• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai strategi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai strategi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai strategi pengembangan baik itu pengembangan suatu daerah atau pulau menjadi destinasi pariwisata serta penelitian–penelitian yang berkaitan dengan strategi pengembangan lainnya seperti pengembangan daya tarik wisata maupun destinasi pariwisata, terutama yang berkaitan dengan pembangunan atau pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya seperti; Yonce (2012), Pujaastawa, dkk (2005), Kartimin (2011), dan Nurhidayati (2012) merupakan penelitian–penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi serta relevan dengan penelitian tentang strategi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

Dalam penelitian Yonce (2012) yang berjudul “Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Masyarakat di Pantai Bo’a Kabupaten Rote Ndao”, penelitiannya mengangkat pemasalahan tentang pemanfaatan potensi dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan wisata Pantai Bo’a dan strategi pengembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan wisata Pantai Bo’a memiliki berbagai potensi wisata yang layak dikembangkan sebagai destinasi wisata dan telah memenuhi empat (4) komponen penting dalam industri

(2)

pariwisata yang lebih dikenal dengan istilah 4 A, yaitu; attraction (atraksi wisata), accessibility (akses menuju destinasi wisata), amenitiy (fasilitas dan jasa wisata) dan ancillary (kelembagaan dan sumberdaya manusia pendukung pariwisata). Penelitian ini membahas tentang potensi pariwisata serta perumusan strategi pengembangan yang berbasis masyarakat. Relevansi dalam penelitian ini terdapat pada kajian dalam ilmu kepariwisataan tentang strategi pengembangan pariwisata dengan mengacu pada potensi dan daya tarik destinasi. Perbedaan penelitian ini adalah objek penelitiannya dilakukan di pantai saja dan persamaannya ada pada konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang bisa dijadikan acuan.

Dalam Penelitian Pujaastawa, dkk (2005) tentang “Pariwisata Terpadu: Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah” menyatakan bahwa berdasarkan profil wilayah Bali Tengah yang pada dasarnya mencerminkan satu kesatuan sosial budaya dan lingkungan agraris, maka ditetapkan “Pariwisata Subak” sebagai model hipotetik bagi pengembangan pariwisata yang berbasiskan potensi sosial budaya dan ekologi pertanian yang dalam pengelolaannya mengutamakan peran serta masyarakat setempat sehingga mampu memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat serta pelestarian budaya dan lingkungan setempat.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa ada beberapa jenis potensi yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata meliputi : potensi ekologis yang terdiri dari ekologi persawahan, perkebunan, hutan, sungai, mata air dan pegunungan; potensi sosial budaya dari berbagai aspek kehidupan budaya petani masyarakat pedesaan; revitalisasi dan konservasi kebudayaan lokal, yang ditandai

(3)

dengan dibangkitkannya kembali berbagai jenis tradisi yang belakangan ini semakin terancam keadaannya, serta semakin mantap dan terpeliharanya keberadaan lembaga subak yang sangat penting artinya bagi ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan setempat; meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap pemeliharaan dan penyelamatan peninggalan budaya masa lalu; pengelolaan pariwisata subak dilakukan melalui kerjasama terpadu antara masyarakat sebagai pemegang peran sentral, pengusaha pariwisata sebagai mitra usaha dan pemerintah sebagai fasilitator dan sekaligus sebagai control terhadap pengembangan pariwisata setempat.

Relevansi penelitian ini terdapat pada kajian pemberdayan masyarakat dalam industri pariwisata. Perbedaan penelitian ini terdapat pada objek penelitian, dimana subak menjadi fokus kajiannya sebagai warisan budaya, walaupun demikian penelitian ini menjadi acuan dan inspirasi peneliti dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat di Pulau Samalona.

Katimin (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Pengembangan Pantai Berawan Sebagai Daya Tarik Wisata Berbasis Kerakyatan di Kabupaten Badung”, menyimpulkan bahwa masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pembangunan Pantai Berawan. Dalam perencanaannya pemerintah Kabupaten Badung sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat setiap ada kebijakan yang terkait dengan daerah tujuan wisata Pantai Berawan sehingga masyrakat sudah dilibatkan sejak awal dan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata, seperti; penyediaan jasa akomodasi dan restoran, pedagang Souvenir, penyedia jasa transpotasi, pedagang minuman ringan,

(4)

penyewaaan papan selancar, pelayanaan pijat, adanya sanggar kesenian, penyedian layanan informasi, petugas keamanan dan kebersihan. Penelitian ini relevan untuk dijadikan acuan karena fokus kajiannya tentang pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata, walaupun hanya pantai yang menjadi objek penelitiannya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhidayati (2012) yang berjudul “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas Di Kota Batu, Jawa Timur”, mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip CBT. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitiannya berupa Penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Relevansi penelitian ini terdapat pada penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan pariwisata.

