• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karsini (1999) melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karsini (1999) melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Karsini (1999) melakukan penelitian dengan judul ”Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Produktifitas Pegawai di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri”. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, kuesioner dan studi dokumentasi. Variabel bebas yang diteliti adalah perbedaan jabatan, tingkat penghasilan, fasilitas kerja, keahlian serta kebijakan pimpinan. Hasilnya menunjukkan bahwa secara serempak variabel bebas memiliki pengaruh terhadap kinerja pegawai, sedangkan secara parsial fasilitas kerja, keahlian dan kebijakan pimpinan memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Utari (2010) melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan, Motivasi Serta Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara”. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, kuesioner dan studi dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial maupun simultan, variabel pendidikan dan pelatihan, motivasi serta budaya kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.

(2)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Kinerja Pegawai

Menurut Rivai (2005), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika.

Menurut Mathis dan Jackson (2001), kinerja adalah apa yang dilakukan pegawai, sehingga ada yang mempengaruhi kombinasi pegawai organisasi antara lain: kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran ditempat kerja, dan sikap koperatif. Mereka mengemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja merupakan hasil-hasil fungsi pekerjaan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan seperti motivasi, kecakapan, persepsi peranan dan sebagainya, pencapaian tujuan organisasi serta periode waktu tertentu.

Sumber daya manusia sebagai aktor yang berperan aktif dalam menggerakkan perusahaan / organisasi dalam mencapai tujuannya. Tercapainya tujuan perusahaan hanya dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat dalam perusahaan untuk berkinerja dengan baik. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate

performance). Pengukuran kinerja dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi

bahwa input masing-masing pegawai sama yaitu tingkat kinerja dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.

(3)

Mangkunegara (2007) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Definisi kinerja ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih umum bagi negara maupun bagian ekonomi yang berbeda. Dengan perbaikan kinerja organisasi mengembangkan pertumbuhan, persaingan domestik dan internasional serta memberikan kontribusi yang layak, semuanya pada akhirnya bermuara pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan mutu kehidupan bangsa secara menyeluruh.

Kinerja yang rendah merupakan pencerminan dari organisasi yang memboroskan sumber daya yang dimilikinya, dimana pada akhirnya organisasi tersebut kehilangan daya saing yang akan mengurangi skala aktifitas usahanya. Kinerja yang rendah dari banyak organisasi akan menurunkan industri dan ekonomi bangsa secara menyeluruh yang cenderung mengurangi keberhasilan organisasi.

Menurut Gibson, et al (dalam Novitasari, 2003), ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:

1. Variabel individual, terdiri dari:

a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik. b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian. c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.

2. Variabel organisasional, terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

(4)

Menurut Tiffin dan Mc. Cormick (dalam Novitasari, 2003) ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:

1. Variabel individual, meliputi:

sikap, karakteristik, sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pendidikan, serta faktor individual lainnya.

2. Variabel situasional, meliputi:

a. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari: metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan ventilasi).

b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial. Adanya keyakinan yang dapat dipertimbangkan untuk menunjang konsep kinerja baru yang mengenai proses produksi sebagai suatu sistem yang kompleks dapat diterapkan dan berlaku dimasyarakat lingkungan, tenaga kerja, modal dan organisasi tidaklah penting dari dirinya namun dengan caranya terkoordinasi kedalam satu kesatuan yang terpadu. Keberhasilan kinerja organisasi diawali dengan sejauhmana kualitas kinerja para pegawainya. Untuk menegakkan kinerja organisasai menjadi lebih baik maka perlu menegakkan kinerja masing-masing pegawai.

Diantara para ahli ekonomi tidak ada kesepakatan tentang batas pemisahan antara faktor-faktor tenaga kerja dan modal, komponen-komponen yang harus dimasukkan ke dalam faktor lainnya maupun metode terbaik untuk mengevaluasi masing-masing faktor terhadap pertumbuhan kinerja.

(5)

Mangkunegara (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor penentu kinerja individu adalah:

1. Faktor Individu;

Secara psikologis, individu yang normal memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktifitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor Lingkungan Organisasi;

Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

Sulistiyani dan Rosidah (2009) mengemukakan bahwa didalam orientasi penilaian biasanya yang dievaluasi adalah mencakup personal based dan

performance based. Hal ini berkaitan dengan kinerja organisasi publik yang

merupakan penilaian bagi tercapainya tujuan organisasi dengan peningkatan kinerja pegawai yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.

