• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. kegiatan penelitian ini. Pembahasan acuan teori disajikan menjadi tiga bagian,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. kegiatan penelitian ini. Pembahasan acuan teori disajikan menjadi tiga bagian,"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

Berikut ini disajikan acuan teori dan hasil penelitian yang relevan dengan kegiatan penelitian ini. Pembahasan acuan teori disajikan menjadi tiga bagian, yaitu a) hakikat humor, b) hakikat pragmatik, c) penyimpangan aspek pragmatik: penyimpangan prinsip kerja sama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan penyimpangan parameter pragmatik. Sajian acuan teori dimaksudkan sebagai a) arah penyatuan persepsi antara peneliti dan para pembaca, b) gambaran tentang wawasan yang telah ada dalam benak peneliti tentang teori yang terkait dengan penelitian ini, dan c) acuan teori yang dimanfaatkan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Pada bagian akhir disajikan hasil penelitian yang relevan yang dimaksudkan untuk memberikan informasi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini.

A. Kajian Teori

1. Hakikat dan Teori Humor a. Hakikat Humor

Dewasa ini, humor telah menjadi komoditi yang dikenal luas. Menurut hasil Survey Research Indonesia (SRI) telah dibuktikan mengenai eksistensi humor dalam kehidupan masyarakat (Tommi Yuniawan, 2007: 8). Survei ini mencatat bahwa 50% dari sepuluh mata acara di televisi yang paling digemari di Jakarta mempunyai muatan humor yang besar. Para pelawak menjual senda gurau

(2)

14

secara rutin pada penonton. Banyak orang menggemari lawakan yang tidak saja lucu, namun penuh sentilan terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat karena lawakan merupakan salah satu sarana yang efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya.

R Kunjana Rahardi (2007: 28) mengemukakan bahwa dalam perspektif sosial-budaya, bahasa jenaka yang berupa lawakan-lawakan itu dapat dipandang sebagai piranti untuk menjalin relasi. Bertutur sapa dengan nuansa-nuansa lucu atau jenaka yang cukup kadarnya, dengan kelucuan yang tidak terlampau berlebihan, akan dapat mendekatkan distansi relasi antarwarga masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, lewat komunikasi jenaka yang berupa lawakan-lawakan itu, distansi sosial-budaya akan dapat dikontrol, diatur, dan ditata kembali dengan lebih cermat dan lebih saksama.

Seni wayang, misalnya, juga sering menampilkan adegan-adegan lucu yang menarik minat penonton, seperti adegan munculnya punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Dalang menyuguhkan humor-humor segar, baik yang lucu maupun yang bersifat kritis. Adegan lucu juga dapat disuguhkan melalui gerak selain ucapan. Penonton meminati humor dalam adegan wayang sebagai luapan kecintaan terhadap seni tradisional tersebut. Ludruk dan ketoprak sebagai seni tradisional masyarakat Jawa, juga mempunyai berbagai makna sentilan, perenungan, dan kelucuan. Ada kritik dan humor yang ditampilkan sehingga penonton tertawa dan menertawakan diri, serta masyarakatnya.

Oleh karena itu, humor dapat dipandang sebagai model percakapan yang mempunyai arti sosial, selain terkait dengan cara berpikir sosial. Dalam kultur

(3)

15

sosial Indonesia, humor, lelucon, lawak, dagelan, dan sebagainya hidup dan terus-menerus berkembang. Dalam kehidupan sehari-hari orang senang dengan hal-hal yang lucu. Hal ini senada dengan pendapat Dynel (2008: 1) bahwa humor adalah sesuatu yang terjadi dalam keseharian dan menjadi beragam wacana. Roux (2008: 88) menyebutkan bahwa iklan dapat menjadi sarana berhumor. Lebih jauh, Dynel mengemukakan bahwa humor bahasa terwujud ke dalam beragam bentuk, seperti rekaman humor, ucapan yang lucu, bahan olok-olokan atau sindiran, seperti terlihat dalam kutipan berikut:

Verbal humour is a phenomenon prevalent in everyday and media discourse, occuring in various contexts (e.g. formal/informal or spoken/written) and manifesting itself in an array of forms, e.g. canned jokes, witticisms, teasing or humourous lexemes (Dynel, 2008: 1).

Menurut Fuad Hassan seperti dikutip oleh Ninuk Kleden-Probonegoro (1987: 75), humor adalah perilaku, kata, atau kalimat yang bukan merupakan kejadian sehari-hari, dan dapat menimbulkan tawa orang yang melihatnya. Tawa memang diperlukan oleh makhluk manusia guna keseimbangan jiwanya, yaitu melampiaskan perasaan tertekan melalui cara riang dan dapat dinikmati sehingga dapat mengakibatkan kendurnya ketegangan jiwa itu. Tawa ini biasanya hanya dapat terjadi dalam lingkungan kebudayaan masyarakat di mana humor tersebut berlaku. Oleh karena itu, Carter (2004: 21) mengemukakan bahwa pengetahuan budaya (cultural knowledge) sangat dibutuhkan untuk memahami permainan kata dan humor secara lebih efektif, dan berhasil memunculkan tawa.

Dengan demikian, humor merupakan sebuah rangsangan yang menyebabkan seseorang tertawa atau tersenyum dalam kebahagiaan. Dalam kaitan

(4)

16

ini, ada tiga aspek yang layak diperhatikan, yakni tindakan verbal atau nonverbal yang merupakan stimulusnya, aktivitas kognitif dan intelektual sebagai alat persepsi dan evaluasi rangsangan itu, dan respons yang dinyatakan dengan senyum dan tawa. Jadi, senyum dan tawa merupakan manifestasi eksternal dari penikmatan humor (Apte, 1985: 15). Adapun penelitian ini akan lebih difokuskan pada usaha penutur (Gus Dur) dalam menciptakan rangsangan-rangsangan verbal yang diharapkan mampu memicu respons yang berupa senyum dan tawa itu.

Munculnya rangsangan-rangsangan verbal dalam humor lebih disebabkan karena wacana humor menggunakan tipe bahasa tertentu, yaitu ragam informal. Menurut Apte (1985: 190-191), ragam informal lebih cocok untuk kebutuhan berhumor karena sifatnya yang fleksibel, tidak terlalu terikat pada konvensi dan kaidah-kaidah bahasa baku, serta berbagai aturan-aturan yang serupa. Dalam hubungan ini, Apte mengutip pendapat Albert yang mengemukakan bahwa:

In many societies with emphasis on linguistic niceties, although a formal diglossia situation may not exist. In such societies the least formal talk, sometimes labeled “idle talk” or “frivolous speech,” is used for joking and humor primarily because it is flexible and is least burdened with rigid conventions, rules of formality, and other similar restrictions. (Apte, 1985: 190-191).

Kenyataan-kenyataan ini akan memberi konsekuensi bahwa di dalam berhumor dengan bahasa Indonesia, bahasa Indonesia non-standarlah yang cenderung digunakan. Dalam pada itu pengaruh bahasa-bahasa daerah atau dialek-dialek bahasa Indonesia tampak nyata. Sebagai masyarakat bilingual yang diglosik, masyarakat Indonesia memperlakukan bahasa Indonesia sebagai varietas H atau varietas tinggi (high variety) dan bahasa daerah sebagai varietas L atau

(5)

17

varietas rendah (low variety). Bahasa daerah di sini meliputi berbagai dialek bahasa Indonesia, seperti bahasa Indonesia dialek Jakarta, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Di dalam masyarakat diglosik ada kecenderungan untuk mempergunakan varietas L untuk aktivitas berhumor (I Dewa Putu Wijana, 2004: 122). Untuk ini, perlu disimak pernyataan Apte (1985: 90) berikut ini:

In societies with diglossia, speakers are not only aware of the „high‟ and „low‟ varieties of language but are also likely to use only the low variety for humor. The low variety may be used in caption for a political cartoon, in radio soap opera, and in conversation with friends, family, and collagues and is suitable for the development of humor. (Apte, 1985: 90).

Sementara itu, Jaya Suprana (1996: 93-97) melihat bahwa posisi humor di tengah kehidupan masyarakat di satu sisi memang dianggap sesuatu yang menyenangkan, namun di sisi lain diletakkan pada lokasi yang kurang serius, tidak perlu terlalu dianggap perlu, terbelakang, bahkan cenderung kekanak-kanakan sehingga tidak layak bagi orang dewasa yang benar-benar sudah dewasa dan serius. Padahal, humor justru berfungsi sebagai mekanisme penyelamat dalam menghadapi kejenuhan, termasuk kejenuhan politik. Tanpa humor dalam bentuk-bentuk lelucon politis yang bergerilya informal itu, termasuk humor-humor Gus Dur yang menjadi bahan kajian penelitian ini, dikhawatirkan akan terjadi kejenuhan politik yang rawan berubah menjadi bentuk kekerasan dan malapetaka politik yang jelas perlu dihindari.

