• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon / κανών, yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon / κανών, yang berarti"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Qanun 2.2.1 Defenisi

Kata qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon / κανών, yang berarti untuk memerintah, tolok ukur atau mengukur. Seiring luasnya penggunaan dalam tradisi formal, artinya meluas menjadi "aturan baku yang diterima oleh sebuah majelis". Bahasa Arab kemudian menyerapnya menjadi qanun, seperti pada masa kekhalifahan Turki Utsmaniyah, Sultan Suleiman I dijuluki pemberi hukum (bahasa Turki: Kanuni; bahasa Arab: ﻰﻧﻮﻧﺎﻘﻟﺍ, al‐Qānūnī) karena pencapaiannya dalam menyusun kembali sistem undang - undang Utsmaniyah (https://id.wikipedia.org/wiki/Qanun, 2016).

Istilah qanun sudah digunakan sejak lama dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke-limabelas atau ke-enambelas Masehi telah menggunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang, istilah ini dalam budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. Kuat dugaan istilah qanun ini masuk dalam budaya melayu dan bahasa arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan dalam literatur Barat pun istilah ini sudah lama digunakan, diantaranya

(2)

menunjuk kepada hukum Kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam. Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan syariat yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip menggunakan istilah ini(Herdiyanti, 2015).

Literatur Melayu Aceh, qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Tengku DiMulek pada tahun 1257 Hijriyah atas perintah Sultan Alauddin Mansyur Syah yang wafat pada tahun 1870Masehi. Naskah pendek (hanya beberapa halaman) ini berbicara beberapa aspek di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan. Qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang Sultan dalam wilayah kekuasaannya yang bersumber pada hukum Islam, sedangkan dalam arti luas,qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalamperkembangannya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan (Herdiyanti, 2015).

Pasal 1 angka 8 “ketentuan umum” dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah

(3)

Peraturan Daerah sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus (Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006). Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh (https://id.wikipedia.org/wiki/Qanun, 2016). Qanun adalah hukum material yang menghimpun ketentuan-ketentuan pidana dalam kewenangan untuk mengadili pidana-pidana tertentu dalam lingkup hukum syariat. Meski dalam perundang-undangan di Indonesia kedudukan Qanun setara dengan Peraturan Daerah, tetapi keistimewaan Qanun dianggap sebagai kewenangan yang menyebarkan secara langsung ketetapan sebuah undang-undang (Majid, 2007:19). Qanun adalah produk daerah yang tidak mungkin prosedur pelaksanaan dimintakan untuk diatur oleh pusat (dalam hal ini Mahkamah Agung). Selain itu Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur teknis pelaksanaan dari peraturan yang merupakan produk daerah (Pamulutan, 2012:133).

2.2.2 Pembagian Qanun

Dalam pembagiannya, Qanun terdiri atas:

a. Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

b. Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut.Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/wali kota setelahmendapat

(4)

persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota)

(https://id.wikipedia.org/wiki/Qanun, 2016).

2.3 Qanun No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat 2.3.1 Defenisi Khalwat

Kata khalwat dari khulwah, berasal dari kata khala, yang berarti sunyi dan sepi. Disebut sunyi dan sepi, karena seseorang dalam keadaan menyendiri tidak bersama orang lain. Dalam pengertian ini istilah khalwah bisa berkonotasi ganda. Di satu sisi bisa bermakna positif dan disisi lain bisa bermakna negatif. Bila seseorang berkhalwat (menyendiri), mengasingkan dirinya dari manusia lain guna mendekatkan diri dengan Tuhannya, disebut positif. Tetapi apabila seseorang berkhalwat, berdua-duan di tempat sunyi dengan lawan jenis bukan mahramnya, dan tidak terikat dalam ikatan perkawinan yang sah, ini masuk ke dalam kategori negatif (Isa, 2013:468).

Ablisar (2011) menyebutkan bahwa secara etimologis khulwah berasal dari akar kata khala yang berarti sunyi atau sepi. Khalwat adalah istilah yang digunakan untuk keadaan tempat seseorang yang tersendiri dan jauh pandang dari orang lain. Istilah khalwat mempunyai dua pengertian : 1) Seseorang dengan sengaja mengasingkan diri di tempat sepi untuk

menyucikan diri dan beribadah sebanyak-banyaknya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt;

(5)

2) Seorang pria dan wanita berada ditempat sunyi dan sepi serta terhindar dari pandangan orang lain, sehingga sangat mungkin mereka berbuat maksiat.

