• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIETAS KACANG TANAH TAHAN Aspergillus flavus SEBAGAI KOMPONEN ESENSIAL DALAM PENCEGAHAN KONTAMINASI AFLATOKSIN 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VARIETAS KACANG TANAH TAHAN Aspergillus flavus SEBAGAI KOMPONEN ESENSIAL DALAM PENCEGAHAN KONTAMINASI AFLATOKSIN 1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

VARIETAS KACANG TANAH TAHAN Aspergillus

flavus SEBAGAI KOMPONEN ESENSIAL DALAM

PENCEGAHAN KONTAMINASI AFLATOKSIN

1)

Astanto Kasno

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101

Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 e-mail: balitkabi@litbang.deptan.go.id Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 260-273

1)Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti

Utama yang disampaikan pada tanggal 30 Juni 2003 di Bogor.

PENDAHULUAN

Kebiasaan mengonsumsi kacang tanah sesungguhnya merupakan kebiasaan yang sehat. Terdapat indikasi bahwa orang yang terbiasa mengonsumsi kacang tanah memiliki risiko rendah terkena penyakit jantung karena kacang tanah sarat kan-dungan gizi (protein, niasin, magnesium, vitamin C, mangan, dan khromium) dalam jumlah yang signifikan, tetapi miskin kolestrol. Biji kacang tanah yang diproses tanpa zat tambahan (aditif) tetap memiliki kadar kolestrol nol persen. Selain itu, mi-nyak kacang tanah mengandung asam le-mak tidak jenuh dengan kadar hingga 80% dan di dalamnya terdapat 40-45% asam linoleat. Asam lemak tidak jenuh berperan penting dalam mengatasi stroke, depresi serta memperbaiki dan mempertahankan struktur otak. Karena itu, mengonsumsi kacang tanah secara teratur sangat disa-rankan (NAS 1979; Mijerante dan Nelson 1986; Maesen dan Somaatmadja 1993).

Konsumsi kacang tanah di Indonesia terus meningkat, namun produksi dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan. Permintaan kacang tanah tahun 1991-2001 rata-rata sebesar 836.852 ton dipenuhi dari impor sebanyak 141.842 ton pada periode yang sama (Manurung 2002).

Meskipun tergolong bahan pangan yang sehat, kacang tanah memiliki ke-lemahan sehingga manfaatnya menjadi kurang optimal jika tidak ditangani secara baik. Salah satu kelemahan kacang tanah adalah mudah terinfeksi cendawan toksi-genik yang kemudian berkembang dan memproduksi mikotoksin. Cendawan toksigenik yang biasa menginfeksi kacang tanah adalah Aspergillus flavus dan A.

parasiticus. Toksin yang dihasilkan

dise-but aflatoksin (Afla kependekan

Asper-gilus flavus). Di Indonesia, aflatoksin

ter-golong ke dalam mikotoksin utama yang banyak mengontaminasi produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak (Muhilal dan Karyadi 1985). Aflatoksin yang dihasilkan cendawan toksigenik tersebut yakni afla-toksin B1, B2, G1, dan G2. Dari jenis-jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 adalah yang paling toksik karena bersifat karsino-genik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi

(2)

manusia, mamalia, dan unggas. Gangguan akut berupa kanker hati yang sering ber-akhir dengan kematian (Mehan 1989; Swin-dale 1989).

Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah berupa polong se-gar, polong kering, biji, dan produk olahan-nya, baik olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) maupun olahan modern (kacang atom, kacang men-tega, pasta kacang, selai) umumnya ter-kontaminasi aflatoksin B1 di luar batas to-leransi aman (Adenan et al. 1985; Dhar-maputra et al. 1989; Zahari et al. 1991; Haryadi dan Setiaputra 1994; Bahri 2001). Kesadaran penduduk dunia akan ke-amanan pangan diwujudkan dengan mene-tapkan standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000), serta ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Pada kacang tanah, kandungan aflatoksin menjadi peng-hambat nontarif dalam perdagangan inter-nasional. Batas maksimum kandungan afla-toksin yang diizinkan berbeda antarnegara. FAO menetapkan 30 ppb, sedangkan nega-ra maju seperti Amerika Serikat, MEE, dan Jepang menetapkan 0-5 ppb. Berbagai upa-ya untuk meminimalkan kandungan afla-toksin dalam produk pertanian perlu men-dapatkan dukungan yang memadai dari berbagai pihak agar terhindar dari ham-batan dalam pemasaran selain melindungi konsumen dalam negeri dan mancanegara.

KACANG TANAH DI INDONESIA DEWASA INI

Kacang tanah memiliki potensi besar sebagai produk pangan ekspor yang khas, dan kini menjadi sumber pendapatan penting bagi petani. Namun, hingga kini

kacang tanah masih dipandang sebagai komoditas sampingan daripada tanaman pokok. Kacang tanah umumnya ditanam pada areal yang sempit dan terpencar dengan teknologi sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Indikasinya, produksi kacang tanah dalam 10 tahun terakhir berfluktuasi dengan pertumbuhan rata-rata 1,43%, produktivitas tumbuh rata-rata 0,30%, dan luas panen tumbuh rata-rata 2,33%. Hal tersebut mengisya-ratkan bahwa peningkatan produksi lebih disebabkan oleh pertambahan luas tanam dengan sentuhan teknologi amat minimal. Produksi kacang tanah tahun 1997 tercatat 685.043 ton dari luas panen 624.890 ha. Pada tahun 2001, produksinya meningkat menjadi 709.770 ton dari luas panen 654.838 ha. Produktivitas tahun 1997 adalah 1,096 t/ha, tahun 2001 1,084 t/ ha dan rata-rata 1,075 t/ha pada periode 1997-2001 (Tabel 1), padahal berdasarkan hasil penelitian, produktivitasnya dapat mencapai 2,5-3,0 t/ha polong kering. Bila kemampuan petani dalam menyerap teknologi rata-rata 60% maka produkti-vitas kacang tanah masih dapat diting-katkan menjadi 1,5-1,7 t/ha. Penyebab utama stagnasi produktivitas kacang tanah adalah tidak adanya rangsangan bagi petani untuk meningkatkan produksi. Selama periode 1997-2001, harga kacang tanah terus menurun, sedangkan biaya produksi makin meningkat.

