• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sulit menemukan ekonomi yang mensejahterakan jika dilihat dari mekanisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sulit menemukan ekonomi yang mensejahterakan jika dilihat dari mekanisme"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

29 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kesejahteraan

Kegiatan ekonomi yang tidak terlepas dari pasar pada dasarnya mementingkan keuntungan pelaku ekonomi dari pasar tersebut. Sehingga sangat sulit menemukan ekonomi yang mensejahterakan jika dilihat dari mekanisme pasar yang ada, namun kesejahteraan merupakan salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi, kondisi tersebut juga diperlukan untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat.

Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk pada individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu pada komunitas atau masyarakat luas. Tingkat kesejahteraan meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, kadang juga dikaitkan dengan kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan dan sebagainya. Kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antar dimensi dan ada dimensi yang direpresentasikan. Perumusan tentang batasan antara substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global.

(2)

A. Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi

Teori kesejahteraan secara umum dapat diklasifikasi menjadi tiga macam, yakni classical utilitarian, neoclassical welfare theory dan new contractarian approach (Albert dan Hahnel, 2005). Pendekatan classical utilitarian

menekankan bahwa kesenangan atau kepuasan seseorang dapat diukur dan bertambah. Prinsip bagi individu adalah meningkatkan sebanyak mungkin tingkat kesejahteraannya, sedangkan bagi masyarakat peningkatan kesejahteraan kelompoknya merupakan prinsip yang dipegang dalam kehidupannya. Pendekatan

neoclassical welfare theory menjelaskan bahwa fungsi kesejahteraan merupakan fungsi dari semua kepuasan individu. Perkembangan lainnya dalam teori kesejahteraan sosial adalah munculnya new contractarian approach yang mengangkat adanya kebebasan maksimum dalam hidup individu atau seseorang. Hal yang paling ditekankan dalam pendekatan new contractarian approach ini adalah individu akan memaksimalkan kebebasannya untuk mengejar konsep mereka tentang barang dan jasa tanpa adanya campur tangan.

B. Indikator Kesejahteraan

Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitasnya memiliki banyak indikator keberhasilan yang dapat diukur. Indikator kesejahteraan suatu daerah diukur melalui tingkat kemiskinan, angka buta huruf, angka melek huruf, emisi gas CO2, perusakan alam dan lingkungan, polusi air dan tingkat produk domestik bruto (PDB) (Thomas, 2005). Kesejahteraan suatu wilayah juga ditentukan dari ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia (H), sumber daya fisik (K) dan sumber daya lain (R). Ketiga sumber daya tersebut berinteraksi

(3)

dalam proses pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Pendapatan orang kaya (golongan menengah ke atas) akan digunakan untuk dibelanjakan pada barang mewah, emas, perhiasan, rumah yang mahal. Golongan menengah ke bawah yang memiliki karakteristik miskin, kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah, peningkatan pendapatan dapat meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan mereka (Todaro, 2003).

C. Fungsi Kesejahteraan

Teori kesejahteraan ini dispesifikan dan disederhanakan menjadi fungsi produksi kesejahteraan W (walfare) dengan persamaan berikut:

W = W (Y, I, P) ... (2.1) Keterangan:

Y = pendapatan perkapita I = ketimpangan

P = Kemiskinan absolut

Berkaitan dengan fungsi persamaan di atas, diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan absolut dan tingkat ketimpangan. Teori ekonomi kesejahteraan mempelajari berbagai kondisi di mana cara penyelesaian dari model equilibrium umum dapat dikatakan optimal. Hal ini memerlukan, antara lain alokasi optimal faktor produksi di antara konsumen (Salvatore, 1997).

Berdasarkan pada beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya guna mencapai

(4)

tingkat kesejahteraan yang diinginkannya. Maka dibutuhkan suatu prilaku yang dapat memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.

Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat memberi pengertian sejahtera yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (www.menkokesra.go.id diakses tanggal 05 Januari 2016).

Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan dari sisi fisik, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia),

Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup), Basic Needs (Kebutuhan Dasar), dan GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Ukuran kesejahteraan ekonomi inipun bisa dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi (skala usaha). Dari sisi konsumsi maka kesejahteraan bisa diukur dengan cara menghitung seberapa besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau sebuah keluarga untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau periode tertentu.

Ukuran tingkat kesejahteraan manusia selalu mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang

(5)

disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.

Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indikator keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005), menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di representasikan dari tingkat hidup masyarakat yang ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah.

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996), dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator, yaitu (1) rasa aman; (2) kesejahteraan; (3) kebebasan; dan (4) jati diri.

(6)

Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS,2000), menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain (1) tingkat pendapatan keluarga; (2) komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; (3) tingkat pendidikan keluarga; (4) tingkat kesehatan keluarga; dan (5) kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

Menurut Kolle dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan, antara lain (1) dengan melihat kualitas hidup dari segi

materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagaianya; (2) dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; (3) dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; dan (4) dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Definisi-definisi di atas mengandung pengertian bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai usaha

(7)

yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di bidang fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi, dan spiritual.

Pemahaman mengenai realitas tingkat kesejahteraan, pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan, antara lain (1) sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan insfrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global (Taslim, 2004).

Selama 20 tahun terakhir, kajian tentang kesejahteraan masyarakat telah berkembang, tidak saja sebatas ukuran nominal, tetapi diperluas ke bidang kajian non ekonomi, sehingga konsep pengukuran kesejahteraan telah dipolakan sebagai

the quality of life (Wesgate, 1996; Kamya, 2000). The quality of life dinyatakan memiliki dimensi religious well-being (Tsung, 2002). Spiritual well-being

dinyatakan memiliki komponen yang berkaitan dengan dimensi kesehatan masyarakat, kondisi fisik dan sosial, serta faktor intelektualitas (Ellison dan Smith, 1991; Chandler et al., 1992; Kamya, 2000).

Definisi dari spiritual well-being juga diuraikan sebagai prilaku yang serba religius, memahami dengan baik tujuan dan hakekat hidup, menyelaraskan diri untuk mencapai kebahagiaan dan pandangan bahwa hidup adalah kompleksitas

(8)

dari banyak tujuan (Adams et al., 2000). Gambar 2.1 menyajikan kerangka hubungan kesejahteraan dengan komponen ekonomi dan non ekonomi.

