• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGEMBANGAN SDM APARATUR MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN. Oleh: Dr. Soleh Suaedy, MM. Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGEMBANGAN SDM APARATUR MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN. Oleh: Dr. Soleh Suaedy, MM. Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN SDM APARATUR MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Oleh:

Dr. Soleh Suaedy, MM.

Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya Abstract

Current conditions indicate that human resource is still very far from what was expected. Images of human resources currently showing low professionalism, the number of corruption involving officials, inadequate salary level, service to the community convoluted, less creative and innovative. For the necessary efforts to improve the quality of human resources, including through education and training. Education and training provided in a learning process, both formally and informally is to improve the ability, expertise, quality, leadership, skill, and devotion. The curriculum should be substantially contains about: 1) tecnical skills, 2) conceptual skills, 3) human skills, 4) political skills, and 5) personal growth. Than, the teacher’s competencies include aspects: 1) professional ability, 2) social skills, and 3) personal capabilities. The strategies of aducation and training for human resource development is 1) training needs assessment, 2) preparation and implementation of training, then placement and 3) increase employee performance.

(2)

Latar Belakang

Tidak dipungkiri bahwa kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yakni pegawai, karyawan, pejabat, dan lain sebagainya sangat menentukan kemajuan dan kinerja organisasi, baik organisasi masyarakat, instansi, termasuk instansi pemerintahan. Sistem organisasi --meski telah dirumuskan dengan baik--, namun apabila tidak ditopang oleh SDM yang handal dan profesional, maka sistem organisasi tersebut tidak akan berjalan dengan baik.

Membahas pengembangan SDM Indonesia, Global Competitiveness Report (www.bataviase.co.id.:2014) pernah menyampaikan hasil penelitian nya bahwa IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang menjadi tolok ukur/indikator tingkat kesejahteraan dan kualitas SDM, Indonesia pada tahun 2008 menempati urutan ke-55 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Demikian pula hasil survei UNDP dalam “Statistics of Human Development Report” (UNDP,2009) pada tahun 2009 Indonesia menduduki rangking 111 dari 182 negara-negara di dunia, sangat jauh dibandingkan dengan negara tetangganya Malaysia (66), Singapura (23), Hong Kong China (24), apalagi Jepang (10) dan Australia (2). Hingga saat ini Indonesia masih menduduki rangking terendah. Hal ini tentu saja banyak aspek-aspek terkait yang mempengaruhi, baik aspek politik, budaya, dan sosial maupun ekonomi, termasuk sistem pendidikan, yang pada prinsipnya diperlukan good will, khususnya pemerintah dan masyarakat serta perbaikan sistem.

Sumber daya manusia –yang lebih sering disebut SDM-- merupakan elemen utama organisasi dibandingkan dengan elemen lain seperti modal, teknologi, dan uang, sebab manusia itu sendiri yang mengendalikan yang lain (motor penggerak). Dengan demikian, pengembangan SDM menjadi suatu keniscayaan/keharusan bagi organisasi. Hal ini karena penempatan pegawai secara langsung dalam pekerjaan tidak menjamin mereka akan berhasil, terutama pegawai baru sering merasa tidak pasti tentang peranan dan tanggung jawabnya. Permintaan pekerjaan dan kapasitas pegawai haruslah seimbang melalui program orientasi dan pelatihan. Keduanya sangat dibutuhkan, sekali para pegawai telah dilatih dan telah menguasai pekerjaannya, mereka membutuhkan pengembangan lebih jauh untuk menyiapkan tanggung jawab mereka di masa depan. Ada kecenderungan yang terus terjadi, yaitu semakin beragamnya pegawai dengan organisasi yang lebih besar, dan persaingan global yang terus meningkat, upaya diklat dapat menyebabkan pegawai mampu mengembangkan tugas kewajiban dan tanggung jawabnya yang lebih besar. Tugas utama dari pengembangan SDM adalah mengusahakan agar pegawai dapat bekerja secara efektif. Pengembangan SDM diantaranya dapat dilakukan melalui diklat dan pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan lain-lain.

(3)

Konsep Dasar Sumber Daya Manusia

Di muka telah disebutkan bahwa kekayaan yang paling berharga dalam suatu organisasi ialah sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan investasi sangat berharga bagi sebuah organisasi yang perlu dijaga. Setiap organisasi harus mempersiapkan program yang berisi kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan dan profesionalisme SDMnya, supaya organisasi bisa bertahan dan berkembang sesuai dengan lingkungan organisasi. Untuk mencapai produktivitas yang maksimum tersebut, organisasi juga harus menjamin dipilihnya tenaga kerja yang tepat dengan pekerjaan serta kondisi yang memungkinkan mereka bekerja optimal.

Menurut Nawawi (2000:47) konsep SDM memiliki tiga pengertian, yaitu: 1. SDM adalah karyawan, tenaga kerja, pegawai yang bekerja di lingkungan

organisasi.

2. SDM adalah potensi manusia sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya.

3. SDM adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal (nonmaterial dan nonfinansial) di dalam organisasi yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.

