• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA

(Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I

Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh

ZAHRUL MAULIDI NIM :2103194

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

Drs. Musahadi, M.Ag Jl. Permata Ngaliyan II/62 Ngaliyan Semarang

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Zahrul Maulidi

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara:

Nama : Zahrul Maulidi

NIM : 2103194

Judul : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG

DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP

ANAKNYA (Studi Komparasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi tersebut dapat segera diujikan.

Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Semarang, 09 Juni 2010.

KEMENTRIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARIÁH

(3)

PENGESAHAN

Skripsi Saudara :

Nama : Zahrul Maulidi

NIM : 2103194

Jurusan : Jinayah Siayasah

Judul Skripsi : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN

ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA (Studi Komparasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariáh IAIN Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus pada tanggal:

29 Juni 2010

Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir program sarjana (S.I) tahun akademik 2009/2010 memperoleh Sarjana Strata I dalam ilmu syariáh.

KEMENTRIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARIÁH

(4)

MOTTO



































































Artinya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. (qs. Al Maidah: 32)

(5)

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan kepada mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupanku khsusnya buat:

Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan segalanya bagi pengembangan kepribadianku.

Saudara-saudaraku serta seluruh keluarga tercinta.

Teman-teman angkatan 2003 Fakultas Syariáh Jurusan Jinayah Siyasah

Rekan-rekanku seperjuangan di Pondok Pesantren Al Mubarok Mranggen Demak, semoga kemurnian hati selalu menyertai, setapak demi setapak menjelajahi samudra pengabdian tanpa henti

Teman-teman PENA BANGSA

(6)

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 11 Juni 2010 Deklarator

Zahrul Maulidi NIM. 2103194

(7)

ABSTRAK

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif? bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif? apa perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya?

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka (library research). Sebagai sumber data primer dari segi hukum Islam yaitu Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, , Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Abdurrrahmân Jazirî, Kitab al-Fiqh „alâ al-Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V,. Sedangkan sumber data primer dari segi hukum positif yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori-teori-teori baru, Kemudian menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

Hasil dari pembahasan menunujukkan bahwa Dalam aturan hukum positif tindak pidana pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, maka orang tua dapat dipidana atau dikenai sanksi hukum. Hukum positif sama sekali tidak membuka peluang dibebaskannya orang tua membunuh anaknya sepanjang unsur-unsur delik yang termuat dalam Pasal-Pasal yang bersangkutan terpenuhi. Adanya sanksi hukum terhadap orang tua yang membunuh anaknya menunjukkan bahwa hukum positif tidak mempertimbangkan unsur hubungan darah. Dalam hukum pidana Islam, dalam hal orang tua yang membunuh anaknya, maka orang tua tidak bisa dikenai hukum qisâs. Hukuman qisâs dapat gugur apabila wali korban menjadi pewaris hak qisâs.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang yang senantiasa menganugerahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan karya skripsi degan judul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA: Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia".

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) bidang jurusan Siyasah Jinayah di Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.

Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuanganya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikannya, namun tanpa bantuan dari berbagai pihak penyusunan ini tidak mungkin dapat terwujud. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. DR. Abdul Jamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik.

2. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

3. Drs. Arif Junaedi, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan Rupi‟i, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syari‟ah

(9)

5. Ibu Soimah, S.Ag selaku Kasubag Akademik dan segenap para pegawai dan para dosen IAIN Walisongo Semarang.

6. Pimipinan Perpustakaan fakultas Syari‟ah dan Institut IAIN Walisongo Semarang.

7. Bapak, Ibu, Adik, dan segenap keluarga terkasih.

8. Segenap Keluarga Besar Pondok Pesantren Al MubarokMranggen Demak.

Semoga amal kebaikan dan budi baik yang diberikan mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah swt. Pada akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan penyempurnaan. Oleh karena itu koreksi serta kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini selanjutnya.

Wassalamu‟alaikum Wr Wb.