Atas dasar pembicaraan di atas, konsep humor dalam penelitian ini adalah semua peristiwa komunikasi dalam berbahasa dalam konteks sosial tertentu, khususnya cerita-cerita anekdot yang dituturkan oleh Gus Dur, serta ditulis ulang oleh beberapa penulis ke dalam bahasa Indonesia. Peristiwa berbahasa itu dapat

(6)

18

terjadi di berbagai situasi dan waktu, seperti kunjungan kenegaraan Gus Dur ke luar negeri, kunjungan dan ceramah Gus Dur di lingkup pondok pesantren, hingga saat Gus Dur berbincang-bincang secara santai atau resmi dengan berbagai kalangan, baik dari kalangan nahdliyin, akademisi, kaum birokrat, wartawan, agamawan, maupun kalangan wong cilik.

b. Teori-teori Humor

Penelitian-penelitian mengenai humor selama ini semuanya berpijak pada teori psikologi yang berporos pada konsep ketidaksejajaran (incongruity), pertentangan (conflict), dan pembebasan (relief). Dalam hubungan ini, Apte (1985: 31) mengutip pendapat Levine dan Foss yang mengemukakan bahwa “the theories of humor should be grouped into three large classes: cognitive-perceptual, social-behavioral, dan psychoanalytical.” Konsep ketidaksejajaran

berasal dari unsur pengetahuan anggapan, konsep pertentangan dari unsur perilaku sosial, dan konsep pembebasan dari unsur psikoanalisis.

Dari sudut pandang linguistik, ketidaksejajaran dan pertentangan yang terjadi dalam wacana humor karena dilanggarnya norma-norma pragmatik bahasa, baik secara tekstual maupun interpersonal. I Dewa Putu Wijana (2004: 6) menjelaskan bahwa secara tekstual pelanggaran dilakukan dengan penyimpangan prinsip kerja sama, dan secara interpersonal dilakukan dengan pelanggaran prinsip kesopanan dan parameter pragmatik. Akhirnya, pelanggaran itu dilakukan dengan maksud untuk membebaskan para pembaca dari beban kejenuhan, keseriusan, dan sebagainya.

(7)

19

Menurut Attardo (1994: 48), teori ketidaksejajaran mengemukakan bahwa humor menggabungkan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipersepsi secara tidak terduga oleh penikmatnya. Untuk itulah, para pelopor teori ketidaksejajaran (incongruity theory) menekankan pentingnya ketidakterdugaan di dalam humor, karena oleh Apte (1985: 33) dinyatakan bahwa “it is the absence of surprise which kills the joke (when one hears it for the second time).”

Ketidakterdugaan di dalam humor biasanya merupakan letak kelucuan (punch line) humor itu. Punch line merupakan alat untuk mengalihkan satu tingkat abstraksi ke tingkat abstraksi yang lain, dan menyajikan ide yang tidak relevan atau tidak selaras dengan bagian utama teks humor itu.

Wacana (1) yang dilatarbelakangi oleh ketidaksejajaran keindahan irama Melayu sebagai salah satu warna khas budaya Indonesia dengan kegelisahan yang dialami oleh sejumlah orang berlari ke sana kemari mencari pinjaman berikut ini memadukan dua ide, yakni “nama daerah, bahasa, dan bangsanya” dengan “berlari” dengan permainan homonimi kata melayu.

(1) Kuno bukan kejutan Irama Melayu Melayu ngalor Melayu ngidul Golek utangan

(8)

20

Bagi penganut teori pertentangan (conflict theory) memandang fenomena ketidaksejajaran pada wacana (1) sebagai sesuatu yang bertentangan, yakni pertentangan antara keindahan yang diasosiasikan oleh Irama Melayu dengan gelisahan, yang diasosiasikan oleh Melayu ngalor, melayu ngidul golek utangan. Akhirnya, efek tersolusinya ketidaksejajaran atau pertentangan itu menurut penganut teori pembebasan (relief theory) akan mampu membebaskan manusia dari keadaan telis (telic state) menjadi keadaan paratelis (paratelic state). Di dalam keadaan telis, seseorang merasa tertekan atau terdesak oleh kebutuhan sosial dan psikologis. Sebaliknya, di dalam keadaan paratelis seseorang merasakan kebebasan dari tekanan itu.

Kondisi ketidaksejajaran atau pertentangan di dalam wacana humor secara sengaja dikreasikan oleh para kreator guna menanggapi kondisi masyarakatnya, atau sekadar bersenda gurau yang pada akhirnya diharapkan dapat melepaskan khalayak pembaca dari keseriusan dan berbagai beban kehidupan. Humor adalah teka-teki yang terpahami ketidaksejajarannya (I Dewa Putu Wijana, 2004: 27). Dalam kaitannya dengan pemahaman humor ini, para penikmat harus menemukan semacam kaidah kognitif (cognitive rule) ketidaksejajaran itu. Penemuan kaidah ditandai dengan penolakan salah satu rangsangan atau kemungkinan interpretasi yang disodorkan. Dengan demikian, formulasi humor dapat digambarkan sebagai berikut.

(9)

21 X = = M1 # M2 Gambar 1 Formulasi Humor (I Dewa Putu Wijana, 2004: 27) Keterangan: X = humor

M1 M2 = situasi-situasi yang memunculkan humor # = hubungan yang bersifat alternatif

= = hubungan antara X dan M1 M2

Bila diperhatikan secara saksama, sebenarnya ada persamaan antara teori-teori humor yang pada dasarnya bertumpu pada konsep ketidaksejajaran itu dengan penyimpangan kaidah-kaidah pragmatik di dalam praktik berbahasa. Pengacauan dua konsep dengan kerangka acuan yang berbeda dilihat dari segi pertuturan merupakan pengacauan harapan lawan bicara, yakni tidak terwujudnya situasi atau hal-hal yang diasumsikannya yang bila diteliti lebih lanjut bersumber dari pelanggaran sejumlah prinsip dan parameter pragmatik yang terjabar ke dalam maksim-maksimnya.

Berdasarkan pembicaraan tersebut perlu diambil kesimpulan tentang teori-teori humor untuk keperluan penelitian ini. Konsep humor yang berkembang saat ini bertumpu tiga teori, yakni teori ketidaksejajaran, teori pertentangan, dan teori pembebasan. Kondisi ketidaksejajaran atau pertentangan yang ditemukan dalam

(10)

22

wacana humor sebetulnya memiliki tujuan yang sama selain membikin tertawa, juga sebagai alat kontrol sosial terhadap kondisi masyarakat tertentu. Dengan demikian, penciptaan humor diharapkan dapat membawa pembacanya tertawa, serta mampu membebaskan diri dari kondisi kehidupan yang penuh tekanan dan beban hidup. Terlepasnya pembaca dari tekanan hidup tentunya diawali dengan ditemukannya kaidah kognitif ketidaksejajaran atau pertentangan dari humor yang bersangkutan, selain penyimpangan sejumlah prinsip dan parameter pragmatik yang terjabar ke dalam maksim-maksimnya.

2. Hakikat Pragmatik

Secara historis, istilah pragmatik yang digunakan pada saat ini berasal dari seorang filsuf Charles Morris yang mencurahkan perhatiannya kepada ilmu tanda (semiotika). Dalam pandangan Morris, ada tiga cabang kajian yang dicakup oleh semiotika, yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik (I Dewa Putu Wijana, 2004: 41). Namun demikian, pragmatik yang berkembang saat ini yang mengubah orientasi linguistik di Amerika pada tahun 1970-an sebenarnya diilhami oleh karya-karya filsuf-filsuf, seperti Austin dan Searle yang terkenal dengan teori tindak ujarannya atau speech acttheory (Leech, 1983: 2).

Pemunculan pendekatan baru dalam ilmu bahasa dengan nama pragmatik, secara tidak langsung telah mengubah pandangan ahli bahasa mengenai bahasa, dan bagaimana linguistik membatasi objeknya. Semula kaum strukturalis sangat puas terhadap pandangan yang memperlakukan linguistik sebagai ilmu yang bersifat fisik. Oleh karena itu, kaum strukturalis membebaskan linguistik dari

(11)

hal-23

hal yang menyangkut makna. Akan tetapi, dengan memasukkan ketaksaan (ambiguity) dan sinonim sebagai salah satu data dasar linguistik, Chomsky membuka pintu bagi semantik. Murid-murid Chomsky akhirnya mengembangkan teori semantik generatif maju selangkah. Mereka memperlakukan semantik sebagai dasar teori ilmu bahasanya (Leech, 1983: 2).

Bila makna telah diakui sebagai bagian sentral bahasa, sangatlah sukar untuk mengesampingkan fakta bahwa makna akan senantiasa berubah bergantung pada konteksnya. Dengan kata lain, telaah makna yang mempertimbangkan konteks pemakaian bahasa sebagai konsekuensi berubahnya makna-makna bentuk lingual mengakibatkan makna yang ditelaah tidak bebas konteks, tetapi makna yang terikat konteks. Dalam hal ini, semantik telah berkembang menjadi pragmatik. Dalam penjelasan yang singkat, Leech (1983: 6) menyebutkan bahwa semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi, dyadic relation,seperti pada kalimat “Apa artinya X?”, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi, triadic relation, seperti pada kalimat “Apa maksudmu dengan X?”.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan maksud si penutur atau si pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu; terpisah dari konteks situasi, penutur dan lawan tuturnya, dan sebagainya. Menurut Searle, Kiefer, dan Bierwich seperti dikutip Nadar (2009: 4) bahwa pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan

(12)

24

cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks. Definisi lain diajukan oleh Levinson seperti dikutip Nadar (2009: 4) bahwa pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Menurut Levinson seperti dikutip dari Zamzani (2007: 19-20) bahwa “pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech act, and aspect of discourse structure”. Pernyataan tersebut memandang

pragmatik sebagai bidang ilmu yang mandiri. Pragmatik memiliki lima cabang kajian, yaitu deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur atau tindak bahasa, dan struktur wacana. Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Berdasarkan konteks yang dapat mempengaruhi makna itu, dapat dibedakan deiksis tempat, waktu, persona, sosial, dan wacana.

