• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manis yang belum sudah identitas dan subjektivitas pakaian bekas di Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manis yang belum sudah identitas dan subjektivitas pakaian bekas di Yogyakarta"

Copied!
337
0
0

Teks penuh

(1)

M AN I S YAN G BELU M SU D AH

Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas

di Yogyakarta

T e s i s

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Master Humaniora

(M. Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Oleh:

Wahyu HARJANTO

086322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)
(3)
(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma:

Nama : Wahyu HARJANTO Nomor Mahasiswa : 086322013

bersama ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul MANIS YANG BELUM SUDAH: Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas di Yogyakartaadalah karya asli saya dan bukan merupakan tulisan ilmiah karya orang lain atau pihak manapun.

Tesis ini tidak memuat karya orang lain atau pihak manapun yang pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi lain. Demikian halnya tema penelitian ini sejauh pengetahuan saya belum pernah dikaji oleh pihak manapun dan disajikan dalam artikel ilmiah, jurnal, tesis, disertasi atau karya ilmiah apapun.

Apabila terdapat kesamaan tema dengan tulisan atau karya orang lain, tulisan atau karya tersebut semata-mata hanya dipakai sebagai bahan rujukan atau referensi yang akan dicantumkan dalam catatan kaki dan diacu dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 22 November 2013

Yang Menyatakan

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma:

Nama : Wahyu HARJANTO Nomor Mahasiswa : 086322013

atas nama pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

MANIS YANG BELUM SUDAH: Identitas dan Subjektivitas Pakaian Bekas di Yogyakarta

Untuk kepentingan akademis saya memberikan hak kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 22 November 2013

Pemberi pernyataan,

(6)

v

Anyway the wind blows, doesn't really matter to me, to me Mama, just killed a man

Put a gun against his head Pulled my trigger, now he's dead

Mama, life had just begun

But now I've gone and thrown it all away Mama, uuuu

Didn't mean to make you cry If I'm not back again this time tomorrow Carry on, carry on, as if nothing really matters

Too late, my time has come Sends shivers down my spine

Body's aching all the time Goodbye everybody - I've got to go Gotta leave you all behind and face the truth

Mama, uuu - (anyway the wind blows) I don't want to die

(7)

vi

I see a little silhouetto of a man

Scaramouch, scaramouch will you do the fandango Thunderbolt and lightning - very very frightening me

Gallileo, Gallileo, Gallileo, Gallileo, Gallileo Figaro - magnifico

But I'm just a poor boy and nobody loves me He's just a poor boy from a poor family Spare him his life from this monstrosity Easy come easy go - will you let me go Beelzebub has a devil put aside for me

for me for me

So you think you can stone me and spit in my eye So you think you can love me and leave me to die

Oh baby - can't do this to me baby Just gotta get out - just gotta get right outta here

Ooh yeah, ooh yeah Nothing really matters

Anyone can see

(8)

vii

Kata Pengantar

Di ujung akhir pengerjaan tesis ini sempat ada suara kecil tetapi punya gaung luar biasa. Suara yang menimbulkan rasa gatal, sekaligus punya daya rayu yang tidak mudah ditampik: sebuah ketidakyakinan. Di antara persoalan non-akademis yang nyandung nyrimpet (mengendala) – mulai dari kemalingan, pindah kontrakan, cari tukon mbako, momong anak, laptop disamber listrik, hingga ngurus keluarga sakit dan meninggal -- yang datang bersamaan dengan pegerjaan tesis ini, suara itu

semangkin menjadi-jadi. Hingga gairah untuk melanjutkan tulisan ini sempat limbung atau oleng. Untunglah (demikianlah elastisitas kebatinan orang Jawa menghadapi “gangguan”) dengan sedikit kesadaran bahwa antara jangka (harapan) dan jangkah (kenyataan) meski hanya satu milimeter senantiasa berjarak, gairah itu masih bisa dievakuasi dan dibangkitkan.

(9)

viii

Via sms itu tampak bahwa Pakdhe Banar tengah meminta saya mengambil posisi sebagai seorang petani, atau menimba pengalaman dari petani bagaimana harus menggarap sawahnya, kantornya, ladang sandaran hidupnya. Sebab hanya dengan begitu sawah boleh disebut sawah, tidak lagi berupa hamparan tanah tak bertuan alias tidak bero (terbengkalai). Petani disebut petani salah satunya karena bisa menghasilkan sesuatu dan tidak membiarkan sawahnya terbengkalai. Saran itu paralel dengan majas Jawa, bahwa makarya kuwi kebluk mulur. Maksudnya, tidak

ngaya (ngangsa) tapi jalan terus. Jadi, tidak ada jarak yang terlalu jauh setiap fasenya, sehingga anggrung kerja masing terngiang di benak!

Beda Pakdhe Banar beda Mbakyu Dessy. Di tengah kesibukan kerjaan, ia sempat pula ngurak-urak macam halauan orang tunggu sawah agar padi tidak rusak diserang manuk emprit (burung gelatik): “Pak Wahyu, ayo semangat besok sudah Juni lho!” (SMS, 15 Mei 2013). Motivasi dua orang itu terkait dengan posisi keduanya: satu Polo Sekolah(Kaprodi IRB), satu Polo TU (sekarang, administrasi). Motivasi juga datang dari Dedy “Frater X”, teman seangkatan: Norita Sembiring “Berdua”, Son(nyol) Purba, dan Monic “Mondol”; adik-adik angkatan: Leo “Sultan”, Elly “Ndablek”, Herlina “Lesbian!” (IRB-09); Nana “Kriting”, “Rama” Windarto (IRB-10); Lamser “Bejat”, Imran dan Archam “Duo Ciu” (IRB-11); Pardiman “mBatak”, Ajeng “Lowbat”, Darwis “Jenggot”, Shaman “bergitar” (IRB-12); Weny (Non-Reguler), Restu Kinanti (Non-Reguler) -- yang selalu bilang: “Ayo, Mas [Oom, wih tuwir banget kalee!]. Cemungut, Semangat!”

Terkait dengan bentang luas, rapat, dan kedalaman tulisan, ada Kyai St. Sunardi. Bila selama ini beliau dikenal sebagai juru selam alias toekang bikin klelep

(10)

ix

yang kampioen. Disodori materi yang masih belum tertata oleh anak bimbingannya, atas sarannya bisa tampil normal. Kesalahan sambungan karena keterbatasan nalar bimbingannya, tulisan bisa dioeroet, dan di-las sedemikian rupa hingga bisa “berbunyi” dan bisa dinikmati. Tidak mogol alias setengah matang dan bikin sakit perut. Sosok ini juga yang menggandeng imaji penulis masuk dalam belantara intelektual. Kepada beliau saya sampaikan tabik hormat penuh kesukaan!

Terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Augustinus Supratiknya yang suka mendengarkan keluh kesah mahasiswanya dan memegang kekuasaan sebagai Kepala Sekolah IRB dalam wajah damai. Di tangan kebijakannya, waktu kuliah saya yang sudah molor masih bisa di-olor. Sisanya, kepada Rm. FX. Baskara T Wardaya, S.J., Rm. J. Haryatmoko, S.J., Rm. Hari “Potret” Susanto, S.J., dan Rm. Budi Susanto, S.J. dan Budiawan yang memperkenalkan Marxisme “berwajah manusiawi”, posmodernisme “sinis”, fenomenologi “ohahem”, dan poskolonial. Juga Katrin yang “bandêl” yang suka melihat persoalan kemestian poskolonialitas dan seksualitas di dunia sastra baik di dalam dan di luar kelas. Vielen dank!

Akhirnya kepada tiga nama jerih payah berfikir ini saya persembahkan. Untuk anakku Fay Harjanto (yang suka tanya: “Dad, when your thesis end?”), mamanya, Jane McGrory (yang suka ngetawain soal pilihan dan motivasi saya kuliah lagi apalagi ilmu yang dipelajari berbau filsafat), dan Ibu saya, Siti Sulimah Widjisardjono (yang suka tanya: “Kowe ki ndak ora wis ketuwan yen njupuk kuliah meneh, Lik?—Apa kau tidak terlalu tua untuk kuliah lagi, Lé?”).

