• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN KEDUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN KEDUA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN KEDUA

MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN

TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT

Dra. Djudiyah, M.Si M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi.

Bibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depertemen Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan

Penelitian Nomor:E.5.c/111/DPPM-UMM/IV/2010, Tanggal 12April 2010

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG NOVEMBER 2011

(2)

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING

1. Judul Penelitian : Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent.

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Djudiyah, M. Si.

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. NIP-UMM : 109.9109.0240

d. Jabatan Fungsional : Lektor e. Jabatan Struktural : Dosen f. Bidang Keahlian : Psikologi g. Fakultas/Jurusan : Psikologi

h. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 3. Tim Peneliti :

No Nama dan Gelar Akademik

Bidang Keahlian

Fakultas Perguruan Tinggi

1. M. Salis Yuniardi, M.Psi Psikologi Klinis

Psikologi UMM

4. Pendanaan dan Jangka Waktu Penelitian

a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 2 Tahun ( 2 Tahap) b. Biaya total yang diusulkan : Rp. 99.725.000,- c. Biaya yang disetujui tahap II tahun 2011 : Rp. .000,-

Malang, 10 November 2011 Mengetahui

Dekan Fak. Psikologi Ketua Peneliti,

Drs. H. Tulus Winarsunu, M. Si Dra. Djudiyah, M. Si

NIP UMM.109.8802.0064 NIP UMM.109.9109.0240

Menyetujui Direktur DPPM-UMM,

Dr. H. Bambang Widagdo, MM. NIP. 195905201985111001

(3)

A.LAPORAN HASIL PENELITIAN

RINGKASAN

MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN

TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT

Penelitian yang dilakukan pada tahun kedua ini bertujuan untuk melakukan validasi atas model support group therapy guna mengembangkan Konsep diri dan Daya Resiliensi remaja dari keluarga single parent yang telah dihasilkan di tahun pertama.

Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam pengasuhan remaja karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap orang tua, frustasi, mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya.

Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Karena orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa dari keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua berperan menjadi model dan sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran anak. Hal-hal yang dirasakan oleh anak dari keluarga bercerai adalah perasaan tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai akibatnya remaja menjadi pendiam, tidak ceria, suka menyendiri, suka melamun, agresif, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah.

(4)

Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Selain itu remaja juga memiliki self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga individu merasa cemas, yaitu suatu perasaan terancam.

Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya atau daya kemampuan untuk mengatasi dan bangkit dari masalahnya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika. Penelitian ini juga menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan desain one group pre test and post test design. Desain one group pre test and post test design merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subyek (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subyek, namun sampel ditetapkan dengan tidak random. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa Sekolah Menengah Umum (SMAN), siswa Sekolah Menengah Kejuruan (STM) serta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) yang berasal dari keluarga single parent di

(5)

Malang Raya, meliputi : MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari. Metode pengumpul data Skala, Wawancara dan Self Report. Sedangkan metode analisis data yang digunakan ada 2 yaitu uji beda paired sample t-test dan analisa deskriptif. Uji beda paired sample t-test digunakan untuk menguji dua sampel yang berpasangan, apakah mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda ataukah tidak (Winarsunu, 2002). Sedangkan metode analisis diskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui efektivitas support group therapy terhadap pengembangan daya resiliensi remaja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa support group therapy terbukti mampu meningkatkan konsep diri siswa dari keluarga single parent. Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan

antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy.

Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subyek yang awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can), namun setelah proses support group therapy keseluruhan subyek dapat menyadari adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki dan menjadi kekuatannya disamping menerima hal-hal yang menjadi kekurangan diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya terutama keluarga yang sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para subyek harapkan, serta mereka mampu melihat kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk optimis melihat masa depan. Perlu pengembangan lebih lanjut dari modul support group therapy sehingga dapat dihasilkan modul

(6)

yang lebih lengkap dengan berbagai modifikasi saat berhadapan dengan variasi subyek.

Berdasarkan temuan tersebut maka disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1)Bagi sekolah, dapat menjalankan program support group therapy secara berkala dalam menangani permasalahan yang dialami siswanya, tidak hanya siswa yang berstatus single parent tetapi juga dapat dilakukan untuk permasalahan-permasalahan lainnya. Selain itu juga dapat lebih memberikan dukungan dengan cara menyediakan kesempatan lebih luas pada setiap siswa untuk mengembangkan potensinya sehingga dengan demikian resiliensi siswa dapat berkembang sebagaimana konsep diri menjadi lebih positif seiring optimisme dan prestasi yang diraih siswa. 2) Bagi orang tua, untuk lebih memberikan perhatian dan dukungan pada anak-anaknya dalam proses pengasuhan sehingga anak mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki karena adanya dukungan dari keluarga akan sangat membantu dalam penanganan masalah-masalah remaja terkait statusnya sebagai single parent. 3) Bagi peneliti selanjutnya, dapat menyempurnakan modul dengan menerapkan pada subyek yang bervariasi sehingga diperoleh modul yang lengkap dengan berbagai variasi modifikasi saat berhadapan dengan berbagai variasi subyek.

(7)

SUMMARY

THE DEVELOPMENT MODEL OF SELF CONCEPT AND RESILIENCE THROUGH SUPPORT GROUP THERAPY: EFFORTS

TO MINIMIZE TRAUMA OF ADOLESCENT FROM SINGLE PARENT FAMILY

The research carried out in the second year aims to validate the model that has been formulated in the first year.

Families with single parent have a tendency to less optimal parenting teenagers because they have a heavier burden when compared with intact parents. This resulted in adolescents receive less attention and tend to have negative behavior because of the formation of self concept in the family less able to run optimally, so tend to perform deviant behavior such as: resentment toward parents, frustrated, experiencing shock people, involved the use of narcotics and illicit drugs and other forms of juvenile delinquency. Self-concept is important in the lives of teenagers since the self Self-concept will determine how one behaves. The self concept is not an innate factor (genetic) but is formed from the results of individual study or experience in interacting with the people around him. Because people who are known individuals are family, it can be said that from family child's self concept is formed. Parents become role models and sources of affirmation for the child's feelings and thoughts. Things that felt by children of divorced families are feeling insecure (insecurity), unwanted, or rejected by parents, sad, lonely, angry, lost, and guilty, and blame themselves. As a result teenagers become quiet, not cheerful, likes to be alone, starry-eyed, aggressive, hard to concentrate and not interested in school.