Semarang, 11 Juni 2010 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii ii HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN DEKLARASI ... vi

HALAMAN ABSTRAKSI ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan Skripsi ... 9

D. Telaah Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian Skripsi ... 13

F. Sistematika Penulisan Skripsi ... 17

BAB II : KONSEP TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam ... 18

1. Pengertian Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam ... 18

2. Macam-macam Jarimah dari segi berat ringannya hukuman ... 21

3. Hukuman dalam Hukum Islam ... 28

B. Tindak Pidana dalam Hukum Positif ... 37

1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Positif ... 37

(11)

3. Hukuman dalam Hukum Positif ... 44

BAB III : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam ... 49 1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Islam ... 49 2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan

dalam Hukum Islam ... 50 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan

dalam Hukum Islam ... 55 B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Positif ... 64

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

dalam Hukum Positif ... 64 2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan

dalam Hukum Positif ... 66 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan

dalam Hukum Positif ... 77

BAB IV : PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG

DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA

ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Analisis Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana

Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap Anaknya Menurut Hukum Positif ... 81 B. Analisis Hukum Islam tentang Ketentuan Pidana terhadap

Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap Anaknya ... 91

(12)

C. Perbedaan dan Persamaan antara Hukum Positif dengan Hukum Islam tentang Ketentuan Pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan Orang Tua terhadap Anaknya ... 98

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran-saran ... 101 C. Penutup ... 101

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perspektif Islam, manusia merupakan makhluk Allah yang paling

sempurna dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan itu dapat

dilihat dari bentuk, potensi yang dimiliki, akal dan hawa nafsu. Dengan

kesempurnaan itulah manusia oleh Allah kemudian dijadikan sebagai khlaifat fi al

ardli.1

Kedua potensi inilah yang kemudian menjadikan manusia mempunyai

beragam kepribadian dan karakter yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Nampaknya fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan mampu

berkembang dengan sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan

pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan

sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan

pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan

ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari

kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling

mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.2 Manusia adalah

1

A. Djazuli., Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu

Syari‟ah., cet. Ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. hlm. 59. 2

Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1 Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003, hlm. 8.

(14)

makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon. Hal

inilah yang membedakan antara manusia dengan mahluk Tuhan lainnya.

Setiap manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran

serta usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan

hidup. Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan

kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling

menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai

kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan

kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal

yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan

masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.3

Dalam kehidupannya manusia tidak bisa hidup semaunya sendiri layaknya

binatang, kehidupan ini disertai dengan berbagai aturan yang mengikat, terutama

yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya, baik terhadap dirinya sendiri,

dengan Tuhannya maupun dengan orang lain. Bahkan dengan mahluk Tuhan yang

lainnya, termasuk alam semesta.

Di antara keistimewaan agama Islam adalah bahwa agama ini selalu

selaras dengan semua dimensi kehidupan manusia, di segala zaman dan segala

tempat. Salah satu dimensi sosial yang tak luput dari pandangan Islam adalah

3

Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan Praktek

(15)

masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun isu tentang HAM baru

dimunculkan dunia Barat sekitar 60 (enam puluh) tahun yang lalu dan Deklarasi

HAM baru ditandatangani tahun 1948, namun sesungguhnya Islam sejak ribuan

tahun lalu telah mengajarkan prinsip-prinsip HAM kepada umat manusia.4

Keberadaan peraturan ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas dalam

kehidupan manusia. Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam

masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat

mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa

(dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap

hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang

berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan

hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang

dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah

sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar

peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh

anggota masyarakat.5

Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius

ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan

4

http://www.annaba-center.com/main/kajian/detail.php?detail =20090312204051./ 27/04/2010.

5

(16)

hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam

seluruh lapisan masyarakat.6

Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya,

hukum terdiri atas hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum

privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan

antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik

diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta

perangkatnya.7

Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam

hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan

hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau

hukum keluarga, Ahwal Madaniyyah atau hukum privat, Ahwal

al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.

Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM

(human right) yang bersifat primer (daruriyyah) yang meliputi perlindungan

terhadap hidup (hifdz an-nafsi), perlindungan hak untuk beragama (hifdz ad-din),

perlindungan terhadap harta benda (hifdz al-mal), perlindungan terhadap

keturunannya (hifdz an-nasli) dan perlindungan memperoleh kehormatan yang

sama (hifz al-aql). Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi

6Ibid., hlm. 49.

7

(17)

dinamakan maqasid asy-syari‟ah.8 Hakikat dari pemberlakuan syari‟at (hukum)

oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu

dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan

dipelihara.9 Tidak terkecuali perlindungan hukum terhadap anak-anak.

Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita

perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan

memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang

ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan

seimbang.10

Dalam perspektif Islam, anak merupakan amanah sekaligus karunia,

bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan

dengan kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan

harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,

martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat

dalam undang-undang dasar 1945 dan konferensi perserikatan bangsa-bangsa

tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak

adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita

8

A. Djazuli., op.cit., hlm. 257. lihat juga Abu Ishaq Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul

al-Syari‟ah., Maktabah Tijariyah, tt., hlm. 71-77. 9

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 71-72.

10

(18)

bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan

dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga

dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh

hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara

dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi

anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara

optimal dan terarah.11

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.12

Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah

menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara

terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut

harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan

anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk

mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus

11

Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 383.

12

(19)

bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh

akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan

persatuan bangsa.

Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup,

merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan

serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa

alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya,

barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan

memelihara manusia seluruhnya.13 Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya : “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. (QS. Al-Maidah : 32)

Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik hukum pidana Islam maupun

pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika

keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian,

dalam hal ini adalah kasus pidana pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap

anaknya.

13

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan

(20)

Dalam kaitannya dengan kasus tersebut hukum Islam memberikan

ketentuan hukum bahwa orang tua yang membunuh anaknya tidak dijatuhi

hukuman qisas karena hukuman tersebut menjadi gugur apabila yang dibunuh

adalah bagian (juz) dari orang yang membunuh.14 Sedangkan hukum positif di

Indonesia dalam menangani kasus tersebut memberikan ketentuan yang berbeda

bahkan berseberangan yaitu memberikan hukuman 1/3 (sepertiga) lebih berat

dibandingkan dengan yang membunuh adalah bukan orang tuanya.15

Berpijak dari persoalan di atas, peneliti tertarik untuk mendialogkan

kembali diskursus hukum pembunuhan orang tua terhadap anak dalam perspektif

hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Penelitian ini dikemas dalam judul “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANG

TUA TERHADAP ANAKNYA: Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, setidaknya ada

tiga rumusan masalah yang menjadi kajian dalam penyusunan skripsi ini, antara

lain adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang

dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif?

14

Abdul Qadir al-Audah., At-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami., Beirut., Muasasah al-Risalah., tt., hlm. 213.

15

(21)

2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak

pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut

hukum positif?

3. Apa perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum Islam

tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan

oleh orang tua terhadap anaknya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan

yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya menurut hukum positif.

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang ketentuan pidana

terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua

terhadap anaknya menurut hukum positif

c. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan

hukum Islam tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya

2. Manfaat

Manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan

kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam

(22)

dengan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan yang

dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.

D. Telaah Pustaka

Karya-karya pemikiran yang membahas masalah hukum, baik hukum

Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu

banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis,

tetapi karya pemikiran yang menggunakan teknik perbandingan antara kedua

sistem hukum tersebut masih belum begitu banyak.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai “Tindak Pidana Pembunuhan

yang Dilakukan oleh Orang Tua terhadap Anaknya (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif) “, penulis akan menelaah beberapa buku, kitab dan literatur lain yang berkaitan untuk dijadikan sebagai referensi, sumber, acuan,

dan perbandingan dalam penulisan skripsi ini. Sehingga akan terlihat letak

perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian atau karya ilmiah yang ada. Buku

yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum Pidana Islam,

secara khusus membahas berbagai permasalahan dalam hukum pidana Islam,

mulai dari paradigma negatif terhadap hukum Islam dengan menggambarkan

hukum pidana Islam secara utuh. Juga dibahas masalah jarimah pembunuhan.16

Selain buku-buku tersebut di atas, beberapa hasil penelitian maupun

karya ilmiah yang berkaitan juga menjadi bagian penting dalam penelitian ini.

Diantaranya adalah skripsi karya Lukman Hakim (2198078) yang berjudul Studi

16

(23)

Komparatif Had Penghapusan Hukum Tindak Pidana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2003. Skripsi ini banyak mengurai tentang penghapusan hukuman tindak pidana dalam hukum

pidana Islam dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam skripsi ini

penulis juga menjabarkan mengenai macam-macam tindak pidana hudud,

qisos-diyat, dan ta‟zir. Selain itu juga menjelaskan beberapa pasal dalam KUHP yang terkait dengan materi tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan,

pemerkosaan, pencurian, dan sebagainya. Dalam analisisnya, penulis menjelaskan

perbedaan dan persamaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.