(6)

Fokus masing-masing orientasi penilaian ini adalah: 1. Penilaian berdasarkan hasil (result based performance);

Tipe penilaian ini dimulai dengan merumuskan kinerja pegawai dengan didasarkan pada pencapaian tujuan organsasi, atau dapat dikatakan dengan mengukur hasil-hasil akhir (end result). Sedangkan sasaran penilaian kinerja dapat ditetapkan oleh manajer ataupun kelompok kerja. Hal inilah yang sering disebut dengan

Management by Objective.

2. Penilaian berdasarkan perilaku (behaviour based performance appraisal);

Dalam model penilaian ini kinerja akan difokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals) dan bukan hasil akhir. Dengan demikian perilaku pegawai yang sesuai dengan sarana yang tersedia dan sasaran yang ingin dicapai.

3. Penilaian dengan berdasarkan judgmentbased performance appraisal; Dalam penilaian ada beberapa dimensi yang harus diikuti:

a. kualitas kerja (quality of work);

b. kuantitas kerja (quantity of work);

c. pengetahuan pekerjaan (job knowledge);

d. daya kreasi (creativeness);

e. kerjasama (cooperation);

f. kebergantungan (dependability);

g. inisiatif (initiative);

(7)

Kualitas pekerjaan merupakan bagian substansi yang tidak dapat diabaikan. Konsentrasi dari penilaian yang dilakukan tentunya akan mengidentifikasi bagaimana pencapaian kualitas pekerjaan yang dilakukan. Tentu saja untuk menentukan kualitas tersebut sampai seberapa baik pencapaiannya, dengan cara membandingkan kualitas yang dicapai dengan target kualitas. Selanjutnya pengetahuan tentang pekerjaan juga menjadi fokus dalam penilaian. Disamping itu kreatifitas juga memberikan inspirasi pencapaian kinerja. Kerjasama menjadi kunci dalam pencapaian kinerja kelompok maupun kinerja organisasi. Jika seseorang memiliki kecakapan dalam berhubungan dan kerjasama, maka sangat memungkinkan seseorang memberikan kontribusi yang baik terhadap organisasi.

Tujuan dilakukannya penilaian kinerja menurut Robbins (2002) yaitu:

1. Memberikan masukan penting bagi pimpinan organisasi dalam pengambilan keputusan di bidang sumber daya manusia, seperti: promosi, transfer, dan pemutusan hubungan kerja.

2. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan.

3. Mengetahui efektifitas seleksi/penempatan pegawai baru dan program pendidikan dan pelatihan.

4. Memberikan umpan balik kepada pegawai mengenai bagaimana pandangan organisasi akan kinerja mereka.

5. Digunakan sebagai dasar untuk alokasi ganjaran, seperti: kenaikan gaji, pemberian insentif, dan imbalan lainnya.

(8)

Mangkunegara (2007) menyatakan tujuan penilaian kinerja adalah:

1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

2. Untuk mengukur sejauh mana seorang pegawai dapat menyelesaikan pekerjaannya.

3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektitifitas dari seluruh kegiatan dalam organisasi.

4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

5. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi pegawai yang berada di dalam organisasi.

6. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai sehingga dicapai

performance yang baik.

7. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan pegawai selanjutnya.

8. Sebagai kriteria dalam menentukan seleksi dan penempatan pegawai. 9. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan pegawai. 10. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job

(9)

Sutemeister (dalam Novitasari, 2003) mengemukakan pendapatnya bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

1. Faktor Kemampuan;

a. Pengetahuan: pendidikan, pengalaman, latihan dan minat. b. Ketrampilan: kecakapan dan kepribadian.

2. Faktor Motivasi;

a. Kondisi sosial: organisasi formal dan informal, kepemimpinan. b. Serikat kerja kebutuhan individu: fisiologis, sosial dan egoistik.

Perencanaan kinerja berfungsi melihat kembali pendelegasian wewenang dan pelaksanaan tugas yang dilimpahkan oleh bawahannya. Di samping itu juga dapat mengukur sejauhmana target-target yang telah ditentukan dapat tercapai. Perencanaan kinerja merupakan bagian dari fungsi manajemen untuk meningkatkan kinerja yang mengutamakan tingkat analisis tinggi dalam upaya menentukan target yang realistis.

Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2009), manfaat penilaian kinerja yaitu: 1. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.

2. Perbaikan kinerja.

3. Kebutuhan latihan dan pengembangan.

4. Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja.