Neraca penyediaan dan permintaan kacang tanah periode 1996-2001 rata-rata negatif, artinya pada periode tersebut Indonesia merupakan negara net importir. Impor kacang tanah dalam periode 1996-2001 rata-rata 141.842 ton (Tabel 2) dengan nilai US$61.815 juta (Manurung 2002).

Dari sekitar 23 juta ton produksi kacang tanah dunia, kawasan Asia dan Pasifik memberikan kontribusi sekitar

(3)

Tabel 1. Produksi, luas panen, dan produktivitas kacang tanah, 1997-2004.

Tahun Luas panen Produktivitas Produksi

(ha) (t/ha) (t) 1997 624.890 1,096 685.043 1998 646.469 1,063 687.688 1999 624.980 1,055 659.586 2000 683.554 1,077 736.517 2001 654.838 1,084 709.770 2002 629.630 1,098 691.404 2003 724.400 1,175 829.550 2004 800.000 1,200 871.200 Sumber: Manurung (2002).

Tabel 2. Neraca produksi dan permintaan serta impor kacang tanah, 1996-2001. Tahun Produksi (t) Permintaan (t) Impor (t) Ekspor (t)

1996 737.480 942.348 234.069 29.201 1997 685.043 880.282 198.033 2.794 1998 687.688 750.506 71.258 8.440 1999 659.586 773.936 117.652 3.302 2000 736.517 847.479 111.284 332 2001 709.770 826.560 118.758 1.968 2002 691.404 874.224 2003 724.400 895.404 2004 800.000 917.789 Sumber: Manurung (2002).

50%. Di kawasan Asia dan Pasifik, Cina memberikan kontribusi 55%, India 34%, Indonesia 5%, dan Vietnam 1,8% untuk periode tahun 1997-1999. Selama periode tersebut, laju pertumbuhan produksi di Cina cenderung meningkat, sedangkan India, Indonesia, dan Vietnam menun-jukkan laju pertumbuhan produksi yang menurun, masing-masing 9,5%, 7,8%, dan 3,9% (Hutabarat dan Maeno 2002).

Kebutuhan kacang tanah untuk kon-sumsi tahun 2004 sebesar 181.387 ton sesungguhnya telah tercukupi oleh

pro-duksi dalam negeri. Namun, permintaan kacang tanah tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk ekspor dan keperluan lain. Pada tahun 2004, diperkirakan produksi kacang tanah akan mencapai 800.000 ton. Untuk mencapai tingkat produksi tersebut, pilihannya adalah memperluas areal tanam serta meningkatkan produktivitas. Peluang mengembangkan produksi kacang tanah pada 52 kabupaten di 12 provinsi cukup besar. Hal tersebut memerlukan upaya keras dan kebijakan yang berpihak kepada petani sehingga mereka termotivasi untuk

(4)

meningkatkan produksi sekaligus menda-patkan insentif yang diperlukan untuk menerapkan teknologi. Kebijakan harga, pemberian subsidi agroinput, diikuti dengan penghambatan nontarif untuk kandungan aflatoksin dan kebijakan teknis pendukungnya diyakini dapat memicu minat petani untuk meningkatkan pro-duksi. Bila upaya tersebut dapat dilakukan, dapat dipastikan Indonesia akan terhindar dari serbuan kacang tanah impor. Pe-menuhan kebutuhan melalui impor akan lebih mudah karena: (1) adanya fasilitas kredit impor produsen utama; (2) menjual kelebihan produksi dengan harga murah lebih menguntungkan daripada menyim-pannya; (3) kacang tanah selalu tersedia di pasar internasional dengan mutu dan pasokan yang terjamin; dan (4) rente eko-nominya lebih tinggi.

VARIETAS, Aspergillus flavus DAN LINGKUNGAN

Kementerian Pertanian hingga tahun 2002 telah melepas dan merekomendasikan 26 varietas unggul kacang tanah. Varietas yang dilepas pada tahun 1950-1970 me-miliki keunggulan dalam daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit layu. Gajah, Kidang, Macan, dan Banteng adalah va-rietas kacang tanah yang dilepas pada periode tersebut dan masih ditanam petani hingga kini. Pada kurun waktu 1970-1986, selain daya hasil dan ketahanan terhadap panyakit layu, ketahanan terhadap penya-kit karat dan penyapenya-kit daun mulai di-perhatikan. Pelanduk, Tapir, Tupai, Rusa, Anoa, Mahesa, Landak, Simpai, Biawak, dan Komodo adalah varietas kacang tanah yang dilepas pada periode tersebut. Program pemuliaan kacang tanah pada periode 1986-2000 mulai memerhatikan

faktor lingkungan abiotik, terutama ce-kaman kemasaman tanah, kekeringan, naungan, dan kahat hara terutama besi di tanah Alfisol alkalis. Varietas Kelinci, Ba-dak, Zebra, Jerapah, Singa, dan Sima ter-golong toleran kekeringan dan kondisi tanah masam serta agak tahan penyakit karat dan bercak daun. Varietas Panter toleran kekeringan dan agak tahan pe-nyakit daun, varietas Turangga toleran naungan, dan varietas Kancil toleran kahat besi pada Alfisol alkalis.