Adolescents who have a negative self-concept typically have the perspective of herself as someone who is disorganized (disorganized feeling), feeling unstable and self are not integrated. The individual does not have enough knowledge about himself, what his strengths and weaknesses or what is valuable from his life. In addition, teenagers also have self-images that do not allow the slightest deviation from what is already established within the

(8)

individual in question, so that individuals feel anxious, a feeling threatened. How to view themselves negatively on themselves and their feelings of self worthlessness adolescents from single parent families will have an impact on the development of resilience is recognized power or power the ability to cope with and recover from the problem. If adolescents think that life is cruel, just make her suffer and feel helpless to deal with it will cause the resilience not grow or tend to be low. But when the teenager tried to overcome the problems it faces and trying to rise from their buried and trying to accept what he has now the power will be able to develop resilience are recognized.

The approach used in this study is a combination of quantitative and qualitative approaches. The quantitative approach can be interpreted as a further research with emphasis on analysis of numerical data (numbers) are processed using statistical methods. This study also uses an experimental method using the design of one group pre test and post test design. Design a one group pre test and post test experimental design is a design that uses only one group of subjects (single case) and take measurements before and after the treatment on the subject, but not determined by random sample. The subjects of this research are 32 students coming from MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, and SMK Muhammadiyah 3 Singosari. The data collection methods are interview and self report. While the data analysis methods used there are paired t-test and qualitative descriptive analysis. T-test methods used to determine the effectiveness of support group therapy to increase adolescent self-concept of a single parent. While the qualitative descriptive analysis method used to determine the effectiveness of support group therapy on the development of adolescent resilience.

The results showed that the support group therapy proven to improve students' self-concept of single parent families. This can be seen from the results of data analysis where there is increased self-concepts in the subject group. This is shown in the results of different test non parametric pre-test and post test with Z score -4,410 and it has significance level of 0.001 which is

(9)

smaller than 0.05 thus being significant (H1 accepted) that there are significant differences between the pre test and post test on the subject after being given support group therapy. Support group therapy and modification requires a different approach when applied to homogeneous male participant rapport which allegedly require longer so comfortable to open up it can be ascertained when entering the treatment sessions.

Support group therapy proved able to develop the resilience of students from single parent families. This can be seen from the subjects who initially many feel do not have the potential to be proud (I am), less its main support from family (I have), and have no future plans, even pessimistic view (I cans), but after the support group therapy to the whole subject is aware of the positive potential that he actually had and became its strength as well accept things which become self shortage, can see that there are still people around him, especially families who actually support them with an expression that may differ from that of the subjects expected, and they were able to see both of these as their capital for the optimistic view of the future.

Based on these findings will be submitted the following suggestions: 1) To school, to use a support group therapy program on a regular basis in dealing with problems experienced by students, not only the student who is a single parent but can also be done for other problems. It also can further provide support by providing wider opportunities to each student to develop their potential so that students can develop resilience as a more positive self-concept as optimism and student achievement. 2) For parents, to give more attention and support to children in the care process so that children can develop resilience owned because of support from family will be very helpful in handling issues related to its status as a teenage single parent. 3) For further research, to improve the module by applying a variety of subjects in order to obtain a complete module with a variety of modifications when dealing with a variety of subjects.

(10)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, hanya karena rahmat dan karunia-Nya maka penelitian yang berjudul : Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent di Malang, akhirnya dapat terselesaikan.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku panduan dan compact disk (CD) tentang cara mengatasi trauma psikis remaja akibat kondisi keluarga single parent, buku saku tentang pengembangan konsep diri yang positif bagi remaja dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis yang dihadapi remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat meminimalkan perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama ini cenderung melemahkan eksistensi remaja dalam keluarga. Sedangkan secara khusus bertujuan mengembangkan konsep diri remaja yang lebih positif dan daya resiliens-nya sehingga memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan dimasa yang akan datang.

Terselesaikannya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ucapan terima kasih dan penghargaan peneliti sampaikan kepada yang terhormat :

1. Direktorat pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini.

2. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan bantuan moril dan materiil dalam pelaksanaan penelitian ini.

3. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan dorongan, bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian ini.

4. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malng yang telah memberikan dukungan hingga terselesaikannya penelitian ini.

(11)

5. Kepala Sekolah MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari yang telah memberikan persetujuan sebagai tempat penelitian.

6. Bapak dan Ibu Guru BK MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari Malang yang telah banyak memberikan bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian

7. Para asisten : Laksmi Inayati, Iratanti Linda, Tyas Tunjung Pinasti, Ramdhani Tri K.W., Karina Prameswari, Trisinar Budi M., Putri Dewi M. (NIM : 07810227) yang telah banyak membantu dalam pengambilan data penelitian. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Semoga budi baik bapak/ibu mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, amin. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan penelitian ini boleh dikata perlu adanya penyempurnaan. Oleh sebab itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak demi perbaikan dan kebaikan dimasa mendatang. Penulis berharap semoga apa yang telah dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, amin.

Malang, 10 November 2011 Peneliti

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya terutama orang tua. Peran orang tua dalam perkembangan anak sangatlah penting karena orang tua dan keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai pendidik utama bagi anak dalam perkembangan kepribadiannya. Orang tua dan keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan pertama yang bertanggung jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak (Kartono, 1992:7).

Namun tak dapat dipungkiri sekarang ini keluarga single parent jumlahnya semakin meningkat. Hal ini selain dikarenakan faktor alamiah yaitu karena salah satu orang tua meninggal dunia juga disebabkan oleh perceraian, dimana angka perceraian sendiri dari hari ke hari jumlahnya semakin meningkat.

Kota Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang rentan terhadap perceraian dan bahkan menduduki peringkat pertama dalam kasus ini. Berdasarkan data Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007 hingga tahun 2008 terdapat 2306 kasus perceraian (Jawa Pos, Selasa 19 Pebruari 2009).

Berbeda dengan kondisi remaja yang memiliki keluarga ayah dan ibu, maka kondisi remaja dari keluarga single parent secara umum mengalami ketimpangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban psikologis yang cukup berat, mereka juga harus menanggung perlakuan dari masyarakat yang kurang mendukung eksistensi single parent di masyarakat.

Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam pengasuhan remaja juga karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam

(13)

keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap orang tua, frustasi, mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2007: 67) tentang emosi pada ibu single parent menemukan bahwa ibu single parent cenderung memiliki emosi yang kurang stabil dibanding dengan ibu yang tidak single parent. Emosi ibu yang sangat menonjol adalah rasa takut atau cemas, sedih, marah serta kecewa. Penyebab utama rasa takut adalah karena tidak mampu mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik, khawatir akan masa depan anaknya, takut anaknya salah pergaulan dan masalah ekonomi. Perasaan sedih muncul karena teringat oleh almarhum atau mantan suaminya serta ketika anak tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Penyebab emosi marah karena kurangnya keuangan untuk kebutuhan sehari hari, anak tidak mau dinasehati , nakal atau melawan. Sedangkan munculnya emosi kecewa disebabkan karena kegagalan dalam perkawinannya serta tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya secara layak.

Kondisi psikologis semacam ini akan berdampak pada perlakuan orang tua sigle parent terhadap anak remajanya, karena remaja juga memiliki emosi yang masih labil sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan hormon yang sangat pesat (Monks, dkk. 2001: 265). Disatu sisi, remaja membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tua, sementara dipihak lain orang tua tidak mampu berperan secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka cenderung melamun, menekuni hobi secara berlebihan dan suka menyendiri (Balson, 1995:96).

Pada keluarga single parent, orang tua berperan ganda dalam menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. Hal ini dapat menghambat hubungan antara anak dan orang tua. Baik orang tua maupun anak biasanya kurang mampu beradaptasi dan menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan konflik antar anggota keluarga, sehingga memunculkan masalah baik dari pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993: 95).

(14)

Hubungan orang tua dengan anak yang tidak harmonis akan berdampak pada pembentukan konsep diri anak (dalam Calhoun, 1990:66).

Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Karena orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa dari keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua berperan menjadi model dan sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran anak. Hal-hal yang dirasakan oleh anak dari keluarga bercerai adalah perasaan tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai akibatnya remaja menjadi pendiam, tidak ceria, suka menyendiri, suka melamun, agresif, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah.

Riset yang dilakukan oleh Hervinna (2007:38) tentang konsep diri remaja yang memiliki orang tua bercerai di SMU Widya Gama Malang menemukan bahwa konsep diri remaja yang orang tuanya bercerai cenderung negatif. Mereka cenderung memiliki ego yang tinggi seperti: keras kepala, pembangkang, egois, gampang emosi bila mendapatkan kritik dari orang lain. Mereka juga kurang memiliki harapan terhadap dirinya sendiri dan mereka menganggap bahwa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Hal ini sangat berpengaruh pada hubungan interpersonal maupun fungsi emosional lainnya. Mereka juga cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya.

Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Selain itu remaja juga memiliki self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga individu merasa cemas, yaitu suatu perasaan terancam.

(15)

Individu yang disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang bermasalah untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau menolak informasi-informasi tersebut dalam bentuk defens-defens (dalam Calhoun, 1990:66).

Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang ( dalam American Psychological association, 2003: 36).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yang hidup dalam keluarga single parent akan memiliki konsep diri yang negatif serta daya resiliensi yang rendah. Hal ini disebabkan karena orang tua kurang mampu berperan secara optimal karena harus berperan ganda dalam keluarga.

Berdasarkan hasil tahun pertama ditemukan bahwa 86,67% subyek memiliki konsep diri yang negatif dan belum mampu menemukenali serta mengembangkan daya resiliensinya. Sebagai dampaknya mereka cenderung memandang diri dan lingkungan dengan negatif, mengalami masalah dalam hubungan sosial, serta pesimis melihat masa depan. Beberapa diantara subyek juga ditemukan indikasi-indikasi represi agresi seperti bunuh diri maupun membunuh orang tua yang dianggap kejam ataupun mengakibatkan terjadinya perceraian.

Selain itu berdasarkan hasil tahun pertama pula ditemukan bahwa model support group therapy yang telah dirumuskan terbukti mampu meningkatkan konsep diri dan mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Namun demikian model ini perlu diuji coba lebih luas sehingga model yang dihasilkan lebih efektif dan valid, selain karena ditemukan saat diterapkan pada kelompok siswa homogen laki-laki ternyata masih kurang mampu membuat perubahan yang positif.

(16)

Untuk itulah perlu dilanjutkan penelitian tentang “Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Mengatasi Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent”, khususnya di Kota Malang agar dapat menumbuhkan konsep diri positif sekaligus daya resiliensi-nya sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

B. Hasil yang Diharapkan.

Penelitian ini diharapkan dapat menyusun model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku panduan tentang cara mengatasi trauma psikis remaja akibat kondisi keluarga single parent dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis yang dihadapi remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat meminimalkan perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama ini cenderung melemahkan eksistensi.

(17)

BAB II STUDI PUSTAKA

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “self concep”. Istilah self di dalam psikologi memiliki dua arti yaitu sikap dan perasan seseorang terhadap dirinya sendiri, dan suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri. Arti yang pertama dapat disebut pengertian self sebagai objek karena pengertian ini menunjukkan sikap, perasan dan pengamatan serta penelitian seseorang. Sedangkan pengertian self sebagai proses, dalam hal ini self adalah suatu kesatuan yang terdiri dari proses aktif seperti berfikir, mengingat dan mengamati (Suryabrata. 1993: 70).

Menurut Cooley (dalam Rakhmat, 1985: 111-112) pengertian self sebagai objek dan sebagai proses dapat terjadi karena seseorang melakukannya dengan melakukannya dengan membayangkan dirinya sebagai orang lain. Lebih lanjut Cooley menyebut gejala ini sebagai “Looking Glass Self” (cermin diri), yaitu seakan-akan seseorang menaruh cermin di depannya. Pertama, seseorang membayangkan bagaimana dirinya tampak pada orang lain, melihat sekilas dirinya seperti dalam cermin. Kedua, seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilannya, individu berfikir, orang lain menganggap dirinya menarik atau tidak menarik.

Menurut Hurlock (1992: 58-59) konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki oleh seorang individu tentang dirinya yang meliputi kondisi fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama-tama dan berkaitan dengan penampilan fisik, daya tariknya, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelamin serta pentingnya berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga dirinya di mata orang lain. Sedangkan citra psikologis diri sendiri didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi. Citra ini terdiri ats kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan,

(18)

sifat-sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan.