2.2 Konsep

Pada bagian ini membatasi beberapa konsep yang akan digunakan sebagai suatu istilah teknis. Konsep tersebut merupakan sebuah abstraksi dari aspek. Definisi operasional dari konsep-konsep tersebut sebagai berikut :

2.2.1 Strategi Pengembangan

Stanton (dalam Amirullah, 2002:4) mendefinisikan strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk mencapai suatu

(5)

tujuan. Sedangkan menurut Cristensen (dalam Rangkuti, 2009:3) strategi merupakan alat untuk mencapai keunggulan bersaing. Sama halnya Porter dalam Rangkuti (2009:4) mendefinisikan strategi sebagai alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.

Strategi menurut Stephanie (dalam Husain, 2001:31) merupakan suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, yang disertai penyusunan suatu cara atau upaya, bagaimana agar tujuan dapat tercapai.

Menurut Marpaung (2000:52) strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada masa depan. Sama halnya dengan Chandler (dalam Rangkuti, 2009:3) bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi dapat pula diartikan sebagai rencana umum yang integratif dan dirancang untuk memberdayakan organisasi pariwisata untuk mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya dengan tepat walaupun menemukan banyak rintangan dari pihak pesaing (Puspa, 2006:18).

Berdasarkan beberapa konsep tersebut, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud strategi dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu untuk mencapai keunggulan bersaing dalam wujud program-program pengembangan untuk pencapaian tujuan.

(6)

Paturusi (2001) mengungkapkan bahwa pengembangan adalah suatu strategi yang dipergunakan untuk memajukan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu objek dan daya tarik wisata sehingga dapat dikunjungi wisatawan serta mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar daya tarik wisata maupun bagi pemerintah.

Gunn (1994:5-9) menyatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata harus melibatkan tiga sektor, yaitu business sector, nonprofit sector dan governmental sector, dan semakin baik pemahaman dan keterlibatan tiga sektor tersebut maka pengembangan pariwisata akan semakin baik. Business sector adalah sektor usaha yang menyediakan segala keperluan wisatawan seperti jasa transportasi, perhotelan, makanan dan minuman, laundry, hiburan dan sebagainya. nonprofit sector merupakan organisasi seperti organisasi pemuda, organisasi profesi, etnis yang tidak berorientasi pada keuntungan (non-profit organization) namun memiliki peran dan perhatian besar terhadap pengembangan pariwisata. Governmental sector adalah sektor yang berperan untuk mengeluarkan dan menerapkan Undang-Undang dan peraturan. Dalam bidang pariwisata sektor pemerintah telah melakukan banyak peran penting selain regulasi. Dalam pengadaan taman nasional, di samping melindungi alam dan budaya juga telah banyak menarik kunjungan wisatawan.

Berdasarkan beberapa konsep tersebut, maka yang dimaksud dengan strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang sifatnya komprehensif dan terpadu dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat dan akademisi untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada di Pulau

(7)

Samalona, Kota Makassar sehingga menjadi destinasi wisata yang lebih baik dan menarik. Dengan demikian jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat.

2.2.2 Potensidan Daya Tarik Wisata

1. Potensi

Potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata, dengan kata lain potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat dan dapat dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourism attraction) yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya (Pendit 1999: 21). Potensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 890) adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kesanggupan; kekuatan; daya.

Potensi wisata menurut Mariotti dalam Yoeti (1983: 160-162) adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata, dan merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut. Sukardi (1998:67), juga mengungkapkan pengertian yang sama mengenai potensi wisata, sebagai segala yang dimiliki oleh suatu daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Jadi yang dimaksud dengan potensi wisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik sebuah obyek wisata. Dalam penelitian ini potensi wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu: potensi alam, potensi kebudayaan dan potensi sumber daya manusia.

(8)

1. Potensi Alam

Potensi alam adalah keadaan dan jenis flora dan fauna suatu daerah, bentang alam suatu daerah, misalnya pantai, hutan, dll (keadaan fisik suatu daerah). Kelebihan dan keunikan yang dimiliki oleh alam jika dikembangkan dengan memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya niscaya akan menarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek tersebut.