Kesejahteraan (life of satisfaction) Pendapatan Nominal Spiritual Well-being Sense of Material well-being Community well-being Emotional well-being

Healthy and safety

Gambar 2.1

Pengukuran Life of Satisfaction

Sumber: Kamya (2000), Tsung (2002), dan Kim et al. (2013)

Tsung et al. (2002) menyatakan bahwa dimensi existential well-being

adalah berkaitan dengan life satisfaction dan tingkat kesehatan mental dan psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan konsep pengukuran kesejahteraan secara nominal, maka pendekatan kesejahteraan sebagaimana dikembangkan sejumlah peneliti Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992), Wesgate (1996), Kamya (2000), Tsung et al. (2002), pada garis besarnya memberikan panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih holistik dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran

(9)

kesejahteraan, karena manusia pada dasarnya adalah makluk yang dinamis dan kompleks (Adams, 2000; Tsung, 2002).

2.1.2 Kebijakan Pemerintah

Pembangunan merupakan proses mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Proses ini akan terlaksana jika asumsi-asumsi pembangunan yang ada dapat terpenuhi (Wrihatnolo dan Dwidjowinoto, 2007). Asumsi-asumsi tersebut di antaranya, kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan sama (equal productivity), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient). Pada kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi sehingga pembangunan memerlukan intervensi pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang akan mendorong terciptanya kondisi yang lebih baik.

Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk dalam keluarga. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, akan senantiasa tersangkut dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu, manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut

(10)

makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol dalam aktivitas dan mengembangkan masyarakat.

Kebutuhan sekunder tersebut adalah kebutuhan untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga masyarakat. Dengan timbulnya kebutuhan dasar dan sekunder tersebut maka terbentuk pula institusi sosial yang dapat memberi pedoman melakukan kontrol dan mempersatukan (integrasi) anggota masyarakat (Malinowski dalam Garna, 1996). Untuk membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian di antara mereka, yang menurut Rosseau (terjemahan Sumardjo, 1986), adalah konflik kontrak sosial (social contract). Adanya kontrak sosial tersebut selanjutnya melahirkan kekuasan dan institusi pemerintahan.

Lahirnya pemerintahan pada awalnya adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam masyasrakat, sehingga masyarakat tersebut bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Seiring dengan perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan, peran pemerintah kemudian berubah menjadi melayani masyarakat. Pemerintah modern, dengan kata lain pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000).

Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Lahirnya

(11)

pemerintahan memberikan pemahaman bahwa kehadiran suatu pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang bertujuan untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat, bahkan Van Poelje (dalam Hamdi, 1999) menegaskan bahwa, pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu ilmu yaitu yang mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam mengarahkan dan memimpin pelayanan umum.

Definisi ini menggambarkan bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu mencakup 2 (dua) unsur utama, yaitu pertama, masalah bagaimana sebaiknya pelayanan umum dikelola, jadi termasuk seluruh permasalahan pelayanan umum, dilihat dan dimengerti dari sudut kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana sebaiknya memimpin pelayanan umum, jadi tidak hanya mencakup masalah pendekatan yaitu bagaimana sebaiknya mendekati masyarakat oleh para pengurus, dengan pendekatan terbaik, masalah hubungan antara birokrasi dengan masyarakat, masalah keterbukaan juga keterbukaan yang aktif dalam hubungan masyarakat, permasalahan psikologi sosial dan sebagainya. Uraian tersebut menjelaskan juga bahwa suatu pemerintahan karena adanya suatu komitmen bersama yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai pihak yang diperintah dalam suatu posisi dan peran, yang mana komitmen tersebut hanya dapat dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat.

Ndraha (2000) mengatakan bahwa pemerintah memegang pertanggung-jawaban atas kepentingan rakyat. Lebih lanjut Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau

(12)

menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan sipil.

Sejalan dengan itu, Kaufman (dalam Thoha, 1995) menyebutkan bahwa tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Al Rasyid (2000) yang menyebutkan secara umum tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup: Pertama, menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara kekerasan. Kedua, memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontok-gontokan di antara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai. Ketiga, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Keempat, melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintahan, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah. Kelima, melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial: membantu orang miskin dan memelihara orang cacat, jompo dan anak terlantar: menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan

(13)

semacamnya. Keenam, menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan lain yang secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat. Ketujuh, menerapkan kebijakan untuk memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air, tanah dan hutan.

Lebih lanjut di bagian lain Al Rasyid (2000) menyatakan bahwa tugas-tugas pokok tersebut dapat diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi hakiki, yaitu pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development). Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Oleh Ndraha (2000) fungsi pemerintahan tersebut kemudian diringkas menjadi 2 (dua) macam fungsi, yaitu: Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi pelayanan (service), sebagai provider jasa publik yang baik diprivatisasikan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Kedua, pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan melakukan program pemberdayaan. Dengan begitu luas dan kompleksnya tugas dan fungsi pemerintahan, menyebabkan pemerintah harus memikul tanggung jawab yang sangat besar. Untuk mengemban tugas yang berat itu, selain diperlukan sumber daya, dukungan lingkungan, dibutuhkan institusi yang kuat yang didukung oleh aparat yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan pemerintahan. Langkah ini perlu

(14)

dilakukan oleh pemerintah, mengingat dimasa mendatang perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan semakin menambah pengetahuan masyarakat untuk mencermati segala aktivitas pemerintahan dalam hubungannya dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak melibatkan peran pemeritah dalam sistem perekonomiannya. Tidak juga di negara yang menganut sistem kapitalis yang menghendaki peran swasta lebih dominan dalam mengelola perekonomiannya. Karena tidak ada satupun negara kapitalis di dunia ini yang menganut sistem kapitalis murni. Menurut Adam Smith, ahli ekonomi kapitalis, mengemukakan teorinya bahwa dalam perekonomian segala sesuatunya akan berjalan sendiri-sendiri menyesuaikan diri menuju kepada keseimbangan menurut mekanisme pasar. Tarik-menarik kekuatan dalam sistem perekonomian itu seperti dikendalikan oleh “the invisible hand”, sehingga dengan demikian tidak

memerlukan begitu banyak campur tangan pemerintah. Maka menurut Adam Smith peranan pemerintah hanya meliputi tiga fungsi saja, yaitu memelihara keamanan dan pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan peradilan, menyediakan barang-barang yang tidak bisa disediakan oleh swasta. Masa sekarang ini, banyaknya perkembangan dan kemajuan akibat semakin majunya teknologi dan banyaknya penemu-penemu baru serta semakin terbukanya perekonomian antar negara, menyebabkan begitu banyak kepentingan yang saling terkait dan berbenturan. Hal ini menyebabkan peran pemerintah semakin dibutuhkan dalam mengatur jalannya sistem perekonomian, karena tidak sepenuhnya semua bidang perekonomian itu dapat ditangani oleh swasta. Sistem

(15)

perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi.

