• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN RDTR KOTA MATARAM TERHADAP PERATURAN ZONASI DI KOTA MATARAM. Oleh : Eliza Ruwaidah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN RDTR KOTA MATARAM TERHADAP PERATURAN ZONASI DI KOTA MATARAM. Oleh : Eliza Ruwaidah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN RDTR KOTA MATARAM TERHADAP PERATURAN ZONASI DI KOTA MATARAM

Oleh :

Eliza Ruwaidah

Abstrak: Penelitian ini bertujuan merumuskan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang meliputi ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan serta intensitas pemanfaatan ruang. Objek penelitian ini adalah RDTR yang telah disusun sebelumnya, antara lain RDTR AMC, Sayang-sayang dan RDTR Kota Mataram 20 (kelurahan). Penyusunan RDTRK dengan pendekatan induksi didasarkan pada kajian yang menyeluruh, rinci, dan sistematik terhadap karakteristik pemanfaatan ruang dan persoalan pengendalian pemanfaatan ruang yang dihadapi suatu daerah. Analisa kesesuaian fisik wilayah dalam pelaksanaan rencana detail disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan di lapangan dan mengacu pada Rencana Tata Ruang Kota terdahulu, agar rencana tersebut bersifat dinamis terhadap perkembangan yang terjadi dan memiliki prinsip dasar, serta berfungsi sebagai penunjang dan pengendali program-program pembangunan secara keseluruhan agar lebih berhasil guna dan berdaya guna. Adapun metode yang digunakan dalam melakukan analisa kesesuaian fisik wilayah adalah Super Impose dan Studi Kelayakan Lahan Kota (SKLK). Hasil kajian menunjukkan bahwa dalam RDTR Kota Mataram sudah ada text zonasi namun penjelasan ketentuan tidak rinci sesuai dengan Permen PU 2-/2011. Karena dengan adanya penjelasan ketentuan secara rinci, ini akan membedakan tabel ITBX Kota Mataram dengan kota lainnya. Belum adanya penjelasan tentang materi optional untuk zonasi khusus yang nantinya akan memberi solusi bagi pengembangan area ruang kota dengan kebutuhan khusus juga perlu dipertimbangkan.

Kata Kunci: RDTR, Kota Mataram, Peraturan Zonasi.

PENDAHULUAN

Dominasi kota dalam kehidupan manusia dapat dilihat sebagai fenomena global, dimana kota tidak saja tumbuh dari segi jumlah dan populasi masing-masing kota, namun juga meningkatnya peran kota dalam perekononomian negara. Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 terdiri dari kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang sendiri meliputi rencana umum dan rencana rinci tata ruang. Rencana tata ruang mengamanatkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang hingga pada tingkat kedetailan peraturan zonasi.

Peraturan zonasi adalah buku manual bagi para perencana (planner) dalam rencana tata ruang kota. Ketiadaan peraturan zonasi dapat membuat rencana tata ruang kota bersifat multitafsir, sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang. Tanpa adanya peraturan zonasi akan sangat sulit menyiapkan suatu rencana tata ruang kota yang bersifat operasional dan dapat dipertangungjawabkan secara hukum. Meskipun RTRW Kota Mataram telah ditetapkan sebagai peraturan daerah, tetapi karena kandungan materinya masih bersifat umum dan konsepsional sehingga belum dapat dijadikan dasar dalam penerbitan berbagai macam perizinan yang menyangkut pembangunan kota. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah rencana detail yang dapat

dijadikan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota merupakan salah satu bagian yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Mataram. Menurut Undang – undang nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang secara Hirarki Rencana Tata Ruang Wilayah terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, terkait dengan urusan dan kewenangan dalam pemanfaatan dan pengawasan tata ruang sesuai dengan Undang – undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13 ayat (1) menyebutkan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan wilayah pemerintah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi salah satunya adalah perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, sedangkan pasal 14 ayat (1) menyebutkan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan Wilayah pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan dalam skala kabupaten/kota salah satunya adalah perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang.