Simamora (1995:19) mengatakan bahwa di dalam konsep SDM terdapat filosofi, bahwa:

1. Pegawai dipandang sebagai investasi, jika dikelola dengan perencanaan yang baik akan memberikan imbalan bagi organisasi dalam bentuk produktivitas yang lebih besar.

2. Manajer (pimpinan kantor) membuat berbagai kebijakan, program dan praktek yang memuaskan, baik bagi kebutuhan ekonomi pegawai maupun kepuasan pegawai.

3. Manajer (pimpinan kantor) menciptakan lingkungan kerja yang di dalamnya para pegawai didorong untuk menggunakan keahlian serta kemampuan semaksimal mungkin.

4. Program dan manajemen personalia diciptakan dengan tujuan agar terdapat keseimbangan antara kebutuhan pegawai dan kebutuhan organisasi.

Menurut Sedarmayanti dalam Umar (2004:42) ciri-ciri SDM yang produktif adalah tampak dalam tindakannya yang konstruktif, percaya diri, mempunyai rasa tanggung jawab, memiliki rasa cinta terhadap pekerjaannya, mempunyai pandangan jauh ke depan, dan mampu menyelesaikan persoalan. Sedangkan menurut Tempe dalam Umar (2004:21) ciri-ciri SDM yang produktif adalah cerdas dan dapat belajar dengan relatif cepat, kompeten secara profesional, kreaktif dan inovatif, memahami pekerjaan, belajar dengan cerdik, menggunakan logika, efisien, tidak mudah macet dalam pekerjaan, selalu mencari perbaikan-perbaikan, dan tahu kapan harus

(4)

terhenti, dianggap bernilai oleh atasannya, memiliki catatan prestasi yang baik, serta selalu meningkatkan diri.

Siagian (1997:183) mengemukakan bahwa ada tujuh manfaat dari adanya pengembangan SDM, yaitu:

1. Peningkatan produktifitas kerja.

2. Terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan. 3. Tersedianya proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. 4. Meningkatnya semangat kerja seluruh anggota dalam organisasi. 5. Mendorong sikap keterbukaan manajemen.

6. Memperlancar jalannya komunikasi yang efektif. 7. Penyelesaian konflik secara fungsional.

Selanjutnya pembahasan tentang SDM difokuskan pada SDM Aparatur yakni pegawai dan pejabat yang bekerja di instansi pemerintah sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil, sekarang ASN Aparatur Sipil Negara).

Kondisi SDM Aparatur Saat ini

Sebagaimana kondisi kualitas SDM Indonesia pada umumnya, kondisi SDM aparatur saat ini juga masih rendah. masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini belum profesionalisme, banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, tingkat gaji yang tidak memadai, pelayanan kepada masyarakat yang berbelit-belit, kurang kreatif dan inovatif, malas, tidak disiplin, dan masih banyak potret negatif lainnya, yang intinya menunjukkan bahwa SDM aparatur Indonesia masih rendah. Gambaran tersebut memberikan dorongan untuk melakukan perubahan pada SDM Aparatur Indonesia, yang sering disebut dengan istilah Reformasi Birokrasi.

Manajemen pelayanan sektor publik sebagai suatu keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dituntut memiliki karakteristik akuntabel, transparan, dan memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya. Kemudian sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan negara, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi, tujuan, dan sasaran. Selain daripada itu, di dalam diri setiap aparatur pemerintah harus melekat peran, tugas, dan tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai, kode etik, dan moral.

Pelayanan publik adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan

(5)

kebutuhan (kepuasan) masyarakat. SDM aparatur merupakan sebagian dari keseluruhan elemen sistem pelayanan publik yang begitu luas dan kompleks. Dewasa ini, fungsi SDM aparatur menjadi lebih kompleks tidak sekedar fungsi pengaturan, pengelolaan, dan pengendalian saja, akan tetapi lebih berorientasi pada fungsi pemberdayaan (empowering), kesempatan (enabling), keterbukaan (democratic), dan kemitraan (partnership) dalam pengambilan keputusan, pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu tugas dan fungsi SDM aparatur menjadi begitu penting dan strategis.

Tugas pokok dan fungsi SDM aparatur pada intinya adalah: 1) menjadi pelayan masyarakat yaitu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat; 2) menjadi stabilisator yaitu sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa; 3) menjadi motivator yaitu memberdayakan masyarakat agar terlibat secara aktif dalam pembangunan; 4) menjadi inovator yaitu menghasilkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan masyarakat agar menghasilkan pelayanan yang baru, efektif dan efisien; dan 5) menjadi inisiator yaitu selalu bersemangat mengabdi dengan berorientasi pada fungsi pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat yang dilandasi dengan keikhlasan dan ketulusan. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tersebut, tentu perlu diperhatikan hak dari aparatur itu sendiri, yakni mendapatkan kehidupan yang sejahtera baik aspek material maupun spiritual.

