir melalui kombinasi sastra dan sosiologi.
Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun
sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra
(Laurenson dan Swingewood via Endraswara, 2013: 78). Menurut
Endraswara (2013: 78), sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak
lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan
sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi
(Endraswara, 2013: 78).
Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi
(1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam
telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan
pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis
belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk
membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang
mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.
Peneliti menggunakan pendekatan yang kedua dalam penelitian ini,
yaitu pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi
gejala sosial yang ada dalam teks sastra tersebut.
2. Tokoh
Tokoh adalah salah satu unsur intrinsik yang ada dalam karya
sastra. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya
sebagai jawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”,
atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh
protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya
(Nurgiyantoro, 2010: 165). Menurut Sudjiman (1988: 16), tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita.
Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan bahwa
tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Seorang tokoh dengan
kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan
itu dilakukan. Dilihat dari segi peranannya atau tingkat pentingnya tokoh,
a. Tokoh utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian.
b. Tokoh tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi
penceritaan yang relatif pendek.
Menurut Sudjiman (1988: 18), kriterium yang digunakan untuk
menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam
cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa
yang membangun cerita. Sudjiman menambahkan, judul cerita seringkali
juga mengungkapkan siapa yang dimaksudkan sebagai tokoh protagonis.
3. Penokohan
Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, hanya pengaranglah
yang mengenal mereka. Maka tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri
lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh
pembaca (Sudjiman, 1988: 23). Menurut Sudjiman (1988: 23), yang
dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan
jiwanyayang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh
Watak, perwatakan , dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 165).
Citra tokoh itu disusun dengan memperpadukan berbagai faktor, yakni apa
yang difokalisasinya, bagaimana ia memfokalisasi, oleh siapa dan
bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai pelaku dalam
deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis di
dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi
tokoh (Hartoko, 1986: 144). Hartoko menambahkan, tokoh yang
bersangkutan dapat “dihidupkan” berdasarkan sejumlah konvensi yang
diketahui oleh pembaca.
Menurut Jones (via Nurgiyantoro, 2010: 165), penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang yang ditampilkan dalam suatu
cerita. Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan
”perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 166).
Dalam sebuah cerita, secara umum pelukisan tokoh dilakukan
dengan cara deskriptif langsung (teknik analitis, telling) dan tidak
langsung (teknik dramatik, showing) yang kesemuanya itu mesti lewat
kata-kata.
a. Metode langsung (teknik analitis, telling)
Menurut Nurgiyantoro (2010: 195), teknik analitis adalah
pelukisan tokoh yang dilakukan dengan memberi deskripsi kedirian
tokoh yang berupa sifat, watak, tingkah laku atau ciri fisiknya secara
langsung. Bahkan sering dijumpai dalam suatu karya fiksi, belum lagi
kita pembaca akrab berkenalan dengan tokoh-tokoh cerita itu,
informasi kedirian tokoh itu justru telah lebih dulu kita terima secara
lengkap (Nurgiyantoro, 2010: 195).
Ada kalanya pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat
tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan
menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar pernyataan setuju
tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu (Sudjiman, 1988: 24). Menurut
Sudjiman (1988: 24), pengarang dapat memaparkan saja watak
tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak
tersebut. Metode inilah yang disebut dengan metode analitis atau
metode langsung.
b. Metode tidak langsung (teknik dramatik, showing)
Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan,
dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari
penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh
(Sudjiman, 1988: 26). Sudjiman menambahkan, cakapan atau lakuan
Watak tokoh ditunjukkan dengan kedirian tokoh itu sendiri melalui
berbagai aktivitas yang dilakukan, baik verbal lewat kata maupun
nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa
yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010: 198). Menurut Nurgiyantoro (2010:
198), dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan
kejadian-kejadian yang diceritakan tidak hanya sekedar menunjukkan
perkembangan plot saja, melainkan juga sekaligus menunjukkan sifat
kedirian masing-masing tokoh pelakunya.
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan
sejumlah teknik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-211), teknik-teknik
yang digunakan dalam penggambaran tokoh secara dramatik yaitu:
teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan,
teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar,
dan teknik pelukisan fisik.