(11)

x

ABSTRAK

Tesis ini menggambarkan pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam mengonsumsi pakaian bekas selama lebih dari satu dasawarsa. Kajian dimaksudkan untuk melihat kaitan konsumsi pakaian bekas dengan pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen. Konsumsi pakaian bekas dalam hal ini ditempatkan sebagai representasi tiga peristiwa: ekonomi (penambahan nilai), bio-psikologis (pemenuhan kebutuhan), dan budaya (pemaknaan kolektif). Sebagai peristiwa ekonomi, konsumsi pakaian bekas merepresentasikan perubahan nilai guna (dan nilai tukar) ke nilai tanda. Konsumsi sebagaimana berlangsung saat ini pada dasarnya adalah konsumsi tanda.

Sebagai peristiwa bio-psikologis, konsumsi pakaian bekas merepresentasikan pemenuhan kebutuhan konsumen akan identitas (personal dan sosial) yakni untuk mendeskripsikan diri dan tiket masuk ke dunia sosial dan budaya guna mendapatkan pengakuan atau penerimaan. Melalui “pengetahuan paranoia”, general hysteria konsumsi mode modern dirasakan mengancam identitas dan subjektivitas konsumen. Perasaan itu lalu dikompensasi dengan melakukan identifikasi yang tidak terarah pada tatanan imajiner (pasar) dan simbolik (Name-of-the-Father) yang telah disandera pasar tetapi ke tatanan real.

Lewat identifikasi terhadap struktur real konsumen menginternalisasi identitas sebagaimana dibawakan oleh pakaian bekas sesuai dengan ekspektasinya sendiri. Sasaran identifikasi adalah pada sesuatu yang bersifat apa adanya tetapi mampu melahirkan fantasi. Sebagai hasil identifikasi, identitas fantasmatik dipakai subjek untuk mencapai kenikmatan (jouissance). Sementara subjek yang lahir lewat konsumsi pakaian bekas adalah subjek sublimasi. Subjek yang mengelak dari bahasa pasar mode modern dan wacana mode modern dengan cara menyalurkan (sublimate) pelbagai dorongan (drive) Id-nya menurut bahasa mereka sendiri yang masih bisa diterima, bahkan dihargai secara sosial dan budaya.

Sebagai peristiwa budaya, pakaian bekas merepresentasaikan pemaknaan kolektif. Pakaian bekas berkaitan dengan siasat atau strategi budaya. Di tengah tarikan kemestian rejim konsumsi modern berikut kekuatannya dalam melahirkan kebutuhan atau mereproduksi sarana-sarana produksi, konsumsi pakaian bekas menjadi alat untuk menghadapi homogenisasi cita rasa dan klasifikasi konsumsi. Lewat pakaian bekas, para pengguna melakukan negosiasi (bahkan menghancurkan) ekspektasi sosial-budaya masyarakat konsumen ( Name-of-the-Father) yang telah dikastrasi oleh modernitas dengan menyodorkan budaya daur ulang (recycleculture).

(12)

xi

ABSTRACT

This thesis describes the practices of people in Yogyakarta in consuming used clothes within more than a decade. This study aims to figure out the association between used clothes consumption and formation of identity and subjectivity of the customers. Used clothes consumption in this case is placed as representation of three events, id est.: economy (value adding), bio psychology (fulfillment of needs), and culture (collective signification). As economic event, used clothes consumption represents the shift of used value (and exchanged value) to sign value. The recent ongoing consumption is based on sign consumption.

As bio-psychology event, used clothes consumption represents the fulfillment of the needs of customers on their identity (personal and social identities), that is to describe them selves and as the ticket to participate into social and cultural world to acquire acknowledgement or acceptance. Through “knowledge of paranoia”, the general hysteria of consumption of modern fashion has been feeled by the consumers threatened their identity and subjectivity. These feelings are then compensated by finding identity and subjectivity which are not directed into the imaginary (market) and the symbolic structure (Name-of-the-Father) as represented into rules, law or discourse (Law of the Father) of the modern fashion which are taken as a hostage by market but into the real structure.

Through identification into the real structure, customers internalize the identities as represented by used clothes and adapted with their own expectations. The object of identification focus to the common thing but could emerge the phantasy. As a result of identification, the phantasmatig identity used by the subject to get pleasure (jouissance). Whilst the subject expressed through used clothes consumption is subject of sublimation. It is a subject avoiding from the language of modern fashion market and the discourse of modern fashion by sublimating all kinds of drive of Id according to their own language yet it can be accepted, even appreciated socially and culturally.

As cultural event, the used clothes represent the collective signification. The used clothes relate to cultural strategy. In the midst of the regime of uncertainty of modern consumption as well its power in expressing the needs or reproducing modes of production, used clothes consumption becomes modes to face the homogenization of the taste and consumption classification. Through used clothes, the customers negotiate (even destroys) social-cultural expectation of consumer society (Name-of-the-Father) castrated by modernity by offering recycle culture.

(13)

xii

E.1.Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Baudrillard

18 E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan 22

F. Metode dan Teknik Penelitian. 33

G. Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian. 35

Bab II PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KINI

A. Ngrombèng Dulu

A.1. Latar Belakang Ngrombèng 39

A.2. Motif dan Pelaku Ngrombèng 42

A.3. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng 49

A.4. Membawakan Si Rombeng 58

B.4. Ruang Hidup, Identitas, dan Nilai Ngrombèng 67

(14)

xiii

Bab III PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS

A. Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas

A.1. Latar Belakang Sosio-Historis. 77

A.2. Jumlah, Area, Lokasi, dan Sebaran Perdagangan Pakaian

Bekas 82

A.3. Perilaku Ekonomi dan Etnisitas Pedagang 93

B. Komodifikasi dan Produksi Pakaian Bekas

B.1. Pemetaan Lokasi 97

(15)

xiv

B. Pakaian Bekas dan Subjektivitas

B.1. Sublimasi: Subjektivitas Para Perombeng 269 B.2. Kreativitas Subjek Sublimasi 1: Jouissance 280 B.3. Kreativitas Subjek Sublimasi 2: Penghancuran Kebaruan Lewat

Recycle Culture. 291

Bab V PENUTUP 296

Lampiran:

1. Daftar Kios Pakaian Bekas di Yogyakarta 2. Daftar Kios Berdasar Lokasi

3. Daftar Narasumber

4. Daftar Pertanyaan Wawancara 5. Daftar Merk Pakaian Bekas 6. Peta Rombeng

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 20 Lokasi Perdagangan “Awul-awul” 50 Tabel 2 Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta

(Hingga Tahun 2012) 85

Tabel 3 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan

Akses Jalan) 90

Tabel 4 Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan

Jarak dengan Pusat Keramaian) 91

Tabel 5 Latar Etnik Pedagang dan Jumlah Gerai Yang Dikelola 96 Tabel 6 Kategori Mode Pakaian Bekas 112 Tabel 7 Kategori Model Pakaian Bekas 117 Tabel 8 Model-model Kaos 122 Tabel 9 Model-model Kemeja 127 Tabel 10 Model-model Sweater 135 Tabel 11 Model-model Jaket 143 Tabel 12 Model-model Celana 150 Tabel 13 Jumlah dan Model (Style) Berdasarkan Kekhususan

Pengguna 155

(18)

1

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta tampak sangat mencengangkan. Mencengangkan dalam pengertian bahwa kehidupan sosio-kultural Yogyakarta kontemporer sangat rapat berkaitan dengan faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas yang telah sedemikan rupa bermutasi ke dalam pelbagai bentuk itu telah mengintrusi kehidupan masyarakat. Objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas itu tersebar di pelbagai pusat perbelanjaan baik dalam skala kecil seperti wara-laba (franchise store), menengah (department store) dan besar seperti mall;

toko obat dan apotik; pusat pengudapan seperti foodcourt, restaurant, dan cafe; pusat adibusana dan mode (boutique & fashion); pusat pemajangan dan penjualan kendaraan bermotor (showroom & dealer), hingga hunian mewah seperti real estate

dan residency terus bertumbuh sepanjang waktu. Tak pelak Yogyakarta kontemporer seolah telah sedemikian rupa menjadi sanctuaria konsumsi global.