Implikatur adalah cabang pragmatik yang mengkaji makna konotatif. Berbeda dengan deiksis yang pada dasarnya berfungsi untuk menunjukkan sesuatu, implikatur berarti sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan (Nadar, 2009: 60). Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya. Hal ini senada dengan pendapat Leech (1983: 30-31) yang menyebutkan bahwa

interpreting an utterance is ultimately a matter of gueswork, or (to use a more dignified term) hypothesis formation (“menginterpretasikan suatu tuturan

(13)

25

sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu pembentukan hipotesa”).

Praanggapan merupakan sesuatu yang diambil oleh penyapa untuk dasar berpijak yang dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan. Brown & Yule (1983: 29) menyatakan bahwa “presuppositions are what is taken by the speaker to be the common ground of the participants in the conversation.” Oleh karena itu, secara pragmatik praanggapan dapat dipandang sebagai asumsi penyapa dalam membuat pesapa menerima apa yang dinyatakan penyapa. Tindak bahasa merupakan suatu kegiatan penutur menggunakan bahasanya dalam berkomunikasi.

Berdasarkan beberapa pandangan tentang pragmatik yang disertai uraian serba singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pragmatik itu sendiri muncul dari pandangan filsafat. Kajian pragmatik terkait dengan linguistik yang bersinggungan dengan sintaksis, dan makna yang bersinggungan dengan semantik. Pragmatik membatasi kajiannya pada pemakaian bahasa yang terikat dengan konteksnya. Pragmatik dapat dipandang sebagai suatu keterampilan, sekaligus sebagai ilmu. Sebagai keterampilan, pragmatik mengungkap kemampuan pemakai bahasa yang dikaitkan dengan konteks pemakaian yang tepat sehingga komunikatif. Sebagai ilmu yang mandiri, pragmatik mencakup deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan struktur wacana.

(14)

26 a. Bidang Pragmatik

Bidang kajian pragmatik mencakup pada ranah pemakaian bahasa dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, bidang pragmatik dapat menyentuh dua kondisi pemakaian bahasa, yakni kondisi umum dan khusus. Kondisi umum merupakan bidang kajian pragmatik umum (general pragmatics), karena pragmatik umum memang hanya mengungkap bagaimana bahasa digunakan dalam berkomunikasi. Sementara itu, kondisi khusus merupakan bidang kajian sosiopragmatik, karena sosiopragmatik terfokus pada pemakaian bahasa dalam konteks yang bersifat spesifik dan mencakup kondisi „lokal‟ (Leech, 1983: 10).

Selanjutnya, kajian sosiopragmatik didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan beroperasi secara berlainan dalam kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda, dalam situasi sosial yang berbeda, dalam kelas sosial yang berbeda, dan sebagainya (Leech, 1983: 10). Hal ini memberikan deskripsi kepada pemakai bahasa mengapa dapat mudah terjadi kesalahpahaman komunikasi antarmanusia yang berlainan latar budaya, sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan tidak berlaku secara umum, melainkan beroperasi secara berlainan dalam setiap masyarakat bahasa.

Oleh karena itu, para peneliti bahasa di dalam membuat deskripsi pragmatik tentang peristiwa komunikasi dalam masyarakat bahasa tertentu, diharapkan tidak menggeneralisasikan begitu saja. Inferensi makna pragmatik atau sosiopragmatik tetap berkaitan dengan inferensi sosiologis. Dengan demikian, sosiopragmatik sebenarnya merupakan perpaduan antara sosiologi dan pragmatik

(15)

27

(Leech, 1983: 11). Sosiopragmatik hanya dibatasi pada aspek pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu dan terikat pada konteks tertentu, seperti situasi, percakapan lokal, penutur dan lawan tutur, dan lain-lain.

Selain sosiopragmatik, ada pula pragmalinguistik sebagai salah satu bagian dari pragmatik umum. Pragmalinguistik dan sosiopragmatik memiliki wilayah kajian yang berbeda. Kajian pragmalinguistik lebih berfokus pada aspek bahasa atau linguistik. Pragmalinguistik membatasi pada sumber linguistik tertentu yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu (Leech, 1983: 11). Kajian pragmalinguistik berhubungan erat dengan masalah tata bahasa, yang dapat mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis, sampai struktur wacana. Kajian pragmalinguistik secara tidak langsung diarahkan untuk menggambarkan bahasa dalam pemakaiannya yang realistis di masyarakat tertentu.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka jelaslah bahwa sosiopragmatik merupakan cabang pragmatik yang kajiannya berfokus pada aspek nonlinguistik, terbatas pada pemakaian bahasa dalam kondisi sosial terentu, dan terikat oleh konteks tertentu. Sosiopragmatik merupakan perpaduan antara sosiologi dan pragmatik sehingga inferensi pragmatik yang dihasilkan pada hakikatnya merupakan inferensi sosiologis. Kajian sosiopragmatik diperlukan untuk menghasilkan deskripsi sosio-pragmatis yang rinci dan terdapat pada kebudayaan tertentu.

Sementara itu, cabang pragmatik umum yang lain adalah pragmalinguistik yang kajiannya berfokus pada aspek bahasa atau linguistik. Pragmalinguistik diperlukan untuk memperoleh deskripsi yang akurat mengenai bahasa tertentu,

(16)

28

terutama deskripsi fungsional. Dengan demikian, pragmatik umum memiliki dua bidang kajian, yaitu sosiopragmatik dan pragmalinguistik. Keterkaitan antara ketiga bidang kajian pragmatik tersebut dapat divisualisasikan dengan memodifikasi model Leech (1983: 11) sebagai berikut.

Gambar 2

Keterkaitan Kajian Bidang Pragmatik dengan Bidang Lain (Leech, 1983: 11)

Keterangan: Klasifikasi bidang kajian pragmatik umum

Keterkaitan bidang kajian pragmatik dengan bidang lain

b. Konteks Pragmatik

Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks ini didefinisikan oleh Leech (1983: 13) sebagai background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h‟s interpretation of what s means by a given utterance (“Latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu”) (s berarti speaker

“penutur”; h berarti hearer “lawan tutur”). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan maupun latar

Pragmatik Umum

Sosiopragmatik Sosiologi

Pragmalinguistik Tata Bahasa

(17)

29

belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan.

Menurut Zamzani (2007: 25), konteks pragmatik pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu konteks yang relatif umum berlaku atau dijumpai pada setiap masyarakat bahasa, dan konteks yang bersifat “lokal” yang biasanya berciri spesifik. Konteks yang pertama merupakan konteks kebudayaan, sedangkan konteks yang kedua merupakan konteks pertuturan atau konteks situasi, baik fisik maupun linguistik. Konteks kebudayaan mengisyaratkan bahwa setiap pemakai bahasa dalam mengadakan interaksi atau komunikasi selalu terpola dengan kebudayaan yang dimilikinya. Sementara itu, konteks situasi atau konteks pertuturan/percakapan terkait dengan berbagai aspek. Setidaknya, mengutip Leech (1983: 13-14), konteks situasi terjadi karena ada lima hal, yaitu a) penyapa dan pesapa, b) konteks tuturan, c) tujuan tuturan, d) tuturan sebagai bentuk aktivitas tindak ujar, dan e) tuturan sebagai hasil tindak verbal.

Penyapa dan pesapa merupakan orang yang terlibat dalam komunikasi, yang dapat berpasangan yang bersifat diadik, dapat pula tidak. Penyapa dapat mengacu pada pengertian pembicara atau penulis, sedangkan pesapa dapat mengacu pada pengertian pendengar atau pembaca. Konteks tuturan mencakup berbagai aspek lingkungan fisik dan sosial yang terkait dengan sebuah tuturan, serta pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan lawan bicara yang membantu lawan bicara guna menafsirkan maksud pembicaraan.

(18)

30

Tujuan tuturan dalam hal ini disamakan dengan fungsi tuturan. Tujuan tuturan, antara lain, bertanya, meminta, mengkritik, menghimbau, memberi tahu, dan meminta maaf. Tuturan dapat dipandang sebagai aktivitas ujar, maksudnya adalah bahwa pragmatik memang menangani sesuatu yang bersifat konkret, yaitu berupa performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Selain tuturan dipandang sebagai aktivitas, dalam pragmatik tuturan dapat dipandang sebagai hasil suatu tindak verbal, yaitu hasil perilaku kegiatan berbahasa yang secara empiris dapat diamati. Secara gramatikal, hasil itu dapat berupa kalimat, tetapi secara pragmatik berupa tuturan yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan lawan bicara guna menafsirkan maksud pembicaraan.

c. Implikatur

Implikatur merupakan salah satu bagian dari kajian pragmatik. Menurut Mey seperti dikutip Nadar (2009: 60), implikatur berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti to fold „melipat‟, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Hal ini senada dengan pendapat Leech (1983: 30-31) yang mengemukakan bahwa interpreting an utterance is ultimately a matter of guesswork, or (to use a more dignified term) hypothesis formation (“menginterpretasikan suatu tuturan

(19)

31

sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu pembentukan hipotesa”).

