• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PH DAN TEMPERATUR PADA PEMBENTUKAN BIOSURFAKTAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PH DAN TEMPERATUR PADA PEMBENTUKAN BIOSURFAKTAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PH DAN TEMPERATUR PADA PEMBENTUKAN BIOSURFAKTAN

OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa

EFFECT OF PH AND TEMPERATURE ON BIOSURFACTANT PRODUCED BY

Pseudomonas aeruginosa

Refdinal N*, Endah M.M.P*, Meita A.B*

Laboratorum Kimia Mikroorganisme Jurusan Kimia FMIPA-ITS Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya (60111), Telp. 031-5943353(ext.211)

Email :refnawfa@chem.its.ac.id

Abstrak.

Telah dilakukan penelitian pembentukan biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri

Pseudomonas aerugenosa. Kemampuan bakteri dalam menghasilkan biosurfaktan diukur dengan cara

mengendapkan biosurfaktan yang dihasilkan. Variasi pH dan temperatur dilakukan untuk mendapatkan

kondisi optimal dalam pembentukan biosurfaktan oleh bakteri yang digunakan. Biosurfaktan yang telah

diperoleh ditentukan aktivitasnya dengan cara mengukur penurunan tegangan permukaan yang

dihasilkan. Penurunan tegangan permukaan sebesar lebih dari 10 mN/m mengindikasikan potensi bakteri

dalam menghasilkan biosurfaktan. Hasil uji aktivitas pada variasi temperatur antara 25

o

C sampai 45 °C

menunjukkan kondisi optimum pembentukan biosurfaktan terjadi pada temperatur 35 °C dan variasi pH

dari 6.0 sampai 8,0, optimum pada pH 7.0 dengan penurunan tegangan permukaan sebesar 10,72 mN/m

dengan hasil pembentukan berupa biosurfaktan murni sebesar 0,016 gram per liter per jam.

Kata Kunci: biosurfaktan, Pseudomonas aeruginosa, tegangan permukaan

Abstract. It

has been studied biosurfactant produced by Pseudomonas aerugenosa. The ability of

bacteria to produce biosurfactant was measured by precipitating biosurfactant produced. Variation of

pH and temperature is done to obtain optimum conditions in biosurfactant formation by bacteria are

used. Biosurfactant activity that has been obtained is determined by measuring the resulting decrease in

surface tension. Decrease in surface tension of more than 10 mN / m indicate the potential of bacteria to

produce biosurfactant. The results of the activity test temperature variation between 25 ° C to 45 ° C

showed optimum conditions biosurfactant formation occurs at a temperature of 35 ° C and pH variation

from 6.0 to 8.0, the optimum at pH 7.0 to decrease the surface tension of 10.72 mN / m with the results

formation in the form of pure biosurfactant by 0.016 grams per liter per hour.

Keywords: biosurfactant, Pseudomonas aeruginosa, surface tension

(2)

PENDAHULUAN

Bahan bakar hidrokarbon samapai saat ini masih

menjadi sumber energi utama yang terus

menerus digunakan. Hal ini membuatnya

menjadi salah satu pencemar lingkungan yang

paling umum dan meluas, dapat mempengaruhi

kesehatan manusia serta menyebabkan banyak

permasalahan lingkungan [1,2]. Strategi yang

efektif

diperlukan

untuk

mengatasi

permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh

bahan bakar hidrokarbon.

Salah satu proses yang mengubah senyawa

kimia menjadi energi, massa sel, dan produk

biologi

oleh

organisme,

terutama

mikroorganisme dikenal dengan bioremediasi.

Bioremediasi

merupakan

metode

yang

disarankan

untuk

mengatasi

pencemaran

lingkungan, terutama pencemaran tanah oleh

bahan bakar. Bioremediasi menjadi metode yang

diunggulkan karena kemampuannya untuk

mengubah pencemar menjadi produk akhir yang

tidak berbahaya serta biaya operasinya yang

minimal

[3].

Mengingat

pencemaran

berkelanjutan dan sifat beracun dari hidrokarbon

minyak, pengembangan strategi bioremediasi

yang efektif masih menemui permasalahan [4].

Mikroorganisme

diyakini

sebagai

satu-satunya sumber biologis yang efektif untuk

mendegradasi

hidrokarbon

[5].