(19)

2

(saloon, hair & spa); pusat kebugaran dan olah raga seperti sanggar senam (gymnastic), yoga, dan binaraga; pusat cuci pakaian dan binatu (laundry & ironed); bengkel, cuci, dan modifikasi kendaraan bermotor; sepakbola ruang (futsal); pusat perawatan kesehatan dan pengobatan seperti pijat refleksi, akupunktur, klinik, dan rumah sakit; pusat pelatihan dan kursus; agen perjalanan wisata dan travelling;

persewaan mobil; studio foto, rekam dan dekorasi perkawinan (bridal); hingga pusat penyiaran seperti radio dan TV korporasional serta internet. Kesemuanya muncul dan mengisi sudut-sudut kota dalam tampilan prima dan mampu mengakselerasi proses pemenuham pelbagai kebutuhan masyarakat.

(20)

3

“melipat” melainkan juga mengubah dunia sebagai sebuah pasar ekonomi (finanscape).1

Berkenaan dengan persoalan transformasi kapitalisme konsumsi, hal itu menggarisbawahi adanya perubahan dalam proses produksi. Maksudnya, barang dan jasa sebagaimana diproduksi para kapitalis saat ini semata-mata tidak lagi didasarkan pada putusan mereka sendiri, tetapi juga mengadopsi kemauan (libido) konsumen. Trend semacam ini pada gilirannya mendorong lahirnya komodifikasi -- strategi untuk mengakselerasikan faktor penambahan nilai barang dan kemauan konsumen dalam proses produksi sejauh dan seluas mungkin.2 Dengan demikian pelbagai objek konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer sejatinya merepresentasikan realitas industri. Dari contoh-contoh sebagaimana dikemukakan di atas berturut-turut kita menyaksikan berlangsungnya proses komodifikasi yang meliputi hasrat belanja, kulinaritas, penampilan, gaya, kecantikan, ruang, waktu luang, mobilitas, komunikasi sampai dengan gosip. Trend semacam itu semakin deras seiring dengan revolusi yang terjadi dalam dunia teknologi dan media massa.

Mendekatnya objek-objek konsumsi atau komoditas baik yang bersifat fisik-material dan jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya Yogyakarta kontempore pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan

consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, membebani, serta menggiring

(21)

4

orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alih-alih produksi, dan memuja kenikmatan (enjoyment, pleasure) alih-alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.3 Dalam situasi semacam ini, apa yang menonjol kemudian adalah terjadinya perubahan dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, maka kini istilah itu telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru masyarakat modern.

Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya consumer culture. Dalam pengertian ini objek-objek konsumsi tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang saat ini memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah dan pembentukan identitas, komunikasi antar-personal, dan pengkategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai sebuah cara hidup (way of life).

Dalam trend dan arus realitas sebagaimana diilustrasikan di atas, tesis ini selanjutnya hendak mengkaji perihal fenomena pakaian bekas sebagaimana

(22)

5

berkembang luas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Fenomena yang hadir di tengah masyarakat Yogyakarta masa kini sebagai sebuah keganjilan (baca: paradoks). Paradoks yang dimaksudkan adalah bahwa kemunculan pakaian bekas justru terjadi di tengah masyarakat Yogyakarta yang saat ini tengah menandaskan diri sebagai masyarakat modern sebagaimana ditandai oleh kelimpahruahan objek-objek konsumsi atau komoditas dalam corak dan bentuk yang menekankan pada citarasa modern, prima, dan up to date. Melalui bentuk dan mekanisme perdagangan

casual (“non-formal”) pakaian bekas seolah tanpa preseden tiba-tiba menyembul di tengah modernitas masyarakat dan kota Yogyakarta dalam volume dan kuantitas yang besar dan frekuensi yang tinggi.

Sejak awal kemunculannya pada pertengahan tahun 1990-an sebagaimana populer dikenal sebagai pakaian awul-awul4 sampai dengan satu dasa-warsa belakangan sebagaimana menyebut diri sebagai “pakaian import”,5 pakaian bekas seolah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari wajah kota Yogyakarta kontemporer. Dengan sangat mudah keberadaan pakaian bekas itu bisa didapati di setiap sudur kota. Secara perlahan tapi pasti sejarah keberadaan pakaian bekas bergerak mulai dari trotoar jalan-jalan utama, emperan toko, pasar tradisional atau

4 Istilah awul-awul sejauh ini mengacu pada dua pengertian. Pertama, pada cara penjual dalam memerlakukan barang dagangannya. Hampir semua penjual pakaian bekas tidak melakukan pemilahan, pemisahan, penataan atau penyusunan layaknya penjual pakaian yang menjajakan barang daganganya di gerai-gerai pakaian pada umumnya. Mereka meletakkan pakaian itu dalam satu tempat semisal karung, bak kayu, atau bahkan langsung menggelarnya begitu saja di atas terpal yang diletakkan di sepanjang trotoar jalan atau pasar dalam kondisi awul-awulan (kusut masai). Kedua, pada cara pembeli dalam mencari dan menemukan pakaian yang diinginkan. Di tengah banyak dan tidak tertatanya pakaian bekas yang dijajakan itu para konsumen atau pembeli terleih dulu harus meng-awul-awul (membongkar-bongkar) pakaian mana yang diingini atau hendak dibeli.

(23)

6

pusat keramaian lainnya, hingga akhirnya dalam bentuk kios-kios atau gerai-gerai yang dilakukan dalam menejemen yang relatif modern. Sampai di sini bisa disaksikan bahwa di luar dugaan nasib dan keberuntungan pakaian bekas yang ada ternyata jauh melampaui bayangan kebanyakan orang tentang pakaian bekas pada umumnya. Keberadaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta saat ini telah melampaui pengertian yang melekat dalam dirinya (sui generis).

Demikian halnya tampak jelas juga kiranya bahwa keberadaan pakaian bekas di tengah masyarakat Yogyakarta ternyata tidak dengan serta merta bisa dipersamakan dengan gombal (kain bekas) -- barang yang umumnya jamak dipersepsikan oleh banyak orang sebagai barang yang tidak lagi memiliki kegunaan (fungsi) dan nilai (harga) selain hanya untuk kain pel (lap) atau bahkan justru dibuang sama sekali. Selama rentang waktu lebih dua dasawarsa lebih riwayat sejak awal kemunculannya pada akhir 1990-an pakaian bekas pun tidak juga berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) galibnya limbah atau sampah sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Apa yang terjadi justru hal yang berkebalikan. Keberadaan pakaian bekas itu selama rentang waktu berselang hingga waktu belakangan justru mendapatkan penerimaan masyarakat (social acceptability) secara luas. Hal ini ditandai dengan tinggi dan luasnya respons atau animo masyarakat yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, selama kurun waktu yang relatif panjang itu pakaian bekas yang ada telah sedemikian rupa terintegrasi ke dalam riwayat dan pengalaman konsumsi masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

(24)

7

dikonfirmasi melalui dimensi pengguna atau penggunaan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat. Sejauh ini para konsumen atau pengguna pakaian bekas melibatkan pelbagai pihak dengan latar belakang status dan profesi beragam, seperti: mahasiswa, guru, dosen, pegawai departemen, polisi, tentara, perawat, dokter, pegawai bank, penyiar radio, hingga musisi (pemain band). Dengan demikian, pakaian bekas tidak saja berhasil menarik minat konsumsi orang dengan latar belakang ekonomi dan sosial bawah, melainkan juga mereka yang berasal dari strata ekonomi dan sosial menengah-atas. Selain merefleksikan gerak usaha para pedagang, penggunaan pakaian bekas itu juga merepresentasikan luasnya respons pengguna atau konsumen terhadapnya. Demikian halnya penggunaan pakaian bekas tidak lagi terbatas dalam situasi dan kesempatan yang hanya bersifat non-formal, akan tetapi sebaliknya juga bersifat formal atau memiliki jangkauan yang semakin luas.

(25)

8

dasar atau titik keberangkatan yang dimaksudkan adalah: “Mengapa orang mengkonsumsi pakaian bekas?”.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini selanjutnya dimaksudkan untuk melihat kaitan antara konsumsi pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer dengan pembentukan identitas dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau penggunanya. Sebagai semacam panduan (guide lines), penelitian ini selanjutnya dijalankan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa sejatinya yang hendak dicukupi oleh para konsumen atau pengguna dengan cara mengkonsumsi pakaian bekas?

2. Ekspektasi identitas dan subjektivitas macam apa yang dihasilkan dari konsumsi atas pakaian bekas semacam itu?

3. Wacana (ideologi) apa yang mengerangkai proses konstruksi identitas dan subjektivitas konsumen atau para pengguna pakaian bekas?