Menurut Gazdar seperti dikutip Zamzani (2007: 28), implikatur dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu implikatur konvensional (conventional implicature) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Implikatur konvensional merupakan implikasi yang diperoleh langsung dari kata-kata, berdasarkan kaidah gramatika, dan bukan dari prinsip percakapan. Implikatur percakapan merupakan implikatur yang muncul dalam konteks pemakaian bahasa yang bersifat khusus. Oleh karena itu, implikatur percakapan ini bersifat peka konteks, maknanya bukan makna yang tercakup dalam semantik dan makna kalimat, dan tidak harus berupa kondisi kalimat yang benar.

Implikatur terkait dengan teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, yang oleh Grice seperti dikutip oleh Leech (1983: 8), dinyatakan ada empat aturan percakapan atau empat maksim yang secara umum dipandang sebagai prinsip/dasar kerja sama. Keempat hal tersebut adalah maksim kuantitas (maxim of quantity), kualitas (maxim of quality), hubungan (maxim of relation), dan cara (maxim of manner). Selain itu, masih ada dasar yang lain yang dapat dipandang sebagai pelengkap prinsip kerja sama, yaitu kesopanan. Kesopanan berkaitan erat dengan masalah kebudayaan (aturan sosial, atau moral) sehingga mau tidak mau masalah kebudayaan memiliki pengaruh terhadap implikatur yang dihasilkan tuturan tertentu.

Selain itu, karena implikatur berkaitan dengan penggunaan bahasa, maka permasalahan konteks, baik konteks situasi maupun kebudayaan, selalu akan

(20)

32

mempengaruhi pemunculan implikatur. Konteks situasi berkaitan dengan peserta komunikasi, latar waktu, latar tempat, saluran komunikasi yang digunakan, tujuan komunikasi, dan sebagainya. Konteks kebudayaan terkait dengan aturan atau norma sosial kebudayaan yang ada kaitannya dengan masyarakat bahasa yang bersangkutan. Masyarakat penutur bahasa Indonesia tampaknya berlatar belakang kebudayaan daerah yang bermacam-macam. Oleh karenanya, kemungkinan besar muncul berbagai macam strategi pemunculan implikatur pada saat mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Dari uraian singkat tersebut dapat dirangkum bahwa implikatur merupakan a) segala sesuatu yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa secara aktual dan nyata, b) masalah makna tuturan, bukan makna kalimat, c) implikasi pragmatik, dan d) masalah bagaimana orang menggunakan bahasa yang memiliki prinsip/dasar kerja sama dan kesopanan. Implikatur ada dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan.

3. Penyimpangan Aspek Pragmatik

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Menurut Allan seperti dikutip I Dewa Putu Wijana (2004: 6) bahwa setiap peserta pertuturan bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap

(21)

33

kaidah kebahasaan dalam interaksi lingual itu. Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa ada semacam prinsip kerja sama (cooperative principle) yang harus dilaksanakan penutur dan lawan tutur agar proses komunikasi itu berjalan dengan lancar.

Menurut Grice seperti dikutip Leech (1983: 8), tuturan yang wajar harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity) yang menghendaki setiap penutur memberikan kontribusi secukupnya, atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya, maksim kualitas (maxim of quality) yang mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan disertai bukti-bukti yang memadai, maksim relevansi (maxim of relevance) yang menuntut setiap peserta percakapan memberi kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan, dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) yang menuntut setiap pembicara berbicara dengan cara-cara yang wajar, dalam artian tidak kabur, tidak taksa (ambiguous), dan runtut sehingga tidak menyesatkan lawan bicaranya.

Pentingnya peranan kerja sama dan kesopanan di dalam percakapan dikemukakan oleh Leech (1983: 17) bahwa “cooperation and politeness are largely regulative factors which ensure that, once conversation is underway, it will not follow a fruitless or disruptive path”. Jadi, prinsip kerja sama dan

kesopanan merupakan faktor penentu bagi berlangsungnya percakapan yang wajar. Hal yang sebaliknya akan terjadi, yaitu percakapan yang tidak wajar bila kedua atau salah satu prinsip itu dilanggar. Di dalam wacana humor

(22)

34

dimungkinkan sekali dapat dijumpai adanya pelanggaran atau penyimpangan kedua prinsip atau salah satu prinsip itu.

Wacana humor, yang termasuk ke dalam kategori proses komunikasi yang tidak wajar (non-bonafide process of communication), merupakan wacana yang seringkali menyimpang dari aturan-aturan komunikasi yang digariskan oleh prinsip-prinsip pragmatik, baik prinsip kerja sama maupun parameter pragmatik. Bila seorang penutur secara tidak sengaja menyimpangkan prinsip dan parameter itu, akan terbentuk humor natural (natural humor, unintended humor). Dalam hal ini, seseorang mengutarakan sesuatu dan orang lain mempersepsinya sebagai sesuatu yang lucu, dan kelucuan itu tidak diduga oleh penutur.

Di lain pihak, bila penutur secara sengaja menyimpangkannya akan terbentuklah humor artifisial (artificial humor, intended humor). Dalam hal ini penutur memang berusaha untuk melucu. Raskin (1985: 27) mengutip pendapat Freud bahwa humor jenis pertama disebut comic, sedangkan yang kedua disebut

joke. Lebih lanjut, Freud menjelaskan bahwa “A joke is made, the comic is found.”

Untuk itu, di dalam penciptaan humor, para kreator secara kreatif akan berusaha menciptakan wacana humor yang penuh dengan penyimpangan aspek-aspek pragmatik. Adapun seluk-beluk penyimpangan aspek-aspek pragmatik di dalam wacana humor akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Penyimpangan Prinsip Kerja Sama

Dalam upaya menghasilkan wacana yang wajar, komunikasi yang wajar merupakan prasyaratnya. Dalam jenis komunikasi ini penutur akan berbicara

(23)

35

seinformatif mungkin, mengatakan sesuatu dengan bukti-bukti yang memadai, mempertimbangkan secara saksama konteks pembicaraan, senantiasa berusaha agar tuturan yang dihasilkan ringkas, dan tidak taksa sehingga tidak menyesatkan lawan bicaranya. Jenis komunikasi ini akan gagal terbentuk bila penutur dan lawan tutur tidak, atau tidak secara penuh mengontrol prinsip kerja sama percakapan itu.

Berbeda dengan wacana nonhumor pada umumnya, wacana humor, termasuk di dalamnya humor verbal tulis Gus Dur, dikreasikan atau terbentuk dari sebuah penyimpangan prinsip kerja sama sehingga secara sengaja atau tidak sengaja peserta percakapan terlibat dalam proses komunikasi yang nonbonafid. Bila di dalam wacana nonhumor penutur selalu memperhatikan maksim-maksim percakapannya, di dalam wacana humor, para kreator seringkali berusaha dengan berbagai upaya agar tuturan yang dihasilkan melanggar maksim-maksim percakapan ini, Raskin (1985: 103) memodifikasi formulasi maksim percakapan Grice sebagai berikut.

1. Maksim kuantitas: berikanlah informasi sebanyak yang diperlukan oleh humor itu.

2. Maksim kualitas: katakanlah hal-hal yang hanya cocok dengan dunia humor. 3. Maksim relevansi: katakanlah hal-hal yang hanya relevan untuk humor. 4. Maksim pelaksanaan: berhumorlah secara efisien.

(24)

36 1) Penyimpangan Maksim Kuantitas

Di dalam berkomunikasi lazimnya untuk memenuhi tuntutan prinsip kerja sama penutur memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Di dalam wacana humor, seperti dalam wacana kartun, diciptakan dialog-dialog yang melanggar maksim ini. Misalnya, salah seorang tokoh kartun memberikan kontribusi yang kurang memadai dari apa yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya sehingga kelancaran komunikasi menjadi terganggu. Untuk ini dapat diperhatikan wacana (2) di bawah ini.

(2) A : Siapa nama istri Mas Koki? B : Mbakyu

(I Dewa Putu Wijana, 2004: 79)

Memang dimungkinkan (B) dalam wacana (2) memanggil istri Mas Koki dengan Mbakyu, tetapi untuk menjawab pertanyaan (A) dalam wacana itu dianggap tidak memadai atau tidak informatif. Konteks wacana (2) menggambarkan bahwa maksud tokoh (A) tidak menanyakan panggilan (sapaan) yang umum digunakan untuk memanggil seorang perempuan yang berusia lebih tua (dalam bahasa Jawa), tetapi nama perempuan yang menjadi istri dari Mas Koki. Lebih lanjut, tokoh (A) berpraanggapan bahwa (B) mengerti nama istri Mas Koki, namun hal itu tidak terpenuhi sehingga wacana (2) menjadi wacana yang tidak wajar dan justru memunculkan efek kelucuan.

