• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Luka bakar adalah luka iskemi dimana terjadi thrombosis pada arteriole,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Luka bakar adalah luka iskemi dimana terjadi thrombosis pada arteriole,"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fase Penyembuhan Luka Bakar

Luka bakar adalah luka iskemi dimana terjadi thrombosis pada arteriole, kapiler, venule, bahkan kadang-kadang pada pembuluh darah yang lebih besar. Cedera luka bakar yang paling umum adalah akibat terkena panas dan bahan kimia (Moenajat, 2003). Keparahan pada luka bakar biasanya terjadi dengan menyebabkan kematian sel langsung dan kehancuran matriks, dan kerusakan paling parah terjadi pada area permukaan (DeSanti, 2005). Luka bakar merupakan suatu jenis trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga memerlukan perwatan yang khusus mulai fase awal hingga fase lanjut (Moenajat, 2003). Fase penyembuhan luka bakar dapat dibagi dalam tiga fase yaitu:

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi eksudasi cairan, vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan. Inflamasi merupakan reaksi umum ketika terjadi kerusakan jaringan akibat trauma mekanis, nekrosa jaringan dan terjadinya infeksi. Aktifitas seluler yang terjadi pada fase ini adalah migrasi lekosit dari pembuluh darah yang dilatasi. Lekosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna mikroorganisme, debris dan benda asing pada luka. Pada fase ini makrofag juga membantu menelan dan menghancurkan bakteri. Penyembuhan akan terhenti apabila makrofag mengalami deaktivasi. Sel-sel

(2)

makrofag tidak hanya mampu menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang mengalami deaktivasi serta fibrin yang berlebih, tetapi juga mampu merangsang pembentukan fibroblas yang dapat melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasikan sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesia (Moezoeki, 1993; Morizon, 2004).

2. Fase proliferasi/ fibroplasia

Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi (hari ke-5 sampai hari ke-14). Pada fase fibroplasias luka dipenuhi oleh sel radang. Fibroblas dan kolagen membentuk jaringan berwarna kemerahan dan mudah berdarah dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel dari tepi permukaan luka. Proses migrasi epitel hanya bisa terjadi kearah permukaan yang datar atau lebih rendah. Proses ini baru berhenti apabila epitel saling menyentuh dan menutup luka (Moersoeki, 1993).

3. Fase maturasi/ remodeling

Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling jaringan kulit untuk membentuk daya rentang kulit yang lebih besar. Sel yang terlibat dalam proses ini adalah fibroblas. Remodeling bisa memakan waktu 2 tahun setelah terjadinya luka, sehingga luka yang terlihat telah sembuh dapat rusak kembali dengan cepat bila tidak diperhatikan faktor kausatif awalnya (Keast and Orsted, 2002).

(3)

2.2 Metode Pengujian Iritasi Kulit 2.2.1 Pengujian pada Hewan

Pada tahun 1994 telah dikembangkan pengujian iritasi dengan menggunakan kulit hewan yaitu kelinci yang disebut dengan uji kelinci draize dan sejak saat itu diadopsi di US Federal Hazardous Substance Act. Pengujian dilakukan pada kulit punggung kelinci albino dengan menilai eritema dan edema yang muncul selama 14 hari. Peneliti juga sering melengkapi uji ini dengan evaluasi histologi kulit. Uji draize akan mengkuantifikasi iritasi dengan indeks iritasi primer (IIP). Kelemahan dari uji draize adalah perbedaan fisiologi kulit kelinci dengan kulit manusia menyebabkan beberapa senyawa akan bersifat lebih toksik untuk kulit kelinci daripada kulit manusia. Selain itu, tumbuhnya bulu kelinci sekitar 7,16 ± 13 cm dalam 14 hari masa pengamatan pengujian draize dapat mengganggu pengamatan (Basketter et al., 2012; Costin et al., 2009).

2.2.2 Pengujian secara In vitro

Model kulit pertama diusulkan oleh Green et al. (1979) yang membuat epidermis buatan yang terdiri dari keratinosit manusia. Selanjutnya Bell dkk. (1981), membuat model kulit yang terdiri dari dermis dan epidermis. Saat ini berbagai model kulit manusia telah dikembangkan secara komersil. Namun, dalam tes iritasi kulit secara in vitro menggunakan model kulit memiliki keterbatasan. Misalnya, model kulit tidak dapat digunakan untuk sampel yang mengandung alkohol dalam konsentrasi tinggi karena model kulit lebih sensitif terhadap alkohol daripada kulit secara in vivo (Yamamoto et al., 2010). Transisi dari uji iritasi in vivo menjadi uji iritasi in vitro mengharuskan model uji in vitro memiliki

(4)

tingkat sensitivitas yang cukup tinggi agar dapat diterima sebagai pengganti uji in vivo. Kelemahan signifikan dari pendekatan ini adalah dalam uji in vivo maupun in vitro yang dikalibrasi terhadap data manusia mungkin tidak sesuai dengan keadaan kulit manusia (Basketter et al., 2012).