Menyongsong era pertanian kompetitif tahun 2002 yang menuntut syarat mutu hasil, mutu lingkungan, dan efisiensi sis-tem produksi, perbaikan varietas kacang tanah mulai diarahkan pada perbaikan mutu hasil, dengan fokus ketahanan ter-hadap A. flavus. A. flavus merupakan jamur saprofit, koloninya menghasilkan spora berwarna kehijauan, dan miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981). Selain A. flavus, biji kacang tanah sering terkontaminasi A.

niger dan Penicillium sp. Kacang tanah

varietas lokal dan varietas unggul lama seperti varietas Macan, peka terhadap A.

flavus dan jamur lainnya (Gambar 1). Bila A. flavus telah memproduksi aflatoksin, biji

kacang tanah akan terasa pahit bila dikon-sumsi. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang semakin coklat dan rasanya makin pahit.

Infeksi A. flavus dan produksi afla-toksin pada kacang tanah merupakan hasil interaksi antara varietas dan faktor ling-kungan. Varietas kacang tanah yang seca-ra genetik tahan terhadap infeksi A. flavus, polong dan bijinya memperlihatkan laju perkembangan, perkecambahan, dan produksi aflatoksin yang lebih rendah dibanding varietas rentan pada kondisi lingkungan yang sama. Beberapa genotipe kacang tanah memiliki kulit polong dan

(5)

kulit ari biji yang mampu menahan pene-trasi A. flavus sehingga dapat mengurangi produksi aflatoksin pada biji, namun beberapa genotipe lainnya tidak memiliki karakteristik tersebut. Fenomena tersebut membuka peluang pengembangan varietas kacang tanah tahan A. flavus.

Bartz et al. (1978) menemukan kera-gaman kolonisasi A. flavus pada genotipe kacang tanah yang berbeda kepekaannya terhadap A. flavus sejalan dengan umur panen dan cara pengeringan. Pettit et al. (1989) menemukan adanya hubungan antara struktur dan komposisi biokimia kulit ari biji dengan kepekaan terhadap A.

flavus. Genotipe kacang tanah yang tahan A. flavus memiliki kulit ari biji dengan

susunan jaringan palisade yang kompak, hilumnya kecil, lapisan lilin pada permu-kaannya tebal, dan mengandung senyawa sejenis tanin. Kemampuan tanaman meng-hasilkan senyawa fitoaleksin terbukti da-pat menghambat pembentukan aflatoksin dan menentukan ketahanan suatu varietas kacang tanah terhadap A. flavus (Wotton dan Strange 1985; Dorner et al. 1987 dalam Pettit et al. 1989).

Mehan dan McDonald (1984) mela-porkan, lima genotipe kacang tanah dapat digunakan sebagai sumber ketahanan terhadap A. flavus, termasuk di dalamnya varietas J11. Kacang tanah varietas J11 telah diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1999 dan gen ketahanannya telah di-integrasikan ke dalam varietas Jerapah dan Mahesa. Keturunan galur-galur tahan A.

flavus tersebut telah diuji daya hasilnya

(Kasno et al. 2001, 2002a, 2002b). Pada genotipe kacang tanah yang tahan, koloni cendawan A. flavus pada biji hanya sedikit. Genotipe kacang tanah yang memiliki koloni cendawan sama atau kurang dari 15% dinyatakan tahan terhadap cendawan

A. flavus (Mehan et al. 1981; Mehan 1989).

Faktor lingkungan yang memengaruhi infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin pada kacang tanah dibedakan ke dalam faktor lingkungan yang berpengaruh lang-sung dan tidak langlang-sung terhadap kegi-atan prapanen maupun pascapanen. Ce-kaman kekeringan dan suhu tanah tergo-long ke dalam faktor yang langsung ber-pengaruh terhadap infeksi cendawan dan kontaminasi aflatoksin. Sementara itu, Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus (kehijauan), A. niger (hitam), dan Penicillium sp. (keabuan/ putih) pada biji kacang tanah varietas lokal, Zebra, dan Macan dengan umur simpan dua bulan (Kasno et al. 2002a).

(6)

nutrisi dan serangan hama penyakit ber-pengaruh tidak langsung terhadap infeksi cendawan dan kontaminasi aflatoksin dalam kegiatan prapanen.

Periode Kritis Kacang Tanah terhadap Infeksi A. flavus

Kacang tanah yang ditanam pada tanah berpasir dan mengalami cekaman kekering-an pada stadia pembentukkekering-an polong dkekering-an pengisian biji sangat rentan terhadap in-feksi A. flavus. Fase pengisian biji sangat sensitif terhadap cekaman suhu dan kekeringan. Suhu tanah optimum untuk perkembangan A. flavus berkisar antara 25,7-31,3oC. Kisaran suhu optimum

tersebut tercapai bila tanaman mengalami cekaman kekeringan pada umur 4-6 minggu sebelum dipanen. Pada suhu 25,7oC, biji

kacang tanah utuh dan sehat akan terbebas dari infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin. Kontaminasi aflatoksin mulai terjadi pada suhu 26,3oC, dan kandungan

aflatoksin terus meningkat sejalan dengan peningkatan suhu hingga mencapai 31,2oC. Bila suhu tanah melebihi suhu

tersebut, kontaminasi aflatoksin tidak akan terjadi (Hill et al. 1985 dalam Ginting dan Beti 1996; Cole et al. 1995).

Di Indonesia, kacang tanah umumnya ditanam pada lahan kering pada akhir musim hujan atau pada musim kemarau. Pada keadaan tersebut, tanaman akan mengalami cekaman kekeringan pada stadium reproduktif sekaligus cekaman suhu sehingga berpeluang besar terinfeksi

A. flavus dan terkontaminasi aflatoksin.

Pada fase pembentukan dan pengisian biji, tanaman kacang tanah memerlukan air dan kalsium (Ca). Tanaman yang menga-lami kahat air dan Ca pada fase tersebut akan menghasilkan sedikit polong isi

de-ngan biji keriput. Biji keriput umumnya mudah terinfeksi A. flavus. Sekitar 40% kacang tanah di Indonesia ditanam pada lahan kering Alfisol alkalis yang meskipun kaya Ca, kandungan unsur hara Fe sangat rendah sehingga tanaman mudah meng-alami klorosis. Tanaman yang mengmeng-alami klorosis menghasilkan polong yang serupa dengan kahat Ca. Keadaan tersebut me-nyebabkan kacang tanah berpeluang be-sar terinfeksi A. flavus dan terkontaminasi aflatoksin.