Karya ilmiah yang lain adalah skripsi karya Muhammad Ihram (2101065)

yang berjudul Perbandingan Hukum Pidana Islam dan KUHP Terhadap Delik

Pembunuhan, Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2005. Skripsi tersebut membahas masalah ruang lingkup pembunuhan dilihat dari pengertian

dasar, klasifikasi dan sanksinya menurut ketentuan hukum pidana Islam dan

hukum pidana positif.

Skripsi Agus Manaf (2100102): Studi Analisis Pendapat Imam Syafi‟i

Tentang Penerapan Hukuman Jarimah Gabungan Dalam Konteks Indonesia, Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang 2004. Dalam skripsi ini

menjelaskan mengenai penerapan hukuman jarimah gabungan menurut Imam Syafi‟i dikaitkan dengan konteks Negara Indonesia. Dalam skripsi ini juga

menjelaskan macam-macam jarimah secara umum, dan menyinggung tentang perbandingan antara pendapat imam Syafi‟i dan hukum positif di Indonesia.

(24)

Skripsi ini berkonsentrasi pada pembahasan jarimah gabungan secara umum,

kemudian diaktualisasikan di Indonesia yang dikenal dengan pasal berlapis.

Pada intinya dinyatakan bahwa dalam hukum pidana Islam, teori tentang

bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para fuqaha, tetapi teori tersebut

dibatasi dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling memasuki (Tadakhul) dan

penyerapan Al-Jabb). Menurut teori tadakhul, ketika terjadi gabungan perbuatan

maka hukuman-hukumannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh

karenanya semua perbuatan tersebut hanya dijatuhi satu hukuman, seperti kalau

seseorang melakukan satu jarimah. Pengertian penyerapan menurut syariat Islam

adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga

hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam konteks ini tidak lain

adalah hukuman mati, di mana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap

hukuman-hukuman yang lain.

Imam Syafi'i tidak menggunakan teori penyerapan Al-Jabb). Imam Syafi'i

yang tidak menggunakan teori penyerapan, berpendapat bahwa semua hukuman

harus dilaksanakan selama hukuman tersebut tidak saling memasuki

(melengkapi). Caranya adalah dengan mendahulukan hukuman-hukuman yang

merupakan hak manusia yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman yang

merupakan hak Allah yang bukan hukuman mati, dan terakhir barulah hukuman

mati. Apabila orang yang terhukum mati dalam menjalani hukuman-hukuman

tersebut sebelum dilaksanakannya hukuman mati maka hapuslah

(25)

Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu

berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu belum mengungkapkan

ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang

tua terhadap anaknya menurut hukum Islam dan hukum positif. Penelitian

terdahulu baru menyentuh persoalan had penghapusan hukum tindak pidana,

pendapat Imam Syafi‟i tentang penerapan hukuman jarimah gabungan dalam

konteks Indonesia, perbandingan hukum pidana Islam dan KUHP terhadap delik

pembunuhan. Pembunuhan dimaksud dalam konteks yang masih umum dan

belum mengungkapkan pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap

anaknya.

E. Metode Penelitian

Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling

akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian

tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara

atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang

diperlukan.17

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research),

yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau

17

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang

(26)

majalah.18 Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber

pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih

jelasnya adalah membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem

hukum yang berbeda mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan

oleh orang tua terhadap anaknya melalui kajian pustaka.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, analitik serta

komparatif. Teknik analisis deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau

fakta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta

tersebut,19 sedang analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata

secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna

mencari makna,20 kemudian komparatif dengan membandingkan hasil yang

didapat, dalam hal ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan

hukum pidana positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan

landasan penyelesaian.

3. Sumber Data

Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

18

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7 Bandung: Transito,1994, hlm. 25.

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 10.

20

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4., Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998, hlm. 43.

(27)

Sebagai sumber data primer dari segi hukum Islam yaitu Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1972; Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,

Jakarta: Bulan Bintang, 1990; Jazirî, Abdurrrahmân, Kitab Fiqh „alâ

al-Mazâhib al-Arba‟ah, Juz V, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972. Sedangkan sumber data primer dari segi hukum positif yaitu Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Data Sekunder

Al-Fiqh wa Adillatuh karya Wahbah az-Zuhaili, Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj Muslim karya Abu Bakar Jabir

al-Jazairi, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib karya Mustafa

Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana positif,

KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M. Sudradjat

Bassar dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis penelitian merupakan penelitian kepustakaan (library research),

maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan

mengumpulkan pendapat dari para pakar dan ulama melalui buku-buku,

(28)

Selanjutnya dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun sekunder akan

diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.