Bila (B) menyebutkan nama perempuan itu, wacana (2) menjadi wacana yang wajar. Dalam wacana (3) dan (4) berikut tidak terasa ada kejanggalan.

(25)

37

Kontribusi (B) dalam kedua wacana berikut dapat dikatakan memadai atau informatif. Untuk itu, pertimbangkan wacana (3) a, b, dan c dan (4) a, b, dan c berikut ini.

(3) A : Siapa nama istri Mas Koki? B : a. Retno

b. Mbakyu Rina c. Sri

(4) A : Siapa nama istri Mas Koki? B : a. Retno

b. Rina c. Sri

Bentuk penyimpangan maksim kuantitas yang lain adalah pemberian informasi yang sifatnya berlebih-lebihan. Bila penutur mengetahui lawan bicaranya memberikan kontribusi semacam itu tentu tidak akan bertanya. Untuk lebih jelasnya perhatikan terlebih dahulu wacana (5) dan (6) di bawah ini.

(5) A : Mobilku ringsek ketabrak kereta... kau bisa ngetok sampai kelihatan baru lagi?

B : Bisa Tuan, tapi waktunya kira-kira 16 tahun (I Dewa Putu Wijana, 2004: 80)

(6) A : Apa lagu favorit SBY-JK yang mencerminkan hubungan mereka? B : Putus nyambung, putus nyambung, putus nyambung...

(26)

38

Bila diperhatikan secara saksama kontribusi tokoh (B) pada wacana (5) dan (6) di atas sifatnya berlebih-lebihan dan menyesatkan lawan bicaranya. Dikatakan berlebih-lebihan karena bila hanya demikian jawabannya, maka tokoh (A) tentu tidak akan bertanya. Tokoh (A) dalam wacana (5) berpraanggapan bahwa si tukang bengkel mobil (B) dapat memperbaiki mobilnya yang telah hancur ditabrak oleh kereta, namun oleh (B) dijawab bisa dengan waktu perbaikan sekitar 16 tahun. Atas jawaban (B) itu, orang tentu paham bahwa mengetok mobil selama 16 tahun berarti sama saja bahwa mobil itu tidak dapat diperbaiki lagi.

Begitu pula jawaban (B) pada wacana (6). Dengan memanfaatkan salah satu lirik lagu pop yang mengisahkan hubungan antara laki-laki dan perempuan (pacaran), tokoh (B) memberikan jawaban yang cenderung menyesatkan lawan bicaranya (A). Di sini, tokoh (A) yang memiliki praanggapan bahwa temannya (B) mampu menjawab teka-teki secara tepat, namun ternyata melenceng dari yang diinginkannya. Justru di sinilah efek kelucuan itu muncul, selain juga jawaban (B) ternyata dinilai tidak sesuai dengan konteks dari teka-teki yang diajukan oleh (A).

Bila wacana (5) dan (6) dijawab sewajarnya, efek lucu tidak akan tercapai. Untuk ini bandingkan (5) dan (6) di atas dengan (5a) dan (6a) di bawah ini:

(5a) A : Mobilku ringsek ketabrak kereta... kau bisa ngetok sampai kelihatan baru lagi?

B : Bisa, saya usahakan.

(6a) A : Apa lagu favorit SBY-JK yang mencerminkan hubungan mereka? B : Pelangi di Matamu.

(27)

39 2) Penyimpangan Maksim Kualitas

Di dalam berbicara secara kooperatif, masing-masing peserta percakapan harus berusaha sedemikian rupa agar mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Peserta tindak tutur hendaknya mengatakan sesuatu berdasarkan atas bukti-bukti yang memadai. Oleh karena itu, menurut Wardaugh (1986: 281), “do not say that for which you lack adequate evidence”.

Tokoh atau tokoh-tokoh yang dikreasikan oleh para kartunis seringkali mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal atau tidak logis. Fenomena ini menunjukkan bahwa penyimpangan maksim kualitas cukup dominan di dalam wacana humor, khususnya kartun. Sebagai contoh dapat diperhatikan ucapan salah satu atau kedua tokoh kartun pada wacana (7) dan (8).

(7) A : Apa bedanya Tim Azzuri Italia dengan PSSI?

B : Tim Azzuri Italia adalah The Dream Team atau Tim Impian, PSSI adalah “The Day Dream Team” atau Tim Mimpi di Siang Bolong! (Harry Roesli, 2005: 164)

(8) A : Ini sate ayam apa kambing, Bang? B : Ayam berkepala kambing.

(I Dewa Putu Wijana, 2004: 82)

Secara logis, kontribusi (B) dalam wacana (7) yang mengatakan bahwa tim Azzuri Italia adalah The Dream Team atau “Tim Impian”, sementara PSSI adalah

The Day Dream Team atau “Tim Mimpi di Siang Bolong” sulit dibayangkan. Konteks jawaban (B) dimaksudkan sebagai kritik tajam terhadap prestasi

(28)

40

sepakbola Indonesia (PSSI) yang makin memburuk. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang menjadi praanggapan dari tokoh (A) tentang perbedaan tim Azzuri Italia dengan tim PSSI. Sumber kelucuan wacana (7) diciptakan oleh kreator pada penerjemahannya atas kata-kata The Day Dream Team menjadi “Tim Mimpi di Siang Bolong”.

Demikian juga jawaban tukang sate (B) terhadap pembelinya (A) sama sekali tidak masuk akal karena hewan ayam berkepala kambing tidak ada. Sebagai pembeli, wajarlah jika (A) bertanya kepada penjual untuk memastikan jenis sate apa yang ingin dibelinya. Tokoh (A) telah memiliki praanggapan bahwa sate yang akan dibelinya, yaitu sate kambing, atau sate ayam. Namun, praanggapan (A) direspons tidak wajar sebagaimana mestinya, sehingga jawaban (B) justru menjadi sumber kelucuan yang sengaja diciptakan oleh pencipta humor.

Sebaliknya, jika kontribusi (B) dalam wacana (7) dan (8) sewajarnya, efek lucu tidak akan muncul. Coba bandingkan antara wacana (7) dan (8) dengan (7a) dan (8a) sebagai berikut:

(7a) A : Apa bedanya Tim Azzuri Italia dengan PSSI?

B : Tim Azzuri Italia punya striker Del Pierro, PSSI punya striker Bambang Pamungkas

(8a) A : Ini sate ayam apa kambing, Bang? B : Ini sate kambing

(29)

41 3) Penyimpangan Maksim Relevansi

Sebagai seorang yang kooperatif di dalam berkomunikasi, penutur dan lawan tutur dituntut selalu relevan mengemukakan maksud dan ide-idenya. Di dalam berbicara penutur mengutarakan tuturannya sedemikian rupa sehingga tuturan itu hanya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Adapun yang dimaksud dengan konteks di sini adalah asumsi-asumsi yang dimiliki oleh pendengar mengenai “dunia” (I Dewa Putu Wijana, 2004: 85). Asumsi-asumsi ini bersifat psikologis. Adapun “dunia” di sini bukanlah keadaan dunia yang sebenarnya, tetapi dunia psikologis. Asumsi-asumsi inilah yang memengaruhi seseorang menafsirkan sebuah tuturan.

Menurut Sperber dan Wilson (2009: 195-196), konteks yang dipakai untuk memproses asumsi baru merupakan sub-susunan asumsi lama, yakni dengan apa asumsi baru digabung untuk menghasilkan berbagai pengaruh kontekstual. Versi paling sederhana dari pandangan ini adalah hipotesis bahwa konteks untuk komprehensi ungkapan tertentu merupakan susunan asumsi yang diekspresikan secara eksplisit oleh ungkapan sebelumnya dalam dialog atau percakapan tertentu. Agar percakapan selalu relevan, maka penutur harus membangun konteks yang kurang lebih sama dengan konteks yang dibangun oleh lawan bicaranya. Jika tidak, mereka akan terperangkap dalam kondisi kesalahpahaman.

Bila kesalahpahaman harus dihindari di dalam komunikasi yang wajar, di dalam wacana humor kesalahpahaman merupakan fenomena yang penting untuk menciptakan dialog yang memunculkan humor. Untuk jelasnya dapat disimak wacana (9) dan (10) sebagai berikut.

(30)

42

(9) A : Gamsut kok lima jari diacungin semua.

B : Maju satu-satu belum tentu menang... lebih baik main keroyok. (I Dewa Putu Wijana, 2004: 86)

(10) A : Dan kamu tahu Laut Mati?! B : Tahu!

A : Nah, kalau ini, kakak saya yang STPDN yang membunuhnya! (Harry Roesli, 2005: 201)

Dalam wacana (9) dan (10) tampak tokoh (B) memberikan tanggapan yang menyimpang dari konteks yang diajukan oleh lawan bicaranya (A). Dalam (9) tokoh (B) menghubungkan gamsut dengan orang berkelahi, sedangkan dalam (10) menghubungkan nama wilayah dengan aksi kekerasan yang terjadi di sebuah institusi pendidikan tinggi yang bernama Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN). Kesalahpahaman dalam kedua wacana di atas merupakan suatu fenomena yang penting untuk menciptakan dialog humor. Tokoh-tokoh dalam wacana (9) dan (10) sengaja diciptakan sedemikian rupa salah menafsirkan konteks pembicaraan yang dibangun/ditawarkan oleh lawan bicaranya (A).