Sumber Inokulum

Aspergillus flavus

Bahan tanaman yang terinfeksi merupakan sumber inokulum A. flavus. Pettit et al. (1989) melaporkan bahwa infeksi A. flavus terjadi pada ginofor, baik yang masih menggantung di udara maupun yang telah menembus tanah hingga membentuk po-long dan biji. Analisis tanah dari berbagai sentra kacang tanah menemukan 1.000-5.000 spora A. flavus dalam setiap gram tanah. Penambahan inokulum pada daerah perakaran meningkatkan infeksi A. flavus (Mehan et al. 1988a).

Kacang tanah yang ditanam petani Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul lama yang rentan terhadap penyakit daun dan A. flavus, serta tidak toleran kekeringan. Selain itu, kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau sering terserang hama trips, Empoasca, dan Aphis. Pada saat yang bersamaan, terjadi pula serangan penyakit karat dan bercak daun. Kesehatan tanaman yang kurang optimal akibat serangan hama dan penyakit ditengarai berasosiasi dengan kerentanan terhadap infeksi A. flavus. Tanaman yang tidak sehat karena serangan penyakit layu dan hama seperti rayap dan

(7)

Empoasca, sebelum dipanen bijinya telah

terinfeksi A. flavus 56,4-69,8% (Ahmed et

al. 1989). Sekitar 60% dari luas panen

kacang tanah tahun 2001 yang mencapai 654.838 ha berada pada kondisi tersebut, dan panen biasanya terjadi pada awal musim hujan. Kacang tanah yang dipanen pada musim hujan mengandung aflatoksin yang relatif tinggi (Cardona et al. 1989).

Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin pada

Proses Pascapanen

Panen, pengeringan, kondisi penyimpan-an, dan lama penyimpanan diketahui berpengaruh langsung terhadap infeksi A.

flavus. Infeksi cendawan A. flavus dan

kontaminasi aflatoksin pada biji kacang tanah pasti terjadi pada pertanaman yang mengalami cekaman kekeringan pada fase reproduktif, terutama pada 3-6 minggu menjelang panen (Cole et al. 1995). Cendawan akan berkembang biak pada biji apabila senyawa antimikroba, fitoaleksin, tidak terbentuk (Basha et al. 1994). Fitoaleksin hanya terbentuk jika aktivitas air pada biji (kernel water activity/K-aW) minimal 0,95. Dengan terbentuknya senyawa antimikroba tersebut, cendawan

A. flavus yang masuk ke dalam biji akan

berada pada kondisi dorman. Sebaliknya, pada rentang K-Aw antara 0,8-0,95 dengan suhu 25-36o C, cendawan A. flavus akan

berkembang biak dan membentuk afla-toksin (Wotton and Strange 1985).

Pengeringan merupakan kegiatan pas-capanen yang paling kritis, terutama bila panen terjadi pada musim hujan. Kadar air biji kacang tanah pada saat panen berkisar 35-40%. Musim hujan dengan cuaca mendung dan kelembapan tinggi akan memperlambat proses pengeringan dengan

energi surya, sebagaimana yang dilakukan petani kacang tanah di Indonesia. Kadar air substrat 15-20%, suhu 25-30oC, dan

kelembapan nisbi 85% sangat kondusif bagi pertumbuhan dan perkecambahan A.

flavus dan produksi aflatoksin (ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Laju produksi

aflatoksin akan meningkat bila polong kacang tanah tidak segera dikeringkan da-lam waktu 48 jam setelah panen (Cardona

et al. 1989). Dharmaputra et al. (1989)

melaporkan, 80% contoh biji kacang tanah dari Bogor yang berkadar air 3,6-11,0% mengandung aflatoksin B1 lebih dari 30 ppb.

Kontaminasi aflatoksin sebanyak 0,43 ppm terdeteksi pada kacang tanah yang dirontok secara mekanis, dijemur empat hari bersama brangkasannya, dan disimpan selama 15 hari. Pada 45 hari penyimpanan, kandungan aflatoksin mencapai 108,5 ppm (Ilangantileke dan Lagunda 1989). Dhar-maputra et al. (1989) melaporkan bahwa laju infeksi A. flavus dan produksi aflatok-sin sangat dipengaruhi oleh kadar air biji. Kacang tanah dengan kadar air 5-8% me-nunjukkan kandungan aflatoksin 275 ppb setelah disimpan tiga bulan (Quitco et al. 1989). Hal tersebut mengindikasikan ka-cang tanah yang disimpan telah terinfeksi

A. flavus sejak di lapangan.

Pollet et al. (1989) melaporkan bahwa contoh kacang tanah yang diambil dari tempat penyimpanan di tingkat petani memiliki persentase infeksi A. flavus yang lebih rendah daripada contoh yang diambil di pasar. Di Indonesia, untuk sampai ke pasar, kacang tanah memerlukan waktu 40-110 hari setelah panen (Muhilal 1977

dalam Machmud 1989). Kerusakan

me-kanis polong saat panen karena tanah ring, perontokan, dan pembijian serta ke-rusakan karena kegiatan prapanen menjadi pembuka jalan bagi infeksi A. flavus dan

(8)

kotaminasi aflatoksin (Blankenship et al. 1984).