Berdasarkan hal tersebut terkait dengan penataan ruang, baik fisik, sosial, ekologis, dan infrastruktur wilayah adalah saling menyatu dan terkait, dengan demikian sesuai dengan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004, pasal 11 ayat (2) maka tata ruang harus sinergis, sedangkan menurut pasal 199 disebutkan kawasan perkotaan dapat

(2)

berbentuk (1) kota daerah otonom; (2) bagian dari kabupaten yang memiliki cirri perkotaan; (3) bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Kawasan perkotaan di kelola oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten. Tata ruang kawasan perkotaan, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakanpemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta mengembangkan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan social ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengetahui RDTR Kota Mataram apakah telah sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Permen PU No. 20 Tahun 2011 tentang pedoman penyusunan RDTR terutama tentang peraturan zonasi.

TINJAUAN PUSTAKA

a. Model Struktur Ruang Kota

1. Konsentrik

Gambar 1 (a) Pola Konsentrik

2. Sektoral

Gambar 1 (b) Pola Sektoral

3. Multiple Nuclei

Gambar 1 (c) Pola Multiple Nuclei

b. Pemanfaatan Lahan (Land Use)

Penggunaan lahan perkotaan (urban land use) adalah pemanfaatan atas suatu ruang kota yang relatif luas oleh manusia untuk kegiatan dominan tertentu. Cakupannya mulai dari kelompok blok perkotaan hingga bagian wilayah kota. Dalam lingkup wilayah, penggunaan lahan berbeda dengan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang lebih diartikan sebagai pemanfaatan petak (kavling) hingga kumpulan beberapa kavling yang membentuk blok perkotaan. Dinamika penggunaan lahan meliputi proses-proses perubahan berikut (Hartshom, 1980):

Sub-urbanization (pertumbuhan kawasan

pinggiran).

Renewal (peremajaan kawasan pusat kota).

Ekspansi sarana prasarana publik (taman, jalan, saluran, dll).

Pertumbuhan atau hilangnya unit guna lahan dengan penggunaan tertentu (perubahan bangunan menjadi sarana parkir, perluasan rumah sakit, perluasan bandara, dll).

c. Sistem Zonasi

Zoning merupakan pembagian lingkungan kota ke dalam zona-zona dan menetapkan pengendalian pemanfaatan ruang (ketentuan hukum) yang berbeda-beda (Barnett, 1982 dan SO, 1979). Sistem zonasi terdiri dari pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang didasarkan pada kepastian hukum berupa peraturan zoning (regulatory system) dan pemanfaatan ruang yang proses pengambilan keputusannya didasarkan pada pertimbangan lembaga perencanaan yang berwenang untuk masing-masing proposal pembangunan yang diajukan (discretionary system).

(3)

1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan Regulatory System

Pada regulatory system, dasar pengambilan

keputusan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pembangunan dilakukan oleh pemerintahan di tingkat lokal (The Practice of

Local Government Planning, 1988:251). Zoning regulation disusun dan disahkan oleh badan

legislatif tingkat lokal dengan rekomendasi dari komisi perencanaan/komisi zoning, yang berkewajiban mempertimbangkan dan memastikan bahwa peraturan zoning yang disusun tidak bertentangan dengan rencana pembangunan atau rencana lainnya. Peraturan zoning pertama kali diterapkan di Kota New York (1916) dengan tujuan menentukan standar minimum sinar dan udara untuk jalan yang makin gelap akibat semakin banyak dan tingginya bangunan serta memisahkan kegiatan yang dianggap tidak sesuai (Barnet, 1982). Pada perkembangan selanjutnya, zoning

regulation ditujukan untuk:

Mengatur kegiatan yang dibolehkan dalam suatu zona.

Menerapkan pembatasan bangunan di atas ketinggian tertentu agar sinar matahari jatuh ke jalan dan trotoar serta sinar dan udara mencapai bagian dalam bangunan.