Padahal, tokoh (A) baik dalam wacana (9) maupun (10) telah memiliki praanggapan untuk jawabannya masing-masing. Namun, ketidakrelevanan tanggapan (B) dalam kedua wacana tersebut justru menciptakan kondisi yang menyimpang dari segi hubungan kontekstual di dalamnya. Penyimpangan itu terjadi semata-mata untuk tujuan berhumor, selain juga bermaksud melontarkan kritik tajam pada fenomena aksi kekerasan di dunia pendidikan, khususnya pada

(31)

43

wacana (10). Oleh karenanya, hubungan logis tidak dapat ditemui di luar kerangka humor itu.

4) Penyimpangan Maksim Pelaksanaan

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para penutur di dalam upaya mematuhi maksim pelaksanaan. Pembicara harus mengutarakan ujarannya sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh lawan bicaranya dengan menghindari kekaburan (obscurity), ketaksaan (ambiguity), berbicara secara padat (concise), dan langsung (straightforward), serta runtut. Misalnya, bila seorang mengatakan

koruptor kelas kakap atau penjahat kelas teri, maka kakap dan teri dalam konteks ini bersifat metaforis, bukan bersifat literal. Bila lawan tutur menafsirkannya secara literal, ia tidak bersifat kooperatif atau melanggar maksim pelaksanaan.

Pengacauan makna literal dan figuratif lewat pemakaian kata-kata yang berhomonim dan berpolisemi memang merupakan hal yang disengajakan pada wacana-wacana humor, seperti dikemukakan Raskin (1985: 115), “In many if not most jokes, however, ambiguity is delibrate and the intention of the speaker includes two interpretations which he wants the hearer to perceive.”

Contoh-contoh (11), (12), (13) berikut merupakan bukti betapa bervariasinya pemanfaatan ambiguitas (ketaksaan) sebagai sumber kejenakaan wacana humor.

(11) A : Manusia matanya cuma dua... apa yang matanya banyak? B : Angin, delapan penjuru mata angin

(32)

44 (12) A : Ban apa yang luas banget? B : Ban-dara

(Kuntum, 2009: 30)

(13) A : Bunga apa yang rasanya asem, manis, asin? B : Bu Ngadtijo lagi bikin empek-empek (Kuntum, 2010: 33)

Fenomena (11) s.d. (13) menunjukkan para kreator humor memanfaatkan berbagai teknik di dalam mempermainkan kata-kata yang bermakna taksa, dan kata yang sebenarnya tidak taksa dicarikan arti artifisialnya. Dalam (11) kreator memanfaatkan polisemi kata mata. Tokoh (A) memiliki praanggapan bahwa manusia memiliki dua buah mata, selain juga bertanya teka-teki binatang/makhluk apa yang memiliki banyak mata. Oleh (B) teka-teki itu dijawab dengan angin karena memiliki delapan penjuru mata angin, dan inilah yang menjadi sumber kelucuan dari wacana humor tersebut.

Sementara itu, dalam (12) dan (13) kata ban “bagian dari kendaraan sepeda, mobil, dsb” dan bunga “bagian tumbuhan” yang sebenarnya taksa diciptakan arti artifisialnya dengan teknik akronim, seperti ban-dara dan Bu Ngadtijo sesuai kontribusi (B) untuk menjawab teka-teki dari lawan bicaranya (A). Tokoh (A) berpraanggapan bahwa (B) dapat menjawab dengan serius, seperti

ban mobil, ban motor, dsb pada wacana (12) dan bunga melati, bunga mawar, bunga anggrek, dsb pada wacana (18). Namun, teknik akronim yang dituturkan

(33)

45

oleh (B) menyimpangkan praanggapan tokoh (A) sehingga menimbulkan efek lucu bagi penikmat wacana itu.

b. Penyimpangan Prinsip Kesopanan

Prinsip kesopanan secara umum mengatur cara-cara peserta tindak ucap berinteraksi dalam upaya menghargai atau menghormati lawan bicaranya. Menurut Leech (1983: 132-133), ada beberapa maksim yang harus dipatuhi agar ucapannya tidak menyinggung lawan bicaranya, atau mengesankan bahwa orang yang tinggi hati, tidak tahu kesopanan, dsb.

Adapun maksim-maksim itu adalah maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian. Penjelasan berikut ini secara berturut-turut akan menguraikan penyimpangan wacana humor terhadap maksim-maksim kesopanan tersebut.

1) Penyimpangan Maksim Kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan menggariskan agar para peserta tindak tutur meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Di dalam wacana humor kartun sering terlihat fenomena seorang tokoh kartun tidak malu-malu mengajukan tuturan yang bertendensi merugikan orang lain. Untuk ini pertimbangkan wacana (14) dan (15) di bawah ini.

(34)

46

(14) A : Pak, bolehkan saya pacaran sama anak Bapak?

B : Boleh saja, kalau sama Tutik, tiap datang harus bawa Gudang Garam. Kalau sama Nanik harus bawa Ji-Sam-Soe.

(I Dewa Putu Wijana, 2004: 97)

(15) A : Mang, kenapa ban belakang motor lebih cepat gundul/botak daripada ban depannya?

B : Soalnya ban belakang terus berfikir gimana caranya ngalahin ban depan.

(Ryan Rizki Pradana, 2010: 33)

Pada wacana (14), syarat yang diajukan oleh (B) dalam kedudukannya sebagai calon mertua terasa tidak wajar karena secara terus terang berusaha memaksimalkan kerugian lawan bicaranya. Praanggapan tokoh (A) yang ingin berpacaran dengan salah seorang anak gadisnya (B) dinilai cukup sopan dan menghormati (B) selaku calon mertuanya. Namun, tanggapan tokoh (B) justru mendatangkan kerugian pada tokoh (A). Adalah hal memalukan bila seorang calon mertua mensyaratkan rokok Gudang Garam atau Ji-Sam-Soe, atau benda-benda lain kepada lelaki yang ingin berpacaran dengan anak gadisnya.

Demikian pula kontribusi (B) dalam wacana (15) yang terasa tidak wajar karena tidak menjawab pertanyaan lawan bicaranya (A) tentang ban belakang kendaraan motor yang lebih cepat gundul daripada ban depan. Tokoh (A) memiliki praanggapan bahwa ban belakang motor cepat gundul karena sering digunakan untuk perjalanan. Namun, praanggapan tersebut disimpangkan oleh (B)

(35)

47

sehingga tidak sesuai konteks topik pertanyaan yang diajukan oleh (A). Kreator dengan sengaja menyamakan ban motor dengan kepala manusia yang apabila banyak berpikir maka lambat laun akan mengalami kegundulan.

2) Penyimpangan Maksim Kemurahan

Bila maksim kebijaksanaan berpusat pada orang lain, maksim kemurahan berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menggariskan setiap peserta percakapan untuk memaksimalkan kerugian dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

Di dalam wacana humor, penyimpangan ini dilakukan dengan menciptakan tokoh-tokoh yang berusaha memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian diri pribadinya. Unuk ini dapat disimak implikasi dialog wacana (16) dan (17) di bawah ini.

(16) A : Pak Kasno, besok jadi ngantor pagi-pagi sekali. Perlu saya bangunin jam 6, Pak?

B : He, eh... nggak usah Kim, saya bisa bangun jam 6. A : Nah! Kalo gitu tolong bangunin saya, ya Pak! (I Dewa Putu Wijana, 2004: 98)

(17) A : Bung Sumanto, daging manusia dari bagian tubuh sebelah mana yang paling enak?

B : Dagingnya boleh dari bagian tubuh mana saja, asalkan minumnya teh botol Sosro!

(36)

48

Pada wacana (16) ucapan (A) sebagai konteks awal dialog memperlihatkan pemenuhan maksim kemurahan, yakni berupa penawaran jasanya untuk membangunkan tuannya (B). Jawaban (B) terhadap tawaran (A) juga ditujukan guna mematuhi maksim kebijaksanaan, yakni meminimalkan kerugian bagi orang lain walaupun sebenarnya (B) berpraanggapan dapat melakukan hal itu dalam kapasitasnya sebagai majikan. Penyimpangan terhadap maksim kemurahan terjadi pada akhir wacana, yakni tokoh (A) justru memanfaatkan jawaban majikannya sehingga agak terlihat bahwa tokoh (A) kurang sopan terhadap majikannya. Hal inilah yang menjadi sumber kelucuan dari wacana (16) itu.

Seperti halnya wacana (16), wacana (17) juga mengandung penyimpangan maksim kemurahan. Dalam hal ini tokoh yang bernama Sumanto, sosok yang dikenal sebagai pemakan daging manusia, ternyata memaksimalkan keuntungan diri dengan jawaban di akhir wacana (B) tersebut. Sebagai wartawan, tokoh (A) berpraanggapan bahwa orang yang diwawancarainya, yakni (B) memberikan jawaban yang sesuai. Namun, oleh tokoh (B) pertanyaan dari (A) disimpangkan sehingga mengakibatkan efek humor.