STRATEGI PENGENDALIAN

A. flavus DAN PENCEGAHAN

KONTAMINASI AFLATOKSIN

Proses infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah mengisya-ratkan adanya tiga faktor yang selalu ada bersama-sama agar terjadi kolonisasi A.

flavus yang diikuti oleh produksi

afla-toksin. Ketiga faktor tersebut adalah: (1) varietas kacang tanah yang peka, (2) cen-dawan A. flavus yang ganas dan agresif, dan (3) lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan, dan pro-duksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut secara sederhana dapat digambarkan se-bagai segitiga penyakit A. flavus (Gambar 2). Segitiga penyakit menunjukkan keha-rusan koinsidensi dan interaksi antara va-rietas peka, A. flavus agresif, dan ling-kungan yang kondusif untuk menimbulkan penyakit (kolonisasi cendawan).

Musim kemarau sebagai musim tanam raya, suhu tanah yang tinggi pada periode kritis, dan kebiasaan petani tidak segera menjemur kacang tanah setelah dipanen sangat kondusif bagi infeksi A. flavus. Mencermati kondisi tersebut, dua dari tiga komponen segitiga penyakit tersebut perlu mendapat perhatian, yakni varietas kacang tanah peka dan lingkungan tumbuh yang sangat kondusif bagi kolonisasi A. flavus. Dengan demikian, strategi pencegahan atau pengendalian penyakit yang dise-babkan oleh A. flavus ialah dengan me-nanam varietas kacang tanah toleran/ta-han A. flavus serta memperbaiki lingkung-an tumbuh dlingkung-an pengelolalingkung-an praplingkung-anen yang baik.

Penggunaan Varietas Tahan A. flavus

Ketahanan ialah tanggap aktif dan dina-mis inang terhadap patogen yang me-nyerangnya. Ketahanan dan kepekaan timbul jika terjadi interaksi antara inang

Gambar 2. Segitiga penyakit Aspergillus flavus. Varietas kacang tanah peka

Lingkungan kondusif

A. flavus

agresif

(9)

dan patogen. Ketahanan dan kepekaan varietas merupakan ukuran relatif yang menggambarkan interaksi kacang tanah sebagai inang dan A. flavus sebagai pato-gen. Ketahanan inang tampak dari taraf perkembangan penyakit atau kolonisasi A.

flavus. Cara-cara terlepasnya inang dari

infeksi A. flavus karena terhindar dari infeksi bukan termasuk dalam lingkup mekanisme ketahanan. Manipulasi ling-kungan tumbuh dan penggunaan jamur antagonis termasuk ke dalam kategori ini. Di Indonesia, ketahanan varietas ka-cang tanah terhadap A. flavus mulai men-dapat perhatian sejak tahun 1976, dan pada tahun 1983 berhasil dilepas varietas Tupai. Menyongsong era pertanian kompetitif, mulai tahun 1999 hal tersebut mendapat-kan perhatian yang serius. Upaya menda-patkan varietas toleran atau tahan diawali dengan evaluasi ketahanan terhadap A.

flavus pada populasi galur generasi lanjut

serta varietas toleran kekeringan dan tahan penyakit daun, dilanjutkan dengan integ-rasi gen tahan A. flavus yang terkandung pada varietas kacang tanah asal manca-negara ke dalam varietas yang teridenti-fikasi tahan A. flavus. Sembilan varietas kacang tanah teridentifikasi agak tahan dan tahan A. flavus (Tabel 3).

Manipulasi Lingkungan Tumbuh

Manipulasi lingkungan tumbuh meru-pakan cara mencegah terjadinya interaksi kacang tanah dengan A. flavus. Interaksi tersebut terjadi sejak tanaman di lapangan dan spora jamur tersebut terbawa polong atau biji ke ruang penyimpanan atau tem-pat pemasaran. Pettit et al. (1989) menda-patkan frekuensi isolasi A. flavus pada gi-nofor udara kacang tanah di lapangan

sebesar 13-32% dan pada ginofor tanah yakni 5-22%. Pengujian pada polong tua mendapatkan hasil yang sama, yakni 10-27%. Oleh karena itu, manipulasi ling-kungan untuk mencegah interaksi kacang tanah dan A. flavus harus dimulai sejak tanaman di lapangan, saat panen, hingga penanganan pascapanen.

Pengaturan waktu tanam dan pengair-an agar tpengair-anampengair-an terhindar dari cekampengair-an kekeringan dan suhu terbukti efektif mene-kan laju infeksi A. flavus (Mehan et al. 1988b; Kasno et al. 2002a). Panen tepat waktu juga dapat menekan laju infeksi A.

flavus. Varietas dan tingkat kemasakan biji

memperlihatkan hubungan nyata dengan tingkat infeksi A. flavus. Waktu panen kacang tanah yang tepat untuk mencegah infeksi A. flavus adalah pada saat biji masak optimum yang ditandai oleh kandungan bahan kering dan komposisi biji yang mak-simal. Hal tersebut secara visual dapat dikenali dari warna kulit polong yang agak gelap dan bila dikupas, bagian kulit polong memperlihatkan guratan hitam dengan la-tar belakang putih. Secara kuantitatif, hal tersebut terjadi bila nisbah biji-kulit

(seed-hull) telah maksimum (Mehan et al. 1986;

Trustinah 1987).

Panen terlalu awal akan memperoleh proporsi polong muda lebih banyak dan bila dikeringkan bijinya menjadi keriput dengan waktu pengeringan yang lebih lama. Biji muda lebih sensitif terhadap infeksi A. flavus dibandingkan biji tua. Sebaliknya, panen terlambat akan menye-babkan biji melekat pada kulit polong se-hingga mudah rusak bila dikupas (Trus-tinah dan Kasno 1992). Biji keriput dan biji rusak sensitif terhadap infeksi A. flavus (Woodrof 1983 dalam Ginting dan Beti 1996).