Peranan alokasi oleh pemerintah ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyediaan barang yang tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-barang umum atau disebut juga barang-barang publik. Karena dalam sistem perekonomian suatu negara, tidak semua barang dapat disediakan oleh swasta dan dapat diperoleh melalui sistem pasar. Dalam hal seperti ini maka pemerintah harus bisa menyediakan apa yang disebut barang publik tadi. Tidak dapat tersedianya barang-barang publik tersebut melalui sistem pasar disebut dengan kegagalan pasar. Hal ini dikarenakan manfaat dari barang tersebut tidak dapat dinikmati hanya oleh yang memiliki sendiri, tapi dapat dimiliki/dinikmati pula oleh yang lain, dengan kata lain, barang tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian seperti halnya barang swasta. Contohnya: seperti udara bersih, jalan umum, jembatan, dan lain-lain. Kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun barang-barang dan atau jasa-jasa untuk memuaskan/memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang secara efektif tidak dapat dipuaskan oleh mekanisme pasar. Contohnya dalam kegiatan pendidikan, pertahanan dan keamanan, serta keadilan.

Peranan distribusi ini merupakan peranan pemerintah sebagai distribusi pendapatan dan kekayaan. Tidak mudah bagi pemerintah dalam menjalankan peranan ini, karena distribusi ini berkaitan erat dengan masalah keadilan. Sedangkan masalah keadilan ini sudah terlalu kompleks, sebab keadilan ini

(16)

merupakan satu masalah yang bisa ditinjau dari berbagai presepsi, bahkan masalah keadilan ini juga tergantung dari pandangan masyarakat terhadap keadilan itu sendiri, karena keadilan itu merupakan masalah yang relatif dan dinamis. Kegiatan dalam mengadakan redistribusi pendapatan atau mentransfer penghasilan ini memberikan koreksi terhadap distribusi penghasilan yang ada dalam masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya dengan pajak progresif, yaitu membebankan pajak yang relatif lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih kecil bagi orang miskin, disertai subsidi bagi golongan miskin. Secara tidak langsung, bisa melalui kebijaksanaan pengeluaran pemerintah, misalnya pembangunan perumahan tipe rumah sederhana (RS) dan tipe rumah sangat sederhana (RSS) yang lebih banyak porsinya dibanding rumah mewah, untuk golongan pendapatan tertentu, subsidi untuk pupuk petani, dan lain sebagainya.

Peranan Stabilisasi, kegiatan menstabilisasikan perekonomian yaitu dengan menggabungkan kebijakan-kebijakan moneter dan kebijakan-kebijakan lain seperti kebijakan fiskal dan perdagangan untuk meningkatkan atau mengurangi besarnya permintaan agregat sehingga dapat mempertahankan full employment dan menghindari inflasi maupun deflasi. Peranan stabilisasi pemerintah dibutuhkan jika terjadi gangguan dalam menstabilkan perekonomian, seperti: terjadi deflasi, inflasi, penurunan permintaan/penawaran suatu barang, yang nantinya masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan timbulnya masalah yang lain secara berturut-turut, seperti pengangguran, stagflasi, dan lain-lain.

(17)

Permasalahannya sekarang ialah bagaimana menyelaraskan seluruh kebijakan yang akan diterapkan jika terjadi suatu masalah, tanpa bertentangan dengan kebijakan yang lain dan tanpa menimbulkan masalah baru. Baik itu kebijakan dalam rangka peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi agar efisien, distribusi pendapatan agar merata dan adil, serta stabilitas ekonomi. Demikian juga halnya kebijakan di bidang-bidang lain. Oleh karenanya dituntut kebijakan yang betul-betul seimbang dari pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Secara khusus dalam perekonomian pemerintah memiliki peran, sebagai berikut.

1. Pemerintah sebagai pelaku ekonomi yaitu harus sebagai penyedia fasilitas a. Pemerintah melalui Bank Indonesia memberikan bantuan dana kepada

Bank Bank yang sedang mengalami kesulitan dana.

b. Memberikan bantuan modal kepada koperasi, usaha kecil, usaha menegah yang sedang berkembang.

c. Membantu memasarkan hasil produksi perusahaan gula dan beras melalui perum bulog.

d. Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU) menyediakan prasarana berupa jalan dan jembatan untuk membantu proses pendistribusian produk badan usaha.

e. Pemerintah mengimpor kedelai dari Brasil untuk menjamin ketersedian bahan baku perusahaan kecap dan produsen tempe.

2. Pemerintah sebagai pengatur ekonomi bertugas mengatur badan usaha agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perwujudan peran sebagai pengatur

(18)

ekonomi dapat dilihat melalui beberapa peraturan dan kebijakan pemerintah, sebagai berikut.

a. Pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1999 mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Pada UU ini pemerintah mengatur persaingan usaha yang sehat menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil. b. Melalui UU No. 25 Tahun 1992 pemerintah mengatur kegiatan Koperasi,

dalam UU ini diatur segala sesuatu yang berkaitan dengan koperasi mulai dari tata cara pendirian, operasionalisasi Koperasi, dan tata cara pembubaran Koperasi.

c. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 1997 mengatur tentang waralaba. PP ini menmgatur segala sesuatu yang berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan waralaba.

d. Pemerintah mengatur pemanfaatan tenaga nuklir PP No. 64 Tahun 2000, pada PP ini diatur tentang segala sesuatu berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir, mulai dari perizinan, tata cara pemanfaatan, pengolahan limbah, kewajiban dan penanggung jawab pemegang izin.

A. Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Dunia Usaha

Peran pemerintah dalam pembangunan telah menjadi obyek pembahasan yang menarik sejak lama. Di negara manapun selalu ada campur tangan atau intervensi pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintah yang dalam percaturan ekonomi negerinya berperan semata-mata sebagai wasit atau polisi, yang hanya berfungsi membuat undang-undang dan peraturan, untuk kemudian

(19)

menjadi perelai jika timbul masalah atau penyelamat bila terjadi kepanikan. Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian jelas beralasan dan mustahil dicegah. Tidak ada suatu perekonomianpun, bebas dari intervensi pemerintahnya.