2.2.3 Pengujian pada Manusia

Menurut NASCR (National Academy of Sciences and Committee for the Revision) menganjurkan aplikasi tunggal uji tempel 4 jam untuk menguji iritasi kulit pada manusia. Bahan kimia mudah menguap umumnya dipaparkan selama 30 menit sampai 1 jam. Setelah penghapusan zat uji dibilas dengan air untuk menghilangkan residu. Evaluasi dilakukan 24, 48 dan 72 jam setelah penghapusan penempelan. Penilaian iritasi dilakukan dengan menilai reaksi edema, eritema dan eskar yang timbul pada kulit menggunakan skala draize. Kemudian ditentukan indeks iritasi dari sediaan uji dengan menghitung jumlah dari indeks eritema dan indeks edema untuk menganalisis hasil tes (Atief et al., 2013; Sukandar, 2013)

2.3 Uji Tempel

Uji tempel kulit pertama kali diperkenalkan oleh Jadassohn pada tahun 1895, diteliti secara intensif dan dapat digunakan secara klinis oleh Bruno Bloch pada tahun 1920 (Trihapsoro, 2003). Pengertian uji tempel menurut Dirjen POM (1985) adalah uji iritasi dan kepekaan kulit yang digunakan dengan cara menempelkan sediaan uji pada kulit normal manusia dengan maksud mengetahui tingkat iritasi sediaan tersebut. Prinsipnya berdasarkan pada pengamatan bahwa kulit yang tersenitisasi terhadap substansi kimiawi akan menunjukkan reaksi eksematosa

(5)

pada daerah penempelan substansi bahan tersebut, mulai 12-24 jam setelah penempelan dan mencapai perkembangan maksimum pada 48-72 jam (Trihapsoro, 2003).

2.3.1 Uji Tempel Tertutup (Patch Test)

Uji tempel tertutup disebut juga uji oklusif merupakan jenis uji yang konvensional dan paling banyak digunakan. Pengujian ini digunakan untuk mendeteksi adanya hipersensitivitas terhadap suatu bahan yang kontak dengan kulit sehingga dapat ditentukan bahan penyebab dan terapinya. Penempelan dapat dilakukan dengan menggunakan Thin Layer Rapid Use Epicutaneus (TRUE) atau dengan wadah aluminium (Finn chamber) (Trihapsoro, 2003).

2.3.2 Uji Tempel Terbuka (Open Test)

Uji tempel terbuka dilakukan untuk bahan-bahan yang mudah menguap dan pada penderita yang reaksi kepekaannya kuat, sehingga jika dilakukan secara tertutup maka bahan tersebut akan bersifat iritan primer. Contoh bahan-bahan yang menggunakan uji tempel terbuka adalah parfum, semprotan rambut, penyegar kulit, larutan setelah bercukur dan tonik rambut. Dilakukan dengan cara uji pakai (usage test) dan repeated open application test (ROAT). Daerah aplikasinya biasanya di daerah belakang telinga, lipatan lengan dan lipatan kaki (Trihapsoro, 2003).

2.3.3 Uji Tempel Sinar (Photo Patch Test)

Uji tempel sinar digunakan untuk bahan yang bersifat fotosensitif. Pelaksanaan uji ini sama dengan uji tempel tertutup, perbedaannya uji tempel sinar dilakukan secara duplo (menggunakan dua set tes, satu set sebagai kontrol).

(6)

Selain itu pengujian juga dapat dilakukan dengan menggunakan lampu xenon, merkuri dan kromayer yang disaring dengan kaca jendela sehingga menghasilkan sinar ultra violet A dengan panjang gelombang > 320 nm, lampu woods, Westinghouse dan Philips dengan panjang gelombang 280-320 nm atau 320-420 nm (Trihapsoro, 2003).

2.4 Manggis (Garcinia mangostana L) 2.4.1 Klasifikasi Garcinia mangostana L.

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Family : Guttiferanales Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana L.