Pemeraman atau penundaan penge-ringan polong/biji setelah dipanen dapat

(10)

Tabel 3. Hasil dan ketahanan beberapa varietas kacang tanah terhadap Aspergillus flavus. Varietas Hasil Ketahanan

(tahun dilepas) (t/ha) terhadap Keunggulan lain

A.flavus

Tupai (1983) 2,00 T Tahan penyakit layu dan agak tahan penyakit karat

Zebra (1992) 2,40 T Toleran penyakit daun dan responsif terhadap tambahan input

Komodo (1992) 2,00 T Agak tahan penyakit daun, cocok di musim kemarau

Jerapah (1998) 2,00 AT Toleran kekeringan dan lahan masam, agak tahan penyakit daun

Singa (1998) 2,30 T Agak tahan penyakit daun dan penyakit layu, toleran kekeringan dan adaptif lahan masam Sima (2001) 2,30 T Agak tahan penyakit daun dan penyakit layu,

toleran kekeringan dan adaptif lahan masam Turangga (2001) 2,00 AT Agak tahan penyakit daun dan sesuai untuk

tumpang sari

Kancil (2001) 1,85 AT Agak tahan penyakit daun dan toleran kahat besi pada tanah Alfisol alkalis

Bima (2001) 1,70 AT Agak tahan layu dan sesuai untuk kacang BIGA

J11 (Cek) 1,60 T

AT= agak tahan dan T= tahan

Sumber: Sumartini (2000); Kasno et al.(2003)

memicu infeksi A. flavus. Pengolah kacang tanah di Jawa Tengah hanya bersedia membeli polong basah jika pada saat di pabrik waktunya tidak melebihi 24 jam setelah kacang tanah dipanen. Polong ba-sah lebih dari 24 jam setelah dipanen akan menghasilkan kacang garing yang memiliki rasa tengik akibat oksidasi minyak. Kon-taminasi aflatoksin biasanya terjadi pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dalam waktu 48 jam setelah dipanen (Cardona et

al. 1989). Oleh karena itu, mengeringkan

polong basah sesegera mungkin setelah dipanen merupakan cara yang efektif men-cegah terjadinya interaksi inang dengan

A. flavus. Pengeringan polong secara

tra-disional dilakukan dengan pengasapan, terutama bila panen terjadi pada musim hujan.

Pengeringan bertujuan menurunkan kadar air polong/biji dari sekitar 35-40% pada saat panen (bergantung umur masak) menjadi kadar air yang aman dari infeksi A.

flavus. Kadar air substrat 15-20% sangat

kondusif bagi A. flavus untuk menghasil-kan aflatoksin. Biji kacang tanah dengan kadar air 5-8% masih terkontaminasi aflatoksin setelah disimpan tiga bulan (Cardona et al. 1989; ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Idealnya, penge-ringan untuk mencegah infeksi A. flavus dilakukan hingga kadar air kurang dari 5%. Namun, meski dapat dilakukan, suhu dan kelembapan nisbi udara di Indonesia men-jadi faktor pembatas sehingga mengha-silkan kadar air biji seimbang pada kisaran 7-9%. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa penyimpanan merupakan titik kritis dalam

(11)

mencegah infeksi A. flavus karena kacang tanah harus disimpan pada kadar air yang sangat rendah atau kadar air mutlak. Untuk itu perlu fasilitas penyimpanan yang cang-gih dengan biaya tinggi. Langkah praktis yang dapat dilakukan adalah memper-pendek waktu tempuh kacang tanah dari petani ke konsumen yang memerlukan waktu 40-110 hari (Muhilal dan Nurjadi 1977

dalam Machmud 1989).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Kontaminasi aflatoksin merupakan penghambat nontarif dalam perdagang-an kacperdagang-ang tperdagang-anah di pasar internasional. Varietas kacang tanah tahan A. flavus memiliki peran strategis sebagai titik masuk (entry point) dalam mencegah kontaminasi aflatoksin hingga batas yang dapat diterima dalam pasar global. 2. Varietas kacang tanah tahan A. flavus pada berbagai perlakuan pengelolaan pra- dan pascapanen memiliki insiden penyakit dan kontaminasi aflatoksin lebih rendah dibandingkan varietas rentan. Dengan demikian, varietas kacang tanah tahan A. flavus dapat digunakan sebagai komponen penting dalam pencegahan/pengendalian kontaminasi aflatoksin secara terpadu. 3. Strategi pengendalian A.flavus dan kontaminasi aflatoksin yang efisien adalah memadukan varietas kacang tanah dengan pengelolaan pra- dan pascapanen yang optimal.

4. Teknologi untuk meminimalkan infeksi

A. flavus dan kontaminasi aflatoksin

pada kacang tanah meliputi varietas agak tahan A. flavus serta pengelolaan

pra- dan pascapanen yang optimal. Penerapan teknologi tersebut memer-lukan kerja sama terpadu berbagai pihak terkait dalam agribisnis kacang tanah disertai kebijakan yang kondusif.

Implikasi Kebijakan

1. Mengingat bahaya aflatoksin bagi kese-hatan dan hambatan nontarif dalam perdagangan internasional, serta mengacu pada hasil penelitian dan teknologi yang tersedia, upaya jangka pendek untuk meminimalkan kontami-nasi aflatoksin adalah: (a) sosialisasi pengendalian penyakit karat dan bercak daun pada petani yang masih menggunakan varietas lokal atau unggul lama; (b) mencegah infeksi A.

flavus dan kontaminasi aflatoksin pada

pertanaman kacang tanah musim hujan terutama dengan memperbaiki penge-lolaan pascapanen, dan pada perta-naman musim kemarau melalui penge-lolaan prapanen; (c) panen tepat waktu dan segera mengeringkan polong setelah panen bila ditujukan untuk konsumsi biji kering; dan (d) sosialisasi pengairan di sentra-sentra produksi kacang tanah yang memiliki fasilitas irigasi pompa air dalam, sumur pantek, atau irigasi teknis.