5. Untuk kepentingan penelitian kepegawaian.

(10)

Menurut Notoatmodjo (2003), manfaat penilaian kinerja dalam suatu organisasi antara lain sebagai berikut:

1. Peningkatan prestasi kerja;

Dengan adanya penilaian kinerja, baik pimpinan maupun pegawai memperoleh umpan balik dan mereka dapat memperbaiki pekerjaannya.

2. Kesempatan kerja yang adil;

Adanya penilaian kerja yang akurat akan menjamin setiap pegawai akan memperoleh kesempatan menempati posisi pekerjaan sesuai dengan kemampuan. 3. Kebutuhan-kebutuhan pelatihan dan pengembangan;

Melalui penilaian kinerja akan dideteksi pegawai yang kemampuannya rendah, dan memungkinkan adanya program pelatihan meningkatkan kemampuannya. 4. Penyesuaian kompensasi;

5. Penilaian kinerja dapat membantu para pimpinan mengambil keputusan dalam menentukan perbaikan pemberian kompensasi, gaji, bonus, dan sebagainya;

6. Keputusan-keputusan promosi dan demosi;

Hasil penilaian kinerja terhadap pegawai dapat digunakan untuk mengambil keputusan mempromosikan pegawai yang berprestasi baik, dan demosi untuk pegawai yang berprestasi jelek.

7. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan;

Hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk menilai desain kerja. Artinya hasil penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis kesalahan desain kerja.

(11)

8. Penyimpangan-penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi.

Penilaian kinerja dapat digunakan untuk menilai proses rekruitmen dan seleksi pegawai yang telah lalu. Kinerja yang sangat rendah bagi pegawai baru mencerminkan adanya penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi.

Ruky (2001) mengemukakan bahwa manfaat manajemen kinerja ditinjau dari aspek pengembangan sumber daya manusia sebagai berikut :

1. Penyesuaian program pelatihan dan pengembangan karyawan;

Pelaksanakan manajemen kinerja untuk dapat mengetahui atau mengiidentifikasi pelatihan tambahan apa saja yang masih harus diberikan pada karyawan dalam membantu mencapai standar prestasi yang ditetapkan.

2. Penyusunan program seleksi dan kaderisasi;

Pelaksanaan manajemen kinerja selayaknya juga dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan kariernya dengan dicalonkan untuk menduduki jabatan yang tanggung jawabnya lebih besar pada masa yang akan datang.

3. Pembinaan karyawan;

Pelaksanaan manajeman kinerja dapat menjadi sarana meneliti hambatan karyawan untuk meningkatkan prestasinya. Program manajemen kinerja adalah bagian dari sebuah “skenario besar“ program sumber daya manusia dan pengembangan manajemen yang tujuan akhirnya untuk meningkatkan kinerja sumber daya manusia dalam organisasi.

(12)

2.2.2. Pendidikan

Suprihanto (2003) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai fungsi sebagai penggerak sekaligus pemacu terhadap potensi kemampuan sumber daya manusia dalam meningkatkan prestasi kerjanya dan nilai kompetensi seseorang pekerja dapat dipupuk melalui program pendidikan, pengembangan dan pelatihan. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Marimba (dalam Nata, 2001) menyatakan pendidikan adalah bimbingan atau arahan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Pendidikan merupakan pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sikapnya. Penjelasan ini merupakan pengertian pendidikan dalam arti luas.

Menurut Suprihanto (2003), pendidikan diinterpretasikan dengan makna untuk mempertahankan individu dengan kebutuhan-kebutuhan yang senantiasa bertambah dan merupakan suatu harapan untuk dapat mengembangkan diri agar berhasil serta untuk memperluas, mengintensifkan ilmu pengetahuan dan memahami elemen-elemen yang ada disekitarnya. Pendidikan juga mencakup segala perubahan yang terjadi sebagai akibat dari partisipasi individu dalam pengalaman-pengalaman dan belajar, yang merupakan upaya manusia dewasa dalam membimbing yang belum kepada kedewasaan.

(13)

Untuk pengertian secara umum, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah suatu usaha atau aktifitas untuk membentuk manusia-manusia yang cerdas dalam berbagai aspeknya baik intelektual, sosial, emosional maupun spiritual, terampil serta berkepribadian dan dapat berperilaku dengan dihiasi akhlak mulia.

Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah dimengerti bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana unutk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan pendidikan diharapkan dapat terwujud suatu kualitas manusia yang baik seluruh dimensinya, baik dimensi intelektual, emosional maupun spiritual yang nantinya mampu mengisi kehidupannya secara produktif bagi kepentingan dirinya dan masyarakat.

Fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Pasal 3).

Hal ini menggambarkan bahwa pendidikan merupakan pengkondisian situasi pembelajaran bagi peserta didik guna memungkinkan mereka mempunyai

(14)

kompetensi-kompetensi yang dapat bermanfaaat bagi kehidupan dirinya sendiri maupun masyarakat. Salah satu aktifitas esensial dari pendidikan adalah terjadinya perubahan kearah kedewasaan dan perubahan tersebut jelas memerlukan kegiatan belajar dan atau peristiwa belajar sebagai dasar perubahan. Pengelolaan proses pendidikan ini meliputi semua ruang lingkup makro dan mikro.

Menurut Suprihanto (2003), tujuan utama pengelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Tujuan pendidikan memuat gambar tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memilki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan sesuatu yang ingin dicapai. Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya.

Menurut Widiatrirahayu (2008), penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur ysaitu jalur pendidikan formal, non formal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan

(15)

layanan pendidikan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik yang penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan non formal ini meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar mampu menjadi lebih kreatif dan memiliki kemampuan berinovasi dalam kehidupannya.

Menurut Widiatrirahayu (2008), satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Widiatrirahayu (2008) menyatakan bahwa pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan non formal. Terdapat dua peristiwa pendidikan yaitu yang disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Pendidikan formal dan non formal merupakan

(16)

pendidikan yang disengaja sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa.

Upaya untuk tercapainya kesuksesan di dalam bekerja dituntut pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang dipegangnya. Pendidikan merupakan suatu bekal yang harus dimiliki seseorang dalam bekerja Dengan tingkat pendidikan yang memadai diharapkan seseorang dapat lebih menguasai pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah seseorang berpikir secara luas, makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

2.2.3. Fasilitas Kerja

Menurut Husnan (2002), fasilitas kerja adalah sarana dan prasarana yang diperlukan untuk membantu pegawai agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Fasilitas kerja ini merupakan suatu bentuk pelayanan perusahaan terhadap karyawan agar menunjang kinerja dalam memenuhi kebutuhan karyawan, sehingga dapat meningkatkan kinerja kerja pegawai. Adanya fasilitas kerja yang disediakan oleh organisasi sangat mendukung pegawai dalam bekerja. Fasilitas kerja tersebut sebagai alat atau sarana dan prasarana untuk membantu pegawai agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaan dan pegawai akan bekerja lebih produktif.

(17)

Fasilitas, dalam bahasa Belanda, fa ciliteit adalah prasarana atau wadah untuk melakukan atau mempermudah sesuatu. Falilitas bisa pula dianggap sebagai suatu alat. Fasilitas biasanya dihubungkan dalam pemenuhan suatu prasarana umum yang terdapat dalam suatu perusahaan ataupun organisasi tertentu (Wilkipedia). Apabila dihubungkan dengan pekerjaan maka fasilitas dapat berarti sebagai alat untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan.

Dengan adanya fasilitas kerja karyawan akan merasa nyaman dalam bekerja dan menimbulkan semangat kerja untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Variabel fasilitas kerja dapat dilihat dengan adanya fasilitas pendukung seperti: fasilitas ibadah, toilet/wc dan lain-lain. Dalam upaya peningkatan kinerja pegawai perlu dilakukan pendekatan dengan memperhatikan faktor-faktor psikologis yang umumnya melekat pada diri pegawai seperti motivasi, ketenangan, kepribadian, emosional dan lain sebagainya.

Djoyowirono (2005) menyatakan bahwa fasilitas/sarana adalah alat yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan manajemen dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Fasilitas kerja merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari dunia kerja dan merupakan hal yang vital bagi pegawai untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dengan tersedianya fasilitas berupa sarana dan prasarana penunjang kerja yang lengkap maka pegawai anak terdorong untuk meningkatkan kinerjanya. Implikasi yang timbul dari kondisi tersebut yaitu kinerja pegawai akan lebih optimal dan tujuan dari organisasi dapat tercapai secara efisien dan efektif.