4. Bagaimana pakaian bekas menjadi medium bagi proses pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen atau penggunanya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(26)

9

Berangkat dari rumusan masalah sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, kajian atau penelitian ini selanjutnya diarahkan untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan penelitian ini adalah meliputi tiga persoalan sebagai berikut:

1. Mengukur kekuatan pakaian bekas dalam proses pembentukan identitas dan subjektivitas konsumen atau pengguna.

2. Melihat wacana (ideologi) yang mengerangkai dan memungkinkan proses pembentukan identitas dan subjektivitas para konsumen atau pengguna pakaian bekas itu terjadi.

3. Melihat dinamika atau tarik ulur (negosiasi) yang muncul selama proses konstruksi identitas dan subjektivitas sebagaimana dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas.

b. Manfaat

(27)

10

hal itu terungkap dalam pelbagai jargon seperti “kota revolusi”, “kota pendidikan atau pelajar”, “kota budaya”, atau “kota seniman”) yang di sana segala sesuatunya dianggap sudah ada “sejak dari sononya” (taken for granted) dan dianggap sama sekali tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Sebuah corak pemahaman atau cara pandang yang bersifat esensialis (substansialis) dan sejatinya dapat dipastikan justru akan menenggelamkan aktualitas Yogyakarta ke dalam ruang yang sempit, baku dan beku.

Pada level etis, penelitian atau kajian ini dimaksudkan sebagai semacan proposal untuk mengembangkan imajinasi (atau “bahasa”) baru dalam melihat dan menarasikan persoalan konsumsi mode (pakaian) masyarakat sebagaimana berlangsung pada masa kini. Lazimnya, persoalan konsumsi selama ini oleh pelbagai kalangan lebih banyak dilihat atau didekati dalam kerangka normatif dan totalistik. Pendekatan dan sikap semacam ini salah satunya ditunjukkan oleh Kementerian Perdagangan melalui program “KONCER” yang mereka kembangkan lewat serangkaian kegiatan kampanye (Lihat Gambar 1).6 Sebuah aktivitas yang

merepresentasikan praktik wacana normalisasi dalam arti Faucaultian yang bertumpu pada kesalehan normatif dan dikembangkan untuk tujuan “membetulkan” atau “mereparasi” proses konsumsi masyarakat. Selain merepresentasikan tindakan yang bersifat ambigu, kampanye itu pun menjadi sesuatu yang muspra (useless) dan menjadi seruan basi (death appeal). Hal itu karena kampanye itu sama sekali

(28)

11

menafikan kenyataan bahwa persoalan konsumsi pada saat ini sudah menjadi bagian dari pengalaman dan penghayatan hidup masyarakat sehari-hari.

D. Tinjauan Pustaka

Di kalangan para intelektual bidang sosial dan humaniora tanah air, fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini sama sekali belum mendapatkan perhatian. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas belum pernah diangkat ke permukaan sebagai objek riset atau kajian ilmiah lain sebagaimana kemudian diwujudkan dalam bentuk artikel ilmiah, paper, skripsi, tesis, atau disertasi. Sebaliknya, di negara-negara barat fenomena pakaian bekas selama dua dekade ke belakang sudah mendapatkan perhatian dari kalangan

Gambar 1

Kampanye ala Pemerintah

(29)

12

intelektual ilmu sosial humaniora dalam pelbagai ragam sudut pandang. Untuk keperluan kajian ini selanjutnya akan dibicarakan dua artikel yang melihat persoalan pakaian bekas. Dua artikel yang dimaksudkan bersumber dari dua bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini. Artikel pertama adalah “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” karangan Angela McRobbie7, dan kedua adalah “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” karangan B. Linne Milgram.8

Dalam artikelnya yang berjudul “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” ini Angela McRobbie melihat fenomena pakaian bekas dan pasar

rombengan sebagaimana dikembangkan oleh para pemudi masyarakat perkotaan Inggris era 1970-1980-an dalam kaitannya dengan pengembangan evolusi budaya anak muda (youth culture). Melalui perspektif sejarah, feminisme, dan subkultur, McRobbie kemudian memusatkan perhatian pada peran yang dimainkan pakaian bekas dan pasar rombengan dalam bidang ekonomi dan budaya. Dalam bidang ekonomi, pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh para pemudi memiliki peran sentralnya dalam mendorong eksistensi infrastruktur kewirausahaan subkultur anak muda melalui sebuah “konsumerisme subversif” (subversive consumerism). “Konsumerisme subversif” mengacu pada proses produksi yang dilakukan para pemudi kota dengan cara memanfaatkan model gaun perempuan lama (klasik) yang secara selektif mereka beli dari penduduk perempuan

7 Angela McRobbie (1994), “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” dalam Angela McRobbie, Postmodernism and Popular Culture, London and New York: Routledge, hlm. 130-148. Untuk versi awal artikel ini, lihat Angela McRobbie (ed.), (1989), Zoot Suits and Second-Hand Dresses: An Anthology of Fashion and Music, Boston: Unwin Hyman, hlm. 23-49.

(30)

13

setempat dan setelah ditransformasikan atau diubah dalam pelbagai bentuk dan gaya retrodijual kembali kepada para konsumen perempuan secara selektif juga.

Dalam kegiatan ekonomi “kaki lima” ini terselip agenda politik luar biasa besar dan mendasar. Para pemudi itu tengah melancarkan perlawanan terhadap para industrialis garmen dan kapitalis mode Inggris yang banyak melahirkan penderitaan dan krisis terutama kepada kaum perempuan. Mereka juga menyampaikan early warning tentang kemungkinan terjadinya krisis lanjutan yang berakar pada meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap pakaian baru. Sebuah peristiwa yang tidak hanya akan menyusutkan kantong ekonomi rumah tangga masyarakat perkotaan Inggris yang rata-rata secara menejemen menjadi tanggungan kaum perempuan, tetapi juga akan menguras energi lingkungan, dan hanya akan menguntungkan pihak industrialis dan kapitalis Inggris yang bergerak di bidang garmen dan mode. Kapitalis di bidang garmen dan mode adalah pihak yang dikenal sangat rakus dan sejauh ini memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk tetap bertahan hidup dalam situasi dan kondisi apapun.

(31)

14

sangat khas dan hanya mungkin berkembang dalam basis budaya popular dan dikerjakan lewat strategi menjaga proses evolusi subkultur anak muda.

Dalam artikel yang berjudul “Ukay-ukay Chic! Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philippine Cordillera”, B. Layne Milgram mengangkat fenomena pakaian bekas atau “Ukay-ukay” (istilah populer masyarakat Pinoy sebagaimana diadopsi dari Bahasa Tagalog yang berpadanan kata dengan kosa kata Bahasa Jawa “Ngebut-ngebutke”, atau “mengibas-ngibaskan” dalam Bahasa Indonesia) sebagaimana dikembangkan lewat perdagangan yang berkembang sedemikian banyak di Kabupaten Ifugao, Provinsi Cordillera, Filipina Utara. Sementara arah yang dituju dari penelitian itu adalah merumuskan kaitan konsumsi pakaian bekas dengan proses pembentukan pasar lokal dan praktik berpakaian di kalangan masyarakat di provinsi Cordillera. Dari latar belakang semacam itu melalui pendekatan ekonomi perdagangan dan budaya, Layne kemudian mengembangkan informasi tambahan ke dalam bidang lain yakni sosial dan ekonomi.

(32)

15

produktivitas pertanian, ditambah dengan krisis ekonomi menjadikan mereka kehilangan pendapatan. Hal itu karena hasil buminya tidak bisa diserap di pasar dan perusahaan yang biasa menampungnya. Depreviasi mata uang nasional Filipina (peso) terhadap dollar Amerika menjadikan kedua sumber pertukaran itu mengalami kesulitan serius karena biaya operasional selama krisis mengalami pembengkakan melampui perhitungan ekonomis.