Terminologi Hukum Islam, khalwat didefinisikan dengan keberadaan seorang pria dan wanita ajnabi (wanita yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan laki-laki itu sehingga halal nikah) ditempat sepi tanpa didampingi oleh mahram dari pihak laki-laki atau perempuan. Dalam Qanun No. 14 Tahun 2003, istilah khalwat diartikan perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan mahram atau tanpa ikatan perkawinan (Ablisar, 2011).

Pasal 1 angka 20 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 bahwa khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan mahram atau tanpa ikatan perkawinan (Isa, 2013). Hal tersebut mengandung arti bahwa khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan Mahram dan tanpa ikatan perkawinandengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan zina.

Penjelasan atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat / Mesum menyebutkan bahwa Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat

(6)

di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan. Dzubaedah (2010) menyebutkan bahwa Pasal 1 angka 16 Qanun Hukum Jinayat Aceh merumuskan khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan.

2.3.2 Tujuan Larangan Khalwat

Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqubat ta’zir.

Perkembangannya khalwat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, seumpama dalam mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram). Perilaku tersebut juga dapat menjurus pada terjadinya perbuatan zina.Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif,

(7)

preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah) (Qanun Nomor 14 Tahun 2003).

Perbuatan khalwat akan tetap di tindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan. Sebagaimana yang dikemukakan pada Qanun khalwat, tujuan larangan khalwat salah satunya adalah melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina dan merusak kehormatan (Idaliyah, 2013).

Tujuan larangan khalwat/mesum yang tertuang dalam Pasal 3 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat adalah : a) menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b) melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan; c) mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; d) meningkatkan peran serta masyarakat dalam

(8)

mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; e) menutup peluang terjadinya kerusakan moral.

2.4 Hukuman Cambuk

2.4.1 Tujuan Hukuman Cambuk

Ablisar (2011) menuliskan bahwa berdasarkan penjelasan Qanun Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam, tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukuman cambuk adalah :

a. Pencegahan (Preventif)

Tujuan pemidanaan sebagai pencegahan dibedakan menjadi tga bahagian, yaitu tujuan yang bersifat individual dengan maksud agar si pelaku kejahatan menjadi jera untuk melakukan kejahatan kembali. Tujuan yang bersifat publik dengan maksud agar anggota masyarakat yang lain menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan yang bersifat jangkapanjang (long time deterrence) dengan maksud agar dapat memelihara keajekan (suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung secara terus menerus) sikap masyarakat terhadap pidana

b. Membebaskan rasa bersalah si pelaku

Membebaskan rsa bersalah merupakan tujuan pemidanaan, yang oleh J.E Sahetapy disebut dengan teori Pembebasan yang bertujuan untuk membebaskan rasa bersalah orang yang di pidana dengan mengubah

(9)

mentalnya berdasarkan ajaran agama. Membebaskan rasa bersalah berdasarkan ajaran agama Islam dapat dilakukan dengan bertaubat, hukuman cambuk merupakan bagian dari penyataan taubat yang diharapkan dapat menghapus dosa di akhirat kelak.

2.4.2 Sanksi / hukuman bagi pelanggar Qanun

Aceh sejak dulu dikenal dengan “Serambi Mekkah.” Karena disamping rakyatnya taat menjalankan ajaran agamanya (hukum syari’ah), juga sangat menjunjung nilai-nilai adat istiadat, sebagai warisan dari leluhurnya. Dalam masyarakat Aceh banyak ditemui kata-kata hikmah (Hadih maja), yang mendukung hal tersebut, seperti Adat ngoen Hukom Lagee Zat denugoen Sipheut (Adat dengan sifat seumpama zat dengan sifat). Ungkapan ini, memberi makna bahwa hukum (syari’ah) dan adat di Aceh tidak dapat dipisahkan, karena adat bersendi syara’, dan syara’ bersumber kitabullah. Keberadaan dan penerimaan syariat Islam, sejak dahulu begitu kuat di Aceh, belum menjamin bahwa masyarakat begitu mudah menerima formalisasi syariat Islam (Isa, 2013).