(18)

Menurut Djoyowirono (2005), sarana dan prasarana penunjang kerja yang dapat mempengaruhi atau meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Kondisi gedung dan kantor;

2. Peralatan dan perlengkapan kantor; 3. Alat transportasi;

4. Alat komunikasi.

Fasilitas kerja merupakan faktor yang penting untuk memotivasi karyawan dalam meningkatkan kinerjanya. Secara umum seorang pegawai bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara otomatis pegawai akan semakin giat bekerja manakala apa yang selama ini telah dikerjakan mendapat penghargaan yang sepadan. Sedangkan fasilitas kerja merupakan sarana prasarana yang membantu pegawai agar lebih mudah menyelesaikan pekerjaannya dan pegawai akan bekerja dengan lebih produktif. Dengan adanya fasilitas kerja pegawai akan merasa nyaman dalam bekerja dan menimbulkan semangat kerja untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh organisasi.

Memberikan fasilitas kerja yang memadai berarti pula menimbulkan perasaan betah bekerja pada karyawan sekaligus memberi penghormatan dan penghargaan kepada pegawai. Seorang pegawai akan merasa senang dan bahagia apabila pekerjaannya dinilai dengan sepadan. Bukan hanya semata dinilai dengan uang, akan tetapi lebih jauh lagi pegawai tersebut merasa dihargai, dan merasa pekerjaannya benar-benar dibutuhkan. Hal ini otomatis akan semakin memacu gairah kerja bagi

(19)

pegawai tersebut untuk terus meningkatkan kinerjanya. Selain itu pegawai biasanya menghendaki suasana kerja yang nyaman.

Pada dasarnya pegawai akan merasa nyaman dan betah bekerja apabila tersedia fasilitas kerja yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia, bukan sebagai alat produksi semata. Dalam arti lingkungan kerja yang sehat, hubungan dengan rekan kerja dan pimpinan yang harmonis, fasilitas kerja yang lengkap, cahaya dalam ruangan yang cukup dan udara yang sejuk. Dengan kondisi ini seorang pegawai akan dapat bekerja lebih optimal. Tidak ada lagi alasan bagi seorang pegawai untuk menunda dan menghambat pekerjaan karena alasan peralatan kerja yang tidak lengkap dan suasan kantor yang tidak nyaman.

Bagi suatu organisasi memberikan kenyamanan bagi pegawainya untuk bekerja berarti menimbulkan perasaan betah bekerja pada pegawai sehingga dapat dikurangi dan dihindari dari pemborosan waktu dan biaya, antara lain pemborosan yang disebabkan oleh merosotnya kesehatan atas banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi pada pegawai. Memberikan tempat kerja yang menyenangkan berarti pula akan meningkatkan kinerja pegawai.

Diskusi-diskusi pada umumnya menjelaskan para pegawai menghendaki tempat kerja yang menyenangkan, aman dan cukup terang, udara yang selalu segar dan jam kerja yang tidak terlalu lama. Pada umumnya para pegawai menghendaki tempat kerja yang menyenangkan seperti itu. Dengan demikian bila suatu kondisi yang menyenangkan dapat diciptakan, dalam artian ada hubungan yang baik antara pegawai dengan atasan, kesehatan kerja yang tetap dijaga dan keamanan diruang

(20)

kerja yang merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan dalam menciptakan tempat kerja yang menyenangkan. Hal ini akan dapat meningkatkan kinerja pegawai itu sendiri.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan, dapat dilihat bahwa faktor fasilitas kerja yang lengkap merupakan hal yang penting dan memiliki keterkaitan yang erat dengan kinerja pegawai. Maka apabila perpaduan antara keduanya dapat terpenuhi dengan baik nantinya diharapkan dapat menciptakan suatu iklim kerja yang kondusif sehingga dapat bersinergi dalam rangka meningkatkan kinerja.

2.2.4. Kebijakan Pimpinan

Keberhasilan sebuah organisasi tidak lepas dari eksistensi pimpinan. Pimpinan merupakan seorang yang mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat menjadi sebuah keputusan dalam organisasi. Ia mempunyai kekuasaan yang luas untuk menentukan kebijakan yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan. Pimpinan mempunyai wewenang untuk mengarahkan kegiatan para anggotanya.Kepemimpinan dan manajemen yang kuat penting untuk keefektifan organisasi secara optimal.

Menurut Kontz (2001), kebijakan pimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menetapkan dan mengarahkan suatu gagasan menjadi sebuah keputusan dalam organisasi yang harus dijalankan dengan menerapkan secara maksimum kemampuan yang dimiliki dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang ditetapkan.