Demikian pula halnya dengan pengembangan daya saing dunia usaha memerlukan kelembagaan dalam rangka menciptakan framework conditions yang memungkinkan aset produktif berkembang untuk mendapatkan pangsa pasar yang semakin bersaing. Dalam kerangka perspektif pengembangan daya saing usaha, kebijakan pemerintah memegang peranan yang menentukan sebagai fasilitator dalam pembinaan kelembagaan bersifat formal maupun non formal (North, 1990). Peran kebijakan pemerintah sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2 mencakup lima pola kebijakan pengembangan antara lain, Pola kebijakan pemerintah diteorikan sebagai lembaga yang berperan dalam memperkuat posisi daya saing dunia usaha melalui sejumlah langkah kebijakan, antara lain (1) memfasilitasi pengembangan sumber daya produktif, (2) bantuan sarana pengembangan teknologi yang lebih menghemat biaya produksi, (3) bantuan fasilitas pemberdayaan organisasi bisnis yang mampu membangun kinerja efektif dan efisien, (4) bantuan pola pemasaran dan kerja sama pengembangan pasar, (5) daya saing produk dan pengembangan kelembagaan bisnis berkelanjutan.

(20)

Kebijakan Pemerintah Kinerja Dunia Usaha Sumber Daya Perusahaan (resources) Kreativitas Dan teknologi perusahaan Pemberdayaan Organisasi usaha Pemasaran Dan Kemitraan Daya saing Produk dan Kelembagaan Gambar 2.2

Institutions, Institutional Change and Economic Performance

Sumber : North (1990) B. Kebijakan Pemerintah dan Industri Kecil.

Salah satu dari tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Friendmann (dalam Effendi, 2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan adalah meningkatkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha berbasis komunitas

(community enterprises). Kegiatan usaha-usaha masyarakat tersebut telah eksis dalam masyarakat dan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama krisis ekonomi melanda Indonesia, kegiatan industri kecil tersebut mampu bertahan dan menjadi sumber penghasilan andalan masyarakat.

(21)

Keberadaan kegiatan atau usaha industri kecil dapat menjadi sumber penghasilan andalan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peranan industri kecil dalam perekonomian nasional yang cukup diperhitungkan, dimana sektor industri kecil menurut Thoha (2000) dapat menjadi sabuk pengaman (savety belt) bagi masalah-masalah sosial ekonomi seperti penyediaan peluang kerja, penampung terakhir tenaga-tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan sebagainya. Senada dengan itu, menurut Rustani (1996) masih ada beberapa kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh industri kecil, yaitu: 1) Penyedia lapangan kerja, 2) Penyedia barang-barang murah untuk dikonsumsi rakyat, 3) Efisiensi dan fleksibelitasnya terbukti menjadi kekuatan yang mampu membuatnya tetap bertahan hidup, dan 4) Industri kecil sebagai sumber penghasil wirausahawan baru.

Melihat besarnya peranan industri kecil dalam pembangunan ekonomi Indonesia, untuk itu menurut Soetrisno (1997) mengemukakan bahwa pemerintah seharusnya berhenti melihat sektor industri kecil sebagai buffer sector yaitu sektor ekonomi yang berfungsi sebagai penangkal krisis saja dan seharusnya sektor industri kecil diberlakukan sebagai sektor yang mandiri seperti sektor pertanian, sehingga dengan demikian sektor ini harus memperoleh perhatian yang sama dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam hal ini industri kecil telah menunjukkan kinerja yang mengesankan, selama ini praktis mereka tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dinikmati industri besar dalam berbagai bentuk proteksi. Dengan demikian peranan industri kecil sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar, semakin menunjukkan bahwa memang industri

(22)

kecil/pengusaha yang relatif lemah perlu memperoleh perhatian yang lebih besar dalam rangka pembinaannya.

Peranan usaha/industri kecil yang terus meningkat sudah selayaknya sektor ini memperoleh pembinaan dan masih banyak yang perlu dilakukan untuk memajukan sektor industri kecil, seperti diantaranya adalah pemihakkan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk sektor ini masih sangat diperlukan dan ditingkatkan. Dengan keberpihakan pemerintah kepada ekonomi masyarakat dalam pembangunan nasional dapat diwujudkan pembangunan yang memprioritaskan, mengembangkan dan memberdayakan ekonomi lemah (skala kecil dan menengah).

2.1.3 Social Infrastructure dan Entrepreneurs

Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi yang implikasinya terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Secara makro ketersediaan pelayanan infrastruktur mempengaruhi

marginal productivity of private capital dan secara mikro pengaruh pelayanan infrastruktur adalah mengurangi biaya produksi. Pengaruh infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, adalah peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran.

Konsep teori yang dikembangkan Flora dan Flora (1993), tentang

(23)

rangka memfasilitasi kelembagaan untuk memperkuat keberadaan entrepreneurs

menjadi semakin berkembang. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa

entrepreneurs social infrastructure adalah penguatan jaringan komunitas dalam rangka memperkokoh kreativitas dan inovasi khususnya pada masyarakat pedesaan di Amerika Serikat yang menjadi lokasi penelitian Flora dan Flora (1993).

Penguatan kelembagaan dalam rangka menumbuhkembangkan iklim kreativitas dan inovasi yang telah terbentuk pada masyarakat pedesaan, seyogyanya dipandu dengan membangun kerangka sistem yang memungkinkan terpeliharanya kreativitas entrepreneurs secara berkelanjutan. Flora dan Flora (1993), menguraikan 3 (tiga) komponen yaitu symbolic diversity, mobilization of resources, dan network quality. Gambar 2.3 menyajikan entrepreneurs social infrastructure.

(24)

Entrepreneurs Social Infrastructure (collective action) Simbolic Diversity Network Quality Mobilization of Resources a. Mengindari konflik b. Depolitisasi peran individu c. Fokus pada proses

a. Individual local invesment

b. Collective local invesment

a. Diverse and exclusive b. Linkage and boundries

Gambar 2.3

Enterpreneur Social Infrastructure

Sumber : Flora dan Flora (1993), Flora et al. (1997)

Symbolic diversity adalah proses dari collective action pada aktivitas komunitas pedesaan yang cenderung memiliki kedekatan satu sama lain antar pribadi satu dengan pribadi lain secara informal. Symbolic diversity

menggambarkan pola hubungan antar pribadi yang lebih berorientasi kepada proses tindakan aksi dalam rangka memperkuat kedekatan personal satu sama lainnya, menghindari konflik dan cenderung memiliki kesamaan dalam pandangan politik tertentu, sehingga komunitas lebih mendahulukan adanya kesamaan persepsi dan menghindarkan konflik. Kedekatan kekerabatan dalam komunitas (high acquaintance) dicirikan oleh kesamaan geografik, kekerabatan

(25)

sebagai komunitas yang telah tinggal bersama secara turun-temurun, perikatan mana tidak akan terbangun secara sama dengan penduduk pendatang.