Aceh yang berasal dari berbagai etnis arab, Cina, Eropa, dan Hindustan, diikat oleh semangat agama Islam. Selama ini setiap orang Aceh dipastikan bahwa mereka adalah Islam. Justru itu setiap pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dipastikan mereka akan teringat pada hukum Islam (Sarong & Melayu, 2015). Pelaksanaan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam secara resmi berdasarkan Undang-undang negara Republik Indonesia sudah memakan waktu lebih enam tahun

(10)

lamanya, terhitung 15 Maret 2002 (1 Muharram 1423 H). Pelaksanaan Syariat Islam terkesan sangat lamban implementasinya mengikut ketentuan-ketentuan yang sudah ada, baik dari Undang-undang negara maupun Qanun-qanun yang lahir di Aceh sendiri (Adan, 2009).

Qanun Aceh yang ada sekarang hanya menentukan satu perbuatan pidana yang tergolong pidana hudud, yaitu perbuatan pidana khamar, sedangkan perbuatan pidana di bidang maisir dan khalwat diancam dengan hukuman ta’zir. Aceh yang selalu di identikkan dengan syariat Islam memiliki nilai peradaban sendiri yang kadangkala jarang ada kesamaannya dengan wilayah-wilayah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia (Adan, 2009). Di daerah Aceh norma dasar hukuman cambuk yang terdapat dalam Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad Saw yang di kongkritkan menjadi norma-norma hukum yang dituangkan melalui Qanun Aceh : (a) dengan berpegang pada penafsiran/pemahaman atas Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad Saw dengan tetap memakai ketentuan-ketentuan lama atau pendapat mazhab-mazhab yang masih relevan serta berusaha untuk mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik; (b) dengan memperhatikan isu-isu hak asasi manusia dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (Ablisar, 2011).

Pelaksanaan ‘uqubat terkesan masih pilih kasih, artinya bila pelanggaran Qanun syariat dilakukan oleh oknum pejabat tertentu, hampir tidak pernah di eksekusi sesuai Qanun yang berlaku. Selain itu, juga dalam

(11)

penerapannya masih terjadi dualisme hukum. Di satu sisi menundukkan diri dengan Qanun syariat, di pihak lain juga harus mengikuti hukum positif yang berlaku, sehingga memunculkan isu ke publik bahwa keberadaan hukum syariat Islam di Aceh bertentangan dengan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia (Isa, 2013).

Ancaman hukuman terhadap pelanggaran Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat adalah sebagai berikut :

1. Pasal 22 : (1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah); (2)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah); (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta’zir.

2. Pasal24 pada Qanun ini menyebutkan bahwa Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22,‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.

3. Pasal 25 : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 :

(12)

a. Apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab.

b. Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif.

2.5 Konsep Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat terdiri dari berbagai aspek yang antara aspek satu dengan aspek yang lainnya terdapat keterkaitan yang saling mendukung serta melengkapi. Namun ada aspek yang penting dibandingkan dengan aspek yang lainnya yaitu aspek sosial budaya.

Konsep sosial adalah konsep keseharian yang digunakan untuk menunjuk sesuatu dan yang dipahami secara umum dalam masyarakat. Sedangkan konsep sosiologis merupakan konsep yang digunakan sosiologi untuk menunjuk sesuatu dalam konteks akademik. Sosiologi ialah suatu ilmu mengenai “das sein” dan bukan “das sollen”. Sosiologi meneliti masyarakat serta perubahannya menurut keadaan kenyataan.

Sehubungan dengan perkataan sosiologi, perkataan sosial haruslah ditinjau sebagai semua kegiatan yang ada hubungannya dengan masyarakat luas, sesuai dengan perkataan asalnya “sozius” yang berarti “teman” (Susanto, 1983 : 9).

Perkataan sosial telah mendapat banyak interpretasi pula, walaupun demikian, orang berpendapat bahwa perkataan ini mencapai reciprocal

(13)

behavior atau perilaku yang saling mempengaruhi dan saling tergantungnya manusia satu sama lain. Suatu pengertian yang lebih jelas lagi ialah perkataan interdependensi. Dengan demikian “manusia sosial” berarti manusia yang saling tergantung kehidupannya satu sama lain. Interdependensi inilah yang merupakan satu-satunya jalan penyelesaian untuk mengatasi kenyataan bahwa manusia tidak memiliki apa yang oleh Freedman dan lain-lain disebut “ready made adaptations to environment”. Dependensi manusia tidak saja terdapat pada awal hidup manusia, akan tetapi dialami manusia seumur hidup sehingga komunikasi mempunyai peranan penting (Susanto, 1983 : 14).