Pietrofesa (dalam Hurlock, 1992: 71-74) menyatakan bahwa konsep diri merupakan konsepsi hipotesis yang menyangkut semua nilai, sikap dan kepercayaan terhadap diri seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan. Konsep diri ini terdiri dari berbagai persepsi diri yang dalam tingkat yang luas mempengaruhi dan menentukan tingkah laku. Lukisan gamblang tentang konsep diri menurut Pietrofesa terdiri dari tiga dimensi, yaitu:

a. Diri yang dilihat oleh diri sendiri

b. Diri yang dilihat oleh orang lain atau “beginilah saya kira orang lain memandang saya”

c. Diri idaman, mengacu pada “tipe orang yang saya kehendaki tentang diri saya”.

Konsep diri merupakan suatu konstruk yang mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman hidup manusia seperti cara berfikir, emosi, persepsi dan perilaku individu (Calhoun, 1990:60).

Menurut Turner (dalam Calhoun, 1984:145) konsep diri didefinisikan sebagai “one self-conception is the more overriding view of oneself, a sense of self through time “The real me”, or I my self as I really am”, artinya konsep diri sebagai pandangan seseorang atas dirinya sendiri secara riil yang relative stabil dari waktu ke waktu.

Chaplin (2001:450) self concept (konsep diri ) merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penialain/penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep diri (self concept) adalah pandangan seseorang atas dirinya sendiri secara riil yang relative stabil dari waktu ke waktu.

(19)

2. Dimensi Konsep Diri

Konsep diri memiliki beberapa dimensi dimana tepat tidaknya seseorang dalam mempersepsi dimensi yang dimiliki akan menentukan positif atau tidaknya konsep diri orang tersebut (Calhoun-Acocella, 1990:90):

a. Knowledge

Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, yakni sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin, kewarganegaraan termasuk juga label-label social seperti: democrat, miskin, golongan menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen dari knowledge seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat kualitatif, karena bersifat relative tergantung pada kelompok pembandingnya, seperti: baik hati, spontan, mandiri, cerdik, dan lain-lain.

b. Expectations

Ekspektasi atau harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan (I should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya.

c. Evaluation

Evaluation yaitu penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni menilai antara “I-could-be” dan “I-Should-be” (Epstein dalam Calhoun, 1990:65), atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”. Hasil dari pengukuran ini akan menghasilkan apa yang disebut self-esteem. Semakin besar jarak antara keduanya maka self-esteemnya akan semakin rendah (Rogers, Hingging, et al, dalam Calhoun, 1990:65). Zanden (1984:147) mengatakan dengan bahas lain yaitu sebagai

(20)

perbedaan antara ekspektasi dan performa akan menghasilkan konsep diri yang rendah.

Evaluasi ini merupakan komponen kekuatan yang cukup ekstrim dari konsep diri (Marsh, 1987), karena evaluasi ini akan muncul berbagai jenis konsep diri sebagai gambaran dari derajat nilai konsep diri seseorang. Namun deskripsi tentang cirri konsep diri positif ataupun negatif disini adalah bersifat ekstrim, dimana seseorang bisa saja berada diantaranya atau bersifat moderat, yaitu :

1. Konsep diri positif.

Wicklund dan Frey (dalam Calhoun, 1990:67) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif adalah memiliki cukup pengetahuan akan dirinya sendiri. Chodorkoff (dalam Calhoun, 1990) menyatakan bahwa cirri konsep diri positif adalah seseorang yang mampu menerima semua informasi tentang dirinya baik yang negatif maupun yang positif karena mampu melihat kenyataan seperti apa adanya, tetapi bukan berarti tidak merasa terganggu dengan hal yang bersifat negatif. Penerimaan diri seperti ini membuat seseorang juga bisa menerima orang lain apa adanya sebagaimana Erich Fromm ( dalam Calhoun, 1990): “The Love of one self is a prerequisite for loving others”, sehingga mampu membentuk beberapa persahabatan yang sifatnyan intim. Seseorang dengan konsep diri positif menetapkan tujuan hidup secara realistis, walaupun mungkin berfantasai sekali waktu. Harapan dan pemikiran individu tentang kehidupan, yaitu apa yang dianggap bisa ditawarkan oleh kehidupan dan bagaimana cara mencapainya diasimilasikan dengan seluruh pengalaman pribadinya. Hal ini membuatnya tidak merasa terancam dengan informasi baru dan juga tidak cemas terhadapnya. Individu dengan konsep diri negatif hidup dengan berbagai defens sementara itu individu dengan konsep diri positif menghadapi hidupnya dengan bebas. Hidup baginya adalah proses menemukan, karenanya individu tersebut bereaksi dengan penuh semangat, spontan dan simple, dengan begitu seseorang mampu memperlakukan orang lain dengan hangat

(21)

dan rasa hormat tanpa ada rasa curiga yang tidak semestinya seperti adanya prasangka-prasangka social. Hal tersebut juga dikarenakan adanya apresiasi yang baik terhadap hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, dan membuatnya tidak terlalu terikat pada hal-hal yang bersifat konvensional. Cara menghadapi hidup yang demikian itu membuat seseorang merasa hidup adalah menarik dan berharga. Memiliki inner-strength yang membantunya untuk terus survive dari tekanan dan menjadikannya kukuh dalam bersikap bahkan ketika orang lain tidak setuju dengannya. Punya misis dalam hidup dan mampu membuat keputusan sesuai dengan tujuan tersebut meskipun berarti berkorban dan frustrasi sementara. Memiliki ide yang jelas tentang benar dan salah.

2. Konsep diri negatif.

Ada dua tipe konsep diri negatif, yang pertama adalah cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Terutama bagi orang dewasa hal ini merupakan tanda dari pribadi yang tidak adaptif (maladjustment). Tanda kedua hampir merupakan kebalikan dari yang pertama yaitu konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu terorganisir (rigid). Individu ini menciptakan suatu self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan. Dua jenis konsep diri negatif ini, sama melahirkan kecemasan, yaitu suatu perasaan terancam. Individu dengan konsep diri yang disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang bermasalah untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau menolak informasi-informasi tersebut dalam bentuk defens-defens.