Dari latar belakang di atas sejumlah petani Kabupaten Ifugao pun kemudian mencoba peruntungan sebagai pedagang di luar provinsi. Awalnya mereka menjadi pedagang buah di pasar tradisional di Provinsi Cebu (daerah pelabuhan). Pada saat yang sama ratusan kontainer pakaian bekas di Pelabuhan Cebu yang merupakan bagian dari bantuan kemanusiaan asing berkenaan dengan bencana alam angin topan, banjir dan gunung meletus yang melanda beberapa daerah di Filipina kemudian menginspirasi mereka masuk dalam perdagangan pakaian bekas dalam beragam level, mulai dari pengepul hingga pengecer. Langkah para petani Ifugao itu membuahkan hasil. Pada awal usaha sebagian dagangan mereka kirim ke Ifugao untuk “diujicobakan” sebagai pasar lokal di sana. Kurang dari satu tahun mereka tidak saja berhasil menjadikan Kabupaten Ifugao dan Provinsi Cordillera sebagai pusat “Ukay-ukay” tetapi menjadikan dirinya sebagai orang pertama dalam perdagangan “Ukay-ukay” di Filipina.

(33)

16

Eropa ke Filipina lewat lembaga karitatif gereja dan swasta. Menghadapi kekuatan besar yang tidak mungkin dibendung, sejumlah perusahaan pakaian nasional memilih banting stir menjadi perusahaan retail produk pakaian luar negeri dengan membidik segmen kelas menengah yang minded dengan pakaian baru dan merk luar. Ujung akhir catatan Lynne adalah bahwa dari arus perdagangan pakaian bekas masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi salah satu konsumen mode asing yang paling besar di Asia. Implikasinya praktik berpakaian masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi sangat akrab dengan mode dan citarasa Amerika, Eropa, dan negara-negara eksportir pakaian bekas lainnya.

(34)

17

Akhirnya, dari tinjauan pustaka di atas penelitian ini dijalankan bukan karena keberadaan tinjauan sejenis dengan sasaran dan pendekatan yang sama sebagaimana dilakukan oleh penelitia sebelumnya, terutama yang ada di Indonesia. Akan tetapi penelitian ini justru dilakukan semata-mata karena semangat untuk mencoba memulai sebuah kajian dalam arah dan pendekatan yang belum pernah dituju atau disasar oleh peneliti atau akademisi lain. Usaha kecil yang belum mendapatkan perhatian dari masyarakat peneliti dan akademisi ilmu sosial humaniora semacam itulah yang coba ditawarkan dari penelitian ini. Sebuah usaha sederhana yang secara kebetulan sama sekali belum pernah mendapatkan perhatian orang. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas di Indonesia belum pernah diangkat orang sebagai sasaran penelitian sebagaimana kemudian diketengahkan dalam bentuk artikel pada jurnal ilmiah, paper atau kertas kerja seminar, skripsi, tesis, maupun disertasi.

(35)

18

E. Kerangka Konseptual (Teoretik)

Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, penelitian ini menempatkan fenomena pakaian bekas dalam tiga dimensi: ekonomi (perubahan nilai), psikologi (pemenuhan kebutuhan) dan budaya (pemaknaan kolektif). Terkait dengan tiga perspektif tersebut, sebagai alat bantu penelitian ini selanjutnya memergunakan sejumlah konsep dan (atau) teori sebagaimana lazim dikembangkan oleh para teoretisi dalam kajian budaya (cultural studies). Kerangka konseptual atau teori yang dimaksudkan selanjutnya diuraikan dalam paparan-paparan berikut.

E.1. Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Budrillard

(36)

19

identitas kebaruan suatu barang dipahami sejajar dengan kebaruan konsumsi modernitas itu sendiri.

Meskipun secara formal kajian ini dikembangkan berdasarkan pada teori masyarakat konsumen, karena di dalam buku itu Baudrillard sendiri lebih banyak mengaplikasikan gagasan teoretik sebelumnya yakni teori objek9 dan teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda10, maka pemakaian konsep kunci (key concepts) seperti objek konsumsi (consumption object), bentuk komoditas (commodity form),

dan nilai tanda (sign function) sebagaimana termaktub dalam kedua buku yang belakangan disebut menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Konsep-konsep tersebut sudah barang pasti tidak akan ditempatkan dalam posisi yang sama atau sejajar dengan teori pertama disebut, melainkan hanya semacam penghubung atau bersifat melengkapi. Dengan demikian, kajian ini selanjutnya akan menggunakan teori masyarakat konsumen disertai dengan konsep-konsep kunci atas gagasan Jean Baudrillard sebagaimana ia utarakan dalam kedua buku sebelumnya.

Menelusuri gagasan Baudrillard tentang masyarakat konsumen akan mengantarkan kita pada pengakuannya tentang kekuatan komoditas dalam mempengaruhi arah dan proses pembentukan masyarakat (social formation).11 Sebuah gagasan yang merepresentasikan milestone intelektual Baudrillard yang bergerak dari bidang kajian budaya ke sosiologi konsumsi, sebelum pada akhirnya bergerak lagi ke post-modernisme. Fungsi formatif sosial komoditas lewat konsumsi

9 Jean Baudrillard (1996),“The Sistem of Objects” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard: Selected Writings, Stanford: California University Press, hlm. 10-28.

10 Jean Baudrillard (1981), For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd. Juga, Jean Baudrillard, “For a Critique of the Political Economy of the Sign,” dalam Mark Poster, (ed.), (1988), Op. cit., hlm. 57-07.

(37)

20

merupakan pintu masuk yang dipergunakan Baudrillard, mengikuti jejak seniornya Louis Althusser, untuk mempersoalkan hal fundamental di dalam kapitalisme yang hampir selalu berjaya dan sulit sekali dipatahkan dalam mempengaruhi gerak dan kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Melalui sudut pandang konsumsi Baudrillard melihat aspek multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas dan implikasinya secara psikologis, sosial, dan kultural.

Melalui teori masyarakat konsumen Jean Baudrillard menggambarkan pelbagai trend atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat kontemporer yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar. Masyarakat konsumen oleh Jean Baudrillard diilustrasikan sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnya mengalami “general hysteria” – sebuah suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, mengondisikan, dan menggiring anggota-anggotanya untuk secara terus menerus mengkonsumsi (ubiquiotus) alih-alih memproduksi dan memfetishkan kenikmatan (satisfaction) pelbagai barang dan jasa sebagaimana direproduksi secara terus menerus oleh pasar dalam skala yang bersifat massif dan massal.12 Barang dan jasa sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini diproduksi pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk -- meminjam istilah Karl Marx – mereproduksi sarana-sarana produksi, sebagaimana ditandai dengan penciptaan pelbagai bentuk kebutuhan baru.13

Berkenaan dengan kajian ini, teori masyarakat konsumen akan dipakai untuk menggambarkan trend atau kecenderungan umum sebagaimana berkembang luas dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sebuah situasi

(38)

21

yang mengerangkai, menggerakkan, dan menghabituasi kebiasaan hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer dalam melahirkan pelbagai kode, norma, peraturan dan hukum, atau ekspektasi social mereka bersama objek-objek konsumsi. Sebuah sistem bahasa sebagaimana kemudian berkembang luas dan tertancap dalam keyakinan masyarakat pada umumnya. Sebuah kekuatan yang memiliki andeel

(peran) sangat besar atau signifikan dalam menstrukturkan persepsi, sikap dan tindakan masyarakat baik secara individual maupun kolektif; terutama berkenaan dengan cara mereka memaknai dan berhubungan dengan komoditas lewat pemenuhan kebutuhan atau konsumsi.

(39)

22

kebutuhan dasar para konsumen atau pembeli pakaian bekas akan prestige. yang bisa dicukupi dengan hal-hal bermakna.

E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan

Kerangka konseptual kedua yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah teori identitas atau teori subjek sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Emile Lacan lewat teori Tahap Cermin (mirrror stage theory).14 Dalam konteks penelitian ini teori tahap cermin Lacanian berfaedah untuk melihat proses identifikasi atau pembentukan ego dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam kaitannya dengan aktivitas konsumsi mereka terhadap pakaian bekas. Melalui teori tahap cermin analisis tidak hanya terbatas pada fenomena kemanusiaan yang berada di permukaan, tetapi dimungkinkan masuk hingga level terdalam dan sejauh ini banyak terabaikan saat kita melihat persoalan manusia. Dengan kata lain melalui teori ini dimungkinkan menguak dan memahami struktur internal atau struktur psikis, kejiwaan, atau mental para pengguna pakaian bekas.