Masyarakat demokratik dianggap bahwa masyarakat dan individu komplementer satu sama lain, karena masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa individu, seperti juga individu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya masyarakat. Betapa individu dan masyarakat komplementer satu sama lain dapat dilihat dari kenyataan, bahwa:

a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya; b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan

(berdasarkan pengaruhnya) perubahan besar terhadap masyarakatnya. Justru dari unsur yang kedua, yaitu bahwa individu dapat mengubah masyarakat sekelilingnya, terbukti bahwa manusia adalah selain dari hasil pendidikannya sebagai manusia yang berfikir, dapat mengambil kesimpulan dan pelajaran dari pengalamannya, mencetuskannya menjadi ide yang baru. Dengan perubahan inilah, ia akan mengubah masyarakat sedikit demi sedikit

(14)

dan akhirnya terjadilah apa yang dikenal sebagai proses sosial yaitu proses pembentukan masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat selalu dalam proses sosial, selalu dalam pembentukan. Masyarakat selalu dalam perubahan, penyesuaian dan pembentukan diri (dalam dunia sekitarnya), sesuai dengan idenya.

Masyarakat terdiri dari individu-individu yang juga berinteraksi satu sama lain, dengan sendirinya terjadilah perubahan terhadap masyarakat pula. Karena itu, proses sosial dapat pula didefinisikan sebagai perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat sebagai hasil dari komunikasi dan usaha pengaruh-mempengaruhi para individu dalam kelompok. Di samping itu, karena individu secara tidak sadar sambil menyesuaikan diri juga mengubah secara tidak langsung (bersama-sama dengan individu lain) dan masyarakatnya, dapat dikatakan bahwa setiap individu maupun kelompok mempunyai peranan atau fungsi dalam masyarakatnya (Susanto, 1983 : 13).

Kehidupan sosial budaya adalah suatu hidup saling berinteraksi satu sama lain yang dilihat dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Sosial budaya dapat merupakan penyebab atau akibat faktor-faktor ekonomi desa/daerah sehingga menyebabkan minimnya nilai sosial seperti adat, pendidikan dan lembaga desa yang merupakan penghambat kemajuan desa kondisi sosial budaya dapat menjadi ciri sosial masyarakatnya.

2.6 Kerangka Pemikiran

Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat merupakan keistimewaan bagi Provinsi Aceh yang telah diatur melalui

(15)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian dikuatkan kembali dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Salah satu penerapan hukum islam yang berlaku bagi para pelanggar Qanun (Peraturan Daerah) khususnya tentang khalwat (mesum) akan diberi ‘uqubat (sanksi pidana) berupa teguran dan sanksi administratif bagi para pemilik usaha yang menyediakan tempat terjadinya pelanggaran Khalwat (Mesum), sedangkan bagi para pelaku diberikan sanksi hukuman cambuk sebagai efek jera bagi para pelanggarnya. Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada atau tidak pelanggaran. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau kriminalitas.

Pemahaman tentang Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Kota Langsa, disajikan dalam bagan alur pikir berikut ini:

(16)

Gambar 2.1 Bagan Alur Pikir

Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum) Pelaku Masyarakat Kota Langsa Pemilik Usaha / Tempat Terjadinya Khalwat (Mesum Sanksi Cambuk Teguran dan Sanksi

Administratif Dampak : A. Dikucilkan dari pergaulan B. Dihentikan untuk mendapatkan bantuan sosial dari desa.

C. Bertaubat dan Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Melaksanakan aktivitas sehari – hari dengan normal

Gambar

Gambar 2.1  Bagan Alur Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

Baik buruknya kinerja yang dihasilkan oleh guru sangat ditentukan oleh baik buruknya pelaksanaan gaya kepemimpinan transformasional yang dilakukan oleh seorang kepala

Dalam skripsi ini dibahas faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual pada wanita perimenopause yang mengalami perubahan baik itu perubahan fisik maupun perubahan psikologis

Dari hasil observasi terhadap siswa dengan kemampuan sedang dapat dilihat bahwa siswa telah mengerti operasi perkalian dan pembagian, sehingga waktu yang dibutuh tidak terlalu lama

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah sejak lahir sampai umur enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan

Indikator Kinerja Target Indikator Kinerja Target Meningkatnya SDM aparatur yang profesional Persentase penempatan aparatur sesuai kompetensi 70% Persentase pelayanan

Uji statistik t (uji parsial) merupakan salah satu uji statistik yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas atau independen

Permasalahan penelitian pertama, mengidentifikasi pengaruh pemberdayaan masyarakat dalam upaya perubahan perilaku masyarakat. Kedua, faktor-faktor penghambat dan pendukung