(21)

Kontz (2001) menyatakan bahwa timbulnya kebijakan pimpinan dalam suatu organisasi dapat bersumber dari :

a. Manajer puncak yang menetapkannya sebagai pedoman bagi bawahan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Kebijakan seperti ini ruang lingkupnya luas, yang memungkinkan bawahan untuk menjabarkannya lebih lanjut. Kadar sentralisasi dan desentralisasi kebijakan tergantung pada kadar pemusatan atau penyebarluasan wewenang (otoritas).

b. Dalam praktek, barangkali hampir semua kebijakan tertentu berasal dari himbauan yang timbul dari kasus-kasus luar biasa yang dinaikkan kepada hirarki wewenang manajemen.

c. Kebijakan dapat timbul dari tindakan-tindakan yang dipandang dan diyakini orang sebagai kebijakan, misalnya para karyawan akan segera memahami kebijakan yang sebenarnya kalau mereka bekerja dalam perusahaan yang telah menetapkan kebijakan memproduksi barang-barang berkualitas baik, menjaga kebersihan atau mempromosikan pegawai dari dalam.

d. Kebijakan dapat berasal dari luar (external imposed) misalnya dari pengaruh pemerintah, kebijakan yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, persyaratan perolehan bantuan, asosiasi lokal dan regional, kelompok sekolah dan organisasi sosial.

Suatu kebijakan tidak hanya berkaitan dengan satu permasalahan saja. Oleh karena itu pendekatannya melibatkan berbagai pihak dalam lingkup suatu organisasi yang masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.

(22)

Kebijakan ini bersifat dinamis karena akan diterapkan kepada pegawai dalam organisasi yang memiliki kecenderungan untuk berubah mengikuti perkembangan.

Luthans (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan di masa yang akan datang cenderung mengarah pada teaching organization yang dapat mengantisipasi perubahan dan keaneka ragaman knowledge, skill dan ability sumber daya manusia, sehingga meningkatkan kinerja perusahaan. Riyono dan Zulaifah (2001) mengatakan bahwa kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan. Seorang pemimpin sukses karena mampu bertindak sebagai pengarah dan pendorong yang kuat serta berorientasi pada tujuan yang ditetapkan.

Menurut Luthans (2006), pemimpin yang baik harus memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :

1. Tanggung jawab yang seimbang. Keseimbangan di sini adalah antara tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang yang harus melaksanakan pekerjaan tersebut.

2. Model peranan yang positif. Peranan adalah tanggung jawab, perilaku atau prestasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki posisi khusus tertentu. Oleh karena itu pemimpin yang baik harus dapat dijadikan panutan dan contoh bawahannya. 3. Memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Pemimpin yang baik harus dapat

menyampaikan ide-idenya secara ringkas dan jelas, serta dengan cara yang tepat. 4. Memiliki pengaruh positif. Pemimpin yang baik memiliki pengaruh yang baik

(23)

Pengaruh adalah seni menggunakan kekhususan untuk menggerakkan atau mengubah pandangan orang lain ke arah suatu tujuan atau sudut pandang tertentu. 5. Mempunyai kemampuan untuk menyakinkan orang lain. Pemimpin yang sukses

adalah pemimpin yang dapat menggunakan ketrampilan komunikasi dan pengaruhnya untuk menyakinkan orang lain akan sudut pandangnya serta mengarahkan mereka pada tanggungjawab, tidak terhadap sudut pandang tersebut.

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memobilisasi, menyelaraskan, memimpin kelompok, dan menjelaskan gagasan yang dihasilkan agar dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota organisasi. Pemimpin penting dalam mempengaruhi perubahan, bertanggung jawab untuk menggerakkan setiap usaha dan hambatan untuk menjamin kejelasan visi. Pemimpin harus dapat menciptakan iklim organisasi dimana pegawai merasa bebas tapi penuh tanggung jawab.

Kesuksesan sebuah organisasi di kompetensi global ditentukan oleh kecepatan organisasi untuk berubah sesuai dengan lingkungan bisnisnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah kepemimpinan mempunyai efek yang penting terhadap upaya organisasi mendapatkan daya saing dan keuntungan di era globalisasi. Pemimpin bertanggungjawab untuk mengerakkan setiap usaha dan hambatan untuk menjamin kejelasan visi. Pemimpin harus dapat menciptakan iklim organisasi dimana pegawai merasa bebas tapi penuh tanggungjawab.

Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun pegawai-pegawai bekerja pada tempat yang sama namun kinerja mereka

(24)

tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Perubahan situasi bawahan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan kebijakan yang mendukung harus dicermati dalam rangka menentukan perilaku kepemimpinannya agar dapat berhasil dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya, karena kebijakan itu sangat mempengaruhi penerapan manajemen organisasi.

Pengambilan keputusan secara analitis merupakan salah satu aspek fundamental dalam organisasi. Pengambilan keputusan bukan menjadi wewenang tunggal pimpinan atau manager. Pegawai juga membuat keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan organisasi tempat mereka bekerja. Jadi semua individu dalam organisasi terlibat dalam pengambilan keputusan, yaitu menentukan pilihan antara dua atau lebih alternatif.

Anggota organisasi memberikan kontribusi dalam menentukan kedudukan kepemimpinan, membuat proses kepemimpinan berjalan sesuai dengan misi dan mereka juga mempunyai kontribusi terhadap pembentukan kualitas kepemimpinan. Perilaku pemimpin yang efektif antara lain tergantung pada tindakan para pengikutnya, apakah menerima baik atau menolak pimpinannya tanpa mempedulikan apa yang menjadi kebijakannya. Ada hubungan yang signifikan antara pola perilaku kepemimpinan dengan kinerja kelompok/anggota organisasi.

Seorang pimpinan harus memahami strategi peningkatan kinerja dan implementasi kinerja yang mampu menegakaan disiplin pada hal-hal yang sudah menjadi komitmen bersama. Seorang yang ingin berhasil dalam kepemimpinannya

(25)

harus mampu memberikan pencerahan atau sebagai pertimbangan dalam memperilakukan bawahannya atau menentukan alternatif kebijakan yang tepat sesuai dengan tujuan.

Tika (2006) mengatakan bahwa kualitas keputusan yang diambil pimpinan sangat penting peranannya dalam dua hal yaitu :

1. Kualitas keputusan pimpinan secara langsung mempengaruhi peluang karir, penghargaan (reward) dan kepuasan kerja.

2. Keputusan manajerial memiliki kontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi.

Oleh karena itu, setiap pimpinan harus selalu siap menghadapi evaluasi dan kritik terhadap keputusan-keputusan yang dibuatnya. Suatu keputusan yang diambil dapat dilakukan evaluasi untuk mengukur, apakah hasil pengambilan keputusan baik atau jelek. Adapun evalusinya antara lain (Tika, 2006) :

1. Mengevaluasi hasil keputusan, apakah pengaruh dari hasil keputusan mengarah pada pencapaian tujuan organisasi yang ditentukan.

2. Mengevaluasi proses yang dilakukan dalam pengambilan keputusan jangka panjang, proses yang salah cenderung berpotensi memberikan hasil yang negatif.

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses untuk memilih suatu rangkaian tindakan dari dua atau lebih alternatif yang mencakup penentuan pilihan dan pemecahan masalah. Pengambilan keputusan yang mengoptimalkan proses dan hasil dalam membuat suatu keputusan adalah rasional, yaitu dia membuat pilihan-pilihan yang konsisten dan memaksimalkan nilai dalam batasan tertentu.

(26)

Pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan mengikuti model enam langkah (Robbins, 2002), yaitu :

1. Mendefinisikan masalah;

2. Mengidentifikasi kriteria keputusan; 3. Menimbang kriteria;

4. Menghasilkan alternatif;

5. Menilai semua alternatif pada masing-masing kriteria; 6. Menghitung keputusan optimal.

Pengambilan keputusan rasional memerlukan kreatifitas yaitu, kemampuan untuk mengkombinasikan ide dengan cara yang unik atau membuat gabungan yang tidak umum dari beberapa ide. Kreatifitas memungkinkan pengambil keputusan lebih sepenuhnya menilai dan memahami masalah, termasuk melihat masalah yang tidak dilihat orang lain. Manfaat lain dari kreatifitas adalah membantu pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi semua alternatif yang baik (Robbins, 2002).

Perlu diperhatikan bahwa tak ada satu model yang dapat menjamin bahwa pimpinan selalu membuat keputusan yang benar. Meskipun demikian, pimpinan yang menggunakan model yang rasional, intelektual dan sistematik lebih berpeluang untuk berhasil dibandingkan dengan pimpinan yang menggunakan pendekatan model yang bersifat informal. Kombinasi dari keduanya dapat digunakan sebagai alternatif yang dapat dipilih oleh pimpinan. Setiap pimpinan dapat memilih berbagai pendekatan yang dianggap paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

(27)

2.3. Kerangka Konseptual

Suprihanto (2003) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran. Selanjutnya Simamora (2004) menyatakan bahwa kinerja mengacu kepada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan pegawai.