Namun,

menumbuhkan mikroorganisme dalam substansi

yang mengandung hidrokarbon menimbulkan

permasalahan baru karena sifat hidrokarbon

yang tidak larut dalam air. Hal ini dapat diatasi

dengan menggunakan bakteri yang memiliki

kemampuan untuk mengemulsi hidrokarbon

dalam larutan dengan cara memproduksi surface

active agent atau biosurfaktan [6]. Biosurfaktan

menarik perhatian dalam bidang remediasi

karena beberapa alasan: (1) biosurfaktan

memiliki struktur kimia yang unik yang

mungkin memiliki sifat yang berguna dalam

proses bioremediasi, (2) biosurfaktan terbentuk

secara alami, bersifat biodegradabel, sehingga

mungkin dapat diterima jika diberikan pada

tempat yang terkontaminasi, (3) merupakan

produk ex situ sehingga mungkin lebih efektif

dalam biaya dibandingkan dengan surfaktan

sintetis, (4) dimungkinkan memiliki kemampuan

untuk menstimulasi produksi ex situ pada tempat

yang terkontaminasi [7].

Produksi biosurfaktan oleh populasi

mikroba dipengaruhi oleh sumber karbon,

sumber

nitrogen,

temperatur,

pH,

dan

konsentrasi NaCl [8]. Faktor-faktor ini perlu

diteliti lebih lanjut dalam usaha pengoptimalan

produksi biosurfaktan. Berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan, bakteri dari genus

Pseudomonas diketahui dapat memproduksi

surfaktan tipe glikolipid yang mengandung

rhamnosa dan 3-hidroksi asam lemak yang

dikenal dengan nama rhamnolipid. Rhamnolipid

terbukti memiliki banyak manfaat, antara lain

aktivitas

antimikrobialnya

lebih

tinggi

dibandingkan dengan mikroorganisme lain serta

dapat membantu proses penghilangan logam

berat dari tanah [9]. Penelitian yang dilakukan

oleh Cameotra dan Singh [4] mengemukakan

bahwa galur P.aeruginosa merupakan salah satu

bakteri

yang

efektif

dalam

degradasi

hidrokarbon

dan

dapat

menghasilkan

rhamnolipid. Berdasarkan hal tersebut, dipilihlah

bakteri P. aeruginosa lokal sebagai bakteri yang

digunakan dalam penelitian ini karena belum

pernah dilaporkan biosurfaktan yang dihasilkan

oleh bakteri ini. Temperatur dan pH lingkungan

yang merupakan faktor yang mempengaruhi

produksi biosurfaktan perlu dioptimasi sehingga

diperoleh hasil produksi biosurfaktan yang

optimal.

BAHAN DAN METODE

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain seperangkat alat fermentasi,

shaker incubator, neraca analitik, centrifuge,

autoclave, pH meter, freezer, liofilisator,

tensiometer dan laminary air flow.Peralatan

gelas seperti gelas ukur, erlemeyer, beker gelas,

dll.

Bahan

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam

penelitian ini antara lain isolat bakteri P.

aeruginosa

lokal

yang

diperoleh

dari

laboratorium Mikrobiologi jurusan Teknik

Kimia ITB, media padat agar miring (nutrient

agar 20 g/ L), media proteose phosphate

glucose acid salt atau disingkat PPGAS (0,02 M

(3)

NH4Cl, 0,02 M KCl, 0,12 M Tris-HCl, 0,0016

M MgSO4, 0,5% [b/v] glukosa, 1% [b/v] pepton;

pH 7,2), HCl 3 N, kloroform, metanol, buffer

natrium bikarbonat pH 8,6 dan aquades.

Prosedur Penelitian

A. Pemeliharaan bakteri P. aeruginosa

Sebanyak 0,7 g nutrient agar (NA)

dilarutkan ke dalam 35 mL aquades, diaduk

sambil dipanaskan sampai NA larut sempurna.

Larutan NA dimasukkan dalam 7 tabung reaksi,

masing-masing berisi 5 mL dan masing-masing

mulut tabung ditutup dengan kapas berlemak.

Tabung reaksi tersebut diautoclave pada suhu

121°C selama 15 menit. Setelah proses

autoclave selesai, tabung diletakkan dalam

posisi miring dan dibiarkan hingga menjadi

padat. Setelah media memadat, diambil isolat

bakteri P. aeruginosa lokal sebanyak 1 ose dan

digoreskan dengan pola zig-zag pada media agar

miring. Tabung kemudian ditutup rapat dan

diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.