3) Penyimpangan Maksim Penerimaan

Maksim penerimaan mengharuskan peserta percakapan memaksimalkan penghormatan, dan meminimalkan ketidakhormatan pada orang lain. Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan untuk menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan mengenai orang lain, terutama mengenai lawan bicara. Dalam usaha menyimpangkan maksim ini, para kreator (kartunis) kerap kali

(37)

49

memaksimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, seperti yang dilakukan oleh (-) dalam wacana (18), (19), dan (20) di bawah ini.

(18) A : Aku sudah pernah keliling dunia.

B : Huh! Modelmu aja... paling juga pusing tujuh keliling itu yang sering kamu lakukan.

(I Dewa Putu Wijana, 2004: 99) (19) A : Nak, ada salam dari Ika! B : Ika siapa?

A : Ih, kamu goblok deh (Harry Roesli, 2005: 105)

(20) Di ruang sidang Dhimas sedang ujian skripsi di hadapan 3 dosen penguji.

A : Instrumen yang Anda gunakan? B : Yahoo, Plasa, Google, dan sejenis, Bu. A : Landasan teorinya dari mana saja?

B : Pokoknya dari orang-orang terkenal yang go international, Pak. A : Dari internet, laporan skripsi, juga penelitian orang.

B : Metodenya bagaimana? A : Random Sampling, Bu.

B : Jelaskan!

A : Saya memilih secara acak skripsi dan penelitian orang yang ada di internet yang akan saya jiplak, Bu.

(38)

50

Dalam wacana (18) memang ada kemungkinan (A) menyimpangkan maksim kerendahan hati, tetapi walaupun demikian, (B) tidak sewajarnya secara frontal menentang pernyataan lawan bicaranya. Untuk menjaga konteks hubungan antara penutur dan lawan tutur hendaknya (B) mengantisipasi tuturan (A) dengan cara yang lebih sopan dan mengenakkan. Meski begitu, tokoh (A) sebaiknya pula tidak menyombongkan diri di hadapan temannya agar mendapat pujian. Dari segi budaya, terutama budaya Jawa, sungguh tidak dibenarkan apabila kita berlaku tidak hormat kepada orang lain.

Demikian pula wacana (19) yang berupa dialog antara seorang guru (A) dan siswanya (B). Tuturan (A) yang awalnya terasa santun kepada siswanya, berubah menjadi tidak santun atau bernada ketus di akhir wacana. Padahal, secara etika seorang guru sepatutnya menghormati siswanya, begitu pun sebaliknya. Tokoh (B) selaku siswanya (A) memiliki praanggapan dicari oleh temannya yang bernama Ika. Namun, (A) selaku gurunya justru bertutur yang sifatnya mengolok-olok siswanya sendiri dengan teknik akronim, yaitu ika, “ih kamu goblok deh!”.

Itulah yang menjadi efek kelucuan wacana tersebut.

Wacana (20) juga tidak kalah menarik. Tuturan mahasiswa (B) dalam konteks menjawab pertanyaan para dosen penguji skripsinya dianggap telah menyimpangkan maksim penerimaan. Meski begitu, (B) tidak sepatutnya melakukan penjiplakan atas karya ilmiah orang lain seperti jawaban (B) di akhir wacana, yang membuat para dosen pengujinya mengalami kebingungan. Letak kelucuan wacana (20) berasal dari polosnya jawaban-jawaban mahasiswa si pembuat skripsi. Tokoh (A) yang merupakan penguji memiliki praanggapan

(39)

51

bahwa si mahasiswa dapat menjawabnya dengan benar, tetapi tokoh (B) justru berbuat hal-hal yang melanggar kaidah ilmiah, khususunya di ranah perguruan tinggi (PT).

4) Penyimpangan Maksim Kerendahan Hati

Untuk menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan lawan tutur, setiap penutur selayaknya pandai menempatkan dirinya, baik dalam perilaku maupun tutur katanya. Seorang yang tahu sopan santun biasanya tidak mengagungkan kemampuan yang dimilikinya. Mengagung-agungkan atau menonjolkan kemampuan, prestasi, atau harta milik, dsb bila tidak dianggap perlu di depan lawan bicara identik dengan kesombongan yang tentu saja bertentangan dengan prinsip kesopanan yang harus ditaati. Wacana humor seringkali menampilkan tokoh-tokoh yang menyimpangkan maksim kerendahan hati ini, seperti terlihat dalam wacana (21) dan (22) di bawah ini.

(21) A : Bung, apa bisa betulin rantai sepeda?

B : Jangankan rantai sepeda, rantai tank pun aku bisa. (I Dewa Putu Wijana, 2004: 102)

(22) A : Kamu tahu Terusan Suez? B : Tahu!

A : Itu kakek saya yang menggalinya! (Harry Roesli, 2005: 201)

(40)

52

Penyimpangan maksim kerendahan hati dalam (21) dilakukan oleh (B). Di samping kemungkinan maksim kualitas yang disimpangkan, yakni sedikit kemungkinan (B) mampu memperbaiki rantai tank, ucapan (B) yang menggunakan konstruksi Jangankan (rantai sepeda), (rantai tank) juga saya bisa

terasa kurang sopan. Tokoh (A) berpraanggapan bahwa si (B) mampu memperbaiki rantai sepeda miliknya. Akan tetapi, tanggapan (B) yang menganggap dirinya bisa memperbaiki rantai sepeda bermaksud justru untuk menyombongkan diri di hadapan (A). Kesan ini tidak akan muncul bila (B) sebagai tukang sepeda hanya menjawab bisa atau akan saya coba dengan nada merendah.

Di samping penyimpangan maksim kualitas, wacana (22) juga mengandung penyimpangan maksim kesopanan, yakni mengagungkan atau memamerkan bahwa ia (A) memiliki kakek kepada temannya yang bertanya (B). Mendengar pertanyaan (A), secara serta merta (B) menjawab dengan penuh keraguan. Konteks tuturan (A) dimaksudkan agar orang lain paham akan jasa-jasa kakeknya. Namun, adalah hal mustahil apabila penggalian Terusan Suez hanya dilakukan oleh seorang manusia saja.

5) Penyimpangan Maksim Kecocokan

Tidak hanya kebijaksanaan, ketinggian hati, ketidakhormatan, dsb yang menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara peserta-peserta percakapan, ketidakcocokan yang dikemukakan secara tidak bijak mungkin pula dapat mengakibatkan hal yang serupa. Oleh karenanya, bentuk-bentuk kesetujuan

(41)

53

parsial dipandang lebih sopan daripada ketidakcocokan yang bersifat total. Untuk ini dapat dilihat dalam wacana (23), (24), dan (25) di bawah ini.

(23) A : Semua pria pernah melirik-lirik wanita selain isterinya. B : Tidak!!! Adam tidak pernah melirik wanita lain.

(I Dewa Putu Wijana, 2004: 105)

(24) A : Dengar tidak, kalau partai sudah ada 400 sekarang? B : Empat ratus apa?

A : Empat ratus partai, bego!

B : Oh, saya kira harganya empat ratus rupiah per partai! (Harry Roesli, 2005: 106)

(25) A : Saya sangat kecewa MU ga jadi main di Jakarta, padahal saya sudah punya tiket.

B : Namanya juga teroris. Mereka ga tahu kalau ada hubungan antara NU dan MU

A : Lho memangnya apa hubungannya?

B : Ya, antara Nahdlatul United dengan Manchester Ulama kan ga jauh-jauh amat!

A : !!!???

(Tri Agus S. Siswowiharjo, 2010: 128-129)

Wacana humor kartun (23), (24), dan (25) mengandung penyimpangan maksim kesetujuan. Dalam wacana (23), penyimpangan dilakukan oleh (B). Di samping kontribusi (B) dalam wacana ini menyimpangkan maksim relevansi,

(42)

54

yakni memasukkan Adam sebagai salah seorang pria yang dimaksud (A), kontribusi (B) menentang secara total pernyataan lawan bicaranya. Praanggapan milik tokoh (A) bahwa semua pria pernah melirik wanita-wanita lain selain istrinya, dirasa tepat. Oleh (B) praanggapan tersebut ditentang keras dan justru memunculkan ketidaksetujuannya.

Begitu pula dalam wacana (24). Penyimpangan maksim kesetujuan atau kecocokan dilakukan oleh (B) atas pertanyaan (A) tentang jumlah partai (politik) di Indonesia yang sudah berjumlah 400 buah. Dalam dialog tersebut, mungkin (B) bingung atas pertanyaan (A) dan ia bermaksud bertanya kepadanya, namun (A) justru menjawab dengan nada keras dan ketus dengan penambahan kata bego. Di akhir wacana, (B) memberikan jawaban yang melenceng dari yang dimaksud oleh (A) sehingga tercipta efek kelucuan wacana (24) tersebut.

Dalam wacana (25), penyimpangan maksim kecocokan dilakukan oleh (B) atas pertanyaan lawan bicaranya (A). Baik tokoh (A) maupun (B), keduanya santri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus penggemar Manchester United (MU), salah satu klub sepak bola yang terkemuka. Hubungan konteks antara NU dan MU sebetulnya tidak ada, namun oleh kreator humor sengaja diciptakan melalui pikiran tokoh (B) yang memelesetkan akronim NU dan MU menjadi Nahdlatul United dan Manchester Ulama. Alhasil, tokoh (A) dibuat bingung atas pelesetan akronim tersebut.