Teknik cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya
juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 201). Tidak semua percakapan,
memang, mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak
mudah untuk menafsirkannya demikian. Namun, percakapan yang
baik, yang efektif, yang lebih fungsional, adalah yang
menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat
Teknik tingkah laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat
nonverbal. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan
tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan
reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan kediriannya
(Nurgiyantoro, 2010: 203).
Teknik pikiran dan perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa
yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering
dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan
mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua (Nurgiyantoro, 2010:
204).
Teknik arus kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran
dan perasaan. Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 206)
mengemukakan bahwa arus kesadaran merupakan sebuah teknik
narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses
mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan
kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan,
dan asosiasi-asosiasi acak.
Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue,
monolog batin (Nurgiyantoro, 2010: 206). Menurut Nurgiyantoro
diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya ‘aku’,
berusaha menangkap kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi,
tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya.
Teknik reaksi tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh
terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan
sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa ‘rangsang’
dari luar diri tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 207).
Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang
sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat
kediriannya.
Teknik reaksi tokoh lain
Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang
diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang
dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap,
komentar, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 209). Reaksi tokoh
juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan
kedirian tokoh kepada pembaca.
Teknik pelukisan latar
Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk
melukiskan kediriannya. Keadaan latar tertentu, memang, dapat
menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca.
yang bersifat mengaganggu pandangan, akan menimbulkan kesan
bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan,
linkungan, teliti, teratur, dan sebagainya yang sejenis
(Nurgiyantoro, 2010: 209-210).
Teknik pelukisan fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan
kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan
memperhubungkan adanya keterkaitan itu (Nurgiyantoro, 2010:
210). Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel,
rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan
mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan
lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 210), pelukisan keadan fisik
tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang
memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan,
terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca
dapat menggambarkan secara imajinatif.
4. Alur
Menurut Stanton (2007: 26), secara umum, alur merupakan
rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur cerita seringkali disebut
kerangka cerita atau plot. Plot merupakan bagian yang penting dari cerita
rekaan (Waluyo, 1994: 145). Boulton (via Waluyo, 1994: 145)
dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik
untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Dalam
rangkaian kejadian itu terdapat hubungan sebab akibat yang bersifat logis,
artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan
kejadian itu memang mungkin terjadi (tidak dibuat-buat) (Waluyo, 1994:
145).
Lukman Ali (via Waluyo, 1994: 145) menyatakan bahwa plot
adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat
yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih
penting adalah mengapa hal itu terjadi. Plot adalah alur cerita yang dibuat
oleh pembaca yang berupa deretan peristiwa secara kronologis, saling
berkaitan, dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami oleh
pelaku cerita (Dick Hartoko via Waluyo, 1994: 145).
Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur umum alur cerita terdiri
atas tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3) alur akhir.
Alur awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment),
dan gawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas tikaian
(conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Akhir alur cerita terdiri
atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement). Struktur umum ini
disimpulkan dari pengamatan terhadap cerita rekaan yang dihasilkan sejak
berabad-abad yang lalu, sehingga merupakan prinsip dasar dari
Paparan biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita
(Sudjiman, 1988: 32). Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang
diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca
mengikuti kisahan selanjutnya. Sudjiman menambahkan, lain daripada itu
situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita
itu berkembang.
Rangsangan yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan
(Sudjiman, 1988: 32). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya
seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Menurut Sudjiman
(1988: 33), rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh
datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras.
Tegangan ialah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin
menjadi-jadi (Sudjiman, 1988: 33). Sudjiman (1988: 34) mengemukakan
bahwa dalam menumbuhkan tegangan ini, pengarang sering menciptakan
beberapa regangan, yaitu proses penambahan ketegangan emosional, dan
beberapa susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan emosional.
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua
kekuatan yang bertentangan (Sudjiman, 1988: 34). Menurut Sudjiman
(1988: 35), tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan
kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun
pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu.
Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju ke
penting. Menurut Sudjiman (1988: 35), tanpa rumitan yang memadai
tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima
seluruh dampak dari klimaks.
Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya
(Sudjiman, 1988: 35). Dari titik tinggi ini penyelesaian cerita biasanya
sudah dapat dibayangkan.
Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian yang
menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian (Sudjiman, 1988:
35). Peleraian (falling action) artinya konflik yang dibangun cerita itu
menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah
berkurang (Waluyo, 1994: 148).
Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita (Sudjiman, 1988:
36). Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang
melegakan, boleh juga mengandung penyelesaian yang menyedihkan.
Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan.
5. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung (Stanton, 2007: 35). Menurut Abrams (via Nurgiyantoro,
2010: 216), latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan
Sudjiman (1988: 44) mengemukakan bahwa secara sederhana
dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam
suatu karya sastra membangun latar cerita. Hudson (via Sudjiman, 1988:
44) membedakan latar sosial dan latar fisik/ material.
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,
bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44).
Menurut Sudjiman (1988: 45), novel sejarah yang baik dapat memberikan
gambaran yang hidup kepada pembaca tentang kehidupan, kegemilangan,
dan penderitaan sekelompok orang pada masa tertentu dalam sejarah, serta
adat kebiasaan, nada, dan nafsu zamannya.
Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan,
daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Nurgiyantoro
(2010: 218), latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi
tertentu, dapat disebut sebagai latar fisik. Nurgiyantoro mengemukakan
bahwa penunjukkan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang
bermacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada
pengarang yang melukiskannya secara rinci, sebaliknya ada pula yang
6. Nilai-nilai Moral
6.1 Konsep Nilai Moral
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang hidup
dalam suatu masyarakat. Secara umum moral menyaran pada
pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi
pekerti, susila (Depdiknas, 2008). Manusia harus mengerti tentang
nilai-nilai etis, yaitu nilai-nilai yang menentukan benar salahnya
tindakan manusia (Amir, 1991: 87).
Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang
berarti juga: kebiasaan, adat (Bertens, 2007: 4). Kata moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan
mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang
masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai
manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari
segi kebaikannya sebagai manusia (Suseno, 1989: 19); sedangkan
menurut Hadiwardoyo (1994: 13), moral menyangkut kebaikan.
Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak
bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang
bermoral.
Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan
Hadiwardoyo (1994: 13) mengemukakan bahwa moral sebenarnya
memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah.
Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik
dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Akan tetapi
sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah
terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.
Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang
lama dapat mencapai keunggulan moral yang biasa disebut
keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai seseorang
untuk bersikap batin maupun berbuat secara benar (Hadiwardoyo,
1994: 21).
6.2 Nilai Moral dalam Karya Sastra
Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi
karya sastra merupakan unsur isi (Nurgiyantoro, 2010: 320).
Nurgiyantoro menambahkan, moral merupakan sesuatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna
yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat
cerita. Kenny (via Nurgiyantoro, 2010: 320) mengatakan bahwa
moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk
yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang
pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sedangkan menurut Kenny (via
Nurgiyantoro, 2010: 321), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu
yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita yang
bersangkutan oleh pembaca.
6.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra
Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi dapat dipandang sebagai
bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialog, menawar,
dan menyampaikan sesuatu (Nurgiyantoro, 2010: 335). Nurgiyantoro
menambahkan, sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu
hal, gagasan, moral, atau amanat.
Nurgiyantoro (2010: 335) mengemukakan bahwa secara umum
bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat
langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian pesan
moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara
pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Artinya,
moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca
dilakukan secara langsung dan eksplisit.
Bentuk penyampaian moral tidak langsung yaitu pesan hanya
tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur
cerita yang lain (Nurgiyantoro, 2010: 339). Nurgiyantoro (2010:
peristiwa-peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam
menghadapi peristiwa dan konflik itu.
6.4 Bentuk Nilai Moral yang Kuat
Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang
mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa
yang diyakininya sebagai benar (Suseno, 1989: 141). Menurut
Suseno (1989: 142--150), sikap dan tindakan yang menunjukkan
nilai moral yang kuat yaitu: (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3)
kesediaan untuk bertanggungjawab, (4) kemandirian moral, (5)
keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistis dan kritis.