B. Pengaruh Temperatur terhadap Pembentukan

Biomassa P. aeruginosa

Biakan media padat sebanyak 1 ose diambil

dan dimasukkan dalam starter berupa 50 mL

media cair proteose phosphate glucose acid salt

PPGAS (0,02 M NH4Cl2, 0,02 M KCl, 0,12 M

Tris-HCl, 0,0016 M MgSO4.7H2O, 0,5 % [w/v]

glukosa, 1 % [w/v] pepton yang diatur hingga

pH 7,2). Selanjutnya biakan diinkubasi selama

12 jam dengan shaker incubator pada 120 rpm

dan 25°C. Media berisi bakteri yang telah

dishaker dipindahkan secara aseptik ke dalam

450 mL media cair lain dan diinkubasi dengan

shaker incubator pada 120 rpm dan 25°C.

Penentuan pembentukan biomassa dilakukan

dengan mengambil 10 mL biakan kemudian

diukur kekeruhannya menggunakan metode

turbidimetri dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 600 nm dengan interval 2

jam hingga bakteri memasuki fase kematian.

Prosedur yang sama dilakukan untuk inokulasi

bakteri ke dalam media cair lain dengan

menggunakan variasi temperatur 30°C, 35°C,

40°C dan 45°C. Masing-masing inokulat

ditentukan

kurva pertumbuhannya

dengan

prosedur yang sama seperti pada penentuan

kurva pertumbuhan pada inokulum dengan

temperatur 25°C.

C. Pengaruh Temperatur terhadap Waktu

Produksi Biosurfaktan

Setelah diperoleh kurva pertumbuhan bakteri

untuk masing - masing variasi temperatur,

dipilih empat titik pada setiap fase stasioner.

Pada setiap titik tersebut diambil 55 mL biakan

dalam

media

cair,

kemudian

dilakukan

pemisahan berdasarkan metode yang dilakukan

oleh

Cameotra

dan

Singh

[4].

Biakan

disentrifugasi pada 3700 rpm selama 30 menit.

Supernatan dipisahkan dari biomassanya dengan

cara dekantasi, lalu supernatan yang dihasilkan

diambil sebanyak 50 mL dan diasamkan

menggunakan HCl 3 N sampai pH 2,0 kemudian

didiamkan semalam pada suhu 4°C. Selanjutnya

larutan tersebut disentrifugasi kembali pada

3700

rpm

selama

30

menit.

Endapan

biosurfaktan yang diperoleh dipisahkan dari

filtratnya dan dikeringkan dengan menggunakan

freeze dryer. Endapan yang sudah kering (krud

biosurfaktan)

ditimbang

massanya.

Krud

biosurfaktan yang didapatkan dilarutkan kembali

dalam akuades hingga volume awal dan

dimasukkan ke dalam gelas beker yang telah

dicuci dengan HCl. Larutan ini kemudian diukur

tegangan permukaannya dengan menggunakan

metode cincin. Pengujian dilakukan terhadap

masing-masing media pertumbuhan yang telah

divariasikan temperaturnya pada 25°C, 30°C,

35°C, 40°C dan 45°C. Semakin rendah tegangan

permukaannya maka semakin baik kandungan

biosurfaktannya.

D.

Pengaruh

pH

terhadap

produksi

Biosurfakt

an

(4)

Pengaruh pH media dilakukan dengan

memfariasikan pH antara 6,0 sampai 8,0.

Perlakuannya sama seperti pada pengaruh

tempertur, tetapi yang diamati hanya satukali

penyamplingan pada jam ke 22 dengan

temperature 35

o

C dengan mengukur berat massa

biosurfaktan

yang

dihasilkan,

tegangan

permukaan yang dihasilkan dan penurunan

tegangan permukaan yang terjadi.

E. Produksi dan Pemisahan Biosurfaktan

Biosurfaktan diproduksi dengan melakukan

inokulasi bakteri P. aeruginosa lokal pada media

PPGAS menggunakan volume media fermentasi

sebanyak 2500 mL. pH media dan temperatur

inkubasi dilakukan pada kondisi optimum yang

diperoleh

dari

percobaan

sebelumnya.