Dimensi kedua dari entrepreneurs social infrastructure, adalah

mobilization of resources sebagai ketahanan sumberdaya lokal dalam menghadapi berbagai tantangan bisnis dan persaingan pasar. Surplus sumberdaya lokal adalah kunci dalam pengembangan inovasi dan kreativitas dalam berproduksi, sehingga mobilitas sumberdaya semaksimal mungkin dikelola untuk mempertahankan sumberdaya lokal tersedia secara berkelanjutan. Penguasaan atas sumberdaya produksi secara terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu tidak akan mendorong atau akan memperlemah upaya membangun collective action yang diperlukan dalam rangka penguatan kreativitas dan inovasi. Ketika terjadi krisis ekonomi, ketahanan masyarakat akan menjadi kuat dan memiliki ketahanan apabila sumberdaya dikelola secara bersama. Dengan demikian, mobilitas sumberdaya dalam konteks social infrastructure adalah adanya kesamaan cara pandang anggota komunitas untuk berinvestasi secara kolektif, dengan mengelola sumberdaya sedemikian rupa untuk kepentingan bersama (individual local investment menjadi collective local investment).

Dimensi ketiga dari entrepreneurs social infrastructure adalah network quality, yang menjadikan pondasi penguatan langkah inovasi dan kreativitas komunitas melalui pengembangan jejaring informasi, pengetahuan dan strategi bisnis yang berdaya guna untuk dipraktekkan dan dimanfaatkan secara bersama. Penguatan network antar individu dalam kerangka hubungan antar individu dalam kelompok (diverse dan exclusive) serta pengembangan jaringan pasar dengan

(26)

kualitas keterpaduan langkah dan kebijakan, akan memungkinkan penguatan

network menjadi pondasi penguatan daya saing produksi mencapai jaringan pasar yang diinginkan.

Sejalan dengan konsep di atas, adanya nilai-nilai luhur yang terpelihara dalam kehidupan masyarakat pada aktivitas komunitas pedesaan yang cenderung memiliki kedekatan satu sama lain antar pribadi satu dengan pribadi lain secara informal dengan menjaga ketahanan sumber daya lokal dalam menghadapi berbagai tantangan bisnis dan persaingan pasar sehingga ketahanan masyarakat akan menjadi kuat dan memiliki ketahanan apabila sumberdaya dikelola secara bersama dengan berbasiskan pengembangan jejaring informasi, pengetahuan dan strategi bisnis yang berdaya guna untuk dipraktekkan dan dimanfaatkan secara bersama dapat dikatakan sebagai kearifan lokal (local wisdom).

Sesuai definisinya, kearifan lokal dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, dan semboyan hidup. Pengertian kearifan lokal secara terminologi terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom berarti kebijaksanaan. Dengan kata lain, maka local wisdom

dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal merupakan suatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh

(27)

sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-temurun. Pengetahuan semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari jenis-jenis pengetahuan yang lain. Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup. Kearifan lokal dapat menjadi kekuatan ketika pengetahuan dan praktik-praktiknya digunakan secara selaras dengan usaha pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pengaruhnya tidak hanya terbatas pada proses pembangunan itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan proses dalam jangka panjang. Begitu pula dalam hal membangkitkan kreativitas dan inovasi,

local wisdom dapat menjadi penggerak bahkan dapat mengembangkan munculnya

entrepreneur baru yang semakin kuat dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kata entrepreneur (bahasa Inggris) diterjemahkan sebagai wirausahawan (entrepreneur), adalah orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang dicirikan dengan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Kata entrepreneurship

yang dahulunya sering diterjemahkan dengan kata kewiraswastaan, akhir-akhir ini diterjemahkan dengan kata kewirausahaan. Entrepreneur berasal dari bahasa Perancis, yaitu entreprendre yang artinya memulai atau melaksanakan. Wiraswasta/wirausaha berasal dari kata wira: utama, gagah berani, luhur; swa:

(28)

sendiri; sta: berdiri; usaha: kegiatan produktif. Berdasarkan asal kata tersebut, wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat berdiri sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai orang-orang yang tidak bekerja pada sektor pemerintah, yaitu para pedagang, pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta, sedangkan wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai usaha sendiri.

Yaghoobi, Salarzehi, Aramesh, dan Akbari (2010) menyatakan bahwa wirausahawan adalah orang yang berani membuka kegiatan produktif yang mandiri. Jong dan Wennekers (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai pengambilan risiko untuk menjalankan usaha sendiri dengan memanfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang dikelola berkembang menjadi besar dan mandiri dalam menghadapi tantangan-tantangan persaingan. Kata kunci dari kewirausahaan, adalah pengambilan resiko, menjalankan usaha sendiri, memanfaatkan peluang-peluang, menciptakan usaha baru, pendekatan yang inovatif, mandiri (seperti tidak bergantung pada bantuan pemerintah). Secara umum posisi wirausahawan adalah menempatkan dirinya terhadap risiko atas guncangan-guncangan dari perusahaan yang dibangunnya (venture).

Wirausahawan memiliki risiko atas finansialnya sendiri atau finansial orang lain yang dipercayakan kepadanya dalam memulai suatu, dan juga berisiko atas keteledoran dan kegagalan usahanya.

Wirausahawan lebih memiliki keahlian intuisi dalam mempertimbangkan suatu kemungkinan atau kelayakan dan perasaan dalam mengajukan sesuatu

(29)

kepada orang lain. Wirausaha merupakan pengambilan resiko untuk menjalankan sendiri dengan memanfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang dikelola berkembang menjadi besar dan mandiri tidak bergantung kepada pemerintah atau pihak-pihak lain dalam menghadapi segala tantangan persaingan. Inti dari kewirausahaan adalah pengambilan resiko, menjalankan sendiri, memanfaatkan peluang-peluang, menciptakan baru, pendekatan yang inovatif, dan mandiri.

Baldacchino (2009) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang. Intinya kreativitas adalah memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda. Sedangkan inovasi merupakan kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang. Intinya inovasi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Seorang wirausahawan harus memiliki ide-ide baru yang dihasilkan dari suatu kreativitas. Kreativitas inilah yang akan membawa wirausahawan untuk ber-inovasi terhadap usahanya.

Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi,

(30)

dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Ada lima esensi pokok kewirausahaan, yaitu (1) kemampuan kuat untuk berkarya dengan semangat kemandirian (terutama dalam bidang ekonomi); (2) kemampuan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan secara sistematis, termasuk keberanian mengambil resiko; (3) kemampuan berfikir dan bertindak secara kreatif dan inovatif; (4) kemampuan bekerja secara teliti, tekun dan produktif;

serta (5) kemampuan berkarya dalam kebersamaan berdasarkan etika bisnis yang sehat.