2. Potensi Kebudayaan

Potensi budaya adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia baik berupa adat istiadat, kerajinan tangan, kesenian, peninggalan bersejarah nenek moyang berupa bangunan, monument, dll.

3. Potensi Sumber Daya Manusia

Manusia juga memiliki potensi yang dapat digunakan sebagai daya tarik wisata, lewat pementasan tarian/ pertunjukan dan pementasan seni budaya suatu daerah.

Adapun potensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah potensi fisik dan potensi non fiisik Pulau Samalona sebagai destinasi pariwisata berbasis masyarakat termasuk di dalamnya adalah potensi sumber daya maunusia (SDM) yang mendukung pengembangan tersebut agar sesuai harapan.

2. Daya Tarik Wisata

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,

(9)

budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Keadaan alam, flora dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat merupakan sebuah pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang sangat berbeda dengan pendekatan konvensional yang selama ini dijalankan, yaitu dengan sistem top-down dan sentralistik (Prasiasa, 2011: 95). Hal yang Senada juga dikemukakan oleh Bangun (2003) bahwa konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat merupakan konsep alternatif yang berlawanan dengan konsep pembangunan pariwisata yang berlangsung selama ini, yaitu pembangunan yang bersifat konvensional, pembangunan yang bersifat top down, yang menggunakan pendekatan taknokratik-sentralistik. Konsep ini dicirikan dengan penekanan pada pemberdayaan ekomoni rakyat, yang digunakan sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan di negara-negara berkembang.

Pitana (1999:76), melihat konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat berbeda dengan pembangunan konvensional. Model top down dianggap telah melupakan konsep, sehingga rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan bahkan termarginalkan di lingkungan

(10)

miliknya sendiri. Dalam model bottom up, pembangunan sebagai sosial learning, yang menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal, sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut. Nasikun (1997:26) mengatakan bahwa pembangunan pariwisata berbasis masyarakat memiliki ciri atau karakteristik; (1) Berskala kecil (small scale) sehingga lebih mudah diorganisir, (2) Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat lokal, (3) Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan, (4) Selain menekankan pada partisipasi masyarakat, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat juga sangat mementingkan keberlanjutan budaya (cultural sustainability), dan secara keseluruhan berupaya untuk membandingkan rasa hormat dan penghargaaan wisatawan terhadap kebudayaan dan kearifan lokal.

Mengacu pada konsep pariwisata berbasis masyarakat tersebut, maka yang dimaksud pariwisata berbasis masyarakat dalam penelitian ini adalah kegiatan kepariwisataan di Pulau Samalona yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan dari Aktivitas kepariwisataan tersebut.

2.3 Landasan Teori

Permasalahan dalam kajian ini akan dipahami dengan menggunakan beberapa teori sebagai berikut:

(11)

2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi

Siklus hidup destinasi (destination life cycle) dipergunakan sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata. Model siklus hidup destinasi ini ditentukan oleh keputusan strategis manajemen dan sangat tergantung pada faktor eksternal, seperti kompetisi, pengembangan produk subsitusi atau sejenis, perubahan selera konsumen dan regulasi pemerintah (Pitana 2009:131).

Menurut Butler (dalam Pitana, 2009: 132) ada 7 fase pengembangan pariwisata atau siklus hidup pariwisata (Destination Area Lifecycle) yang membawa implikasi serta dampak yang berbeda, secara teoritis di antaranya:

1) Fase exploration (eksplorasi/penemuan). Daerah pariwisata baru mulai ditemukan, dan dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Pada tahap ini terjadi kontak yang intensif dengan penduduk lokal, maka dampak sosial budaya ekonomi pada tahap ini masih sangat kecil.

2) Fase involvement (keterlibatan). Meningkatnya pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas secara ekslusif kepada pengunjung. Kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan wisatawan. Promosi destinasi wisata mulai diinisiasi.

3) Fase development (Pembangunan). Investor luar mulai tertarik untuk menanamkan modalnya guna membangun berbagai fasilitas pariwisata di destinasi tersebut seiring dengan berkembangnya pemasaran destinasi.

(12)

Aksesibilitas mengalami perbaikan, advertising semakin intensif dan fasilitas lokal mulai diisi dengan fasilitas modern dan terbaru. Hasilnya adalah semakin menurunnya partisipasi dan control oleh penduduk lokal. Atraksi buatan mulai muncul, khusus diperuntukan wisatawan. Tenaga kerja dan fasilitas import mulai dibutuhkan untuk mengantisipasi pertumbuhan pariwisata yang begitu cepat.