5. Teknik Analisis Data

Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian

ini adalah deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya

adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu teori-teori

lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.21 Dengan metode ini

penyusun mencoba menganalisa data untuk mengungkapkan

ketentuan-ketentuan hukum tentang pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap

anaknya dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian

menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan ketentuan

yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai permasalahan

yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan dan

persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut, sehingga

diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari sebagian

persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

Penelitian ini juga menggunakan metode historis yaitu sebuah proses

yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan

yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisai yang berguna

21

(29)

dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah.22 Penelitian

historis, bertujuan untuk mendiskipsikan apa-apa yang telah terjadi pada masa

lampau. Proses-prosesnya terdiri dari penyelidikan, pencatatan, analisis dan

menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa lalu guna menemukan

generalisasi-generalisasi. Generalisasi tersebut dapat berguna untuk

memahami masa lampau, juga keadaan masa kini bahkan secara terbatas bisa

digunakan untuk mengantisipasi hal-hal mendatang.23

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memudahkan skripsi ini, dan dapat memberikan gambaran yang

jelas mengenai apa yang hendak penulis sampaikan, maka perlu kiranya penulis

memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan sistematika

penulisan.

Bab kedua berisi konsep tindak pidana dalam hukum Islam dan hukum

positif yang meliputi jinayah dan jarimah dalam hukum Islam dan tindak pidana

dalam hukum positif.

22

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen Agama, 1986, hlm. 16.

23

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 25.

(30)

Bab ketiga berisi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam dan

hukum positif yang meliputi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam

tindak pidana pembunuhan dalam hukum positif.

Bab keempat berisi analisis, yang meliputi analisis ketentuan pidana

terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap

anaknya menurut hukum positif, analisis hukum Islam tentang ketentuan pidana

terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap

anaknya, perbedaan dan persamaan antara hukum positif dengan hukum islam

tentang ketentuan pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan

oleh orang tua terhadap anaknya

(31)

BAB II

KONSEP TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam

1. Pengertian Jinayah dan Jarimah dalam Hukum Islam

Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau

jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah

diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.24 Seperti dalam kalimat

jana'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata Jana juga berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana

as-samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih.25

Demikian pula menurut Imam al-San'any bahwa al-jinayah itu jamak dari

kata "jinayah" masdar dari "jana" (dia mengerjakan kejahatan/kriminal).26

Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak

pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian,

seperti yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah

perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta

24

Luwis Ma'luf, al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1954, hlm. 88

25

Ibid., hlm. 67.

26

Al-San'âny, Subul Salâm, Juz 3, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 231.

(32)

benda, atau lainnya.27 Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq

bahwa kata jinayah menurut tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang

dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah

setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena

perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal

(intelegensi), harga diri, dan harta benda.28

Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan

dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan

kandungan dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama

dengan hukum pidana.29 Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah

ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan

hukuman berupa penderitaan badan atau harta.30

27

Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri' al-Jinai al-lslami, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub, 1963, hlm. 67. 28

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turast, 1970, hlm. 5.

29

Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 2.

30

Penderitaan badan dan benda di sini mengecualikan jarimah diyat (denda), karena pada suatu saat denda karena diyat tidaklah dibebankan kepada pelanggarnya, tetapi bisa kepada kaum kerabatnya yang bertanggungjawab kepadanya yang dinamakan aqilah atau bisa juga denda itu dibebankan kepada perbendaharaan negara (bait al-mal) pada kondisi pelaku jarimah tidak mampu. Sebagai contoh pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan (khata'). Haliman, Hukum Pidana Syiari'at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 64. Bandingkan

(33)

Dalam Undang-undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP

RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan pada

berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah dan mukhalafah. Jinayah di

sini adalah jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan

yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam

dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara

seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah adalah perbuatan

yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai

kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11

KUHP RPA). Adapun mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang

ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA).31

Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah

peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula

menggunakan istilah jinayah dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai

kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa

maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian

(masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga

dengan Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 405. Para ulama sepakat terhadap persoalan ganti rugi bagi pembunuhan (tindak pidana) karena kesalahan bisa dibebankan kepada orang lain karena ketidakmampuan pelaku tindak pidana (jarimah).