(22)

Dobson dan Shaw (dalam Calhoun, 1990:66) menyatakan bahwa konsep diri negatif seseorang berhubungan dengan depresi klinis. Individu dengan konsep diri negatif berharap terlalu sedikit atau bahkan terlalu besar terhadap dirinya (Rotter, 1954. Artinya seorang individu dengan konsep diri negatif adalah seseorang yang mungkin terlalu keras (rigid) pada diri sendiri karena menganggap dirinya terlalu berharga, sehingga tidak bisa menerima kelamahan yang dimiliki dan biasanya hal ini diproyeksikan dengan cara merendahkan orang lain. Bisa juga sebaliknya, yaitu justru menganggap dirinya tidak cukup berharga sehingga melahirkan perasaan rendah diri secara terbuka.

Menurut Symond (dalam Suryabrata, 1982: 300) konsep diri memiliki beberapa aspek yaitu:

a. Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri b. Bagaimana orang berfikir tentang dirinya sendiri c. Bagaimana orang menilai dirinya sendiri

d. Bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri.

Pembagian yang lebih rinci dikemukakan oleh Robinson ( dalam Calhoun, 1990: 68) yang menjabarkan konsep diri ke dalam lima kategori yaitu:

a. Diri fisik, pandangan seseorang terhadap fisik, kesehatan, penampilan diri dan gerak motoriknya.

b. Diri keluarga, pandangan dan penilaian seseorang sebagai anggota keluarga serta harga dirinya sebagai anggota keluarga.

c. Diri pribadi, bagaimana seseorang menggambarkan identitas dirinya dan bagaimana ia menilai dirinya sendiri.

d. Diri moral etik, bagimana pandangan dan penilaian seseorang terhadap hubungan pribadi dengan Tuhan YME.

e. Diri sosial, bagaimana nilai diri seseorang dalam melakukan interaksi sosial.

(23)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri mencakup keseluruhan aspek pribadi individu yang didasari atas pandangan, pendapat, perasaan dan penilaian terhadap dirinya sendiri yang sekaligus melahirkan penghargaan bagi dirinya. Aspek yang dimaksud terdiri dari diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri keimanan dan diri sosial.

3. Pembentukan dan Perkembangan Konsep Diri.

Konsep diri bukan faktor yang dibawa sejak lahir melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Konsep diri terbentuk dari proses umpan balik dari individu lain. Orang yang pertama kali dikenal adalah orang tua atau anggota keluarga yang lain. Ini berarti inidividu akan menerima tanggapan (umpan balik) pertama dari keluarga. Barulah selanjutnya setelah mampu melepaskan ketergantungannya individu akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas (Pudjijogyanti (1999:12).

Pola kepribadian yang dasarnya telah diletakkan pada masa bayi, mulai terbentuk pada awal masa kanak. Orang tua, saudara kandung dan sanak saudara yang lain merupakan dunia sosial bagi anak, sehingga bagaimana perasaan mereka terhadap anak dan bagaimana perlakuan mereka merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri dan sebagai inti pola kepribadian. Ini sebabnya dikatakan bahwa konsep diri anak terbentuk dalam hubungan keluarga (Hurlock, 1992: 132). Keluarga yang mampu memberikan rasa aman pada anak, yaitu mampu menerima anak, menghargai dan memberikan patokan yang jelas kepada anaklah yang mampu mengembangkan konsep diri yang positif (Pudjijogyanti, 1999: 36).

Menurut Papalia (1990:459) dasar konsep diri adalah pengetahuan kita tentang apa yang kita punya dan apa yang akan kita lakukan. Hal ini akan berfungsi sebagai pemandu kita untuk memutuskan apa yang akan kita lakukan. Adanya kesadaran diri terhadap kenyataan akan dimulai pada masa muda, terpisah dari orang lain dan biasanya diikuti oleh refleksi kegiatan kita pada standar hubungan sosial. Pada usia 3 tahun seseorang akan berfikir bahwa ia lebih banyak

(24)

mendapat aturan dari dalam, namun pada usia 6 atau 7 tahun seseorang akan mulai membagi dirinya dalam aturan psikologis yang kemudian akan berkembang terus hingga ia meningktakan konsep “Siapa Dia” (konsep diri yang nyata) dan juga bagaimana ia seharusnya “bertindak seperti apa” (konsep diri yang ideal).

B. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Higgins (dalam Henderson dan Milstein, 2003:7) mendeskripsikan bahwa resiliensi merupakan proses pertumbuhan dan pembenahan diri. Sedangkan Luthar (2000:6) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses dinamis dengan jalan dimana individu-individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi kesengsaraaan yang signifikan.

Menurut Grotberg (1999: 6) resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi, menanggulangi, belajar atau bahkan ditransformasikan oleh kesengsaraan.

Wollin (dalam Henderson dan Milatein, 2003: 7) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk dapat pulih kembali, bertahan menghadapi penderitaan dan memperbaiki diri.

Menurut Mar’at (2005:228) resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok, masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi- kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.

Henderson dan Milstein (2003 :8) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu mencapai kesuksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh

(25)

kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal maupun internal.

Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen posistif dari lingkungannya, untuk membantu mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal maupun internal.

2. Sumber Pembentukan Resiliensi

Menurut Grotberg (1999 : 12) resiliensi berasal dari 3 sumber, yaitu : 1. Saya Memiliki (I Have)

I Have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosisl terhadap dirinya. Beberapa kualitas I have yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu :

i. Satu atau lebih orang di dalam keluarga saya yang dapat saya percaya dan yang mencintai saya tanpa syarat. Satu atau lebih orang di luar keluarga saya yang dapat saya percaya tanpa syarat.

ii. Batas-batas terhadap perilaku saya.

iii. Orang-orang yang mendorong saya untuk bersikap independen. iv. Model peran yang bagus.

v. Akses kesehatan, pendidikan dan layanan sosial dan rasa aman yang saya perlukan.

(26)

2. Saya (I Am)

I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimilki oleh banyak individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang dimiliki I am adalah : i. Seseorang yang paling disukai oleh kebanyakan orang

ii. Pada umunya bersifat tenang dan baik. iii. Pencapaian yang memiliki rencana ke depan

iv. Seseorang yang menghormati diri saya dan orang lain. v. Bersikap empati dan peduli kepada orang lain.

vi. Bertanggungjawab terhadap perilaku saya sendiri dan menerima akibat-akibatnya.

vii. Percaya diri, optimistik, penuh harapan dengan kepercayaan.