6.4.1 Kejujuran
Kejujuran berhubungan dengan ketulusan hati dan
kelurusan hati. Suseno (1989: 142--143) mengemukakan
bahwa bersikap terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran
adalah kemunafikan dan sering beracun. Bersikap jujur
kepada orang lain berarti dua sikap yaitu bersikap terbuka
dan bersifat fair. Bersikap terbuka adalah kita selalu muncul
sebagai diri kita sendiri (kita berhak atas batin kita). Yang
dimaksud terbuka bukan berarti pertanyaan orang lain berhak
mengetahui perasaan dan pikiran kita, sehingga tidak pernah
menyembunyikan dengan apa yang kita perlihatkan. Yang
standar-standar yang dipergunakan orang lain terhadap
dirinya.
6.4.2 Nilai-nilai otentik
Otentik berarti kita menjadi diri sendiri. Otentik berarti
asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati,
menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan
kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989: 143).
6.4.3 Kesediaan untuk bertanggung jawab
Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas
yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk
menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.
Bertanggung jawab berarti: (1) kesediaan untuk
melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik
mungkin, (2) mengatasi segala etika peraturan, (3) wawasan
orang yang bertanggung jawab tidak terbatas, tidak hanya
terbatas pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya,
tetapi juga bertanggung jawab di mana saja diperlukan, dan
(4) kesediaan unruk diminta, dan untuk memberikan,
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan, atas pelaksanaan
tugas dan kewajiban (Suseno, 1989: 145--146).
6.4.4 Kemandirian moral
Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah
lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan
pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno,
1989: 147). Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk
mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai
dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak
dapat “dibeli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan
rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu
melanggar keadilan.
6.4.5 Keberanian moral
Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk
tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai
kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif
dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147). Orang yang
memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan
tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin
malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh
orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga
oleh mereka yang penilaiannya kita segani.
6.4.6 Kerendahan hati
Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar
akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa
kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas.
memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan,
bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.
Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa
penilaian moral kita masih sering digelapkan oleh
pengaruh-pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih
ada dalam diri kita.
Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan
keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya
(Suseno, 1989: 149). Tanpa kerendahan hati keberanian
moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk
menyembunyikan bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan
orang lain. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak
menang. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting
dank arena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia
sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.
6.4.7 Realistis dan kritis
Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas.
Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi
sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas
begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan
serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan
Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis
(Suseno, 1989: 150). Tanggung jawab moral menuntut agar
kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih
adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya
orang-orang lebih bahagia.
7 Relevansi dalam Pembelajaran Sastra di SMA 7.1 Kurikulum
7.1.1 Pengertian Kurikulum
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut,
ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajarn,
sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk
kegiatan pembelajaran.
7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5). Di dalam
(KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman
pada Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi
(SI) serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh
BNSP. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang berguna bagi dirinya.
7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik
yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan
berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi
peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal,
regional, nasional, dan global. Kedalaman muatan kurikulum
pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi
yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar
pada setiap tingkat dan/atau semester.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia
mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan
bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1) Mendengarkan
3) Membaca
4) Menulis.
Dalam penelitian ini, peneliti akan merelevansikan hasil
penelitian pada pembelajaran sastra untuk SMA kelas XI
semester 1. Uraian tentang standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk
jenjang SMA kelas XI semester 1 adalah sebagai berikut:
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Membaca
7. Memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan
7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat
7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
7.1.4 Perencanan Pembelajaran KTSP
a. Silabus
Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka
pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran.