(Hutapea, 1994)

2.4.2 Deskripsi Garcinia mangostana L.

Tanaman mangis (Garcinia mangostana L.) merupakan pohon buah dengan tinggi mencapai 25 meter. Berbatang kayu dengan warna hijau kotor yang bulat tebal dan tegak dengan diameter batang 45 cm memiliki daun tunggal yang berwarna hijau dan berbentuk lonjong dengan ujung runcing, pangkal yang tumpul dan tepi yang rata, pertulangan menyirip, berukuran panjang 20-25 cm dan lebar 6-9 cm. Berbunga tunggal berwarna kuning, berkelamin dua dan berada di

(7)

ketiak daun dengan panjang 1-2 cm. Buah berbentuk bulat, diameter 6-8 cm, kulit buah berdinding tebal lebih dari 9 mm, pada waktu muda kulit buah berwarna hijau namun setelah tua berubah menjadi merah tua sampai ungu kehitaman. Daging buah berwarna putih dan mengandung banyak air. Biji bulat dengan diameter 2 cm, dalam 1 buah terdapat 5-7 biji berwarna coklat. Akarnya tunggang berwarna putih kecoklatan Batang berkayu, bulat, tegak, percabangan simpodial, berwarna hijau. Daun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, percabangan menyirip, panjang 20-25 cm, lebar 6-9 cm, tangkai silindris, berwarna hijau. Bunga tunggal, berkelamin dua, benang sari berwarna kuning. Akarnya tunggang berwarna putih kecoklatan. Biji bulat dengan diameter 2 cm, dalam 1 buah terdapat 5-7 biji berwarna coklat. Akarnya tunggang berwarna putih kecoklatan (Hutapea, 1994).

Gambar 2.1 Manggis (Garcinia mangostana L)

2.4.3 Kandungan Kimia Kulit Garcinia mangostana L.

Studi fitokimia menunjukkan bahwa kulit buah dari tanaman manggis mengandung metabolit sekunder tanin, triterpen, anthosianin, xanthon,

(8)

polisakarida, senyawa fenolik, vitamin B1, B2 dan C (Kosem et al, 2007). Akar, kulit batang, dan kulit buah Garcinia mangostana Linn. mengandung saponin, di samping itu akar dan kulit batangnya juga mengandung flavonoida dan polifenol serta kulit buahnya juga mengandung tanin (Hutapea, 1994). Skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit manggis hasil maserasi etanol 95% mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, polivenol, steroid dan triterpenoid (Puspitasari, 2013).

2.4.4 Efek Farmakologi Kulit Garcinia mangostana L.

Ekstrak kulit buah manggis mempunyai aktivitas antioksidan dengan nilai EC50 sebesar 8,554 μg/mL (Supiyanti, dkk., 2010). Aktivitas anti inflamasi

ditunjukkan pada penelitian secara in vivo bahwa γ-mangostin dapat menghambat terjadinya inflamasi dan udema pada tikus yang diinduksi karagenan (Nakatani et al., 2004). Beberapa penelitian yang dilakukan selama ini menunjukkan bahwa ekstrak manggis memiliki aktivitas anti bakteri terhadap beberapa strain bakteri diantaranya, Staphylococcus auereus dan Staphylococcus epidermidis (Poeloengan dan Praptiwi, 2010), S. aureus, S. albus, Mirococcus lutus (Priya, 2010). Selain itu Iinuma et al (1996), meneliti daya hambat xanton hasil isolasi dari kulit manggis menunjukkan daya hambat pada S. aureus yang resisten pada methicillin. Puspitasati (2013) menyebutkan cold cream dengan kandungan 10% ekstrak etanol 95% kulit buah manggis memiliki aktivitas antiluka bakar pada keempat fase penyembuhan luka bakar dan secara hispatologis mampu menurunkan infiltrasi sel radang serta meningkatkan pembentukan kolagen secara signifikan.

(9)

2.5 Binahong (Anredera cordifolia) 2.5.1 Klasifikasi Anredera cordifolia

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Caryophyllales Suku : Basellaceae Marga : Anredera

Spesies : Anredera cordifolia (Tens.) Steenis

Sinonim : Boussingaultia gracilis Meirs; Boussingaultia cordifolia; Boussingaultia basselloides

(BPOM RI, 2008)

2.5.2 Deskripsi Anredera cordifolia

Tanaman menjalar, berumur panjang bisa mencapai panjang lebih dari 6 m. Batang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Daun tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, bisa dimakan. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem

(10)

keputih-putihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1 cm, berbau harum. Akar berbentuk rimpang, berdaging lunak (BPOM RI, 2008).