31

(34)

jarimah mempunyai arti perbuatan salah.32 Dari segi istilah, al-Mawardi

mendefinisikan jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara,

yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta'zir.33 Sejalan

dengan menurut TM Hasbi ash Shiddieqy, jarimah adalah

perbuatan-perbuatan yang dilarang syara diancam allah dengan hukuman had atau

hukuman ta'zir.34

Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil dari kedua istilah tersebut

adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya.

Secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti

yang sama serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif, salah atau

dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan, serta

dalam rangka apa kedua kata itu digunakan.

2. Macam-Macam Jarimah dari Segi Berat Ringannya Hukuman Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi, secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi.

Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga

bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.

a. Jarimah qisâs dan diyat 32

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 3. 33

Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut al-Maktab al-Islami, 1996, hlm. 219.

34

TM Hasbi ash Shiddieqy, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1998, hlm. 6.

(35)

Jarimah qisâs dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisâs atau diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman

had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qisâs dan diyat adalah hak manusia (individu).35

Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana

dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan

kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya

khusus untuk mereka.36

Dalam hubungannya dengan hukuman qisâs dan diyat maka

pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa

dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian

maka ciri khas dari jarimah qisâs dan diyat itu adalah

1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan

oleh syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal;

2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti

bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan

terhadap pelaku. Jarimah qisâs dan diyat ini hanya ada dua macam,

yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka

ada lima macam, yaitu

35

Ibid., hlm. 7

36

Syeikh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari'ah Islam, jilid 2, Alihbahasa, Fachruddin HS, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 34.

(36)

1) pembunuhan sengaja ( ),

2) pembunuhan menyerupai sengaja ( ),

3) pembunuhan karena kesalahan ( ),

4) penganiayaan sengaja ( ), dan

5) penganiayaan tidak sengaja ( ).37

Pada dasarnya, jarimah qisâs termasuk jarimah hudud, sebab baik

bentuk maupun hukumannya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Akan tetapi ada pula perbedaannya, yaitu:

1) Pada jarimah qisâs, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan

pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.

2) Pada jarimah qisâs, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan

pada jarimah hudud tidak.

3) Pada jarimah qisâs, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga

hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum

penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada pemaafan.

4) Pada jarimah qisâs, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan

pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada

jarimah qadzaf.

5) Pada jarimah qisâs, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat

diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.

37

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 29

(37)

6) Pada jarimah qisâs dibolehkan ada pembelaan (al-syafa'at), sedangkan

pada jarimah hudud tidak ada.

7) Pada jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah

hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.38

b. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara'

dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).39 Dengan demikian ciri khas

jarimah hudud itu sebagai berikut.

1) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah

ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada

hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih

menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh

Mahmud Syaltut sebagai berikut: hak Allah adalah sekitar yang

bersangkut dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama, tidak

tertentu mengenai orang seorang. Demikian hak Allah, sedangkan Allah

tidak mengharapkan apa-apa melainkan semata-mata untuk membesar

38

Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Jakarta: Anggota IKAPI, 2004, hlm. 164.

39

(38)

hak itu di mata manusia dan menyatakan kepentingannya terhadap

masyarakat. 40 Dengan kata lain, hak Allah adalah suatu hak yang

manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi

seseorang.

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak

Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh

perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh

masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam

antara lain sebagai berikut.

1) Jarimah zina

2) Jarimah qazaf (menuduh zina)

3) Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras)

4) Jarimah pencurian (sariqah)

5) Jarimah hirabah (perampokan)

6) Jarimah riddah (keluar dari Islam)

7) Jarimah Al Bagyu (pemberontakan).41

Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan

pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan

dalam jarimah pencurian dan qazaf (penuduhan zina) yang disinggung di

40

Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 14.

41

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung, 2004, hlm. 12

(39)

samping hak Allah juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak

Allah lebih menonjol.

c. Jarimah Ta'zir

Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Ta'zir

juga diartikan ar rad wa al man'u, artinya menolak dan mencegah. Akan

tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al

Mawardi

42

Artinya: "Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta'zir ini sejalan dengan hukum had; yakni ia adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama seperti itu".