Tugas pokok dan fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, adanya peraturan yang jelas, serta didukung SDM aparatur yang profesional dan handal. Sarana dan prasarana yang memadai, lengkap dan canggih akan mempercepat proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, peraturan yang jelas dalam pemberian pelayanan masyarakat akan memberikan pedoman bagi aparatur dalam memberikan pelayanan. Selain itu, masyarakat diberi akses untuk dapat mengontrol dan mengawasi kualitas dan prosedur pelayanan yang diberikan. Untuk membentuk SDM aparatur yang profesional dan handal diperlukan pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan (diklat).

Pembentukan sosok SDM aparatur yang profesional dan handal tersebut memang memerlukan waktu dan proses yang lama serta upaya yang tidak boleh berhenti. Perubahan yang segera dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi yang dilakukan melalui diklat maupun non diklat. Perubahan melalui diklat dapat dilakukan dengan melakukan berbagai kursus, pendidikan formal maupun non formal atau pendidikan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan atau kompetensi teknis maupun perubahan pola pikir, moral dan perilaku. Sementara peningkatan kemampuan atau kompetensi melalui non diklat dapat dilakukan dengan menciptakan situasi dan kondisi kerja yang kondusif

(6)

untuk terjadinya peningkatan kemampuan, melakukan mutasi secara berkala, menciptakan hubungan antar personal yang harmonis dan lain sebagainya.

Kualifikasi SDM Aparatur yang Diperlukan Masa Depan

Menurut Mustopadidjaja (2002) kompetensi jabatan SDM aparatur, secara umum berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku, yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Di sinilah kompetensi menjadi satu karakteristik yang mendasari individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude) untuk menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang selalu bertindak hemat, efisien, rasional, transparan, dan akuntabel, sehingga mampu memperlihatkan unjuk kerja yang optimal.

Mutu unjuk kerja yang diharapkan dari SDM aparatur adalah tercapainya tingkat kematangan dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada pegawai. Hersey dan Blanchard dalam Swasto (1992) mengemukakan variasi kematangan seseorang ditinjau dari tanggung jawab sebagai berikut:

(1) individuals who are neither willing nor able to take responsibility; (2) individuals who are willing but not able to take responsibility; (3) individuals who are able but not willing to take responsibility; and (4) individuals who are able to take responsibility.

Selanjutnya dikemukakan juga oleh Hersey dan Blanchard dalam Swasto (1992) bahwa tingkat kematangan seseorang yang memperlihatkan mutu unjuk kerja yang tinggi adalah mereka yang memiliki keinginan bertanggung jawab. Dua faktor kematangan yaitu, (1) job maturity-ability and technical knowledge to do the task, dan (2) psychological maturityfeling of self confidence and self respect about one self as and individual.

Orang yang matang atau memperhatikan mutu unjuk kerja yang tinggi tidak hanya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengerjakan tugas, tapi juga memiliki rasa kepercayaan pada diri sendiri dan merasa baik dari apa yang dilakukannya. Mampu mengadakan segala perubahan karena salah satu ciri kehidupan adalah perubahan. Mereka yang tidak mengikuti perubahan zaman akan tertinggal, kemudian menjadi manusia konservatif dan menghalangi kemajuan. Pegawai yang memiliki mutu unjuk kerja tinggi juga lebih peka (sensitif) terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohani atau spiritual, pertumbuhan kepribadian tidak menyimpang dengan norma.

Dengan demikian, SDM aparatur yang diharapkan adalah yang memiliki kematangan, baik kematangan berpikir (knowledge), terampil, kompeten dan profesional (skill), serta memiliki sikap dan kepribadian yang dilandasi nilai-nilai spiritual keagamaan dan norma sosial (attitude).

(7)

Peranan Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan pelatihan yang diberikan dalam suatu proses belajar baik secara formal maupun informal adalah untuk meningkatkan, kemampuan, keahlian, mutu, kepemimpinan, keterampilan, dan pengabdian. Maka peranan pendidikan dan pelatihan adalah untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme aparatur yang terencana dan berkesinambungan.

Menurut Sarwono (993:75) alasan utama perlunya diklat bagi aparatur pemerintah adalah:

1. Perlunya pembaharuan dan penyempurnaan di bidang administrasi untuk dapat menanggulangi dan mendukung peningkatan kinerja,

2. Perluasan fungsi-fungsi pemerintah yang harus dilaksanakan,

3. Kenyataan masih langkanya tenaga-tenaga aparatur yang cukup ahli. Selanjutnya Sarwono menyatakan bahwa diklat aparatur berorientasi pada:

1. Pelaksanaan program pembangunan,

2. Pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas pokok instansi yang bersangkutan,

3. Peningkatan produktivitas kerja,

4. Peningkatan kemampuan dan dedikasi dan motivasi aparatur.

Selain itu peranan diklat yang diberikan identik dengan tujuan yang melekat pada diklat itu sendiri. Instruksi Presiden Nomor 34 Tahun 1972 menyatakan bahwa tujuan diklat adalah :

1. Membina, memelihara, meningkatkan dedikasi aparatur sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah,

2. Meningkatkan mutu aparatur agar lebih mampu dan tinggi motivasinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya secara berdaya guna dan berhasil guna,

3. Membina aparatur agar menjadi aparatur yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mencapai tujuan nasional.