Sikap-sikap yang umum ditemui, yaitu (1) keinginan untuk preferensi tanggung jawab atas risiko yang lebih besar, wirausahawan tidak mengambil risiko secara liar melainkan memperhitungkan terlebih dahulu risiko yang akan diambil; (2) keyakinan akan kemampuan mereka untuk berhasil. Biasanya memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka untuk berhasil; (3) keinginan untuk hasil segera; (4) tingkat tinggi energi, lebih energik daripada rata-rata orang; (5) orientasi terhadap masa depan. Berorientasi pada masa depan, wirausahawan kurang peduli dengan apa yang telah mereka lakukan kemarin dibandingkan dengan apa yang akan mereka lakukan besok; (6) keahlian dalam pengorganisasian, tahu bagaimana menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat; (7) secara efektif menciptakan sinergi antara orang dan pekerjaan, sehingga memungkinkan wirausahawan untuk mewujudkan visi mereka menjadi kenyataan; dan (8) nilai prestasi atas uang.

(31)

2.1.4 Konsep Teori x-Efficiency

Menurut Leibenstein (1977), dengan teori Model x-Efficiency, mengasumsikan bahwa fungsi produksi neo-klasik adalah semu dan tidak mencapai tingkat efisiensi yang sebenarnya, karena fakta menunjukkan bahwa manusia sebagai penggerak faktor produksi tidak memiliki respon yang sama dalam menanggapi setiap pressure yang terjadi sebagai akibat dari dinamika pasar. Intertial cost yang dihadapi oleh setiap masyarakat adalah sangat berbeda, karena akan tergantung kepada kondisi demografik dan lingkungan faktor ekonomi (Chang, 2007). Jika masyarakat memiliki respon yang tinggi dalam menghadapi setiap perkembangan dinamika pasar, maka pressure akan menghasilkan effort yang menciptakan low cost production dan peningkatan produktivitas dan daya saing.

Leibenstein (1977) mendefinisikan work effort dengan empat variabel. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki empat kombinasi pilihan untuk mendapatkan satu dari empat pilihan yang paling optimal. Pilihan satu dari empat kemungkinan disebut effort point, pada tingkat pilihan terbawah karakter tingkat kepuasan pilihan masih positif, tetapi berproses mencapai puncak kemudian bergerak menurun (lihat Gambar 2.4). Gerakan kurve yang menurun tersebut menggambarkan marginal utility dari effort akan menjadi negatif, dan

(32)

A B

UTILITAS

EFFORT

Gambar 2.4

Fungsi Utilitas Pekerja Individual Sumber : Leibenstein (1977)

Bentuk fungsi effort utility individual menggambarkan potensi

competitiveness yang menjadi pendukung pertumbuhan sebuah perusahaan atau sistem produksi tertentu. Pada level effort yang lebih tinggi di mana seorang individual berhasil mencapai tingkat optimalnya, yang menggambarkan semakin produktifnya individu yang bersangkutan. Bergeraknya utility bergantung kepada

work effort seorang individual yang sangat peka pada tersedianya tantangan insentif atau faktor lain yang membangkitkan work effort yang bersangkutan. Maka, Leibenstein sampai kepada kesimpulan bahwa negative incentive dapat disebabkan oleh internal dan external pressure. Internal pressure bersumber dari kendali manajemen organisasi, kelompok dalam masyarakat, serta culture

(33)

sistem kompetisi, persaingan pasar pada produksi barang dan jasa, mendapatkan pekerjaan baru dan seterusnya. Keterbatasan sumberdaya yang tersedia, juga menjadi alasan sejumlah pihak berjuang untuk mendapatkan sumberdaya yang diinginkan (Porter, 1990).

Pengaruh pembentukan effort juga dapat bersumber dari faktor internal dan eksternal seperti status sosial dan reputasi dapat menjadi pendorong kompetisi. Kelompok keluarga tertentu, organisasi perusahaan, organisasi tim olahraga, dapat menjadikan seseorang mendapatkan kepuasan berdasarkan effort

secara individual. Marginal utility yang berbasis kepada insentif keuangan akan menjadi semakin menurun bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan individu yang bersangkutan. Ini sejalan dengan teori backward bending supply curve

sebagai fungsi dari upah. Teori effort Libenstein juga konsisten dengan Maslow

hierarchy of needed yang menyatakan bahwa terdapat kebutuhan aktualisasi diri yang semakin menguat apabila kebutuhan material telah dipandang terpenuhi. Dengan demikian, kecenderungan rangsangan insentif keuangan semakin menurun apabila individu yang bersangkutan semakin sejahtera.

Apabila internal dan external pressure melemah, maka akan menurunkan

work effort. Jadi, untuk membangkitkan inovasi, sangatlah banyak tantangan yang akan memperlemah upaya tersebut. Porter menyatakan terdapat tiga faktor yang bisa memperlemah effort mencapai sumberdaya berdaya bersaing, (1) pressure

yang bersumber dari disadvantages sources; (2) pesaing yang sangat gigih dan kuat; (3) demanding consumer. Ketiganya dapat menjadi penentu effort yang memperlemah inovasi jika tidak berfungsi merangsang seseorang untuk bergerak.

(34)

Effort Pressure Biaya perUnit Tingkat Responsibilitas E2 E1 P1 P2 E E R R U U 1 2 3 4 C1 C2 Gambar 2.5

Pressure dan Effort x-Efficiency Sumber: Leibenstein (1977)

Gambar 2.5 pada Quadrant 1 dan 2 menggambarkan internal dan eksternal

pressure yang membangkitkan effort. Seseorang tidaklah seluruhnya memiliki sifat pasif dari pressure yang ada. Meski demikian, ada kendala untuk membangkitkan effort atas pressure yang terjadi. Jika pressure terjadi dari titik P1 ke P2, maka akan terjadi peningkatan respon individual dari E1 ke E2. Maka meningkatnya work effort tersebut akan menurunkan cost per output dari C2 ke C1 sehingga akan meningkatkan produktivitas dan output ke tingkat lebih tinggi. Sistem keseimbangan akhirnya tercapai pada Quadrant 4, pada titik R tertinggi.

Teori Effort Leibenstein, menyatakan bahwa setiap individu memiliki pilihan inertial cost, kapan mereka menanggapi respon atas pressure yang terjadi.