3. Aku dapat (I Can)

I can merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan individu sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan-keterampilan ini meliputi :

i. Berkomunikasi ii. Memecahkan masalah

iii. Mengelola perasaan dan impuls-impuls. iv. Mengukur temperamen sendiri dan orang lain.

v. Menjalin hubungan hubungan yang saling mempercayai.

3. Faktor-Faktor Pendukung Resiliensi

Faktor-faktor penunjang resiliensi menurut Newman dan Sarah (2002) dibagi menjadi tiga dimensi :

a. Individu

Individu memiliki kemampuan sosial yang baik, empatis, rasa humor, intelegensi baik dan aktif, serta mampu membimbing atau mengontrol diri.

(27)

b. Keluarga

Resiliensi bisa ditingkatkan dengan dukungan orang tua yang hangat, hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis dan menghargai tugas-tugas sosial.

c. Lingkungan

Lingkungan yang dapat mengembangkan resiliensi yaitu lingkungan yang di dalamnya antar keluarga saling memberi dukungan dan sekolah yang juga mendorong penghargaan terhadap tugas-tugas sosial.

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi

Milstein dan Henderson (2003) melihat dua faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu faktor internal (individu) dan eksternal. Kedua faktor ini menjadi sumber sekaligus menjadi ciri dari individu dan lingkungan (termasuk keluarga) yang resilien.

a) Faktor internal

i. Memberikan kesempatan pada diri untuk melayani orang lain

ii. Menggunakan kesempatan hidup dengan membuat keputusan yang baik, sikap tegas, mengontrol impuls, dan menyelesaikan masalah. iii. Suka bergaul dan mampu menjadi teman dalam hubungan yang positif iv. Memiliki rasa humor

v. Percaya pada kemampuan diri mengatasi pengaruh lingkungan di sekitarnya.

vi. Mandiri dan bebas.

vii. Memiliki pandangan positif tentang masa yang akan datang viii. Fleksibel.

ix. Kapasitas untuk mengerti dalam proses belajar x. Memiliki motivasi hidup

xi. Memiliki pandangan baik terhadap kompetensi seseorang xii. Memiliki perasaan berharga dan percaya terhadap dirinya

(28)

b) Faktor eksternal

i. Mendorong ikatan persahabatan

ii. Penghargaan dan dorongan akan pendidikan

iii. Menekankan pada kehangatan yang tinggi dan rendahnya gaya mengkritisi dalam berinteraksi.

iv. Menetapkan dan menjalankan batas yang jelas (aturan, norma, hukum) v. Membina hubungan yang mendukung dengan memberi banyak

perhatian

vi. Mengembangkan tanggung jawab, pelayanan untuk orang lain, “memberikan pertolongan”.

vii. Menyediakan jalan (sarana) sebagai sumber daya untuk melakukan pertemuan-pertemuan terkait kebutuhan dasar, kesehatan dan rekereasi. viii. Memberi kesemaptan ekspresi harapan yang tinggi dan realistis untuk

sukses.

ix. Dorongan untuk menentukan dan meraih cita-cita.

x. Mendorong pertumbuhan nilai prososial (seperti altruisme) dan ketrampilan kerjasama.

xi. Adanya kepemimpinan yang membuat keputusan dan kesempatan yang lain untuk ikut dalam peran serta yang bermakna.

xii. Menghargai bakat atau kemampuan yang unik pada setiap individu.

5. Upaya Untuk Membangun Resiliensi Pada Individu

Menurut American Psychological association (2003 : 37) Ada 13 langkah yang dapat dipakai untuk membangun resiliensi:

1. Menjalin Hubungan.

Hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga lain atau orang lain adalah penting. Akan memperkuat resiliensi pada diri individu

(29)

2. Menghindari melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi. Selama individu tidak dapat mengubah fakta bahwa kejadian-kejadian yang menekan benar-benar terjadi, individu dapat mengubah bagaimana menginterpretasikan dan merespon kejadian-kejadian tersebut.

3. Menerima bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan.

Tujuan-tujuan khusus mungkin tidak lagi dapat dicapai sebagai akibat dari situasi yang merugikan. Penerimaan keadaan yang tidak dapat diubah dapat membantu individu memfokuskan pada keadaan yang dapat individu ubah.

4. Bergerak ke arah tujuan-tujuan individu.

Kembangkan beberapa tujuan realistis dan lakukan sesuatu secara reguler yang memudahkan individu untuk bergerak ke arah tujuan individu yang ingin dicapai, meskipun ini nampak seperti pencapaian kecil belaka. 5. Mengambil tindakan tegas.

Mengambil tindakan tegas dalam situasi yang merugikan sebanyak mungkin. Mengambil tindakan tegas, bukan mengharapkan masalah dan stres serta keinginan itu jauh dari dhadapan individu. Tindakan yang tegas akan mampu menanggulangi hal-hal yang bermasalah.

6. Mencari peluang untuk menemukan diri sendiri.

Kebanyakan orang yang mengalami tragedi dan kesulitan, melaporkan hubungan yang lebih baik, pemahaman yang lebih besar tentang kekuatan personal, bahkan selama perasaannya merasa rentan, pemahaman yang meningkat tentang kebergunaan diri, spiritualitas yang berkembang dan apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan.

7. Memelihara pandangan positif terhadap diri individu.

Pengembangan kepercayaan dan kemampuan individu dalam memacahkan masalah dan percaya terhadap insting individu akan membantu ketabahan. 8. Menjaga sesuatu dalam perspektifnya.

Ketika menghadapi kejadian-kejadian yang menyakitkan, mencobalah untuk mempertimbangkan situasi yang menekan dalam konteks luas dan

(30)

menjaga perspektif jangka panjang. Menghindari kejadian yang ada diluar proporsinya.

9. Mempertahankan pengamatan yang cermat.

Pengamatan yang cermat akan memudahkan individu untuk mengharapkan bahwa sesuatu yang baik akan terjadi dalam kehidupan individu. Mencoba untuk menvisualisasikan apa yang individu inginkan, bukan menakutkan apa yang individu takutkan.

10. Menjaga diri sendiri.

Mencurahkan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan individu. Melibatkan diri individu dalam aktivitas-aktivitas yang dapat individu nikmati dan individu temukan dapat memberikan ketenangan.