Donnely, et al (dalam Rivai, 2005) menyatakan bahwa kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik.

Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kinerja pegawai yang mimiliki kemampuan yang handal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan dengan dukungan sumber daya manusia dan fasilitas kerja yang memadai. Sumber daya manusia yang yang baik menjadi modal dasar dalam menentukan peningkatan kinerja secara keseluruhan. Evaluasi kinerja terhadap hasil kerja individu dapat digunakan untuk menilai kemampuan pegawai tersebut. Dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan seorang pegawai harus memiliki pedoman dan dasar-dasar penilaian.

Menurut Simamora (2004) pertanyaan yang harus dihadapi oleh organisasi bukan lagi apakah akan melakukan investasi bagi pengembangan sumber daya manusia yang dimiliki, melainkan berapa besar investasi yang harus dibuat. Dari pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia

(28)

mutlak diperlukan bagi organisasi yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat.

Peningkatan kinerja pegawai merupakan salah satu sasaran organisasi yang harus didukung oleh kemampuan pegawai dan fasilitas kerja yang baik sehingga akan mempermudah dalam penyelesaian kegiatan maupun tugas yang diberikan pimpinan. Selama ini banyak pegawai yang tidak memiliki kontribusi maksimal dalam menyelesaikan pekerjaan, karena masih banyak pegawai yang kurang memperdulikan hasil yang ingin dicapai saat diberikan tugas, lebih memikirkan penyelesaian tugas yang penting cepat selesai.

Menurut Wibowo (2007), seorang pemimpin harus memiliki pengalaman mengorganisasi orang, komunikasi dihadapan kelompok, menyelesaikan masalah dan sebagainya. Seorang yang ingin berhasil dalam kepemimpinannya harus mampu memberikan pencerahan atau sebagai pertimbangan dalam memperilakukan bawahannya atau menentukan alternatif kebijakan yang tepat sesuai dengan tujuan.

Peran pemimpin sangat substansial untuk menentukan segala kebijakan dan implementasinya serta dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Berbagai terobosan perlu dilakukan mulai dari perubahan struktural, aspek ketrampilan dalam pemahaman kerjasama internal maupun eksternal. Membuat kebijakan yang cepat dan responsif untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul selama jalannya pelaksanaan kegiatan dalam organisasi. Hal ini akan mendorong pegawai untuk meningkatkan kinerjanya.

(29)

Untuk memperjelas hubungan variabel-variabel tersebut, dapat digambarkan model hubungan suatu kerangka konseptual sebagai dasar penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka pada penelitian ini dapat dihipotesiskan yaitu pendidikan, fasilitas kerja, dan kebijakan pimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara.

Pendidikan

Kinerja Pegawai Fasilitas kerja

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Emulator 1 Form Tampilan Awal Berjalan Baik 2 Form Kriptografi DES Berjalan Baik 3 Form Enkripsi dan Dekripsi Kriptografi DES Berjalan Baik 4 Form Contoh Kriptografi DES

Pelaksanaan kebijakan pengendalian penyakit demam berdarah dengue di kota Semarang dilakukan secara menyeluruh di setiap tingatan pemerintah dan lapisan

bersifat publik untuk kepentingan umum, dengan demikian terdapat kepentingan pribadi warga negara. Kedua, pencabutan hak harus di ikuti dengan pemberian ganti rugi

aluasi dilakukan saat proses 9*K berlangsung, khususnya pada tahap kerja. *spek yang diealuasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan 9*K. Cntuk 9*K stimulasi persepsi

Hasil penelitian diketahui bahwa (1) bentuk gotong royong di masyarakat Kampung Naga terdiri dari pertanian, perbaikan atau renovasi rumah, acara ritual, dan upacara

Hasil generate pemasangan model baju pada model tubuh dapat dibentuk secara akurat menggunakan parameter anthropometry dan inputan jarak baju dengan model tubuh.. Virtual Web

Hanya peserta yang dinyatakan lulus seleksi administrasi dan membawa Kartu Ujian serta bukti identitas diri asli berupa KTP (sesuai dengan data saat registrasi online) yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) Internalisasi nilai-nilai agama islam, 2) Pembentukan sikap, 3) Perilaku siswa, dan 4) kegiatan ekstrakurikuler