(35)

Sistem keseimbangan akan bertahan tanpa perubahan sepanjang waktu, jika tidak terdapat effort yang kuat untuk mendorong bangkitnya produktivitas. Leibenstein menyebutkan sebagai Inertial cost, yaitu lambannya effort bergerak sebagai akibat dari pressure. Jika intertial cost sangat tinggi (respon individual terhadap pressure

sangatlah lamban), maka pressure tidaklah merubah reaction point, maka

individual effort tidaklah berubah dalam jangka waktu panjang. Permasalahan budaya kerja, orientasi kerja dan tingkat kemakmuran tertentu pada masyarakat dapat menjadi kendala bagi berkembang tumbuhnya inertial cost yang menghambat produktivitas untuk berkembang, meski pressure telah semakin menguat.

Dengan demikian, tantangan untuk mencapai x-Efficiency adalah pengembangan individual yang responsif terhadap pressure pada tingkat di mana kesejahteraan ideal dianggap belum tercapai. Kondisi ekonomi yang serba dianggap cukup dapat menjadi kendala bagi terobosan inovasi baru yang menggeser sistem keseimbangan quadrant 4. Masyarakat yang telah merasa tercukupi pada skala ekonomi subsistem misalnya, kurang memiliki respon dalam membangun effort, sehingga pressure belum dapat membentuk keseimbangan jangka panjang x-Efficiency.

Merujuk pada kajian pustaka maka hubungan antar variable penelitian dapat dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Kesejahteraan merupakan salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi. Ellison dan Smith (1991), Chandler et al.

(36)

(1992), Wesgate (1996), Kamya (2000), Tsung et al. (2002), pada garis besarnya memberikan panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih holistik dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran kesejahteraan, karena manusia pada dasarnya adalah makluk yang dinamis dan kompleks (Adams, 2000; Tsung, 2002).

Menurut Kolle dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan, antara lain (1) dengan melihat kualitas hidup dari segi

materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagaianya; (2) dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; (3) dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; dan (4) dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya

Pembangunan merupakan proses mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Friendmann (dalam Effendi, 2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan adalah meningkatkan dan memperluas kegiatan

(37)

usaha-usaha berbasis komunitas (community enterprises). Dimana selama ini kegiatan usaha-usaha masyarakat tersebut telah eksis dalam masyarakat dan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan adanya kehadiran pemerintah yang dapat berperan untuk mencapai kesejahteraan. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000). Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Ndraha (2000) menyatakan fungsi pemerintahan ada 2 (dua) macam fungsi, yaitu: Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi pelayanan (service), sebagai provider jasa publik yang baik diprivatisasikan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Kedua, pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan melakukan program pemberdayaan. Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak melibatkan peran pemeritah dalam sistem perekonomiannya. Tidak juga di negara yang menganut sistem kapitalis yang menghendaki peran swasta lebih dominan dalam mengelola perekonomiannya. Karena tidak ada satupun negara kapitalis di dunia ini yang menganut sistem kapitalis murni.

(38)

Demikian pula halnya dengan pengembangan daya saing dunia usaha memerlukan kelembagaan dalam rangka menciptakan framework conditions yang memungkinkan aset produktif berkembang untuk mendapatkan pangsa pasar yang semakin bersaing. Dalam kerangka perspektif pengembangan daya saing usaha, kebijakan pemerintah memegang peranan yang menentukan sebagai fasilitator dalam pembinaan kelembagaan bersifat formal maupun non formal (North, 1990). Hasil penelitian Flora dan Flora (1993) menunjukkan bahwa entrepreneurs social infrastructure adalah penguatan jaringan komunitas dalam rangka memperkokoh kreativitas dan inovasi khususnya pada masyarakat pedesaan. Penguatan kelembagaan dalam rangka menumbuhkembangkan iklim kreativitas dan inovasi yang telah terbentuk pada masyarakat pedesaan, seyogyanya dipandu dengan membangun kerangka sistem yang memungkinkan terpeliharanya kreativitas entrepreneurs secara berkelanjutan. Seorang entrepreneur harus memiliki jiwa kewirausahaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Namun jiwa kewirausahaan ternyata belum cukup sehingga perlu memiliki sumberdaya bersaing yang diwujudkan dengan respon yang tinggi dalam menghadapi setiap perkembangan dinamika pasar, maka pressure akan menghasilkan effort yang menciptakan low

(39)

cost production dan peningkatan produktivitas dan daya saing, Leibenstein (1977).

Peran pemerintah yang diwujudkan melalui penerapan kebijakan ditunjang dengan terciptanya sistem sosial pengrajin (entrepreneurs social infrastructure) yang terkondisikan dengan baik, juga dibarengi dengan pengrajin itu sendiri memiliki jiwa kewirausahaan dan sumberdaya bersaing yang tinggi maka kesejahteraan pengrajin secara ekonomi dan non ekonomi akan terpelihara secara berkelanjutan.

2.2 Kajian Empiris dan Penelitian Sebelumnya

2.2.1 Chang (2007), Entrepreneurship and Economic Development and Growth in America: An Investigation at The Country Level

Studi Chang terfokus pada faktor demografik dan faktor ekonomi masyarakat sebagai pembentuk kreativitas dan inovasi yang mendorong terwujudnya entrepreneurs sebagai pemicu pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Sejumlah variabel demografik yang menjadi fokus penelitian Chang, berkaitan dengan (1) faktor demografik seperti diversity, skilled labor, population growth yaitu perubahan secara alami dari population pada daerah bersangkutan, migration dan foreign yang mendorong kreativitas dan inovasi; (2) faktor ekonomi seperti infrastructure, income, un-employment, dan

(40)

Diversity Skilled Labor Pop Growth Migration Foreigners Infrastructure Income Unemployment Poverty Dinamika Kreativitas H1c H1d H1e H1f H1g H2c H2d H2e H2f Economic development Economic Growth H4a H4b Komponen Demographik Faktor Ekonomi Gambar 2.6

Entrepreneurship and Economic Development and Growth in America Sumber: Chang (2007)

Kreativitas dan inovasi yang terbentuk dari faktor demografik dan faktor ekonomi membentuk kreativitas dan inovasi serta berperan positif dalam mendorong proses pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Kreativitas dan inovasi dalam produksi dan teknologi di mediasi oleh potensi sumberdaya entrepreneurs

yang telah tersedia dengan proses pembangunan ekonomi yang menyediakan pangsa pasar atas produksi barang dan jasa masyarakat

Keberadaan entrepreneurs menjadi semakin berkembang sebagai akibat dari proses pembanguan itu sendiri yang membangun dinamika permintaan pasar produksi, sehingga kreativitas para entrepreneurs menjadi berkembang karena dukungan indikator dari demographic composition dan faktor ekonomi, pembangunan ekonomi dan perluasan produksi serta kesempatan kerja yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi. Studi Chang memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan tentang entrepreneurship bahwa secara empiric telah dibuktikan faktor demografik dan faktor ekonomi menjadi penentu dan pemicu munculnya

(41)

kreativitas dalam berinovasi yang menghasilkan nilai tambah bagi kawasan ekonomi bersangkutan.