Sedangkan tujuan khusus diklat adalah:

1. Mengusahakan perbaikan sikap dan kepribadian aparatur negara serta dedikasinya sesuai dengan tuntutan tugas dan jabatan yang sedang maupun yang akan dijabatnya.

2. Meletakkan dasar bagi terwujudnya sistem penghargaan berdasarkan kinerja dan pengembangan kinerja aparatur negara.

3. Membina kesatuan berpikir dan kesatuan bahasa di kalangan aparatur negara dalam rangka terwujudnya kesatuan gerak yang meliputi pembinaan kerja sama.

(8)

4. Meletakkan usaha peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparatur negara yang meliputi perkembangan, peningkatan dan pemeliharaan keterampilan.

5. Mengembangkan dan membina motivasi dalam melaksanakan pembangunan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa peranan diklat dalam menunjang kinerja aparatur pemerintah adalah terletak pada orientasi kepemimpinan, produktivitas, kerja sama, serta kemampuan dedikasi, dan motivasi kerja.

C.Konsep Dasar Diklat

Para ahli mengemukakan berbagai definisi maupun batasan tentang pendidikan dan pelatihan, terutama para ahli yang berada di ilmu administrasi atau manajemen (administrasi kepegawaian, manajemen kepegawaian, manajemen personalia, manajemen SDM). Mereka pada prinsipnya memberikan batasan yang tidak jauh berbeda. Namun ada juga yang menyamakan istilah pelatihan dengan pengembangan, tetapi secara teoritis istilah pengembangan berbeda dengan pengertian pelatihan.

Pendidikan dan pelatihan (sering disingkat Diklat) adalah upaya untuk mengembangkan sumber daya aparatur, terutama untuk peningkatan profesionalime yang berkaitan dengan keterampilan administrasi dan keterampilan manajemen (kepemimpinan). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekijo (1999:4) bahwa untuk meningkatkan kualitas kemampuan yang menyangkut kemampuan kerja, berpikir dan keterampilan, maka diklat yang paling penting diperlukan.

Menurut Siagian (1995:82) perbedaan spesifik antara pendidikan dan pelatihan adalah pendidikan merupakan kegiatan untuk meningkatkan ‘pengetahuan umum’ seseorang termasuk di dalamnya teori-teori untuk memutuskan persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan pencapaian tujuan. Sedangkan pelatihan merupakan kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja melalui pengetahuan praktis dan penerapannya dalam usaha pencapaian tujuan. Adapun perbedaan antara pengembangan dan pelatihan pada intinya yaitu pelatihan yang dimaksudkan untuk membantu kemampuan para pekrja dalam melaksanakan tugas sekarang, atau dengan kata lain, pelatihan adalah suatu bentuk investasi jangka pendek, adapun pengembangan lebih berorientasi pada produktifitas para pekerja dimasa depan atau pengembangan suatu investasi SDM jangka panjang.

Menurut Lynton dan Pareek dalam Swasto (1992) pendidikan mempunyai tujuan yang berlainan dengan pelatihan:

1. Pendidikan terutama berkaitan dengan pembinan bagi siswa sehingga ia dapat memilih minat perhatiannya dan cara hidupnya juga kariernya.

(9)

Sebaliknya pelatihan terutama mempersiapkan para peserta diklat untuk mengambil jalur kompetensi tertentu yang ditetapkan oleh organisasi tempatnya bekerja,

2. Pendidikan membantu siswa memilih dan menentukan kegiatannya. Pelatihan membantu peserta memperbaiki prestasi kegiatannya,

3. Pendidikan terutama mengenai pengetahuan dan pengertian, sedangkan pelatihan terutama mengenai pengertian dan keterampilan.

Menurut Handoko (995:104) pelatihan dimaksudkan untuk menguasai berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu terinci dan rutin. Pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek bagi karyawan. Pendidikan dan pelatihan akan memberikan bantuan pada masa yang akan datang dengan jalan pengembangan pola pikir dan bertindak, terampil berpengetahuan dan mempunyai sikap serta pengertian yang tepat untuk pelaksanaan pekerjaan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan potensi SDM adalah dengan cara pendidikan dan pelatihan. Kedua istilah tersebut ada terdapat berbagai pendapat, seperti yang dijelaskan oleh Notoatmojo (1998:21) pendidikan pada umumnya berkaitan dengan mempersiapkan calon tenaga kerja yang diperlukan oleh sebuah organisasi atau instansi, sedangkan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kemampuan atau keterampilan karyawan yang sudah menduduki suatu jabatan. Flippo dalam Swasto (1992) menyatakan pendidikan dihubungkan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman akan seluruh lingkungan di sekitar kita, sedangkan pelatihan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan pegawai dalam pekerjaan yang biasa dilakukan sehari-hari.