Pembatasan besar bangunan di zona tertentu agar pusat kota menjadi kawasan yang paling intensif pemanfaatan ruangnya.

Peraturan tradisional guna lahan awalnya terdiri dari 4 (empat) kategori dasar, yaitu perumahan, komersial, industri, dan pertanian (SO, 1979).

2. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan Zoning Ordinance (Regulation)

Zoning regulation adalah ketentuan yang

mengatur klasifikasi zona dan pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Prosedurnya merupakan salah satu faktor pengaturan (regulatory

factors) dalam pengendalian pembangunan, selain the official city plan; land value; property taxes; covenants; subdivision regulations; building, housing and sanitary codes; special site control;

dan site plan control. Setiap zona mempunyai aturan yang seragam (guna lahan, intensitas, dan massa bangunan) meskipun antarzona bisa berbeda ukuran dan aturan. Dalam zoning aturan ditetapkan terlebih dahulu. Izin pembangunan yang sesuai dengan aturan dapat langsung diterbitkan oleh pejabat berwenang tanpa melalui penilaian (review). Zoning dikenal dalam berbagai istilah, seperti land development code, zoning code, zoning

resolution, urban code, planning act, dan lain

sebagainya, namun semuanya mengatur ketentuan-ketentuan teknis mengenai pembangunan kota.

Seringkali ketentuan zoning dianggap akan membuat rencana tata ruang menjadi rigid,

walaupun sebenarnya fleksibelitas suatu rencana kota tidak tergantung dari ada atau tidaknya peraturan, akan tetapi lebih ditentukan pada bagaimana kita membuat atau menyusun aturan-aturannya. Fungsi zoning regulation antara lain adalah:

Sebagai instrumen pengendalian

pembangunan. Peraturan zoning yang lengkap

akan memuat prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada dikemas menurut penyusunan perundangan yang baku dapat menjadi landasan dalam penegakan hukum bila terjadi pelanggaran.

Sebagai pedoman penyusunan rencana

operasional. Ketentuan zoning menjadi jembatan dalam operasionalisasi penyusunan rencana tata ruang, karena memuat ketentuan mengenai penjabaran rencana yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat sub-makro atau mikro sampai pada rencana yang rinci sehingga dapat menjadi panduan teknis pemanfaatan lahan/ruang.

3. Obyek Zoning Regulation

Pada dasarnya zoning regulation mempunyai tingkat ketelitian sampai pada skala 1:5.000 atau setara dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Namun, zoning regulation ini dapat menjadi acuan penyusunan RDTR atau rencana yang lebih rinci, seperti Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK) atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), baik dalam hal ketentuan pemanfaatan ruang maupun ketentuan pembangunannya (teknis). Obyek pengaturannya lebih makro jika dibandingkan dengan peraturan bangunan (building

code). Gambar 2 akan menunjukkan obyek

pengaturan dalam zoning regulation dan building

code.

Gambar 2 Objek Zoning Regulation dan Building

(4)

4. Karakteristik Zoning Regulation

Sistem pemanfaatan ruang dengan ketentuan zoning mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Dasar pemanfaatan ruang adalah dokumen peraturan zoning detail yang mengatur penggunaan lahan dan persyaratan teknis lainnya yang harus dipenuhi untuk mengadakan pembangunan.

Sistem zoning berusaha memberikan panduan tertulis yang mengatur segala aspek yang terjadi di masa mendatang dengan tujuan memaksimalkan elemen kepastian dari rencana, sehingga tidak perlu ditakutkan terjadinya ketidaksesuaian pembangunan dengan rencana yang dapat menimbulkan persoalan baru pembangunan.

Peraturan zoning tidak hanya mengatur pembangunan mengenai apa yang tidak boleh di suatu area, tetapi juga secara tegas menyatakan dan menjadi dasar yang sangat kuat untuk diadakannya pembangunan sesuai rencana. Pemikiran yang membolehkan atau tidak sesuatu untuk dibangun, dibahas secara mendetail jauh sebelum adanya pengajuan proposal pembangunan pada saat penyusuan peraturan zoning.