2.2.2 Meutia (2013), Entrepreneurial Social Competence and Entrepreneurial Orientation to Build SME’s Business Network and Business Performance

Penelitian Meutia (2013), melakukan kajian studi tentang entrepreneurial social competence sebagai faktor yang mendorong peningkatan kinerja usaha, serta pada saat bersamaan entrepreneurial social competence juga berperan dan berpengaruh terhadap kinerja usaha melalui business network. Pada sisi lain,

entrepreneurial orientation juga merupakan persepsi yang memperkuat busniness network, serta pada gilirannya berpengaruh kepada kinerja usaha (lihat Gambar 2.7) Entrepreneurial Social Competence Entrepreneur Orientation Business Network Business Performance SME’s Gambar 2.7

Entrepreneurial Social Competence dan Business Performance

(42)

Penelitian ini menemukan bahwa, entrepreneurial social competence

berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha (business performance). Penelitian ini dilakukan pada industri kecil (SME’S) di wilayah Jawa Barat, dengan mengambil sampel sebanyak 193, penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh mediasi dari entrepreneur orientation ke business performance

melalui business nettwork, tetapi lebih membuktikan bahwa entrepreneur orientation berpengaruh signifikan terhadap business performance. Meskipun demikian, entrepreneurial social competence berhasil dibuktikan karena berpengaruh secara signifikan baik melalui hubungan langsung dengan business performance maupun secara tidak langsung dari pengaruh entrepreneurial social competence terhadap business performance melalui business network.

2.2.3 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Infrastruktur Sosial.

Pemerintah modern, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000).

Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Dengan demikian lahirnya pemerintahan memberikan pemahaman bahwa kehadiran suatu pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang bertujuan

(43)

untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat, bahkan Van Poelje (dalam Hamdi, 1999) menegaskan bahwa, pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu ilmu yaitu yang mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam mengarahkan dan memimpin pelayanan umum. Bagian lain Al Rasyid (2000) menyatakan bahwa tugas-tugas pokok pemerintah dapat diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi hakiki yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).

Kebijakan pemerintah dewasa ini dapat difungsikan melalui kerja sama pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Keterpaduan ketiganya dikenal dalam kerangka kebijakan Corporate Social Responsibility, dimana pemerintah mengajak serta dunia usaha untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pemerintah diarahkan untuk lebih terfokus kepada konsep yang berorientasi pada business in the community, yaitu konsep kebijakan yang merujuk kepada bagaimana pemerintah bersama dunia usaha membangun kerja sama dan kolaborasi dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Corporate Social Responsibility merupakan corporate network public private partnership yang diprogram dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan yang terdampak atas perkembangan sektor industri (Nidasio, 2004). Kebijakan pemerintah berdampak kepada sosial kemasyarakatan (Flora dan Flora, 1993; Thompson, 2008). Kebijakan pemerintah berdampak nyata memberikan kontribusi pada basis kekuatan usaha dan pembentukan kesejahteraan masyarakat (Wolff, 2002).

(44)

2.2.4 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah dan Infrastruktur Sosial Terhadap Kewirausahaan.

Peran pemerintah dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, melakukan fasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong kemajuan usaha kecil. Cook et al. (2003), menyatakan kebijakan pemerintah menjadi penentu dalam agenda pengembangan usaha kecil yang berdampak kepada usaha bersangkutan,dan para konsumen pengguna produk serta pihak lainnya (Herrera dan Nieto, 2008).

Kebijakan pemerintah memfasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong kemajuan usaha kecil, sehingga merupakan komponen penggerak

entrepreneur (Guan dan Chen, 2012). Menurut Cook et al. (2003), kebijakan pemerintah berdampak kepada pengusaha untuk mengembangkan product innovation. Miller (1983); Freiling dan Schelhowe (2014), menyimpulkan adanya

risk-taking dalam pengembangkan inovasi, sehingga memerlukan dukungan fasilitas pendanaan pemerintah dan pendampingan (Cook et al., 2003). Kebijakan pemerintah menjadi penggerak inovasi usaha (Herrera dan Nieto, 2008)

Kondisi sosial kemasyarakatan adalah sumber yang menentukan keberlanjutan entrepreneurship. Infrastruktur sosial adalah sistem sosial kemasyarakatan yang digagas oleh Flora dan Flora (1993), Thompson (2008), yang berdampak kepada keberlangsungan inovasi dan kreativitas usaha kecil (Miller, 1983; Freiling dan Schelhowe, 2014). Social infrastructure yang mampu melahirkan dan mengembangkan secara berkelanjutan entrepreneurs digagas oleh Van de Ven dan Garud (1989). Lebih terfokus kepada pembentukan organisasi formal yang dapat membedakan dengan jelas pilar organisasi dalam rangka pengembangan entrepreneurs berkelanjutan (Defourny dan Nyssens, 2008).

Gambar

Gambar 2.5 pada Quadrant 1 dan 2 menggambarkan internal dan eksternal  pressure  yang  membangkitkan  effort

Referensi

Dokumen terkait

Pendaftar BPI Reguler S2 dan S3 Pelaku Budaya dinyatakan telah diterima dengan dibuktikan LoA (Letter of Acceptance) dari Perguruan Tinggi Tujuan Dalam Negeri atau Luar

Saran yang diberikan oleh penulis adalah perlunya penelitian lebih lanjut mengenai potensi model pembelajaran Problem Solving disertai Argument Mapping untuk memberdayakan

mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan mengenai model pembelajaran blended learning yang mereka jalankan, yang mana persepsi didefinisikan oleh Atkinson (2000)

Maka dari itu, penulis mengadakan suatu penelitian untuk dapat memahami lebih lanjut tentang Evaluasi Kinerja BPBD Kabupaten Badung dan faktor pendukung serta penghambat

Dalam observasi berikut menghasilkan data yaitu sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selain komponen lainya seperti tujuan,

secara kuantitatif untuk mengetahui pengaruh edukasi, dengan modul ”Pocket Activity” dalam modifikasi gaya hidup pada faktor risiko kardiovaskular penderita pria

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul PENGARUH HARDINESS, BEBAN KERJA, DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP STRES KERJA GURU SMA NEGERI DI TANGERANG SELATAN adalah

Dalam tugas akhir ini, akan digunakan pemrosesan gambar digital untuk mendapatkan informasi dari gambar, yang nantinya akan menjadi fitur fitur dalam metode