11. Belajarlah dari pengalaman.

Pemfokusan pengalaman-pengalaman masa lalu dan sumber-sumber kekuatan personal dapat membantu individu mempelajari tentang apa strategi-strategi untuk membangun ketabahan individu.

12. Tetaplah bersikap fleksibel.

Resiliensi meliputi perawatan fleksibilitas dan keseimbangan dalam kehidupan individu selama individu menghadapi kedaan yang menekan dan kejadian-kejadian traumatik.

13. Menyempurnakan perjalanan diri sendiri.

Pengembangan resiliensi adalah sama dengan pengambilan rakit untuk menyusuri sungai. Ketekunan dan kepercayaan terhdapa kemampuan diri sendiri untuk bekerja dengan cara yang baik dan menangani rintangan-rintangan lain adalah penting. Individu dapat memperoleh keberanian dan pengetahuan dengan menavigasi diri sendiri melalui air yang jernih.

(31)

B. Support Group Therapy

1. Pengertian Support Group Therapy

Support Group Therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan (Yalom, 1985). Tujuan utama dari Support Group Therapy adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda, 1989).

Support group therapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai dengan permasalahnnya (Seligman and Laura, 1990).

Menurut Yalom (1985) adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan dimana tujuan utamanya adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami

2. Karakteristik Support Group Therapy sebagai Terapi Kelompok

Workshop Konseling Trauma NAD (2003) menjelaskan bahwa Support Group Therapy memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan Self Help Groups dan konseling kelompok dalam struktur dan tujuannya, diantaranya :

a. Sama-sama menekankan pada interaksi tatap muka antar sesama anggota. b. Sama-sama memiliki tujuan umum dalam perubahan pribadi.

(32)

a. keduanya sama-sama menekankan pada ekspresi emosi dan katarsis. b. Kedunya sama-sama menerapkan perubahan perilaku dan mengajarkan

coping strategies yang lebih efektif.

Selain memiliki beberapa persamaan dengan group therapy lainnya, support group therapy juga memiliki beberapa karakteristik penting, antara lain :

a. Anggota dari support group therapy saling sharing masalah yang sama. b. Masalah yang dihadapi diterima sebagai “stigmatized attribution” atau

masalah yang telah mendapat atribusi stigma dari masyarakat.

c. Tujuan dasar dari support group adalah meningkatkan kemampuan coping anggotanya.

d. Support group juga mengevaluasi setiap aspek terkecil dalam masalah sebagai fungsi grup.

Adapun perbedaan karakteristik antara self help groups dengan support group therapy adalah :

a. Pemimpin dari Self Help Group adalah orang yang juga mengalami pengalaman yang sama dengan masalah yang dihadapi klien. Sedangkan pemimpin support group adalah selain orang yang profesional yang mana memiliki pengetahuan, memiliki pengalaman yang sama, dan bertanggung jawab pada proses dalam group (Seligman & Marshak, 1990).

b. Support group lebih diperuntukkan pada populasi yang belum mampu mengorganisir dirinya sendiri. Seperti halnya anak-anak yang belum mampu membentuk self help group sendiri melainkan lebih cocok berinteraksi dan sharing dengan teman sebaya yang memiliki permasalahan yang sama. Oleh karenanya, support group lebih banyak diperuntukkan untuk anak yang kehilangan harapan, serta anak-anak yang mengalami pelecehan seksual (Gitterman & Shulman, 2003).

(33)

3. Faktor – faktor Terapeutik dalam Terapi Kelompok

Yalom (1985), mengidentifikasikan 10 faktor terapeutik dalam terapi kelompok, meliputi:

1. Membangkitkan harapan (instillation of hope)

Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi. Harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif.

2. Universalitas (universality)

Dalam terapi kelompok, terutama pada tahapan awal dikonfirmasi perasaan unik pasien merupakan sumber yang kuat dalam menciptakan perasaan lega. Setelah mendengar pengungkapan diri pasien/klien lain, pasien akan lebih merasa lebih dekat dengan dunia dan akan merasa senasib sepenanggungan, seperti yang diumpamakan oleh Yalom “berada dalam kapal yang sama”.

Dalam support group therapy, konsep utama yang ditekankan adalah saling memberikan dukungan antar teman sebaya. Sebelum konsep utama ini ditegakkan, setiap klien juga harus mampu mengungkapkan diri dalam kelompok. Selanjutnya terapis memfasilitasi agar apa yang dialami dan dirasakan oleh seorang klien dapat dirasakan juga oleh klien yang lain. Sehingga, terciptalah rasa senasib dan sepenanggungan di kalangan anggota kelompok.

3. Penyampaian informasi (imparting of information)

Dalam proses terapi kelompok, pasien/klien akan banyak belajar tentang psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi, yang diberikan terapis secara implisit. Namun, ada juga pendekatan terapi kelompok yang memberikannya melalui pengajaran formal, yang mana bertujuan sebagai faktor pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lain terbentuk.

(34)

3. Altruism

Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien atau klien yang baru mengikuti terapi, kadangkala merasa bahwa keberadaan dirinya adalah beban, sehingga ketika pengalaman dirinya memiliki arti penting bagi orang lain, akan menyegarkan jiwa dan meningkatkan harga dirinya.

4. Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primer

Dalam berbagai aspek, terapi kelompok dapat menyerupai keluarga. Dalam sebuah kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin mirip dengan keluarga. Pasien atau klien diharapkan dapat berinteraksi dengan semua anggota kelompok terapi seperti halnya berinteraksi dengan orang tua dan saudara mereka di rumah.

5. Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques) Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi. 6. Perilaku imitatif (imitative behavior)

Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasien dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya, bercakap-cakap, atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya, atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akurat.

7. Belajar interpersonal (interpersonal learning),

(35)

a. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan.

b. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien.

c. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu.

8. Kohesivitas kelompok (group cohesiveness)

Yalom (1985) menjelaskan bahwa kohesivitas kelompok dalam terapi kelompok merupakan model utama dalam membantu pasien. Semakin tinggi kohesivitas kelompok, semakin tinggi pula hasil yang didapat. Individu dengan hasil yang positif menunjukkan kepuasan dalam hubungan interpersonal satu sama lain. Dalam kohesivitas kelompok yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pengungkapan diri (self disclosure).