Hal senada dikemukakan Ranupandojo (1986:6) bahwa pendidikan adalah suatu keinginan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk di dalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan, merumuskan berbagai persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan-kegiatan dalam pencapaian tujuan. Sedangkan pelatihan adalah kegiatan-kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan keterampilan, kecakapan dan sikap yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha pencapai tujuan.

Mukaran (1999:41) menyatakan bahwa pendidikan adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi menyeluruh seseorang dalam arah tertentu dan berada di luar linkungan pekerjaan yang ditanganinya saat ini, sedangkan pelatihan adalah aktifitas-aktifitas yang berfungsi meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaan yang sedang dialami atau yang terkait dengan pekerjaannya. Kalau menurut Hasibuan (1997:75) mengemukakan pendidikan dan pelatihan adalah sama dengan pengembangan yaitu merupakan proses peningkatan keterampilan kerja baik teknis maupun manajerial. Pendidikan berorientasi pada teori, dilakukan

(10)

dalam kelas, berlangsung lama biasanya menjawab why. Sedangkan pelatihan berorientasi pada praktik, dilakukan di lapangan, berlangsung singkat, dan biasanya menjawab how.

Suprihanto (1987:17) berpendapat pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan seorang karyawan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam menjalankan suatu pekerjaan. Ninisemiti (1986) juga berpendapat bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan yang bermaksud untuk memperbaiki dan pengembangan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan sesuai dari keinginan perusahaan yang bersangkutan.

Simanjuntak (1996) membedakan antara pendidikan dan pelatihan. Jalur pendidikan formal memberikan dasar-dasar teori, logika dan kemampuan analisa, pengetahuan umum, pengembangan bakat, kepribadian dan sikap mental, sedangkan jalur pelatihan menekankan pada aspek kemampuan, keahlian, keterampilan taktik dan profesionalisme yang dikaitkan dengan pekerjaan dan persyaratan kerja. Berdasarkan sifatnya, pelatihan bersifat praktis (spesialis), pendidikan bersifat teoritis (generalis). Walaupun terdapat perbedaan sudut pandang antara pendidikan dan pelatihan, tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk meningkatkan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).

Antara pendidikan dan pelatihan pada dasarnya tidak berbeda sebagaimana dikemukakan oleh Sumarno (1990), pendidikan merupakan proses pengalaman yang menghasilkan pengalaman yang menghasilkan kesejahteraan pribadi, baik lahiriah maupun batiniah. Pelatihan adalah keseluruhan proses teknik dan metode belajar mengajar dalam rangka mengalihkan suatu pengetahuan dari sesorang kepada orang lain sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

Denver dalam Moekijat (1991:29) mengemukakan education is concerning with knowing how? And is more concerned with theory of work, where as training is more practical. Pengertian tersebut disimpulkan mengandung dua makna pokok:

1. Pendidikan merupakan proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik dan metode tertentu, karena pendidikan merupakan proses, maka harus ada perubahan dari suatu kondisi ke kondisi yang lain,

2. Sebagai proses, pendidikan merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung relatif lama dengan pendekatan formal dan struktural. Artinya proses pendidikan akan menambah pengalaman secara empirik untuk setiap peserta didik. Pengertian pendidikan lebih luas maknanya jika dibandingkan dengan pengertian pelatihan, karena pelatihan hanya berorientasi pada pekerjaan atas keterampilan tertentu sj.

Secara umum diklat bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada personil dalam meningkatkan kecakapan dan keterampilan mereka, terutama

(11)

dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan kepemimpinan atau manajerial yang diperlukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pada pasal 31 mengatur tentang pendidikan dan pelatihan pegawai negeri sipil (PNS) yaitu untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan PNS.

Untuk membentuk sosok pegawai negeri sipil yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut, diperlukan diklat yang mengarah pada: 1. Peningkatan semangat dan pengabdian yang berorientasi kepada

kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan tanah air.

2. Peningkatan kompetensi teknis, manajerial atau kepemimpinan, peningkatan efisiensi, efektifitas, kualitas pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan semangat kerjasama dan tanggungjawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasi.

Undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan jabatan pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar dan mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pegawai negeri sipil.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil pasal 2 dan 3, bahwa Diklat bertujuan agar:

1. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara operasional dengan dilandasi kepribadian etika pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan instansi. 2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan

perekat persatuan dan kesatuan bangsa,

3. Memantapkan sikap dan semangat kepribadian yang berorientas pada pelayanan, pengayoman, pemberdayaan masyarakat,

4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola berpikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan demi terwujudnya pemerintahan yang baik.

Sasaran diklat adalah terwujudnya Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing. Dasar kebijakan diklat dalam peraturan pemerintah adalah:

1. Diklat merupakan bagian integral dan sistim pembinaan PNS. 2. Diklat mempunyai keterkaitan dengan pengembangan karier PNS.