Perubahan karena mekanisme pasar memungkinkan terjadinya perubahan pemanfaatan lahan dan dapat mendorong terjadinya re-zoning. Dalam regulatory system diperbolehkan adanya peninjauan, bahkan amandemen peraturan zoning yang telah disahkan dengan syarat proposal perubahan tersebut diajukan mengikuti serangkaian prosedur yang berlaku.

Re-zoning hanya diberikan untuk kasus-kasus

tertentu yang menyangkut kesejahteraan banyak orang dan bukan hanya pemilik lahan. Perubahan zoning merupakan perubahan

dokumen hukum, sehingga berada pada kewenangan badan legislatif. Oleh karena itu, keputusan re-zoning seringkali tidak mempertimbangkan standar pembangunan yang berlaku, sehingga dapat mengarah pada ketidakadilan.

Re-zoning merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam regulatory system untuk dapat mewujudkan pembangunan yang lebih fleksibel.

Dasar penerapan zoning adalah kewenangan

police power, yaitu kewenangan pemerintah

membuat peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat, keselamatan dan kesejahteraan umum; mengintervensi kehidupan private bagi perlindungan kesehatan masyarakat, keselamatan dan kesejahteraan; hak membangun masyarakat

dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang rasional, yang tidak mengandung niat buruk, diskriminasi, tidak beralasan atau tidak pasti. Prinsip dasar penerapan zoning adalah sebagai berikut:

Wilayah kota dibagi menjadi beberapa kawasan (zona) dengan luas yang tidak selalu sama.

Setiap zona diatur penggunaannya, intensitas atau kepadatannya, serta massa bangunannya. Penggunaan lahan paling sedikit dibagi

menjadi empat kategori, yaitu: perumahan, industri, komersial, dan pertanian.

Prinsip penentuan kegiatan dapat dengan menetapkan kegiatan yang diperbolehkan atau kegiatan yang dilarang. Kegiatan yang tidak disebutkan dalam daftar kegiatan yang boleh artinya dilarang, sedangkan kegiatan yang tidak disebutkan dalam kegiatan yang dilarang berarti diperbolehkan.

5. Komponen Zoning Regulation

Zoning regulation terdiri atas zoning map

yang berisi pembagian blok (zona) peruntukkan dengan ketentuan atau aturan untuk setiap blok (zona) tersebut serta zoning text/statement yang merupakan subtansi ketentuannya. Komponen yang diatur dalam zoning text/statement adalah:

a) Substansi Utama

 Zona-zona dasar, sub-zona, jenis-jenis perpetakan (main land use), dan jenis-jenis penggunaan (sub-uses).

Penggunaan (use) lahan dan bangunan, seperti penggunaan utama, penggunaan pelengkap, penggunaan sesuai pengecualian khusus.

 Intensitas bangunan, meliputi koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), dan lain sebagai.

 Massa bangunan (bulk/building and massing), seperti tinggi, sempadan, luas

minimum persil (kavling).

Persyaratan prasarana minimum (required

infrastructure), meliputi parkir, bongkar

muat, dan lain sebagainya.

 Aturan tambahan yang dapat diatur terpisah dalam design guidelines, meliputi keindahan/estetika, media reklame, view, dan lain sebagainya.

b) Substansi Penanggulangan Dampak

 Penanggulangan pencemaran lingkungan.  Development impact fees yang merupakan

alat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan fisik (sarana dan prasarana umum), mengendalikan pembangunan, serta mengatasi konflik politik.

(5)

Traffict impact assesment. Beban/biaya

kemacetan yang dapat dikenakan pada pengguna kendaraan.