Lewat teori Tahap Cermin Lacan mengemukakan dua hal pokok terkait dengan persoalan subjek: penemuan Ego (identitas) dan kekuatan yang berbicara dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu (speaking subject, subjek ketidaksadaran) melalui bahasa (wacana). Melalui teori Tahap Cermin tersebut, Jacques Lacan merumuskan proses pembentukan subjek manusia ke dalam tiga tahap atau fase, yakni: Pra-Cermin, Cermin, dan Pasca-Cermin. Terkait erat dengan

(40)

23

ketiga fase atau tahap pembentukan subjek tersebut Lacan mengemukakan enam elemen penting yang dominan mewarnai setiap tahapan. Elemen yang dimaksudkan adalah: gairah hidup (desire), persepsi (kemampuan untuk mengenali diri sendiri), identifikasi (penyamaan atau idealisasi), hubungan subjek dengan wacana, serta hubungan subjek dan dunia luar -- baik dalam pengertian Innenwelt (dunia kecil) maupun Umwelt (dunia besar).15

Berdasarkan hipotesisnya tentang adanya Tahap Cermin, Lacan selanjutnya merumuskan adanya proses penemuan Ego (identitas) seseorang berjalan dalam tiga tahap: Pra-Cermin, Cermin dan Pasca-Cermin. Tahap Pra-cermin (yang dialami seorang anak saat berumur 0-6 bulan) sang anak sepenuhnya tenggelam dalam kondisi kepenuhan dan kenikmatan primordial, yakni menjadi satu dengan ibunya. Berkaitan dengan persepsi, penemuan diri Sang Anak masih bersifat proprioseptif (proprioceptive) – yakni berjalan sesuai dengan rangsangan yang berasal dari sumber bio-fisik sang anak sendiri.16 Dalam situasi dan kondisi ini Sang Anak masih mengeksplorasi persepsi sensoris (censory perception) yang bersumber pada bio-fisiknya. Demikian halnya gambar (images) tentang dirinya yang ia terima dari ibunya mengalir begitu saja tanpa berhasil ia kendalikan. Persatuan primordial dengan ibunya juga ditandai dengan belum adanya identitas diri, karena diri Sang Anak masih dalam keadaan terfragmentasi. Berkaitan dengan bahasa, ia sudah menerimanya namun belum bisa menggunakannya.

Pada Tahap Cermin (yang dialami seorang anak pada usia6-18 bulan) Sang Anak menemukan ke-diri-annya (self) dalam image ibu atau sosok lain yang

15 Loc. Cit., hlm. 78.

(41)

24

berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Dengan kata lain ke-diri-an Sang Anak bersifat imajiner. Berkenaan dengan persepsi, dikarenakan pengenalan diri Sang Anak masih terfragmentasi, maka ia belum bisa membedakan mana self ibunya dan mana self-nya sendiri. Pengalaman menyolok pada fase ini adalah munculnya perasaan bangga (narsistik) saat untuk kali pertama seorang anak menemukan dirinya (sejajar dengan konsep Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan oleh Wolgang Kohler).17 Dikarenakan diri yang ditemukan masih bercampur baur dengan diri ibunya, ia mengalami misrecognition atau miscognition – salah kenal. Berkaitan dengan bahasa, pada tahap ini Sang Anak mulai belajar menggunakan bahasa, tetapi belum mengetahui maksudnya.

Pada Tahap Pasca-Cermin kesatuan primordial yang dinikmati seorang anak terhadap ibunya mulai retak. Retaknya hubungan antara anak dan ibu berkaitan dengan kehadiran sosok Sang Ayah (Name-of-the-Father) yang merupakan metafor pelbagai hukum dan aturan sosial dan budaya yang muncul sebagai akibat penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pengalaman paling mencolok pada tahap ini terletak pada pengalaman Sang Anak saat mulai menggunakan bahasa. Dalam hal ini pengalaman ke-aku-an Sang Anak tidak lagi dibangun berdasarkan pada images,

tetapi dalam bentuk penggunaan bahasa (simbolik). Pada tahap ini ke-aku-an Sang Anak sepenuhnya ditentukan oleh hubungan sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari penggunaan bahasa. Dalam tahap ini Sang Anak diajarkan untuk menerima pelbagai perintah dan larangan dari orang lain. Perubahan yang menimpa Sang Anak ini pada akhirnya melahirkan trauma dalam dirinya. Implikasinya, gairah

(42)

25

hidup (desire) Sang Anak senantiasa diarahkan pada kesatuan primordial atau dalam bentuk apa saja yang bisa mengembalikan pada situasi ini.

Selain proses pembentukan subjek di atas Lacan juga menjelasan tentang struktur (dunia) subjek seseorang yang mencakup tiga tatanan, yakni: Imajiner, Simbolik, dan Real. Ketiga struktur tersebut merepresentasikan kedewasaan subjek seseorang dalam menapaki proses sosialisasi dan pembudayaan. Sebuah konsekuenasi yang harus ditemui manakala harus berhubungan dengan realitas atau kehidupan masyarakat dan budaya. Struktur real adalah dunia subjek seseorang sebelum didefinisikan dalam pelbagai istilah. Dunia kepenuhan, dunia pra bahasa, dunia pra-sejarah yang berjalan dalam prinsip kenikmatan sebagaimana digambarkan dunia anak saat sepenuhnya tergantung dengan ibunya. Dalam hal ini pengalaman Sang Anak sepenuhnya adalah pengalaman Sang Ibu. Struktur imajiner adalah dunia subjek seseorang sebelum memasuki dunia simbolik, bahasa, sosial, atau masyarakat. Di dalamnya disarati dengan gambar atau imej (imago) sebagaimana dipantulkan oleh sumber kenikmatan yang digambarkan oleh sosok ibu atau apapun yang diasumsikan mampu memberikan kenikmatan. Struktur simbolik adalah dunia ditapaki oleh subjek seseorang yang telah memasuki situasi sosial yang berjalan berdasarkan pada prinsip keteraturan.

Dari ketiga tahap perkembangan subjek itu, Lacan sejatinya tengah memfokuskan perhatian pada pengalaman seorang anak dalam menghadapi situasi

(43)

26

berada dalam situasi ambigu: apabila tetap mencintai Sang Ibu ia akan dikutuk dan dikebiri Sang Ayah sekaligus kehilangan identitasnya. Demikian halnya apabila Sang Anak patuh pada perintah Sang Ayah, ia akan kehilangan gairah hidupnya (desire) karena harus terpisah dengan ibunya yang selama ini menjadi sumber hidupnya. Bagi orang yang bersedia masuk ke dalam proses pendewasaan, sosialisasi, atau pembudayaan, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan dengan ketiga tahapan dan struktur subjek yang dilaluinya.

Orang dikatakan tidak memiliki masalah (“normal”) secara kejiwaan apabila ia mampu menghadirkan ketiga struktur subjek itu secara bersamaan. Dengan kata lain, orang dikatakan normal secara psikis, jika memiliki kemampuan untuk menuntaskan problem oedipus compkex dengan cara menghadirkan dan mengintegrasikan ketiga struktur psikis tersebut secara bersama-sama. Sebaliknya apabila seseorang gagal menuntaskan problem Oediphus Complex dan tidak bisa mengintegrasikan ketiga struktur subjek tersebut secara bersama-sama dikatakan sebagai tidak normal atau mengidap gangguan mental (mental disturbance). Subjek yang mengalami problem psikis terentang antara: psikosis, neurosis, dan perversif. Suatu bentuk gangguan emosi dan mental yang akan ditanggung dan dampaknya bisa sangat membekas di dalam tahap perkembangan hidup seseorang kelak kemudian hari.

(44)

27

sekunder (secondary identification) atau identifikasi simbolik (symbolic identification), Ideal Ego (Ich Ideal), Ideal Ich (Ich ideal), ambiguitas dan alienasi sekunder, object a (libidinal drive), separasi, kastrasi, fantasi, dan sublimasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep-konsep kunci dari teori Tahap Cermin tersebut selanjutnya disampaikan dalam paragraf-paragraf berikut.