3. Sistem diklat meliputi proses identifikasi kebutuhan, perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi.

(12)

4. Diklat diarahkan untuk menyiapkan PNS agar memenuhi persyaratan jabatan yang ditentukan dalam kebutuhan organisasi termasuk pengadaan kader pimpinan dan staf.

Diklat aparatur pemerintah ini meliputi dua fungsi yaitu fungsi pendidikan dan fungsi pelatihan yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Program pendidikan dan pelatihan bagi aparatur pemerintah Kementerian Agama dipersiapkan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks ini Lembaga Administrasi Negara (LAN) memainkan peranan yang sangat penting didalam menyiapkan program-program pelatihan di tingkat nasional serta melakukan supervisi bersama lembaga-lembaga lain terkait.

Adapun tahapan pelaksanaan diklat tidak sama pada setiap lembaga, oleh karena itu perlu disusun suatu program diklat sebagaimana dikemukakan oleh Lynton dan Pareek dalam Swasto (1999:2), yaitu:

1. Menentukan kebutuhan diklat yang merupakan tahapan awal yang harus ditentukan, apa yang paling mendesak dan paling relevan dibutuhkan oleh peserta diklat, termasuk di dalamnya mempersiapkan pengajar/ widyaiswara.

2. Menata tujuan diklat. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang pengajar, yang selanjutnya dapat dijadikan tolak ukur untuk mengevaluasi keberhasilan program diklat.

3. Menyusun program diklat untuk mempermudah monitoring diklat dan menentukan tingkat capaian.

4. Melaksanakan diklat. Sebelum mulai diadakan diklat terlebih dahulu harus memilih metode yang digunakan dalam pelatihan, kemudian baru dilaksanakan tahapan berikutnya.

5. Evaluasi diklat, bertujuan untuk melihat tingkat keberhasilan suatu program diklat, apakah berjalan secara efektif dan efisien serta menghasilkan kompetensi alumni diklat yang diharapkan atau tidak.

Strategi Pengembangan SDM melalui Diklat

Menurut Mintzberg dalam Swasto (1992) “A strategy is the pattern of plan that integrates an organizations gloals, policies, and action sequences into a cohesive whole”, maksudnya strategi adalah pola dari suatu perencanaan yang terintegrasi dalam rangka menuju tujuan organisasi secara keseluruhan. Gaffar (1994:7) menegaskan bahwa strategi adalah mekanisme organisasi yang menjabarkan visi secara operasional dan menerjemahkan kebijaksanaan dalam bentuk tindakan nyata, dan strategi adalah cara yang tepat untuk melaksanakan kebijakan.

Strategi yang dapat ditempuh dalam pengembangan SDM dimulai dari: 1) pengkajian kebutuhan (need assesment); 2) Persiapan dan Pelaksanaan

(13)

Diklat; kemudian 3) Penempatan dan Peningkatan Kinerja Pegawai. Kegiatan tersebut akan dibahas satu persatu berikut ini.

1. Pengkajian Kebutuhan Diklat (Training Need Assesment)

Salah satu kegiatan dalam pengkajian kebutuhan diklat ini adalah mengkaji mutu unjuk kerja pegawai (discrepancy analysis). Agar perencanaan dan pelaksanaan diklat mencapai sasaran, maka organisasi lembaga diklat perlu mengkaji mutu unjuk kerja pegawai di lingkungannya secara komprehensif. Stufflebeam dalam Swasto (1992) mengemukakan tentang kebutuhan diklat ini sebagai berikut:

Discrepancy view: A need is discrepancy between desired performance and observed or predicted performance. Democratic view: A need is a charge desired by a mayority of some referance group. Analytic View: A need is direction in wich improvement can be predicted to accur, given information about current status. Diagnostic view: A need is something who absence or defiency proves harmfull. Maksudnya kebutuhan akan diklat bukan hanya dilakukan secara kuantitatif tapi perlu dilakukan secara komprehensif yakni dengan mengkaji dan menginventarisasi mutu unjuk kerja pegawai yang ada dengan yang seharusnya untuk mampu menyelesaikan pekerjaan.

Setelah mengidentifikasi kebutuhan pengembangan tersebut, seorang manajer dapat menyusun suatu rencana pengembangan. Pastikan bahwa rencana tersebut mencakup tindakan-tindakan SMART: spesifik (specific), dapat di ukur (measurable), dapat dicapai (achievable), realistis (realistic), dan terutama tepat waktu (timely).

2. Persiapan dan Pelaksanaan Diklat

Pelaksanaan diklat memerlukan persiapan. Diantara persiapan itu adalah membuat kebijakan pertemuan dengan pengajar, membuat jadwal, mempersiapkan fasilitas proses belajar mengajar. Untuk membuat persiapan diklat perlu mengadakan pertemuan dengan seluruh pengajar. Kita tidak boleh berasumsi bahwa silabus sudah cukup memadai untuk pegangan menyampaikan materi. Pertemuan dengan seluruh pengajar dan penetapan kurikulum pada dasarnya untuk mencegah terlalu jauh menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan.