Gambar 2.2 Binahong (Anredera cordifolia)

2.5.3 Kandungan Kimia Daun Anredera cordifolia

Berdasarkan hasil uji tabung dan kromatografi lapis tipis, ekstrak etanol 70% daun binahong mengandung senyawa alkaloid, polifenol, flavonoid dan saponin (Hermila, 2011). Analisis kualitatif beberapa senyawa fitokimia yang terdapat pada daun Anredera cordifolia menunjukkan hasil positif untuk terpenoid, steroid, glikosida dan alkaloid. Skrining terhadap komponen saponin pada daun Anredera cordifolia juga menunjukkan hasil positif pada sampel basah maupun sampel kering (Astuti dkk, 2011).

2.5.4 Efek Farmakologi Daun Anredera cordifolia

Pemberian 10 % ekstrak etanol 70% daun binahong kepada tikus yang diinduksi luka bakar telah diteliti secara visual dan histopatologis mampu menurunkan infiltrasi sel radang, meningkatkan granulasi jaringan, meningkatkan re-epitelisasi epidermis dan kepadatan kolagen (Ahliandi, 2014; Karismawan,

(11)

2013). Peningkatan jumlah sel fibroblast juga dialami pada luka bakar tikus Sprague dawey yang diberikan salep ekstrak daun binahong dengan konsetrasi 20% (Aini, 2014). Hasil uji aktivitas antibakteri pada kombinasi ekstrak etanol binahong serta kombinasi ekstrak etanol binahong dan pegagan menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak tersebut mempunyai aktivitas terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (Sutrisno, dkk., 2014). Kandungan asam oleanik pada daun binahong memiliki aktifitas anti-inflamasi yang dapat mengurangi rasa sakit pada luka bakar. Selain itu pada daun binahong juga terdapat asam askorbat, memiliki aktifitas antioksidan dan kandungan komponen fenolik yang tinggi sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun gram negatif (Astuti dkk, 2011). Senyawa Senyawa terpenoid yang terkandung didalam binahong mampu membantu tubuh dalam proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel tubuh (Manoi, 2009).

2.6 Pegagan (Centella asiatica) 2.6.1 Klasifikasi Centella Asiatica

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Apiales Suku : Apiaceae Marga : Centella

(12)

2.6.2 Deskripsi Centella asiatica Centella asiatica

rimpang pendek dan stolon

tersusun dalam ronset yang terdiri dua sampai sepuluh daun, kadang

berambut; tangkai daun panjang sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar dan bundar dengan garis tengah 1

bergerigi, terutama ke ara tiga sampai lima bersama

mm, lebih pendek dari tangkai daun. Buah pipih, lebar ± 7 mm dan tinggi ± 3 mm, belekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning

(BPOM RI, 2008).

2.6.3 Kandungan Kimia

Secara umum kandungan bahan aktif yang ditemukan dalam pegagan (Centella asiatica L.) meliputi triterpenoid saponin, dan flavonoid

Centella asiatica

Centella asiatica adalah terna atau herba tahunan, tanpa batang tetapi dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang melata, panjang 10-80 cm. Daun tunggal,

dalam ronset yang terdiri dua sampai sepuluh daun, kadang

berambut; tangkai daun panjang sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar dan bundar dengan garis tengah 1-7 cm, pinggir daun beringgit sampai beringgit bergerigi, terutama ke arah pangkal daun. Perbungaan berupa payung tunggal atau tiga sampai lima bersama-sama keluar dari ketiak daun, gagang perbungaan 5 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Buah pipih, lebar ± 7 mm dan tinggi ± 3 mm, belekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning kocoklatan, berdinding agak tebal

Gambar 2.3 Pegagan (Centella asiatica)

.3 Kandungan Kimia Herba Centella asiatica

Secara umum kandungan bahan aktif yang ditemukan dalam pegagan L.) meliputi triterpenoid saponin, dan flavonoid

terna atau herba tahunan, tanpa batang tetapi dengan 80 cm. Daun tunggal, dalam ronset yang terdiri dua sampai sepuluh daun, kadang-kadang agak berambut; tangkai daun panjang sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar 7 cm, pinggir daun beringgit sampai beringgit-h pangkal daun. Perbungaan berupa payung tunggal atau

sama keluar dari ketiak daun, gagang perbungaan 5-50 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Buah pipih, lebar ± 7 mm dan tinggi ± 3 mm, kocoklatan, berdinding agak tebal

Secara umum kandungan bahan aktif yang ditemukan dalam pegagan L.) meliputi triterpenoid saponin, dan flavonoid Asiaticoside,

(13)

madecassoside, asam asiatat,dan asam madekasat, yang tergolong ke dalam triterpenoid, dan saponin (BPOM RI, 2010).