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah

hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan kepada

ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja.

Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk

42

Imam Al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut al-Maktab al-Islami, 1996, hlm. 236

(40)

masing jarimah ta'zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,

dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta'zir itu adalah sebagai

berikut.

1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman

tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada

batas maksimal.

2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Berbeda dengan jarimah hudud dan qisâs maka jarimah ta'zir tidak

ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta'zir ini

adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan

qisâs, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis-jenis jarimah ta'zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak

dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti mencium anak-anak

(dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu ranjang

tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang tidak halal seperti darah dan

bangkai... maka semuanya itu dikenakan hukuman ta'zir sebagai pembalasan

dan pengajaran, dengan kadar hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.43

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zir dan

hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur

43

Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar'iyah, Etika Politik Islam, Terj. Rofi Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, hlm. 157.

(41)

masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa

menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jarimah ta'zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh

syara', seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk ke dalam

kelompok ini jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan

hukumannya oleh syara' (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk

dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian

yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab

pencurian, yaitu seperempat dinar.

3. Hukuman dalam Hukum Islam

Hukuman dalam bahasa Arab disebut 'uqubah. Lafaz 'uqubah menurut

bahasa berasal dari kata: ( ) yang sinonimnya: ( ), artinya:

mengiringnya dan datang di belakangnya.44 Dalam pengertian yang agak

mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil

dari lafaz: ( ) yang sinonimnya: ( ), artinya:

membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.45

Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut

hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan

44

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta: sinar Grafika, 2004, hlm. 136.

45

(42)

itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa

sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan

menyimpang yang telah dilakukannya.

Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti didefinisikan

oleh Abdul Qadir Audah sebagaimana disitir Ahmad Wardi Muslich:

"Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara' yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara'."46

Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah

satu tindakan yang diberikan oleh syara' sebagai pembalasan atas perbuatan

yang melanggar ketentuan syara', dengan tujuan untuk memelihara ketertiban

dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan

individu.

Tujuan pemberi hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan

umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat

dan sekaligus menegakkan keadilan.47 Atas dasar itu, tujuan utama dari

46

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, op.cit, hlm. 137.

47

Abd al-Wahhâb Khalâf, „Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198. Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1958, hlm. 351.

(43)

penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat Islam adalah sebagai

berikut.

a. Pencegahan ( )

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia

tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus

melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga

mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan

melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang

dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga

melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan

adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak

mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat

seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.48

Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman adakalanya

pelanggaran terhadap larangan (Jarimah positif) atau meninggalkan

kewajiban maka arti pencegahan pada keduanya tentu berbeda. Pada keadaan

yang pertama (jarimah positif) pencegahan berarti upaya untuk menghentikan

perbuatan yang dilarang, sedang pada keadaan yang kedua (jarimah negatif)

pencegahan berarti menghentikan sikap tidak melaksanakan kewajiban

tersebut sehingga dengan dijatuhkannya hukuman diharapkan ia mau

48

(44)

menjalankan kewajibannya. Contohnya seperti penerapan hukuman terhadap

orang yang meninggalkan salat atau tidak mau mengeluarkan zakat.49

Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman

harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh

kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, Dengan demikian terdapat

prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian

maka hukuman terutama hukuman ta'zir, dapat berbeda-beda sesuai dengan

perbedaan pelakunya, sebab di antara pelaku ada yang cukup hanya diberi

peringatan, ada pula yang cukup dengan beberapa cambukan saja, dan ada

pula yang perlu dijilid dengan beberapa cambukan yang banyak. Bahkan ada

di antaranya yang perlu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa yang

tidak terbatas jumlahnya atau bahkan lebih berat dari itu seperti hukuman

mati.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tujuan yang pertama itu, efeknya

adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari

perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram, dan damai.

Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada juga efeknya terhadap

pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat

dan ia terhindar dari penderitaan akibat dan hukuman itu.

b. Perbaikan dan Pendidikan

49

(45)

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah

agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat,

bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya

hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran

bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan

karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan

harapan mendapat rida dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja

merupakan alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah, karena

seseorang sebelum melakukan suatu jarimah, ia akan berpikir bahwa Tuhan

pasti mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik

perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak. Demikian juga jika ia

dapat ditangkap oleh penguasa negara kemudian dijatuhi hukuman di dunia,

atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaan dunia, namun pada akhirnya ia

tidak akan dapat menghindarkan diri dari hukuman akhirat.50

Di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan

hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh

rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan

mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu

jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan

50

(46)

serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di

samping menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.

Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan

balasan dari masyarakat terhadap perbuatan pelaku yang telah melanggar

kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati korban.

Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita

yang harus dialami oleh pelaku sebagai imbangan atas perbuatannya dan

sebagai sarana untuk menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah

rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.51

Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian,

dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima

penggolongan.

(1) Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang

lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai

berikut.

a. Hukuman pokok ('uqubah asliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan

untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti

hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, hukuman dera seratus

kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk jarimah

pencurian.

51

(47)

b. Hukuman pengganti ('uqubah badaliyah), yaitu hukuman yang

menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat

dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diat (denda)

sebagai pengganti hukuman qisas, atau hukuman ta'zir sebagai

pengganti hukuman had atau hukuman qisas yang tidak bisa

dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman

pokok, yaitu untuk pembunuhan menyerupai sengaja atau kekeliruan,

akan tetapi juga menjadi hukuman pengganti untuk hukuman qisas

dalam pembunuhan sengaja. Demikian pula hukuman ta'zir juga

merupakan hukuman pokok untuk jarimah-jarimah ta'zir, tetapi

sekaligus juga menjadi hukuman pengganti untuk jarimah hudud atau

qisas dan diat yang tidak bisa dilaksanakan karena ada alasan-alasan

tertentu.52

c. Hukuman tambahan ('uqubah taba'iyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara

tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang

membunuh orang yang akan diwarisnya, sebagai tambahan untuk

hukuman qisas atau diyat, atau hukuman pencabutan hak untuk

menjadi saksi bagi orang yang melakukan jarimah qadzaf (menuduh

orang lain berbuat zina), di samping hukuman pokoknya yaitu jilid

(dera) delapan puluh kali.

52

(48)

d. Hukuman pelengkap ('uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan

tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakannya dengan

hukuman tambahan. Contohnya seperti mengalungkan tangan pencuri

yang telah dipotong dilehernya.

(2) Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya

hukuman maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian.

a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi

atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman

had (delapan puluh kali atau seratus kali). Dalam hukuman jenis ini, hakim tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi hukuman

tersebut, karena hukuman itu hanya satu macam saja.

b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas

terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan

untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut,

seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta'zir.53

(3) Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman

tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Hukuman yang sudah ditentukan ('uqubah muqaddarah), yaitu

hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh

syara' dan hakim berkewajiban untuk memutuskannya tanpa

53

(49)

mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman yang

lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan ('uqubah lazimah).

Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak untuk

menggugurkannya atau memaafkannya.

b. Hukuman yang belum ditentukan ('uqubah ghair muqaddarah), yaitu

hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari

sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara' dan

menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku

dan perbuatannya. Hukuman ini disebut juga Hukuman Pilihan

('uqubah mukhayyarah), karena hakim dibolehkan untuk memilih di

antara hukuman-hukuman tersebut.54

(4) Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat

dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Hukuman badan ('uqubah badaniyah), yaitu hukuman yang dikenakan

atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera), dan penjara.

b. Hukuman jiwa ('uqubah nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan

atas jiwa manusia, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, atau

teguran.

c. Hukuman harta ('uqubah maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan

terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta.

54

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi zona lokal penangkapan ikan tuna di laut sekitar kota Bitung, berdasarkan distribusi klorofil-a dan suhu permukaan laut dengan menggunakan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat konsumsi minuman tradisional beralkohol, frekuensi konsumsi minuman tradisional beralkohol dalam 1 minggu, jumlah

program pemanfaatan ruang, yang dilakukan minimal 2 (dua) kali setiap disusunnya RTR dan program pemanfaatan ruang. PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN Peran

Dan nilai-nilai yang yang terkandung dari diadakannya pengajian kliwonan ini yaitu nilai sosial budaya yang dapat mempererat tali silaturrahmi antar masyarakat

[r]

Sistem Single Sign On pada server SSO CAS telah berjalan ditandai dengan hanya membutuhkan satu kali operasi login melalui halaman web SSO CAS Server pada

2.4 Mengembangkan perilaku sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan sehari-hari... bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif

[r]