Tantangan dalam pengembangan program dan pelaksanaan kurikulum adalah faktor pengajar, panitia, dan sistem organisasi. Dalam kondisi seperti ini dituntut tanggung jawab pimpinan sebagai perancang program. Fitzpatrick dalam Swasto (1992) menyatakan “In designing profesional development programs for those responsible for instructions,

(14)

instructional leaders should address the technical skills needed to develop and implement an outcome-based instructional system….”.

Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa kurikulum perlu diupayakan relevan dengan tugas pegawai di lapangan yang menyangkut berbagai keterampilan. Koordinasi tersebut memang perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum. Substansi kurikulum perlu menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta. Jika dilihat dari materi kurikulum, agar peserta mengalami perubahan yang mendasar sebagai aparat pemerintah, maka kurikulum seyogyanya secara substansi memuat tentang: tecnical skill, conceptual skill, human skill, political skill, dan personal growth.

Keterampilan teknis (technical skill) yaitu kemampuan untuk menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik dari suatu bidang kegiatan tertentu. Keterampilan manusiawi (human skill) yaitu kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, memahami dan merancang serta mendorong orang lain. Keterampilan konseptual (conceptual skill) adalah kemampuan mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Keterampilan politis (political skill) adalah keterampilan yang mampu memperoleh kekuatan/dukungan untuk mencapai tujuan organisasi. Keterampilan politis termasuk menentukan hubungan yang benar dan mempengaruhi orang yang benar. Keterampilan politis termasuk memenangkan pengaruh dari orang lain, merebut kekuatan ataupun mempertahankan kekuatan. Keterampilan ini penting yang memungkinkan seorang untuk terus mengembangkan kariernya. Judge (1994:44) pernah menyatakan bahwa “Recently, suggested that a political focus may be an important, yet overlook. persfective in understanding career success”. Pertumbuhan kepribadian (personal growth) diharapkan tumbuh sikap yang positif terhadap keseluruhan tugas pengabdiannya, dan kedewasaan bertindak. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang pemimpin. Penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi stafnya.

Selanjutnya, peserta diklat sebagai input diasumsikan sudah memiliki (K) knowledge (pengetahuan), (S) skill (keterampilan), dan (A) attitude (sikap). Setelah selesai mengikuti pendidikan diharapkan lebih menekankan pada perubahan attitude (sikap), setelah itu skill (keterampilan), dan terakhir memiliki knowledge (pengetahuan). Upaya untuk menguasai KSA menjadi ASK tidak hanya dalam semboyan tapi diwujudkan dalam setiap penyampaian aspek kurikulum, dengan terintegratif dalam setiap proses belajar mengajar. Aspek tersebut memang tidak terlihat secara eksplisit dalam kurikulum, aspek tersebut seakan-akan tersembunyi di dalam setiap piranti.

(15)

Menurut Johnson dalam Swasto (1992) performance pengajar mencakup aspek-aspek: a) kemampuan profesional, b) kemampuan sosial, c) kemampuan personal. Ketiga standar umum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Kemampuan profesional seorang pengajar atau fasilitator meliputi: (1) Penguasaan materi pelajaran yang terdiri dari bahan yang akan diajarkan, dan konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkan itu: (2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan; (3) Penguasaan proses kependidikan dan pembelajaran peserta diklat; b) Kemampuan sosial menyangkut kemampuan menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai fasilitator, c) Kemampuan personal (pribadi) mencakup: (1) Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai seorang fasilitator beserta unsur-unsurnya; (2) Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang fasilitator: (3) Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya panutan dan teladan bagi peserta diklat. Selain daripada itu profesi fasilitator juga perlu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum, sehingga tidak semua orang mempunyai peluang untuk tampil menyelenggarakan proses belajar mengajar. Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses belajar mengajar dalam persepsi peserta seyogyanya dapat membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan intelektual.

Terakhir, evaluasi atau penilaian dilakukan pada dasarnya untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan, dalam upaya menyerap kurikulum yang telah ditetapkan. Dengan evaluasi dapat diketahui bagian kurikulum yang dapat dikembangkan terutama yang masih lemah. Evaluasi juga dapat mengetahui faktor penyebab kelemahan kurikulum dan proses belajar mengajar, sehingga dapat diupayakan cara pemecahannya.

3. Penempatan dan Peningkatan Kinerja Pegawai

Penempatan kembali pegawai setelah mengikuti pendidikan merupakan salah satu tindakan manajemen diklat. Penempatan ini menunjukkan berbagai variasi. Ada diantara mereka yang dipromosikan atau ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari sebelum mengikuti diklat, ada yang menempati posisi semula yang sama, dan ada pula yang dialihtugaskan pada posisi lain dengan eselon yang sama. Salah satu tugas bagian kepegawaian adalah mengatur penempatan pegawai dalam organisasi. Prinsip yang dikembangan yakni ”the right man on the right place” harus menjadi acuan dalam menempatkan kembali pegawai yang telah mengikuti diktlat. Tentu harapan pegawai dapat ditempatkan sesuai dengan potensi, keterampilan dan kemampuan kerjanya.