Di samping itu terdapat ketentuan-ketentuan yang diatur secara terpisah, seperti pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan terbatas dan bersyarat; setback dan kebun; pengaturan pedagang kaki lima (PKL); pengaturan mengenai fasilitas tunawisma dan rumah jompo; pengaturan kawasan-kawasan khusus; off-street parking and loading; ukuran distrik, spot zoning and floating zones; tata informasi, aksesoris bangunan, daya tampung rumah dan keindahan; dan lain sebagainya yang dianggap penting. Dokumen yang dirujuk dalam pengaturan adalah peta zoning yang berisi batasan dan label zona serta peraturan zoning, peraturan daerah yang berisi ketentuan-ketentuan zoning untuk tiap zona. Kelebihan zoning adalah adanya kepastian, predictability, legitimacy, dan

accountability. Sedangkan kelemahannya adalah

tidak ada yang dapat meramalkan keadaan di masa depan secara rinci, sehingga banyak permintaan

re-zoning (varian atau fleksibilitas re-zoning) antara lain:

1. Incentive/bonus zoning, special zoning, flood plain zoning, spot zoning, floating zoning, exclusionary zoning, dan contract zoning.

2. Minor variance.

3. TDR (Transfer of Development Right). 4. Negotiated Development.

5. Design and historic preservation

6. Conditional use.

7. Non-conforming uses.

8. Growth Control.

6. Penerapan Zoning Regulation

Ketentuan-ketentuan zoning umumnya dilengkapi dengan rencana komprehensif; peraturan sub-division/perpetakan; pengendalian estetika dan arsitektural; persyaratan parkir

on-street, peraturan bangunan, dan pembatasan niat

(convenant/deed restriction). Dalam penerapannya terdapat tiga tindakan utama, yaitu:

Re-zoning: perubahan peraturan dan peta

zoning.

Penelaahan variansi (pembebasan dari aturan standar), keberatan (mendengar dan memutuskan dugaan adanya kesalahan), dan pengecualian khusus (daftar penggunaan yang tidak sesuai rencana yang diperkenankan setalah melalui telaah khusus).

Penegakan zoning: pengendalian IMB yang tepat waktu, konsisten, dapat diperkirakan dan tegas (penghentian pembangunan tanpa izin atau menyimpang, non-conforming uses). Amandemen dapat dilakukan pada ketentuan pemanfaatan lahan maupun pada peta zonasinya (zoning map). Dasar pertimbangan dilakukannya

amandemen terhadap zoning regulation adalah ketidaksesuaian antara pertimbangan yang mendasari arahan rencana dengan pertimbangan pelaku pasar atau berdasarkan pemikiran bahwa tidak semua perubahan ketentuan yang ditetapkan akan berdampak negatif bagi masyarakat kota. Pada dasarnya amandemen terhadap zoning regulation harus mempunyai cukup alasan seperti

terdapat kesalahan peta dan informasi, rencana yang disusun berpotensi menimbulkan kerugian skala besar, rencana menyebabkan kerugian masyarakat atau kelompok masyarakat, menawarkan manfaat yang besar bagi masyarakat. Karena itu, prakarsa perubahan ketentuan dalam

zoning regulation dapat berasal dari kelompok

masyarakat termasuk perorangan maupun badan hukum, pemerintah kota maupun dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

METODOLOGI PENELITIAN

a. Pendekatan Pemikiran Induksi

Penyusunan RDTRK dengan pendekatan induksi didasarkan pada kajian yang menyeluruh, rinci, dan sistematik terhadap karakteristik pemanfaatan ruang dan persoalan pengendalian pemanfaatan ruang yang dihadapi suatu daerah. Lingkup pendekatan ini adalah:

 Kajian pemanfaatan ruang yang ada pada wilayah perencanaan.

 Penyusunan klasifikasi dan kodefikasi zonasi dan desain kawasan, serta daftar jenis dan hirarkhi pemanfaatan ruang yang ada di wilayah perencanaan.

 Penyusunan aturan untuk masing-masing blok peruntukan.