(43)

55 6) Penyimpangan Maksim Kesimpatian

Memberi ucapan selamat kepada seseorang atau rekan yang sedang atau baru saja mendapatkan kebahagiaan, dan memberi ucapan belangsungkawa kepada seseorang yang ditimpa musibah juga merupakan cara penutur-penutur bahasa memelihara hubungan. Penutur-penutur bahasa diwajibkan menumbuhkan perasaan simpati, dan menjauhkan perasaan antipati. Penganut aliran dualistik mengemukakan bahwa ketidakteraturan atau sesuatu yang menyimpang dari yang seharusnya merupakan sumber penting penciptaan humor. Misalnya, pada wacana (26) yang dilatarbelakangi oleh pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) dengan target catur warganya.

(26) Anda sukses! Anak anda lahir kembar lima yang tiga meninggal. (I Dewa Putu Wijana, 2004: 106)

(27) A : Saya sangat kecewa MU ga jadi main di Jakarta, padahal saya sudah punya tiket.

B : Namanya juga teroris. Mereka ga tahu kalau ada hubungan antara NU dan MU

A : Lho memangnya apa hubungannya?

B : Ya, antara Nahdlatul United dengan Manchester Ulama kan ga jauh-jauh amat!

A : !!!???

(44)

56

Wacana (26) diucapkan oleh seorang perawat di klinik KB. Dalam suasana semacam itu selayaknya sang perawat mengucapkan belasungkawa sebagai tanda simpati, bukannya ucapan selamat. Situasi kematian dalam konteks ini harus didahulukan daripada keberhasilan mengikuti KB.

Sementara itu, dalam wacana (27) semestinya tokoh (B) menghibur sahabatnya yang kecewa lantaran tidak bisa menonton pertandingan klub sepak bola favoritnya, Manchester United karena terjadi aksi pengeboman oleh teroris di Jakarta, beberapa tahun lalu. Sebagai sahabat yang baik, mestinya tokoh (B) ikut bersimpati dan tidak sebaliknya, membuat pelesetan akronim NU dan MU yang membuat sahabatnya (A) bingung.

c. Penyimpangan Parameter Pragmatik

Berbicara secara sopan tidaklah semata-mata terbentuk karena kepatuhan pembicara terhadap maksim kesopanan, tetapi juga harus didasari atas pertimbangan yang saksama terhadap parameter pragmatik yang bersangkutan dengan jarak sosial dan status sosial lawan tutur, dan orang yang dipertuturkan, serta kedudukan relatif tindak ucap. Berikut ini akan dibicarakan penyimpangan parameter-parameter itu di dalam wacana humor kartun.

1) Penyimpangan Parameter Jarak Sosial

Jarak sosial sebagai salah satu faktor yang penting untuk dipertimbangkan di dalam berkomunikasi telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Di dalam pengamatannya terhadap etika berbahasa masyarakat Jawa, Geertz seperti dikutip

(45)

57

oleh Wardhaugh (1986: 267) bahwa setiap peserta pertuturan bahasa Jawa harus senantiasa mempertimbangkan status dan tingkat keakrabannya dengan lawan bicara atau orang yang dibicarakan. “Javanese is a language in which says it is nearly impossible to say anything without indicating the social relationships between the speaker and the listener in terms of status and familiarity.”

Penutur bahasa Jawa menggunakan bentuk-bentuk linguistik dan gaya bahasa yang berbeda tergantung pada status dan hubungan personal lawan tuturnya. Dalam hal ini, Geertz mencontohkan kalimat Apa pada slamet? „Apa semuanya selamat?‟ dan Menapa sami sugeng? „Apakah baik-baik semua?‟. Bentuk yang pertama digunakan untuk menyapa orang yang memiliki status social yang lebih rendah, atau yang telah memiliki hubungan akrab, sedangkan bentuk yang kedua digunakan untuk menyapa orang yang memiliki status lebih tinggi, atau orang yang belum akrab dengan pembicara.

Dengan demikian, penutur-penutur yang memiliki kompetensi komunikatif mempunyai asumsi-asumsi yang tepat di dalam memosisikan lawan bicaranya pada setiap tindak tutur sehingga parameter jarak sosial tidak tersimpangkan. Bila hal ini terwujud, penutur dianggap berhasil memperlakukan lawan tuturnya secara wajar menurut norma-norma yang berlaku di dalam masyarakatnya. Sebaliknya, jika parameter jarak sosial ternyata disimpangkan, penutur dianggap tidak berhasil memperlakukan lawan tuturnya secara wajar, dan hal ini berpotensi memunculkan efek kelucuan.

(46)

58

Di dalam wacana humor tidak terlalu sulit menemukan dialog yang mengandung penyimpangan parameter jarak sosial ini. Sebagai contoh, dialog pada wacana (27) dan (28) di bawah ini.

(27) A : Bung, boleh saya numpang bertanya?

B : Bertanya boleh aja... kalau pakai numpang... maafkan aja. (I Dewa Putu Wijana, 2004: 108-109)

(28) A : Kakek, jam berapa sekarang? B : Jam 12 kurang 10 menit!

A : Oh, kalau begitu 10 menit lagi kakek harus mencium pantat saya, ha,ha,ha..!

B : Kurang ajar kamu, kualat kamu! (Harry Roesli, 2005: 96)

Wacana (27) dan (28) mengandung penyimpangan parameter jarak sosial yang berkaitan dengan perbedaan usia penutur dan lawan tutur. Dalam wacana (27), tokoh (A) adalah seorang perempuan yang ingin menanyakan sesuatu, mungkin alamat seseorang atau tempat tertentu. Dilihat dari cara (A) bertanya dapat diperkirakan hubungan antara (A) dan (B) tidak akrab. Sehubungan dengan hal ini, tidak selayaknyalah (B) menjawab pertanyaan lawan bicaranya demikian. Praanggapan tokoh (A) bahwa si (B) dapat membantunya mencari alamat yang tengah dituju, namun hal itu disimpangkan sehingga memunculkan humor.

Begitu pula pada wacana (28). Tokoh (A) dalam wacana (28) berbuat kurang ajar kepada kakeknya (B). Sebagai seorang anak yang usianya masih

(47)

59

muda, tuturan (B) kepada kakek agar mencium pantatnya merupakan perbuatan kekurangajaran yang tidak patut dilakukan kepada orang yang usianya lebih tua atau dituakan. Efek kelucuan diletakkan pada konteks jawaban anak kecil yang dianggap bersikap kurang ajar kepada kakek atau orang yang usianya lebih tua.

2) Penyimpangan Parameter Status Sosial

Masyarakat, seperti menurut pandangan ahli-ahli sosiolinguistik, selalu bersifat heterogen. Anggota-anggotanya terdiri dari berbagai orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dilihat dari berbagai sudut pandang. Masyarakat menjaga hubungan anggota-anggota masyarakat yang beragam-ragam ini dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah dengan bahasa. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi terpenting bahasa sebagai alat untuk mempertahankan keberadaan suatu masyarakat, seperti dikemukakan oleh Wardaugh (1986: 233), “...much of that communication is directed toward keeping an individual society going; that is, important function of communication is society maintenance. Language is used to sustain reality.”

Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa status dan/atau jarak sosial bukanlah merupakan satu-satunya faktor penentu karena kadang-kadang status orang ketiga yang dibicarakan, khususnya apabila orang ketiga ini memiliki status yang tinggi, juga akan menentukan pemakaian bentuk krama dan ngoko ini. Oleh karena itu, benarlah pernyataan Soeseno Kartomihardjo (1986: 74) bahwa makna yang terkandung dalam suatu ujaran sangat tergantung pada konteks sosial yang

Referensi

Dokumen terkait

1. Banyaknya proyek yang diperoleh dan ditangani oleh PT IdeA dengan penunjukkan langsung dari klien, melalui proses lelang dan kerja sama dengan lembaga membuktikan bahwa

Program Studi Agroekoteknologi berupaya memberikan layanan yang terbaik bagi mahasiswa Agroekoteknologi dalam lingkup kelembagaan maupun dalam lingkup personal yang

video cassette , televisi dan komputer. Guru Sejarah di SMA Negeri 1 Pecangaan belum menggunakan dan memanfaatkan media yang ada untuk kegiatan belajar

Pengalaman usaha dan omzet usaha berpengaruh terhadap kemampuan debitur dalam membayar kredit sedangkan, -Variabel jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, jangka

Metode kerja kelompok yaitu dimana siswa dikelompokan dengan cara sesuai kebutuhan. Berdasarkan jumlah siswa ada kelompok yang berjumlah 4, 5, atau 6 siswa.

Berbeda dengan analisis Location Quontient (LQ) yang berpedoman pada kontribusi, sektor pertanian antar Kecamatan di Kabupaten Blora pada tahun 2102-2105 tergolong

Adapun perinciannya meliputi : (a) Pengertian dan Tujuan Strategi Pembelajaran, (b) Komponen- komponen Strategi Pembelajaran, (c) Hakikat Materi, Metode dan Media dalam Strategi

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan model pembelajaran CIRC berbantuan e- book, menguji tingkat efektivitas model pembelajaran CIRC berbantuan e-book dalam