(16)

Selanjutnya, dalam pembinaan pegawai, pimpinan perlu mengembangkan strategi self management bagi pegawai yang telah selesai mengikuti diklat supaya mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri dan bertanggung jawab. Mereka dapat mengubah dan mengembangkan perilakunya sesuai dengan potensi yang telah dimilikinya, bahkan diharapkan mereka dapat komitmen dengan perilaku positif yang dicapainya. Ashford dalam Swasto (1992) menegaskan bahwa “the self management literature treats individuals as if they were isolated system, who sole task are those of observing their own behaviors, setting up cues and reimforcing and punishing themselves”.

Menurut Gutherie dalam Swasto (1992) setelah mengikuti diklat, pimpinan perlu memotivasi pegawai. Pegawai yang matang tanpa dukungan dan organisasi yang mapan tidak akan mendatangkan produktivitas yang tinggi. Agar produktivitas organisasi semakin meningkat, maka penggunaan deployment pegawai setelah diklat perlu dilakukan secara tepat. Tidak ada gunanya mengirim seorang anggota tim untuk mengikuti diklat berbiaya mahal jika ia tidak diberi kesempatan untuk mempraktekkan keterampilan yang ia peroleh tersebut setelah kembali bekerja.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa SDM aparatur yang ada masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini menunjukkan profesionalisme rendah, banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, tingkat gaji yang tidak memadai, pelayanan kepada masyarakat yang berbelit-belit, kurang kreatif dan inovatif.

2. Untuk itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, diantaranya melalui pendidikan dan pelatihan (diklat).

3. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan dalam suatu proses belajar baik secara formal maupun informal adalah untuk meningkatkan kemampuan, keahlian, mutu, kepemimpinan, keterampilan, dan pengabdian.

4. Kurikulum seyogyanya secara substansi memuat tentang: tecnical skill, conceptual skill, human skill, political skill, dan personal growth. Adapun kompetensi pengajar mencakup aspek kemampuan profesional, kemampuan sosial, dan kemampuan personal.

5. Strategi yang dapat ditempuh dalam pengembangan SDM dimulai dari pengkajian kebutuhan (need assesment), persiapan dan pelaksanaan diklat, kemudian penempatan dan peningkatan kinerja pegawai.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Handoko, Hani T. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: PT Refika Aditama.

Mangkuprawira, Sjafri. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Moekijat. 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Mandar Maju.

Notoatmodjo, S. 1992. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Pikiran Rakyat 12 Pebruari 2014. Kualitas Sumber Daya Manusia Jadi Kendala Pendidikan Indonesia. www.bataviase.co.id. Diakses 1 Juli 2014.

Prahoto. 1987. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gunung Agung.

Republik Indonesia. 1999. Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

__________. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

__________. 2000. Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

__________. 2004. Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.

Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: CV. Mandar Maju.

Siagian, S. P. 1995. Filsafat Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Simamora, Henry. 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ekonomi.

Soeprihanto, John. 1987. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Yogyakarta: BPFE.

Swasto, B. 1999. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengaruhnya terhadap Kinerja dan Imbalan. Malang: FIA Unibraw.

(18)

Umar, H. 2004. Riset Sumber Daya Manusia dan Administrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Usmara, A. 2002. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Amara Books.

United Nations Development Programme. 2009. Human Development Reports 2009-HDI Rankings. www.hdi.com. Diakses tanggal 1 Juli 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Saito, Yuriko, (Winter 2007), The Moral Dimension of Japanese Aesthetics , The Journal of Aesthetics and Art Criticism, vol.65, no.. Gramedia

(a) Ra=0.25ohm. Dari grafik gambar 4.1, 4.2, 4.3, 4.4 dan 4.5 diperoleh bahwa impedansi gangguan terbesar terjadi pada saat gangguan hubung singkat satu fasa ketanah. Semakin besar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi pengembangan pariwisata yang diterapkan oleh Dinas Pemuuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tebing

Kejadian WWBs yang terjadi selama 3 periode El Niño tersebut menunjukkan bahwa WWBs akan terdeteksi 3-4 bulan sebelum kolam air hangat Samudra Pasifik terbentuk yaitu pada

Angket yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sejumlah daftar pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden, yaitu mahasiswa D3 Seni Rupa dan Desain

Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukan tidak adanya pengaruh motivasi intrinsik terhadap knowledge sharing pada Dinas perhubungan Kota Tidore Kepulauan dengan tstatistik

Dari hasil analisa perhitungan susut non-teknik ini didapatkan nilai susut non tenik total di PT PLN (Persero) UPJ Kendal pada range 3,29 % s/d 3,58 % dengan nilai susut

Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan regresi berganda untuk menguji pengaruh pembiayaan yang bersumber dari pemasok (suplier) terhadap