 Kajian standar teknis dan administratif yang dapat dimanfaatkan dari peraturan-peraturan perundangan nasional maupun daerah.

 Penetapan standar teknis dan administratif yang akan diterapkan untuk daerah yang bersangkutan.

b. Pendekatan Sustainable Area Development

Pendekatan perencanaan yang didasarkan pada pengembangan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan untuk kepentingan jangka panjang. Dasar pendekatannya dapat diaktualisasikan dalam strategi pembangunan berdasarkan “Konsep Pembangunan

Berkelanjutan”. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan namun tidak rusak.

(6)

PEMBAHASAN PENELITIAN

Dari hasil kajian RDTR Kota Mataram, maka didapatkan hasil tentang peraturan zonasi sebagai berikut:

Tabel 1. Kajian Peraturan Zonasing ( I, T, B, X)

TEKS ZONASI (ZONING TEXT) RDTR KOTA MATARAM

a. Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan

Lahan

Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan menunjukkan boleh tidaknya sebuah sistem kegiatan dikembangkan dalam sebuah klasifikasi penggunaan lahan.

Tabel .2 Deskripsi Indikator Pemanfaatan Ruang (I, T, B, X )

Simbol Deskripsi

I

Pemanfaatan diizinkan, karena sesuai dengan peruntukan

tanahnya, yang berarti tidak akan ada peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain dari pemerintah setempat.

T

Pemanfaatan diizinkan secara terbatas atau dibatasi.

Pembatasan dapat dengan standar pembangunan minimum, pembatasan pengoperasian, atau peraturan tambahan lainnya baik yang tercakup dalam ketentuan ini maupun ketentuan kemudian oleh pemerinah setempat.

B

Pemanfaatan memerlukan izin penggunaan bersyarat. Izin

ini diperlukan untuk penggunaan-penggunaan yang memiliki potensi dampak penting pembangunan di sekitarnya pada area yang luas. Izin penggunaan bersyarat ini berupa AMDAL, RKL, dan RPL

X Pemanfaatan yang tidak diizinkan

Sumber : Hasil Analisis, 2016

Jika penggunaan tersebut diperbolehkan, maka penggunaan baru tersebut dapat ditambahkan pada kategori dan atau sub kategori melalui ketentuan yang berlaku. Boleh tidaknya pemanfaatan ruang untuk sebuah hirarki 4 peruntukan tanah ditunjukkan dengan 4 (empat) indikator, seperti yang ditunjukkan pada Tabel. 2 dibawah ini.

b. Pemanfaatan Terbatas (T)

Jika sebuah pemanfaatan ruang memiliki tanda “T” atau merupakan pemanfaatan yang terbatas, berarti penggunaan tersebut mendapatkan izin dengan diberlakukan pembatasan-pembatasan, seperti:

1. Pembatasan pengoperasian. Baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya sebuah pemanfaatan ataupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan ruang tersebut untuk kegiatan yang diusulkan.

2. Pembatasan intensitas ruang. Baik KDB, KLB, KDH, jarak bebas, ataupun ketinggian bangunan pembatasan ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten dengan menurunkan nilai maksimum atau meninggikan nilai minimum dari intensitas ruang.

3. Pembatasan jumlah pemanfaatan. Jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada, masih mampu melayani, dan belum memerlukan tambahan (contoh, dalam sebuah kawasan perumahan yang telah cukup jumlah Mesjid tidak diperkenankan membangun masjid baru), maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan, atau diizinkan dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.

4. Pengenaan aturan-aturan tambahan seperti disintetif, keharusan menyediakan analisis dampak lalulintas, dan sebagainya.

c. Pemanfaatan Bersyarat (B)

Jika sebuah pemanfaatan ruang memiliki tanda “B”atau merupakan pemanfaatan bersyarat, berarti untuk mendapatkan izin, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan ini diperlukan mengingat pemanfaatan tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Persyaratan ini antara lain :

1. Penyusunan dokumen AMDAL.

2. Penyusunan Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL).

3. Penyusunan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALIN).

4. Mengenakan biaya dampak pembangunan

(development impact fee), dan atau aturan

disinsentif lainnya.