2. Dalam jangka menengah disarankan: (a) melakukan sosialisasi penggunaan varietas kacang tanah tahan A. flavus; varietas Jerapah, Sima, dan Turangga toleran terhadap kekeringan, agak tahan penyakit daun, dan agak tahan

A. flavus; diikuti pengelolaan pra- dan

pascapanen yang optimal; (b) mem-produksi dan memperbaiki sistem distribusi benih bina varietas kacang tanah; dan (c) mengkaji berbagai

(12)

lang-kah kebijakan yang dapat memacu petani meningkatkan produksi dan mendapat insentif yang memadai untuk menerapkan teknologi budi daya maju.

DAFTAR PUSTAKA

Adenan, H., S. Tsuboi, K. Kawamura, M.L. Cruz, H.W. Soeliadi, dan H. Suharto. 1985. Peranan aflatoksin B1 pada kar-sinoma hepatoseluler. Makalah dipre-sentasikan pada kongres PPHI, PGI, PEGI, Palembang, 1-3 Agustus 1985. Ahmed, N.E., Y.M.E. Younis, and K.M.

Malik. 1989. Aspergillus flavus colo-nization and contamination of ground-nut in Sudan. p. 255-262. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Afla-toxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mi-kotoksin pada pakan dan produk pe-ternakan di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. 15 hlm.

Bartz, J.A., A.J. Norden, J.C. La Prade, and T.J. Demuynk. 1978. Seed tolerance in peanut to members of the Aspergillus

flavus group fungi. Peanut Sci. 2:

53-56.

Basha, S.M., B.J. Cole, and S.K. Pancholy. 1994. A phytoalexin and aflatoxin producing peanut seed culture system. Peanut Sci. 21: 130-134.

Blankenship, P.D., R.J. Cole, T.H. Sanders, and R.A. Hill. 1984. Effect of geo-carpospere temperature on preharvest colonization of drought stress peanut by Aspergillus flavus and subsequent aflatoxin contamination. Mycopatho-logia 85: 69-74.

Cardona, T.D., S.G. Ilangantileke, and A. Noomhorm. 1989. Aflatoxin research on grain in Asia: Its problems and possible

solution. p. 378-394. Proc. of the 12th

ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology. AGPP, Bangkok.

Cole, R.J., J.W. Dorner, and C.C. Holbrook. 1995. Advances in mycotoxin elimina-tion and resistance. p. 456-474. In H.E. Pattee and H.T. Stalker (Ed.). Adv. Peanut Sci. Am. Peanut Res. Edu. So., Stillwater.

Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, H. Susilo, and Sulaswati. 1989. A. flavus and aflatoxin in peanut collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Proc. of the 12th Asean

Seminar on Grain Postharvest Techno-logy, Surabaya, 29-31 August 1989. 111 pp.

Dwidjoseputro. 1981. Dasar-dasar Mikro-biologi. Jambatan, Jakarta. hlm. 135-134 Ginting, E. dan J.A. Beti. 1996. Upaya pe-nyediaan bahan baku bebas aflatoksin mendukung agroindustri kacang ta-nah. Dalam N. Saleh, K.H. Hendro-atmodjo, Heriyanto, A. Kasno, A.G. Manshuri, dan A. Winarto (Penyun-ting). Risalah Seminar Nasional Pros-pek Pengembangan Agribisis Kacang Tanah di Indonesia, Malang, 18-19 De-sember 1995. Edisi Khusus Balitkabi No. 7: 388-406.

Haryadi, Y. and E. Setiaputra. 1994. Cha-racterization of aflatoxin B1, B2, G1 and G2 in groundnut and groundnut pro-ducts. p. 996-998. In Highley et al. (Eds.). Proc. of the 6th International

Working Conferences on Storage Pro-duct Protection, Canberra, Australia, 17-23 April 1994. Vol 2.

Hutabarat, B. and N. Maeno. 2002. Eco-nomic significance of legumes, roots and tuber crops in Asia and the Pacific, p. 41-52. Dalam M. Jusuf, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, A.A. Rahmianna, Heriyanto, Marwoto, I K.

(13)

272 Astanto Kasno

Tastra, M.M. Adie, dan Hermanto (Pe-nyunting). Teknologi Inovatif Tanam-an KacTanam-ang-kacTanam-angTanam-an dTanam-an Umbi-umbi-an Mendukung KetahUmbi-umbi-anUmbi-umbi-an PUmbi-umbi-angUmbi-umbi-an. Risa-lah Seminar Hasil Penelitian, 25-26 Juni 2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.

Ilangantileke, S.G. and R.E.A. Lagunda. 1989. A study on-farm groundnut post-harvest handling systems. p. 138-146. Proc. of the Twelfth ASEAN Seminar on Grain Post Harvest Technology, Bangkok.

Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, Su-martini, dan Trustinah. 2001. Pemben-tukan varietas kacang tanah hasil stabil dan beradaptasi luas. Studi kasus va-rietas Jerapah. Buletin Palawija 1: 1-14. Kasno, A. Trustinah, J. Purnomo, dan Moedjiono. 2002a. Seleksi galur kacang tanah toleran kekeringan, tahan pe-nyakit daun dan Aspergillus flavus. Laporan Teknis 2001. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.

Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, dan Sumartini. 2002b. Tanggap fenotipik dan genotipik beberapa varietas ka-cang tanah dan populasi keturunannya terhadap cendawan Aspergillus flavus, hlm. 401-409 Dalam I.K. Tastra, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, M. Sudardjo, Heriyanto, J.S Utomo, dan A. Taufik (Penyunting). Peningkatan Produktivitas, Kualitas, Efisiensi dan Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Risalah Seminar Hasil Penelitian, 24-25 Juli 2001. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Kasno, A., Trustinah, Sumartini, J.

Purno-mo, dan Moedjiono. 2003. Seleksi ka-cang tanah tahan A. flavus.

hlm.198-211. Dalam. A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmianna, Heri-yanto, dan I.K. Tastra (Penyunting). Kinerja Penelitian Mendukung Agri-bisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Prosiding Seminar Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Machmud, M. 1989. Groundnut aflatoxin

problems in Indonesia. p. 215-222. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Ground-nut. ICRISAT, India.