[1] Identifikasi primer (primary identification) atau Imaginary identification. Sesuai gagasan Lacan, identifikasi primer merupakan mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang tengah menapaki fase Cermin atau tahap Imajiner. Mekanisme psikis ini mengacu pada pengalaman seorang anak dalam melakukan idealisasi diri dengan pelbagaiimej sebagaimana dipantulkan oleh cermin, yang dalam hal ini dipersonifikasikan lewat sosok ibu atau sosok yang dianggap mampu memberikan pelbagai objek kenikmatan. Identifikasi primer dalam fase cermin sejatinya bersifat pra-sejarah. Hal ini dikarenakan bahwa kesadaran diri seorang anak sepenuhnya masih ditentukan oleh ibu. Kesadaran diri (kebertubuhan) seorang anak masih bersifat fragmentatif. Momen identifikasi dalam hal ini sebatas pada adanya pengembangan persepsi tentang keutuhan kebertubuhan lewat realitas lain (ibu). Dalam fase ini belum terbedakan antara tubuh Sang Anak dengan tubuh ibu. Identitas diri (ego) yang kelak akan diakui sebagai identitas personalnya (Ideal Ego, Ideal Ich) merupakan identitas khayalan (imagery) sebagaimana yang direfleksikan oleh liyan (other, ibu).

(45)

28

simbolik; identifikasi seseorang dengan Name-of-the Father sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai macam tata aturan, larangan, atau hukum berpakaian sebagaimana berlaku dalam masyarakat (Law of the Father). Identitas diri (ego) sebagaimana dihasilkan dari proses identifikasi dalam struktur simbolik ini merupakan identitas yang sesungguhnya kelak akan dijadikan sebagai identitas sosialnya (Ego Ideal, IchIdeal).18

[2] Object a ataulibidinal drive. Istilah inimengacu pada keberadaan sesuatu yang memiliki arti penting khusus untuk hasrat subjek. Sesuatu yang memiliki kemampuan membangkitkan hasrat atau gairahhidup subjek seseorang (object cause

desire) untuk menemukan keutuhan atau kepenuhan. Sesuatu yang memiliki kemampuan menggerakkan subjek seseorang menemukan hasrat akan sesuatu yang hilang (loss) atau kekurangan (lack). Sesuatu yang senantiasa mendorong subjek seseorang menemukan kehidupan atau menariknya untuk menuju ke sana. Sesuatu yang dimetaforkan sebagai tempat kosong di meja makan yang menunjukkan adanya kekurangan pada seseorang yang biasanya menempati lokasi itu, atau bekas sayatan di wajah yang mengingatkan pada sebuah pisau tajam yang tidak lagi ada.19

[3] Fantasy. Momen yang menempatkan seseorang ketika menjadi subject of desire.

Momen yang berlangsung pada saat seseorang melakukan mekanisme identifikasi untuk kedua kalinya (secondary identification) atau identifikasi pada struktur simbolik (symbolic identification). Momen yang terjadi pada saat seseorang telah

18 Marc Darmon (2002), “Imaginary Identification/Secondary Identification” dalam Alain de Mijolla (ed.), (2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. hlm.798-799.

(46)

29

menapaki fase pasca-cemin atau memasuki dunia nilai, dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial. Fantasi sangat diperlukan untuk mengerjakan ulang pengalaman traumatik yang dialami oleh seseorang pada masa lalu yang direpresi sebagai bagian dari ketidaksadaran. Pemrosesan ulang ini diperlukan agar apa yang direpresi tidak akan berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan memengaruhi kestabilan psikisnya.20

[4] Ideal Ich atau Ideal Ego. Konsep yang dipakai untuk menggambarkan

penemuan identitas (ego) seorang anak yang berada di tahap cermin lewat mekanisme identifikasi atau idealisasi. Konsep ini mengacu pada imej yang dipantulkan oleh sumber kenikmatan sebagaimana dipersonifikasikan dengan sosok ibu atau cermin. Dari serangkaian imej yang direfleksikan oleh cermin, ibu, atau sosok pengganti ibu, dalam perkembangan kemudian satu di antaranya oleh Sang Anak akan dinobatkan atau diakui sebagai ego atau identitas dirinya sebagaimana akan dibawakan untuk berkomunikasi dengan liyan (other). Ego atau identitas diri bentukan atau khayalan sebagaimana dipantulkan oleh cermin atau ibu inilah yang dinamai dengan ideal ich atau ideal ego.

[5] Ich Ideal atau ego-ideal. Konsep yang dipergunakan Lacan untuk menamai

identitas (ego) yang sebenarnya dari seorang subjek. Sebuah identitas yang

dihasilkan oleh seorang subjek manakala berhubungan dengan liyan (Other) atau berpartisipasi secara sosial. Ego seorang subjek yang dihasilkan pada tahap pasca-cermin atau sudah menapaki tatanan simbolik lewat mekanisme identifikasi sekunder (secondary identification). Sebuah penanda yang beroperasi sebagai sesuatu yang diidealkan (citra ideal), sesuatu yang diinternalisasi dari hukum dan

(47)

30

tata aturan, dan akan memandu atau mengarahkan posisi subjek dalam tatatan simbolik, dan selanjutnya mengantispasi identifikasi sekunder atau produk identifikasi sekunder itu sendiri. (The ego-idealis the signifier operating as ideal, an internalized plan of the law, the guide governing the subject's position in the

symbolic order, and hence anticipates secondary (Oedipal) identification or is a

product of that identification.)21

[6] Alienasi sekunder (Secondary alienation). Sebuah gangguan psikis yang

diidap oleh seseorang yang telah menapaki fase pasca-cermin. Hal itu karena subjek merasakan bahwa ego yang harus ia bawakan dalam berkomunikasi dengan orang lain saat ini dalam kenyataannya tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah ia kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi saat berada di tahap cermin. Dalam hal ini subjek seseorang terpisah atau terasing dari dirinya sendiri. Sebuah gejala yang tidak memiliki kesempatan untuk dihindari, atau kemungkinan disintesiskan sebagai satu keseluruhan (the subject is fundamentally split, alienated from himself, and there is no escape from this division, no possibility of "wholeness"

or synthesis).22

[7] Ambiguitas sekunder (secondary ambiguity). Momen yang dalam teori tahap

cermin dialami seorang pada tahap pasca-cermin atau simbolik. Setelah sang anak dipisahkan dari ibunya sebagai sumber hasrat sang anak, sang anak harus mematangkan identitasnya dalam dunia sosial. Momen yang kemudian menempatkan subjek dalam kenyataan bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai hasratnya ternyata tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Liyan. Hasrat

21 Sophie de Mijolla-Meller (2005a), “Ego Ideal /Ideal Ego” dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. .798-799.

(48)

31

sang anak merupakan hasrat Liyan. Hasrat Sang Anak ditentukan oleh masyarakat dan budaya. Hal ini merupakan perulangan pengalaman ambiguitas pada akhir tahap cerrmin dan mulai masuk ke tahap awal pasca cermin, bahwa hasrat Sang Anak merupakan hasrat Sang Ibu (other).

[8] Struktur Real. Struktur subjek yang tidak termasuk dalam struktur Imajiner

maupun Simbolik. Struktur ini sebagian tersusun dari realitas subjek, meski tidak sungguh diketahui, ia dimediasi oleh dua tatanan Imajiner dan Simbolik, sehingga saat ia muncul, subjek yang ada secara inheren sudah di-other-kan dan teralienasikan. (The "real" stands for what is neither symbolic nor imaginary. It forms part of a subjects reality, however it is never truly known, it is mediated by the

two orders of the Imaginary and the Symbolic, thus while it is present, the subject

treats it as inherently Othered and alien).23

[9] Paranoia. Istilah yang dalam psikopatologi dipakai untuk menamai gangguan

mental (mental disrorder)dalam bentuk psikosis yang diikuti dengan delusi. Sebuah bentuk gangguan mental atau psikis yang diidap oleh seseorang yang dalam manifestasinya ditandai oleh kecurigaan atau kekhawatiran disertai dengan pelbagai waham atau halusinasi. Lewat teori tahap cermin, gejala paranoia dipakai untuk menjelaskan momen ketika seorang anak berada di akhir masa cermin dan memasuki awal tahap paca-cermin. Momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang masih belum mapan dalam mengenali dirinya mau tidak mau harus mengembangkan pengetahuannya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dalam kondisi semacam itu Sang Anak hanya bisa menduga-duga atau

(49)