Pemisahan

dan

pemurnian

biosurfaktan

dilakukan dengan metode Cameotra dan Singh

[4]. Media hasil fermentasi disentrifugasi

dengan kecepatan 3700 rpm selama 30 menit

untuk mendapatkan supernatannya. Supernatan

yang diperoleh diasamkan dengan 3 N HCl

hingga pH 2,0 dan diinkubasi semalam pada

suhu

4°C

untuk

menghasilkan

endapan

biosurfaktan.

Endapan

yang

diperoleh

dikumpulkan dengan cara sentrifugasi dengan

kecepatan 3700 rpm selama 30 menit, lalu

endapan dilarutkan kembali dalam 50 mM

buffer natrium bikarbonat (pH 8,6) dan

diasamkan kembali hingga mencapai pH 2,0

untuk pengendapannya. Kemudian dilakukan

sentrifugasi kembali pada 3700 rpm selama 30

menit untuk mendapatkan endapan terakhir.

Untuk mendapatkan biosurfaktan (rhamnolipid),

endapan

diekstraksi

berkali-kali

dengan

campuran kloroform dan metanol (2:1). Pelarut

diuapkan

dengan

menggunakan

rotary

evaporator, kemudian residu dikeringkan. Lalu

residu yang sudah kering ditimbang untuk

mendapatkan massanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemeliharaan bakteri P. aeruginosa

Bakteri

yang

akan

digunakan

dalam

penelitian harus ditumbuhkan dalam media

padat yang baru. Tujuan dari menumbuhkan

bakteri pada media yang baru adalah untuk

mencegah kematian bakteri yang diakibatkan

oleh habisnya nutrisi yang terkandung dalam

media padat yang lama. Oleh karena itu bakteri

P. aeruginosa lokal harus ditumbuhkan pada

media padat agar miring yang baru.

Media padat agar miring yang digunakan

dalam penelitian ini dibuat dari “nutrient agar”

atau agar nutrisi yang dilarutkan dalam akuades.

Agar nutrisi berfungsi sebagai sumber makanan

dalam pertumbuhan bakteri. Agar nutrisi yang

telah dilarutkan dalam akuades dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, kemudian disterilkan

dalam autoclave dengan suhu 121°C selama 15

menit. Setelah diautoclave, tabung reaksi yang

berisi larutan agar diletakkan dalam posisi

miring lalu didiamkan hingga dingin dan

memadat. Tujuan memiringkan media padat ini

adalah untuk memperluas bidang tumbuh

bakteri. Setelah media agar memadat, isolat

bakteri P. aeruginosa lokal diambil 1 ose dan

digoreskan secara zig-zag pada permukaan

media padat agar miring secara aseptis.

Gambar.1 Isolat bakteri P. aeruginosa lokal (a)

sebelum diregenerasi (b) setelah diregenerasi.

B.Pengaruh Temperatur terhadap Pembentuka

Biomassa P. aeruginosa

Biosurfaktan

(rhamnolipid)

merupakan

metabolit sekunder, dimana biasanya senyawa

tersebut dipanen pada fase stasioner [11].

Cameotra dan Singh [4] dalam penelitian

mereka mengemukakan bahwa rhamnolipid

yang dihasilkan oleh galur P. aeruginosa

menghasilkan tegangan permukaan terendah di

akhir fase eksponensial hingga fase stasioner.

Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu

(5)

diketahui waktu tercapainya fase stasioner untuk

P.

aeruginosa

lokal

untuk

mengetahui

kemampuannya

dalam

menghasilkan

biosurfaktan.

Kurva pertumbuhan bakteri digunakan untuk

mengetahui siklus hidup bakteri. Melalui kurva

ini, akan didapatkan informasi mengenai

fase-fase pertumbuhan bakteri, sehingga dapat

diketahui kapan fase stasioner berlangsung dan

dapat dilakukan pemanenan biosurfaktan pada

waktu

yang

tepat.

Metode

pengukuran

pertumbuhan mikroba yang digunakan untuk

mendapatkan kurva pertumbuhan bakteri adalah

metode kekeruhan atau turbidimetri yang diukur

menggunakan spektrofotometer UV-vis pada

panjang gelombang 600 nm. Prinsip metode ini

yaitu kerapatan optik atau kekeruhan suatu

cairan kultur sebanding dengan massa sel [12].