4) Fase consolidation (konsolidasi). Porsi terbesar dari ekonomi lokal berhubungan dan bersumber dari pariwisata. Level kunjungan tetap meningkat umum dengan rata-rata kenaikan yang semakin menurun. Usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang bertempat tingal semakin jauh dari sebelumnya. Fasilitas yang sudah tua sekarang menjadi ketinggalan zaman dan kurang diminati.

5) Fase stagnation (kestabilan). Kapasitas maksimal dari faktor penunjang telah tercapai batas maksimum atau, menyebabkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Jumlah puncak kunjungan wisata tercapai. Atraksi buatan menggantikan atraksi alam dan budaya, dan destinasi tidak lagi menarik. 6) Fase decline (penurunan). Wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang

baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non pariwisata. Atraksi wisatawan menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring dengan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata.

(13)

7) Fase rejuvenation (Peremajaan). Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artificial baru atau penggunaan sumber daya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya.

Gambar 2.1 Siklus Evolusi Area Wisata (Sumber: Butler, 1980)

2.3.2 Teori Perencanaan

Perencanaan merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang meliputi rencana dan pelaksanaan yang mengandung unsur-unsur yang berorientasi pada masa depan, kontinuitas, dan fleksibilitas serta dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan, sehingga ada keserasian antara perencanaan dan pelaksanaan serta pelaporan dan evaluasi dalam proses perencanaan (Widjaya, 1995:32).

Gunawan (dalam Paturusi, 2008:58) mengemukakan bahwa hirarki perencanaan pariwisata sebagai berikut: perencanaan pariwisata tingkat nasional, memfokuskan pada; kebijakan nasional pembangunan pariwisata, rencana struktur

(14)

tata ruang pariwisata yang mencakup lokasi prioritas, pengembangan didasarkan pada daya tarik utama, penentuan pintu gerbang internasional dengan jaringan perjalanan transportasi domestik dan internasional. Pelaksanaan pada tingkat nasional mempertimbangkan aspek; pentahapan, strategi jangka pendek, menengah dan strategi jangka panjang. Perencanaan pariwisata tingkat wilayah, memfokuskan pada: kebijakan wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi, rencana tata ruang wilayah yang mencakup jaringan transpotasi intra dan antar wilayah, lokasi pengembangan kawasan wisata dan jenis serta lokasi sumber daya wisata dan daya tariknya, perencanaan tingkat provinsi, memfokuskan pada: kebijakan pengembangan pariwisata tingkat provinsi yang disesuaikan dengan pembangunan daerah, rencana struktur tata ruang provinsi yang mencakup jaringan transportasi intra dan antar provinsi sampai ke daya tarik wisata utama, penentuan pintu gerbang ke daya tarik wisata utama dan kebutuhan fasilitas pendukung, perencanaan kawasan pengembangan pariwisata, memfokuskan pada: penentuan lokasi daya tarik wisata termasuk kawasan konservasi, arahan lokasi hotel dan akomodasi lainnya, pertokoan, tempat rekreasi, sistem jaringan transportasi, terminal dan prasarana pendukung lainnya.

Menurut Inskeep (1991:29), ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pariwisata:

1. Pendekatan berkelanjutan, meningkat, dan fleksibel.

Walaupun masih berupa kebijakan dan rencana, pariwisata harus dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai kebutuhan dan berdasarkan monitor dan umpan balik

(15)

(feedback) dalam rangka mempertahankan tujuan dan kebijakan pengembangan pariwisata.

2. Pendekatan sistem.

Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan harus dikembangkan dengan menggunakan teknik analisis sistem.

3. Pendekatan komprehensif.

Semua aspek pengembangan pariwisata termasuk lembaga, dampak lingkungan dan sosial-ekonomi harus dianalisa dan direncanakan secara komprehensif atau holistik.

4. Pendekatan terintegrasi.

Pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem yang terintegrasi dengan perencanaan dan pengembangan wilayah secara keseluruhan.

5. Pendekatan pengembangan lingkungan yang berkelanjutan.

Pariwisata dikembangkan dengan terencana dan dikelola dengan baik sehingga tidak mengakibatkan degradasi sumber daya alam dan budaya, tetapi sebaliknya pariwisata dapat menjaga keberkelanjutan sumber daya secara permanen. Dalam hal ini teknik analisis daya dukung sangat penting digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan tersebut.