Komponen silabus terdiri atas:
Identitas mata pelajaran;
Identitas sekolah, meliputi nama satuan pendidikan
dan kelas;
Standar kompetensi;
Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan
prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk
butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian
kompetensi;
Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik danpeserta didik untuk mencapai kompetensi
yang diharapkan;
Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk menentukanpencapaian
hasil belajar peserta didik;
Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran
dalam struktur kurikulum untuk satu semester atau
satu tahun;
Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak, dan
elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang
relevan.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah
rencana pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan
atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk
mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam
upaya mencapai kompetensi dasar (KD). Komponen RPP
Identitas sekolah, yaitu nama satuan pendidikan;
Identitas mata pelajaran atau tema/subtema;
Kelas/semester;
Materi pokok;
Alokasi waktu, ditentukan sesuai dengan keperluan
untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan
mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang
tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;
Tujuan pembelajaran, yang dirumuskan berdasarkan
KD dengan menggunakan kata kerja operasional yang
dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
Kompetensi dasar dan indikator pencapaian
kompetensi;
Materi pembelajaran;
Metode pembelajaran;
Media pembelajaran;
Sumber belajar;
Langkah-langkah pembelajaran, dilakukan melalui
tahapan pendahuluan, inti, dan penutup;
7.2 Pembelajaran Sastra di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) 7.2.1 Pengajaran Sastra
Sebagai seorang guru sastra, kita harus mempunyai
semangat sehubungan dengan pengajarannya. Kita harus
mempunyai kencintaan pribadi terhadap sastra. Kita perlu
gemar membaca karya-karya sastra. Kita pun harus yakin
bahwa pengajaran sastra itu bermanfaat bagi murid-murid.
Karena itu kita akan selalu mempersiapkan pengajaran
dengan baik. Semangat dan kecintaan kepada karya sastra
dan kepada tugas dalam mengajar itu akan berpengaruh
kepada murid.
Mengajarkan sastra bukan hanya mengajarkan
pengetahuan, tetapi mengajarkan sikap terhadap nilai-nilai
(Rusyana, 1982: 10). Karena itu, maka sikap guru besar
peranannya dalam mencapai tujuan pengajaran. Rusyana
(1982: 10) mengemukakan bahwa guru sastra dituntut pula
agar ia dapat memberikan pengaruh yang tepat terhadap
kelasnya pada waktu ia melaksanakan pengajaran. Pengajaran
sastra merupakan usaha untuk menumbuhkan standar
penilaian.
Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak
bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami
akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Sebagai seorang guru,
kita harus dapat menunjukkan bahwa sastra mempunyai
relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata. Jika
pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka
pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang
besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup
sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1988:
15).
7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra
Pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai
berbagai aspek dari tujuan pendidikan susila, social,
perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982:
6). Rusyana (1982: 6-9) mengemukakan bahwa tujuan
pengajaran sastra itu ada dua, yaitu (1) tujuan untuk
memperoleh pengalaman sastra dan (2) tujuan untuk
memperoleh pengetahuan sastra.
Tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra itu dapat
dibagi menjadi dua bagian, seperti yang dikemukakan di
bawah ini.
Apresiasi sastra
Dalam hasil karya sastra itu terkandung pengalaman
manusia yang indah dan mendalam. Pengenalan yang
terkandung dalam sastra, serta hasrat dan jawaban kita
terhadapnya, disebut apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7).
Menurut Rusyana (1982: 7), dalam pengajaran
apresiasi sastra, guru harus memberikan kesempatan agar
murid memperkembangkan apresiasinya sendiri. Tugas
guru adalah membantu murid, dengan menyajikan
lingkungan yang memadai, misalnya berupa bahan
bacaan sastra dan dorongan agar murid senang membaca.
Murid didorong untuk berkenalan dengan karya sastra,
mengadakan kontak dengan jalan membacanya, dan
kemudian menikmatinya.
Ekspresi sastra
Tujuan pengajaran sastra yang lain adalah untuk
memperoleh pengalaman dalam ekspresi sastra. Kegiatan
ini dimaksudkan untuk mengembangkan daya mencipta
pada anak.
Dalam pengajaran sastra, kita juga harus
memberikan perhatian pada kegiatan ekspresi ini.
Kegiatan ekspresi dalam pengajaran sastra dapat
dilakukan dalam bercerita, bercakap, mengarang,
berdeklamasi, membaca indah, dan memerankan teks