2.6.4 Efek Farmakologi Herba Centella asiatica

Ekstrak etanol 70 % herba pegagan diketahui dapat mencegah pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid akibat luka bakar (Astiti, 2013). Morisset et al. (1987) melaporkan bahwa asiaticoside yang merupakan kandungan utama Centella asiatica dapat menurunkan terjadinya fibrosis pada luka sehingga mampu mencegah pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid. Pengujian secara in vitro dengan menggunakan sel-sel fibroblas yang diinkubasi dengan ekstrak Centella asiatica selama 48 jam menunjukkan bahwa peningkatan produksi kolagen sebesar 4,02 mg/ 100 g protein atau meningkat secara signifikan sebanyak 2 kali lipat dibandingkan dengan kontrol, sedangkan produksi fibronektin meningkat sekitar 1,5 kali lipat (Hashim, 2014)

2.7 Cold Cream

Cold cream (krim pendingin) merupakan emulsi air dan minyak, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin setil ester, lilin putih minyak mineral, natrium borat dan air murni. Cold cream dapat kontak lebih lama pada permukaan kulit karena kandungan fase luar cold cream berupa minyak, sehingga bisa meningkatkan hidrasi pada kulit dan cocok untuk sediaan anti luka bakar. Efek hidrasi dan waktu kontak obat pada kulit akan mempengaruhi absorpsi perkutan suatu obat (Ansel, 2008). Untuk membuat sediaan cold cream yang berupa emulsi air dalam minyak (a/m) dibuat menggunakan zat pengemulsi atau emulgator yang

(14)

berfungsi menjaga stabilitas emulsi (Anief, 2005). Nilai HLB yang dibutuhkan untuk membentuk emulsi tipe a/m memiliki rentang 3-6 (Martin et al., 1993).

Tabel 2.1 Formula Standar Cold cream

Nama Bahan Fungsi Jumlah (%)

Cera alba Basis fase minyak, meningkatkan stabilitas emulsi a/m; stiffening agent

12,0

Cetaceum Basis fase minyak; emolien

12,5

Na tetraborat Pengawet 0,5

Parafin cair Basis fase minyak, emolien

56,0

Akuades Basis fase air 19

(Formula cold cream mengacu pada formula standar Depkes RI, 1978; Widriyati et al., 2007)

Gambar

Gambar 2.1 Manggis (Garcinia mangostana L)
Gambar 2.2 Binahong (Anredera cordifolia)
Gambar 2.3 Pegagan (Centella asiatica)
Tabel 2.1 Formula Standar Cold cream

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan atau kerugian yang ditimbul dari transaksi atas aktiva yang dijual dan disewagunausahakan kembali dengan hak opsi ditangguhkan dan diamortisasi secara proporsional

2009), hlm.. rinciannya tidak ada. Karenanya untuk memahami sistem ekonomi selain memerlukan pemahaman tentang secara utuh, juga memerlukan pemahaman tentang

Laboratorium Pusat Terpadu UNS yang telah membantu memberi surat keterangan mengenai alat laboratorium yang digunakan saat penelitian sehingga dapat memperkuat

Bahar dominan pedagang pengumpul yang langsung mendatangi dan membeli telur itik dalam jumlah yang besar berkisar antara 50 Rak sekali angkut lalu kemudian

Aksesoris kepala pria di Kota Sukabumi ditandai dengan topi berwarna merah dengan hiasan emas dan permata pada sisi depan topi, topi ini disebut dengan topi

Da$am sebua* basis data terdistribusi+ basis data disim#an #ada bebera#a %,m#uter. Sebua* sistem basis data terdistribusi berisi%an se%um#u$an site+ di mana tia#-tia# site

Hipertrofi jantung menyebabkan jantung lebih rentan untuk terjadinya aritmia dan menurut penelitian Sari DN, et al (2012) dengan protokol yang sama dengan penelitian

selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan nasihat yang berarti bagi penulis dalam penyusunan tesis ini.. selaku dosen pembimbing