Maesen, L.J.G. dan S. Somaatmadja. 1993. Prosea: Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. I. Kacang-kacangan. Grame-dia Pustaka Utama, Jakarta.

Manurung, R.M.H. 2002. Tantangan dan peluang pengembangan tanaman ka-cang-kacangan dan umbi-umbian da-lam rangka mendukung ketahanan pa-ngan. hlm. 19-40.

Mehan, V.K., D. McDonald, S.N. Nigam, and B. Lalitha. 1981. Groundnut cul-tivars with seed resistance to invasion by Aspergillus flavus. Oleagineux 36: 501-505.

Mehan, V.K. and D. McDonald. 1984. Research on the aflatoxin problem in groundnut at ICRISAT, India. Plant and Soil 79: 255-260.

Mehan, V.K., D. McDonald, N. Ramakrisna, and J.H. Williams. 1986. Effect of ge-notype and date of harvest on infection of peanut seed by Aspergillus flavus and subsequent contamination with aflatoxin. Peanut Sci.13: 46-50. Mehan, V.K., D. McDonald, and N.

Ra-makrisna. 1988a. Effect of adding ino-culum of Aspergillus flavus to pod zone soil on seed infection and afla-toxin contamination of peanut geno-types. Oleagineux 43: 21-28.

(14)

Varietas kacang tanah tahan Aspergillus flavus ... 273

Mehan, V.K., R.C.N. Rao, D. McDonald, and J.H. Williams. 1988b. Management of drought stress to improve field screening of peanuts for resistance to

Aspergillus flavus. Phytophatology 78:

659-663.

Mehan, V.K. 1989. Screening groundnut for resistance to seed invasion by and to aflatoxin production. p. 324-334. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Ground-nut. ICRISAT, India.

Mijerante, W.B. and A.I. Nelson. 1986. Utilization of legumes as food. In E.S. Walis and D.E. Byth (Eds.). Food Le-gumes Improvement for Asian Farming System. ACIAR Proc. No. 18.

Muhilal dan Karyadi. 1985. Aflatoxin in

nuts and grains. Gizi Indonesia X(1): 75-79.

NAS. 1979. Tropical Legumes: Resources for the future. Nat. Acad. Sci., Was-hington, DC.

Pettit, R.E., H.A. Azaizeh, R.A. Taber, J.B. Szerszen, and O.D. Smith. 1989. Screen-ing groundnut cultivars for resistance to Aspergillus flavus, Aspergillus

pa-rasiticus and aflatoxin contamination,

p. 191-303. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Pollet, A., C. Declert, W. Wiegant, J.

Harkena, and E. de Lisdonk. 1989. Traditional groundnut storage and aflatoxin problems in Cote d’Ivoire: ecolocigal approach. p. 263-268. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Ground-nut. ICRISAT, India.

Quitco, R., L. Bautista, and C. Bautista. 1989. Aflatoxin contamination of groundnut at post-production level of operation in the Philippines. p. 101-110. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India.

Sumartini. 2000. Evaluasi ketahahan va-rietas kacang tanah terhadap cendawan

Aspergillus flavus. Laporan Teknis

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 7 hlm.

Swindale, L.D. 1989. A general overview of the problem of aflatoxin contami-nation of groundnut. p. 3-10. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Ground-nut. ICRISAT, India.

Trustinah. 1987. Perkembangan polong kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada berbagai umur panen. Penelitian Palawija 2: 56-60.

Trustinah dan A. Kasno. 1992. Indeks masak galur kacang tanah F6. Penelitian Palawija 7(1): 70-78.

Wotton, H.R. and R.N. Strange. 1985. Circumstantial evidence for phyto-alexin involvement in the resistance of peanuts to Aspergillus flavus. J. Gen. Microbiol. 131: 487-494.

Zahari, P., S. Bahri, and R. Maryam. 1991. Mycotoxin contamination of peanut after harvest in Sukabumi, West Java, Indonesia. 220 pp. In B.R. Champ, E. Highley, A.D. Hocking and J.J. Pitt. (Eds.). Proceeding of an International Conference held at Bangkok, Thailand, 23-26 April 1991.

Gambar

Tabel 2. Neraca produksi dan permintaan serta impor kacang tanah, 1996-2001.
Gambar 1. Koloni  Aspergillus flavus (kehijauan), A. niger (hitam), dan Penicillium sp
Gambar 2. Segitiga penyakit Aspergillus flavus.
Tabel 3. Hasil dan ketahanan beberapa varietas kacang tanah terhadap Aspergillus flavus.

Referensi

Dokumen terkait

kiamat. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk  memberi peringatan kepada

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kawasan Air Terjun Lawean Sendang Tulungagung pada titik koordinat S 07°53‘56,64‖ - E 111°47‘38,78‖,diperoleh bahwa ada

5.1 melaksanakan tugas rutin dengan prosedur yang ditetapkan dimana kemajuan ketrampilan seseorang di awasi secara berkala oleh pengawas. 5.2 melaksanakan tugas

Dalam hitungan sederhana sifat proporsionalitas dapat digambarkan sebagai berikut, bila penduduk Indonesia saat ini adalah 200 juta orang dan jumlah wakil rakyat di dewan

BARUMUN SELASA/15-09-2020 I 08.30-10.00 CAT_MANDIRI 1 JADWAL, SESI DAN TATA TERTIB PELAKSANAAN SELEKSI KOMPETENSI BIDANG (SKB) CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL. DILINGKUNGAN

(1) Perlakuan tindakan konservasi dengan gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao nyata meningkatkan total pori tanah (61.8%) sehingga menurunkan BD (1.013 g

Tombol ini berfungsi untuk memilih objek yang sekaligus dapat digunakan untuk men- skalakan atau merubah besaran objek yang terpilih, pada bagian ini proses skala hanya berlaku

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya dan Syafa’at Rasulullah SAW kepada kita semua, sehingga penulis dapat