6. Pendekatan masyarakat.

Keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pengelolaan pariwisata secara maksimum mutlak dilakukan.

(16)

7. Pendekatan implementasi.

Kebijakan, perencanaan, dan rekomendasi pengembangan pariwisata direalisasikan secara realistis dengan teknik-teknik implementasi melalui program pengembangan atau strategi yang tepat.

8. Aplikasi proses perencanaan yang sistematis.

Proses perencanaan ini diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan atas urutan yang logis.

Dari pemaparan teori perencanaan tersebut, maka teori ini akan digunakan untuk merumuskan strategi dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Pulau Samalona, Kota Makassar.

2.3.3 Teori Partisipasi

Kata partisipasi berasal dari kata to participate, yang dapat diartikan ikut serta. Menurut Tosun (2000) partisipasi dapat membuat masyarakat, penduduk melakukan berbagai kegiatan, baik itu berskala lokal maupun nasional. Partisipasi yang dilakukan masyarakat berbeda-beda tingkatannya, akibat dari perbedaan skala kegiatan. Partisipasi itu antara lain, partisipasi karena paksaan (manipulative participation), partisipasi dengan kekuasaan dan ancaman (coercive participation), partisipasi karena adanya dorongan (indiced participation), partisipasi yang bersifat pasif (passive participation) dan partisipasi secara spontan (spontaneous participation). Dari segi bentuk, partisipasi memiliki dua bentuk, yaitu partisipasi horizontal dan partisipasi vertikal. Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif, tanpa suatu insentif maka partisipasi tersebut berubah makna dari suatu keinginan manusia untuk ikut serta secara sukarela

(17)

dalam suatu kegiatan yang dianggap dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat menjadi suatu tindakan paksaan. Jadi pengertian partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat atau penduduk dalam berbagai kegiatan baik yang bersifat lokal maupun nasional, dapat terjadi secara sukarela, paksaan, spontan, adanya dorongan maupun pasif dengan bentuk secara vertikal atau horizontal.

Teori partisipasi digunakan untuk menguraikan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses atau aktifitas pariwisata di Pulau Samalona, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan usaha jasa pariwisata di Pulau Samalona.

2.4 Model Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, maka diperlukan kerangka konsep atau model yang merupakan abstraksi atau sintesi dari kajian pustaka dalam bentuk gambar atau bagan. Penelitian ini diawali oleh adanya fenomena terhadap pemanfaatan sumber daya alam, sosial budaya dan manusia di Pulau Samalona, Kota Makassar.

Dalam kajian ini perlu diketahui lebih lanjut tentang wujud partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Pulau Samalona sehingga strategi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat disusun sesuai dengan harapan. Beberapa faktor yang menjadi kendala dan keuntungan di destinasi wisata Pulau Samalona perlu diidentifikasi aspek lingkungan internalnya yang terdiri dari kekuatan (strength) serta kelemahannya (weakness) dan eksternalnya yang terdiri dari peluang (opportunity) serta ancamannya (treath). Selanjutnya dianalisis dalam bentuk matriks SWOT sehingga dapat dirumuskan berbagai alternatif

(18)

strategi pengembangan yang tepat di Pulau Samalona, Kota Makassar. Berikut model penelitian tersebut;

Gambar 2.2 : Model Penelitian Pariwisata Kota Makassar

Pulau Samalona

Teori Siklus Hidup Pariwisata

Potensi dan Daya Tarik Wisata Bentuk Partisipasi Masyarakat Strategi Pengembangan Teori Perencanaan Pemberdaya Masyarakat Melalui Pariwisata Wisata Pulau Samalona

Pariwisata Pulau Samalona Belum Berkembang

Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Pulau Samalona

Gambar

Gambar 2.1 Siklus Evolusi Area Wisata  (Sumber: Butler, 1980)
Gambar 2.2 : Model Penelitian Pariwisata Kota Makassar

Referensi

Dokumen terkait

melaksanakan kebijakan Gubernur dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dan tugas pembantuan serta tugas dekonsentrasi atau yang diperintahkan oleh peraturan

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

Hasil rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Samarinda yang ditolak oleh para saksi dari partai-partai politik termasuk PDK, tidak pernah diperbaiki dan hal ini telah

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model

pelanggan; (7)Fungsi pengiriman; (8)Fungsi dalam penyerahan barang atas dasar surat pesanan penjualan yang diterima dari fungsi penjualan; (9)Fungsi penagihan; (10)Fungsi