32

nerka tentang dunia baru atau dunia sosial yang akan dijejakinya. Akibatnya ia bukan saja tidak yakin dengan apa yang akan terjadi. Bahkan ia pun tidak yakin dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Lacan mengatakan bahwa paranoia merupakan bakat bawaan (sejajar dengan konsep dosa asal dalam teologi Kristen) yang dimiliki seorang anak di samping ambiguitas dan alienasi. Sebuah momen yang menempatkan pengetahuan seorang anak yang berada di dalam masa transisi antara pengetahuannya yang belum mapan dengan kemapanan atas sesuatu yang akan diketahuinya. Momen transisi antara akhir tahap cermin menuju tahap pasca-cermin.24

[10] Delusi. Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang secara kuat oleh para

pengidap paranoia. Sebuah keyakinan atau kesan yang sangat kuat namun tidak memiliki akurasi atau tidak memiliki dasar dalam realitas. Dalam ilmu psikiatri, delusi diartikan sebagai kepercayaan yang persifat patologis (hasil dari penyakit atau proses sakit) dan terjadi secara berkebalikan. Sebagai penyakit, delusi berbeda dari kepercayaan yang berdasar pada informasi yang tidak lengkap atau salah, dogma, kebodohan, memori yang buruk, ilusi, atau efek lain dari persepsi. Delusi menempatkan seorang paranoid melakukan tindakan yang mengacaukan situasi. Seorang paranoia bertindak berdasarkan persepsi yang keliru yang membuatnya mengkhayalkan respons negatif dari orang lain.25

[11] Sublimasi. Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam usahanya untuk

mengubah atau menyalurkan dorongan-dorongan libidinal atau instingtual (drive) yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai simbol atau bahasa. Dengan kata lain

24 Harold P. Blum (2002), “Paranoia” dalam Alain de Mijolla (ed.), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1226-1229.

(50)

33

konsep ini mengacu pada proses pembahasaan atas pelbagai dorongan libidinal atau instingtual yang berpusat pada ketidaksadaran. Proses pembahasaan ini disusun secara mandiri sehingga tidak menggunakan pelbagai simbol atau bahasa sebagaimana tersedia di tengah-tengah masyarakat. Konsep ini awalnya dikemukakan oleh Freud yang pada intinya menekankan pada kreativitas orang dalam mengalihkan dorongan agresivitas yang berasal dari Id-nya ke dalam pelbagai bentuk aktivitas yang bisa diterima secara sosial dan budaya. Freud mencontohkan, bahwa subjek yang dikuasai oleh dorongan agresivitas untuk melukai atau membunuh orang lain, kemudian dialihkan dalam provesi sebagai jagal (butcher).26

F. Metode & Teknik Penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dengan menekankan aspek eksplanatoris. Salah satu model penelitian ilmiah yang mengombinasikan paparan panjang lebar disertai dengan eksplanasi atas pelbagai gejala yang menjadi sasaran. Model penelitian yang lazim dikembangkan dalam kajian sosial humaniora dan dibedakan dari model penelitian deskriptif naratif yang lebih menekankan pada penyampaian temuan dengan cara melakukan penjejeran fakta tanpa disertai dengan eksplanasi.27 Sementara itu, untuk mendapatkan data atau informasi seperti jumlah, lokasi, dan sebaran gerai rombengan, ruang lingkup konsumen atau pengguna, alasan dan motif ngrombeng, dan nuansa yang berkembang dalam penggunaan rombengan sebagaimana yang dibutuhkan, kajian ini mengombinasikan 3 metode

26 “Sublimation”, www.NoSubject.com,-Encyclopedia of Lacanian Psychoanalysisdiakses pada 21 Juni 2013.

(51)

34

yakni: penelitian dokumen dan sumber informasi, observasi berketerlibatan (participatory action observation),28 dan wawancara.29

Observasi dilakukan dengan cara mengamati ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana masing-masing tersebar di wilayah Kodia Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Observasi yang dilakukan difokuskan untuk mengetahui jumlah, lokasi, area, dan sebaran gerai yang ada di Yogyakarta. Observasi, yang dalam hal ini adalah identifikasi, juga dipakai dalam proses penelusuran atas pelbagai keragaman dalam pakaian bekas. Indentifikasi sendiri dimaksudkan untuk melengkapi data dan informasi yang berkaitan dengan aspek keragaman pakaian bekas yang sejauh ini tidak bisa digali secara mencukupi dari para pedagang. Identifikasi dilakukan secara acak dengan mengambil sampel dua bal atau 500 buah pakaian bekas sebagaimana diperdagangkan di dua gerai pakaian bekas, yakni gerai “XX” (tanpa nama) milik Dedi yang masing-masing berlokasi di Jl. Godean Km. 9, Senuko dan Jl. Godean Km. 11, Ngijon, Sleman.

Sementara itu serangkaian wawancara yang dilakukan terhadap para responden dimaksudkan untuk menggali informasi dan mengonfirmasi ulang pelbagai informasi yang sudah didapatkan sebelumnya kepada para konsumen dan pedagang rombengan. Wawancara sebagaimana dilakukan terhadap konsumen meliputi 20 orang (responden) yang terdiri dari 10 orang mahasiswa, dan 10 orang konsumen umum. Ke-10 mahasiswa terdiri dari lima mahasiswa laki-laki dan lima mahasiswa perempuan yang masing-masing tinggal di rumah pondokan (laki-laki) “Smash Blast” di Kotabaru dan rumah pondokan (perempuan) “Cherry Belle” di

28 Britha Mikkelsen (2003), Metode Penelitian Partisipatoris dan Pemberdayaan Masyarakat, terj. Hartati, Jakarta: Yayasan Obor.

(52)

35

sekitaran Depok, Sleman.30 Sementara 10 orang konsumen umum merupakan pelanggan Dedi yang dijumpai saat mereka berbelanja di gerai. Sedangkan 10 orang pedagang yang dimaksudkan merupakan pedagang pakaian bekas yang dipilih secara acak dari 57 gerai yang ada.

G. Pokok-pokok Gagasan dan Sistematika Penyajian

Tesis ini diorganisasikan ke dalam lima bab. Masing-masing bab memuat pokok-pokok gagasan dan target yang hendak dicapai dalam setiap pembahasan. Bab I merupakan pendahuluan. Pada bagian ini dikemukakan informasi umum seputar orientasi atas masalah pokok yang akan dikaji; alasan pemilihan tema kajian; kedudukan, arah dan sasaran kajian; strategi dan pendekatan yang akan dipergunakan untuk mengupas permasalahan yang telah ditetapkan; serta tahap-tahap peyajian hasil penelitian. Secara formal penelitian ini dikemukakan ke dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teroretik-konseptual, tinjauan pustaka, metode dan teknik penelitian, serta diakhiri dengan mengemukakan pokok-pokok gagasan dan sistematika penyajian.

Bab II memaparkan persoalan tentang penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Secara umum uraian dimaksudkan untuk menjelaskan tentang ruang lingkup (scope) penggunaan pakaian bekas dalam masyarakat. Sementara secara khusus uraian dimaksudkan untuk menjelaskan

Gambar

   Tabel 1.
    Gambar 2a Pakaian Bekas Dulu
  Gambar  2b
  Gambar  3a Pakaian Bekas Kini
+7

Referensi

Dokumen terkait

serta keluhan kesehatan dan perilaku penjual tentang bahaya kesehatan pada pakaian bekas di pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan

Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan ada tidaknya perbedaan perubahan harga saham pada bank yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan beroperasi di Yogyakarta yang

Dalam penelitian ini akan digali informasi mengenai adanya cemaran bakteri Staphylococcus aureus dan jamur pada pakaian bekas impor di Surakarta yang dapat menyebabkan

Dengan perkembangan animasi saat ini, Pelatihan Animasi di Yogyakarta dibutuhkan sebagai sebuah tempat dimana pengembangkan kemampuan diri peserta pelatihan dapat didukung, tempat

trik khusus dalam meyakinkan konsumen untuk membeli di sini, hanya saja yang kami jual adalah pakaian bekas yang masih terlihat bagus di tambah lagi dengan beberapa barang

Hasil dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan pengawasan dan pencegahan terhadap tindak pidana penyelundupan yang berkaitan dengan pakaian bekas impor di

serta keluhan kesehatan dan perilaku penjual tentang bahaya kesehatan pada pakaian bekas di pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan

Kesimpulan Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telak dilaksanakan dengan judul Pengabdian Masyarakat tentang Pelatihan Penggunaan Kain Perca Dan Pakaian Bekas Untuk Pembuatan