Seperti halnya dalam support group therapy, salah satu titik yang ditekankan dalam proses terapi adalah peserta dapat saling memberikan support satu sama lain. Oleh karenanya, salah satu teknik mengawalinya yang digunakan untuk menjalin keakraban antar peserta dan antar terapis adalah dengan menggunakan metode ice breaking. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang

(36)

ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan.

9. Perasaan lega atau katarsis

Katarsis adalah mengungkapkan perasaan, baik positif maupun negatif. Katarsis erat kaitannya dengan kohesivitas kelompok. Dengan melakukan katarsis seseorang akan merasakan kelegaan karena merasa bebannya berkurang.

10. Faktor-faktor eksistensial (existential factors)

Pendekatan existential factor therapeutic mengacu pada kesadaran akan kematian, kebebasan, isolasi, dan tujuan hidup.

4. Pembentukan Kelompok dalam Terapi Kelompok

Pertimbangan-pertimbangan persiapan sebelum sebuah kelompok mengawali pertemuan, terdapat hal-hal tertentu yang harus diputuskan. Terapis harus menetapkan tempat pertemuan yang tepat dan menetapkan kebijakan mengenai penerimaan anggota baru, frekuensi pertemuan, durasi setiap sesi, dan jumlah anggota kelompok.

a. Setting fisik

Pertemuan dapat diadakan dalam sembarang setting fisik ruangan asalkan ruangan itu menjamin privasi dan terbebas dari gangguan perhatian.

b. Waktu

Terapis kelompok pada umumnya sepakat bahwa sekurang-kurangnya 60 menit dibutuhkan untuk pemanasan dan untuk pemaparan dan pembahasan tema utama dalam satu sesi. Juga terdapat konsensus di kalangan para terapis bahwa titik jenuh dicapai sesudah sekitar dua jam : kelompok menjadi letih, bolak-balik, dan tidak efisien. Di samping itu, banyak terapis tampaknya berfungsi terbaik dalam segmen 80 hingga 90 menit; sesi yang lebih lama sering mengakibatkan keletihan, yang membuat terapis kurang efektif dalam sesi-sesi berikutnya pada hari

(37)

yang sama. Frekuensi pertemuan bervariasi dari satu hingga lima kali seminggu. Yalom lebih menyukai dua kali seminggu.

c. Jumlah Anggota Kelompok

Jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang, tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7 atau 8 orang.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Masa Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial. Masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an (Erickson dalam Sprinthall & Collins, 1995; Papalia, Old, & Feldman, 2001).

Masa remaja adalah masa transisi dalam periode masa kanak-kanak ke periode masa dewasa, yang mana periode ini dianggap sebagai masa yang sanagt penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu. Para ahli membagi masa remaja dalam dua periode, yaitu masa remaja awal (early adolesence) dengan batasan umur antara 13 sampai 17 tahun dan periode remaja akhir dengan batasan umur sekitar 17 sampai 18 tahun (Hurlock, 1992:47).

Menurut Monks (2001:219) remaja adalah suatu masa peralihan antara masa remaja dan masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa adolesensi berkisar antara usia 12-18 tahun dan masa pemuda berkisar antara usia 19 – 24 tahun.

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial, dimana masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an.

(38)

2. Ciri-ciri remaja.

Menurut Hurlock (1992:207-209) ciri-ciri remaja sebagai berikut : 1. Pertumbuhan fisik

Remaja akan mengalami perubahan fisik dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan perubahan masa kanak-kanak dan dewasa.

2. Perkembangan Seksual.

Pada remaja sudah timbul ciri-ciri seks primer dan seks skunder 3. Cara berpikir kausalitas.

Menyangkut hubungan sebab akibat, remaja sudah mulai mampu berpikir kritis.

4. Emosi yang meluap-luap

Remaja masih memiliki emosi yang labil dan emosinya lebih menguasai dirinya dibanding berpikir realita.

5. Mulai tertarik dengan lawan jenis

Remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan mulai berpacaran. 6. Menarik perhatian lingkungan

Remaja mulai menarik perhatian dari lingkungan mereka dan berusaha mendapatkan status dan peran.

7. Terikat dengan kelompok.

Remaja lebih tertarik pada kehidupan peer group sehingga seringkali orang tua dinomor duakan dan kelompok harus dinomor satukan.

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja.

Sepanjang rentang kehidupan, manusia berkembang melewati 13 Fase (Hurlock, 1992: 10) yang dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri tugas perkembangan masing-masing. Setiap fase memiliki tugas-tugas tertentu sebagai fungsi dari peran yang harus dijalani. Tugas-tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut :

a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

(39)

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima kedaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab. e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karir ekonomi.

g. Mempersiapkan perkawinandan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Gambar

Tabel 1. Rincian Subyek Penelitian  NO  INISIAL  JENIS
Tabel 2. Blue Print Skala Konsep Diri  No.  Indikator Konsep
Tabel 4. Validitas Skala Konsep Diri  Faktor  Item Valid  Item Tidak
Tabel 8. Perbedaan Skor Pre test dan Post Test SMK Negeri 4 Malang
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan minyak atsiri lengkuas merah ( Alpinia purpurata ) pada edible coating yang diaplikasikan pada fillet

Mengikutsertakan hasil riset khususnya RIFOS (hasil yang sudah diaplikasikan) dalam kompetisi pengabdian masyarakat yang diadakan universitas tertentu. Membagikan kegiatan riset

Berdasarkan analisis yang telah dijabarkan, beberapa temuan terkait desain maskot Dimas dan T.I adalah (1) maskot “DIMAS-TI” dirancang berdasarkan perluasan kata kunci

Perkiraan produksi TBS di Kabupaten Bengkalis sebesar 1.991.107 ton TBS/tahun (produksi optimum). Untuk mengolah TBS tersebut dibutuhkan PKS sebanyak 8 unit PKS dengan

Dari hasil kompilasi data profil kesehatan Puskesmas tahun 2013, cakupan kunjungan bayi di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 1.967 Kunjungan (minimal 4 kali kunjungan) Untuk

1) Karakterisitik dasar (underlying characteristic), kompetensi adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta mempunyai perilaku yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, Microbial Fuel Cell (MFC) dengan substrat lumpur sawah dan nasi selama 3 hari penelitian untuk setiap kondisi

rendahnya tingkat kepedulian masyarakat untuk mencegah penyakit flu (virus influenza) , dengan buku saku ini kami. kembali mengingatkan