Penentuan klasifikasi (I, T, B, atau X) untuk aturan kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu zonasi didasarkan pada pertimbangan, sebagai berikut:

1. Umum, berlaku untuk semua jenis

penggunaan lahan

a) Kesesuaian dengan arahan dalam rencana tata ruang kabupaten/kota.

b) Keseimbangan antara kawasan lindung dan budidaya dalam suatu wilayah.

(7)

c) Kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan terhadap pemanfaatan air, udara dan ruang bawah tanah).

d) Toleransi terhadap tingkat gangguan dan dampak terhadap peruntukkan yang ditetapkan.

e) Kesesuaian dengan kebijakan pemerintah kabupaten di luar rencana tata ruang yang ada.

f) Tidak merugikan golongan masyarakat, terutama golongan sosial-ekonomi lemah, dsb.

2. Khusus, berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan, atau komponen yang akan dibangun, dapat disusun berdasarkan:

a) Rujukan terhadap ketentuan-ketentuan maupun standar-standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang

b) Rujukan terhadap ketentuan dalam peraturan bangunan setempat

c) Rujukan terhadap ketentuan khusus bagi unsur bangunan/komponen yang dikembangkan (misalnya: pompa bensin,

Base Tranceiver Station (BTS), dll).

Persyaratan ini dapat dikenakan secara bersamaan atau salah satunya saja. Penentuan persyaratan mana yang dikenakan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan besarnya dampak bagi lingkungan sekitarnya.

PENUTUP

RDRT Kota Mataram memerlukan perubahan materi teknis di bagian peraturan zonasi agar dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan Permen PU 2-/2011. Karena dengan adanya penjelasan ketentuan secara rinci, ini akan membedakan tabel ITBX Kota Mataram dengan kota lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Christopher (1987) A New Theory of

Urban Design. -, Oxford University Press

Cooper-Hewitt Museum (1979)The Smithsonian Institution’s National Museum of Design:

Urban Open Space. Rizolli. New York

Standar Nasional Indonesia, SNI

Danisworo, M. Arch., MUP., Dr. Ir. M. (1991)

Teori Perancangan Urban. Bandung,

Penerbit ITB

Dokumen Teknis Rencana Detail Tata Ruang Kota Mataram, Tahun 2011-2031

Flynn, Raymond L. (1986) Citizen is Guide to

Gambar

Gambar 1 (a) Pola Konsentrik 2. Sektoral
Gambar 2  Objek Zoning  Regulation dan Building Code
Tabel 1. Kajian Peraturan Zonasing ( I, T, B, X)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa probabilitas F statistic penelitian ini adalah 0.004921< 0.05, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya keempat variabel yaitu

Hal ini didominasi oleh elemen visual dengan karak- ter tepian ( edges ), walaupun tidak ditampilkan secara tegas, Egam. Hal ini sangat jelas dimana ketegasan visual

Untuk menentukan Prioritas SubKriteria dilakukan dengan cara yang sama seperti menentukan Prioritas Kriteria perbedaannya untuk menentukan Prioritas SubKriteria

Jika calon perawat khusus lansia EPA mengubah status izin tinggal menjadi “aktivitas khusus” (misalnya mempunyai pasangan orang Jepang) dan ingin mengikuti ujian nasional

- Harga atau biaya produksi relatif mahal. - Pada saat film dipertunjukkan, gambar-gambar bergerak terus sehingga tidak semua penonton mampu mengikuti informasi yang

Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam Kitab Irsyâd al-Murîd ”, ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

Pertumbuhan populasi Branchionus plicatilis pada masing-masing perlakuan dan ulangan selama penelitian disajikan pada tabel 2, yang menunjukkan bahwa jumlah populasi

Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Strategi Pembelajaran Ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses