1
1.1Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang tercantum pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, maka negara itu harus menjamin keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Hal ini kemudian mewajibkan bahwa dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu keberadaan lembaga Notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Negara menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau alat bukti.
Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai kegiatan salah satunya ialah kegiatan di bidang perbankan. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Sehubungan dengan kewenangan Notaris, maka Notaris bertanggungjawab dalam mengemban kewenangan yang diberikan
kepadanya. Adapun tanggung jawab Notaris yaitu : Tanggung jawab atas keotentikan formil akta, tanggung jawab atas keotentikan materiil akta, tanggung jawab atas kerahasian akta yang dibuatnya. Notaris sebagai pejabat umum merupakan jabatan kepercayaan yang bersumber dari negara dan masyarakat. Kepercayaan yang diberikan oleh negara melalui ketentuan undang-undang yaitu dengan menjalankan sebagian kekuasaan negara dibidang hukum perdata, antara lain mengatur hubungan-hubungan hukum yang di lakukan oleh masyarakat untuk dituangkan dalam suatu akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya Notaris diwajibkan menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Sedangkan kepercayaan masyarakat adalah dengan mempercayai atau menghendaki atau meminta agar perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dituangkan dalam suatu akta otentik yang memiliki kekuatan bukti yang sempurna. Bukti yang sempurna ialah kebenaran yang dinyatakan didalam akta Notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lainnya. Kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepada Notaris, mengkehendaki agar Notaris merahasiakan setiap perbuatan yang dituangkan dalam isi akta yang diberikan Notaris dalam pembuatan akta.
Keberadaan Notaris diharapkan dapat melindungi kepentingan hukum masyarakat serta dapat memberikan pelayanan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat khususnya dalam hal pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan
perlindungan hukum dan kepastian hukum.1 Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian dan pendirian badan usaha seperti koperasi dan bank, mulai dari pendiriannya sampai dalam operasionalnya sangat membutuhkan jasa Notaris.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bank memiliki peran penting di dalam suatu negara baik dalam sistem keuangan atau sistem pembayaran dalam suatu negara. Mengingat bank merupakan suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lain yang dilakukan mereka melalui bank pada khususnya dan dari masyarakat luas pada
umumnya.2 Adapaun kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling
pokok dari eksistensi suatu bank, sehingga terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak. Sehubungan dengan hal itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan 1998 perubahan atas UU Perbankan 1992), menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat
1
Santia Dewi dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 8.
2
Zainal Asikin, 2015, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 17.
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Berdasarkan hal tersebut, jadi fungsi utama bank ialah menghimpun dan menyalurkan dana dari bank kepada masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti giro, deposito, dan tabungan.3 Sedangkan
yang dimaksud dengan simpanan dalam Pasal 1 angka 5 UU Perbankan 1998 yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan yang dipersamakan dengan itu. Adapun pengertian dalam bentuk simpanan sebagai berikut :
1. Simpanan Giro, secara umum giro adalah simpanan pihak ketiga pada
bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan mempergunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara
pemindahbukuan.4
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Perbankan yang dimaksud Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindahbukuan
2. Deposito, secara umum deposito diartikan sebagai simpanan pihak ketiga
pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara ihak ketiga dan bank yang
bersangkutan.5
3
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah I), h.45.
4
Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah II), h.46.
5
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 amgka 7 UU Perbankan yang dimaksud dengan deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
3. Sertifikat Deposito.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Perbankan yang dimaksud dengan Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Dari pengertian yang ditentukan oleh UU Perbankan mengandung dua unsur, yaitu:
a. Bentuk Deposito Bersertifikat, artinya bahwa bentuknya berbeda
dengan deposito berjangka. Dalam hal ini deposito berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.
b. Dapat dipindahtangankan, artinya dengan dikeluarkannya sertifikat
deposito dalam bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat
dipindah tangankan kepada pihak lain.6
4. Tabungan merupakan salah satu dari berbagai macam produk perbankan
yang banyak diminati oleh masyarakat, mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun kalangan pengusaha, namun masih banyak
masyarakat yang belum mengerti benar tentang produk tabungan.7
Sedangkan berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan tabungan yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakat, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Aktivitas bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien agar mencapai sasaran yang optimal, maka perlu diiringi dengan pembinaan dan pengawasan. Aktivitas bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan 1998 ditetapkan salah satu asas dari perbankan di Indonesia adalah asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi disini adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan
6
Ibid, h.48. 7
Pancasila dan UUD NRI 1945.8 Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana haruslah berpijak pada prinsip responsibilitas. Dengan diterapkannya prinsip ini diharapkan timbulnya kepatuhan pada aturan hukum yang berlaku dan melakukan kegiatan secara bertanggungjawab kepada nasabah penyimpan dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan para pihak yang berkepentingan terhadap bank.
Bank merupakan lembaga keuangan yang mengandalkan kepercayaan masyarakat guna mempertahankan kepercayaan masyarakat dan eksistensi dari bank, maka bank wajib melindungi dana nasabah penyimpan dan simpanannya serta berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya. Bank diwajibkan menjamin kerahasian atas informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, maka dari itu timbullah kepercayaan masyarakat kepada bank. Kepercayaan dari masyarakat dikatakan sebagai kunci utama dalam berkembang atau tidaknya lembaga perbankan. Berawal dari kepercayaan masyarakat itulah keadaan nasabah wajib dirahasiakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Mengenai ketentuan rahasia bank berlaku pula bagi pihak terafilisasi dalam operasional bank.
Rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan, apabila nasabah penyimpan tidak mempercayai bank dimana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Hal ini
8
penting mengingat kerahasiaan bank sangat diperlukan demi menjaga kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya kepada bank yang bersangkutan atau dengan kata lain bahwa masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya kepada bank apabila ada jaminan dari bank bahwa bank tidak akan menyalahgunakan
pengetahuannya tentang keadaan nasabahnya.9
Ketentuan rahasia bank diatur dalam dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan 1998 menyatakan bahwa “rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri meliputi : jumlah kredit, jumlah dan jenis rekening nasabah (simpanan giro, deposito, sertifikat, dan surat berharga lainnya), pemindahan uang, pemberian garansi bank.
Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan 1998 yang menyatakan bahwa “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak bank/pihak terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpananya.
9
Dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa ruang lingkup dari rahasia bank dibatasai atau dipersempit yaitu :
1. Menyangkut keterangan mengenai “nasabah penyimpan” dan
“simpanannya”
2. Pada dasarnya bank dan pihak terafiliasi berkewajiban memegang teguh
kerahasiaan keterangan tersebut, kecuali hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.
3. Situasi tertentu dalam mana informasi mengenai “nasabah penyimpan”
beserta dengan “simpanannya” dibolehkan, dimungkinkan atau dibenarkan saja dibeberkan oleh pihak yang terkena larangan jika informasi tersebut tergolong ada informasi yang dikecualikan atau informasi nasabah penyimpan dan simpanannya tidak termasuk dalam kualifikasi kerahasiaan
bank.10
Ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa „ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi‟. Golongan pihak terafiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbankan antara lain akuntan public, penilai, konsultan hukum, konsultan lainnya. Pihak terafiliasi ialah pihak yang mempunyai hubungan dengan kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang diberikan oleh bank. Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada bank tetapi dengan tidak kehilangan identitasnya.
10
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h.499.
Bank dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara. Salah satu fungsi bank yaitu sebagai lembaga kredit. Pemberian kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang terpenting bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko usaha bagi bank. Guna mencegah dan mengurangi timbulnya resiko maka perbankan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam memperhatikan objek jaminan kredit. Dengan demikian, maka dibutuhkan jasa Notaris dalam pembuatan akta perjanjian kredit, jaminan deposito serta perjanjian-perjanjian lainnya.
Salah satu bentuk objek jaminan kredit yang dapat dijaminkan oleh nasabah debitur adalah jaminan gadai dalam bentuk deposito. Pengikatan jaminan kredit dengan deposito yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur dilakukan dengan pembuatan akta pengikatan jaminan dengan deposito yang memerlukan jasa Notaris untuk memberikan kekuatan hukum yang sempurna yang melekat dalam akta tersebut dan menjamin perjanjian pokok berupa perjanjian kredit. Dalam hal ini nasabah penyimpan sebagai subjek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah penyimpan sebagi objek dari suatu perjanjian yang wajib dirahasiakan oleh Notaris dan pihak bank dalam kaitannya dengan rahasia bank.
Sehingga dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito, Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya dalam hal ini berupa akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito sebagai pihak terafiliasi sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan pasal 1 butir 22 huruf c UU Perbankan. Ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 1 angka 22 huruf c UU
Perbankan 1998 tidak mencantumkan secara jelas kedudukan Notaris sehingga adana kekaburan norma pada ketentuan tersebut. Kekaburan norma dalam pasal tersebut berdampak pada kerahasiaan bank.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan judul “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan Dengan Rahasia Bank”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan dengan
deposito?
2. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam pengikatan jaminan dengan
deposito?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak menyimpang dari pokok pembahasan yang dibahas, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan tersebut. Permasalahan pertama membahas tentang kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito. Permasalahan kedua membahas tanggungjawab Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana sepanjang yang diketahui dari
hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah ini. adapun penulisan penelitian yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini antara lain :
No Nama Peneliti Judul Rumusan Masalah
1. Ida Bagus
Kadek Benol
Permadi
Fakultas Hukum
Universitas Udayana,
judul Prinsip
Kehati-Hatian Dalam
Penerapan Managemen
Risiko Pada Bank
Dalam Pemberian
Kredit di Bank BRI Cabang Kota Negara
1. Bagaimana cara
menentukan rinsip
kehati-hatian dalam
penerapan managemen risiko pada bank dalam pemberian kredit? 2. Bagaimana cara menentukan prinsip kehati-hatian dalam penerapan managemen penerapan resikopada bank dalam pemberian kredit di BRI cabang Negara? 2. Anak Agung Istri Chandra Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1. Bagaimana pengaturan
Pramita Sukawati judul Pengaturan Kewajiban Bank Menjaga Kerahasiaan Data nasabah Penyimpan Menurut Undang-Undang Perbankan Dikaitkan Dengan Kebebasan Pers berlakunya Undang-undang Pers? 2. Bagaimana perlindungan hukum
terhadap nasabah bank yang dirugikan akibat
adanya kebebasan
pers?
3. Tiurlan Roma
Artha Saragih
Fakultas Hukum
Jember, judul Rahasia Bank Sebagai Bentuk
Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Nasabah Menurut Ketentuan Hukum Perbankan. 1. Bagaimana dasar pemikiran perlunya ketentuan rahasia bank? 2. Bagaimana dasar pemikiran atas berlakunya ketentuan rahasia bank?
3. Apa akibat hukum
terhadap para pihak
yang melakukan
ketentuan rahasia bank?
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan sebelumnya menyangkut permasalahan mengenai “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan Dengan Rahasia Bank”, belum pernah diajukan dan bukan merupakan karya ilmiah yang pernah diajukan sebelumnya, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan objek penelitian dalam skripsi ini.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat diklasifiasikan kedalam dua bentuk yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai beriku :
1.5.1 Tujuan umum
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito.
2. Untuk mengetahui tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito.
1.5.2 Tujuan khusus
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendalami kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito.
2. Untuk memahami tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis
1. Diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin bidang ilmu hukum khususnya hukum perbankan tentang rahasia bank serta hubungan antara hukum perbankan dan hukum kenotariatan mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito berkaitan dengan rahasia bank.
2. Memberi masukan ilmu pengetahuan dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya yang berkaitan dengan pengikatan deposito.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penambahan referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang.
1.6.2 Manfaat praktis
2. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan khususnya kepada nasabah penyimpan mengenai rahasia bank.
3. Dapat memberikan informasi bagi Notaris pentingnya menjaga kerahasiaan bank.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya mengidentifikasi teori umum atau teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta analisa. Oleh karena itu sebelum mengemukakan asumsi terhadap permasalahan, maka terlebih dahulu dikemukakan beberapa teori menurut para ahli.
Dalam penelitian ini teori yang digunakan ialah : 1.7.1 Teori perlindungan hukum
Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan simpanannya berkaitan dengan rahasia bank, sehubungan dengan bank menjalankan fungsinya dalam menyalurkan dananya, yang berupa pemberian kredit dan guna melindungi dananya bank mengikat jaminan kredit tersebut dengan jaminan deposito, dan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank. Berkaitan dengan itu, lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka suatu bank tidak akan
menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian. Untuk itu tentu adalah suatu yang wajar apabila kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum sebagai mana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dilakukan melalui dua cara :
1) Perlindungan secara implisit.
Perlindungan ini diperoleh melalui : (1) peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan infomasi risiko pada nasabah.
2) Perlindungan secara eksplisit, yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana
masyarakat yng disimpan pada bank yang gagal tersebut.11
Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam kewajiban bank menjaga kerahasiaan bank. Ada 2 teori tentang rahasia bank menurut Hermansyah yaitu :
1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolutely Theory).
Menurut teori ini, bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh bank karena kegiatannya dalam keadaan apa pun juga, baik dalam keadaan biasa maupun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan. Penetapan sanksinya sangat berat dapat dikenakan kepada
pelanggar rahasia bank.12
2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif.
Menurut teori ini, bank diperbolehkan membuka rahasia bank dan memberikan keterangan kepada nasabahnya jika untuk kepentingan yang
11
Hermansyah II, op.cit, h. 144. 12
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, h.6.
mendesak. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di
dunia, termasuk Indonesia.13
Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan sebagaimana dimaksud :
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan.
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. 3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. 1.7.2 Teori kewenangan
Kewenangan merupakan ketentuan dalam kekuasaan yang bisa digunakan oleh seorang pemegang kuasa untuk menjalankan roda kepemimpinannya. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah wewenang. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah wewenang digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
13
digunakan dalam konsep hukum publik. Teori kewenangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisa masalah tentang kewenangan Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta pengikatan jaminan deposito.
Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara atribusi karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN. Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian, maka Notaris dapat dikatakan telah bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
1.7.3 Teori pertanggungjawaban hukum
Teori tanggung jawab hukum menurut Hans Kelsen yaitu “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti dia bertanggungjawab atas sesuatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa :
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kehilafan; dan kehilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan, walaupun tidak sekelas kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti seorang individu bertanggungjawab
atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 hal yaitu :
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata akan kebenaran materiil akta yang
dibuatnya;
2. Tanggung jawab Notaris seara pidana akan kebenaran materiil akta yang
dibuatnya;
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris akan
kebenaran materiil akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris.
Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalamnya yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris nantinya
apabila dia tidak memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian
Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari kekaburan norma di dalam UU Perbankan.
1.8.2 Jenis pendekatan.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dan Pendekatan Konsep
(Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.14 Sedangkan Pendekatan konsep adalah pendekatan yang beranjak
14
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Cetakan ke-9, Prenamedia Group, Jakarta, h. 136.
dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dua pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. 1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah sumber hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar. Adapun sejumlah bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini antara lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok
Perbankan.
4) Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
6) Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupahasil penelitian,
buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di internet. Terkait dengan penulisan karya tulis ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan ensiklopedia.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi sumber hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang hendak di bahas. Sumber hukum sekunder yaitu buku-buku literatur ilmu hukum serta tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Serta sumber hukum tersier yaitu kamus hukum dan ensiklopedia.
1.8.5 Teknik analisis
Dalam penelitian ini bahan hukum dianalisis dengan :
1) Teknik Deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang menguraikan apa
adanya terhadap suatu posisi dari proposisi-proposisi hukum ataupun non hukum. Dalam teknik deskripsi dilakukan pada beberapa
kekaburan norma mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito pada bank dilihat dari UU Perbankan dan UUJN
2) Teknik evaluasi berkaitan dengan penilaian berupa tepat atau tidak
tepat, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik Argumentasi adalah teknik yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik ini digunakan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap permasalahan yang dibahas.