Pengukuran kerapatan optik dilakukan setiap

dua jam sekali sampai bakteri memasuki fase

kematian. Larutan blanko yang digunakan

adalah akuades steril. Bakteri diinokulasikan ke

dalam media cair PPGAS dan dilakukan variasi

temperatur.

Berikut

ini

grafik

kurva

pertumbuhan yang diperoleh:

Gambar.2 merupakan kurva pertumbuhan

bakteri pada variasi suhu 25°C, 30°C, 35°C,

40°C dan 45°C. Masa hidup bakteri yang

ditumbuhkan pada media cair rata-rata berkisar

antara satu hari. Hal ini terjadi karena bakteri

yang ditumbuhkan pada media cair akan lebih

mudah menyerap makanan, namun sebagai

akibatnya sumber makanan akan lebih cepat

habis bila dibandingkan dengan saat bakteri

ditumbuhkan dalam media padat sehingga masa

hidup bakteri menjadi lebih singkat [11].

Pada suhu 25°C, 30°C, 40°C dan 45°C

diamati adanya fase lag yang menandakan

bakteri masih beradaptasi dengan lingkungan,

Gambar.2 Grafik

kurva pertumbuhan P.

aeruginosa pada variasi suhu 25°C ( ),

30°C ( ), 35°C ( ), 40°C (

)

dan

45°C (

)

sedangkan pada suhu 35°C tidak terjadi fase lag

dan langsung menuju fase eksponensial. Hal ini

dapat diakibatkan oleh adanya kecocokan antara

suhu tersebut dengan bakteri P. aeruginosa

lokal, dimana mungkin suhu ini merupakan suhu

ideal bagi bakteri tersebut untuk tumbuh.

Pada variasi temperatur 25°C, 30°C, 35°C,

40°C dan 45°C, bakteri memasuki fase stasioner

pada saat yang hampir bersamaan, yaitu antara

jam ke-6 hingga jam ke-8, sedangkan akhir fase

stasioner dicapai pada jam ke-22 dan dilanjutkan

dengan fase kematian. Namun, pada variasi

temperatur 25°C, kurva mengalami penurunan

yang signifikan sejak awal jam ke-16 dan terus

menunjukkan

penurunan,

sedangkan

pada

temperatur 45°C, kurva mengalami penurunan

sejak jam ke-12. Adanya bermacam suhu

memberi perbedaan pada fase yang dilalui.

Kecepatan pertumbuhan pada fase eksponensial

yang paling tinggi ditunjukkan pada temperatur

40°C dan 25°C yang ditunjukkan dengan hasil

biomassa yang banyak.

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,91 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 N il a i O D p a d a 6 0 0 n m Waktu (jam)

(6)

C. Pengaruh Temperatur terhadap Waktu

Produksi Biosurfaktan

Setelah didapatkan data fase stasioner dari

kurva pertumbuhan, maka dilakukan pemisahan

untuk mendapatkan krud biosurfaktan sesuai

metode Cameotra dan Singh [4]. Krud

biosurfaktan yang didapat dilarutkan kembali

dalam akuades hingga volume semula dan diuji

tegangan permukaannya dengan menggunakan

metode cincin.

Uji aktivitas biosurfaktan dilakukan dengan

cara menguji tegangan permukaan karena

berdasarkan penelitian-penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya, bakteri P. aeruginosa

dengan berbagai galur merupakan penghasil

biosurfaktan jenis rhamnolipid. Rosenberg dan

Ron [13] mengemukakan bahwa biosurfaktan

dengan berat molekul rendah seperti glikolipid

(trehalosa lipid, sophorolipid dan rhamnolipid)

lebih berperan dalam menurunkan tegangan

permukaan dan tegangan antarmuka, dan kurang

stabil dalam emulsi. Berdasarkan hal tersebut

maka pada penelitian ini analisa aktivitas

biosurfaktan dilakukan dengan pengukuran

tegangan permukaan. Tegangan permukaan yang

didapat

dibandingkan

dengan

tegangan

permukaan

akuades,

sehingga

diketahui

penurunan tegangan permukaan yang terjadi.

Grafik hubungan jumlah krud biosurfaktan

terhadap waktu produksinya ditunjukkan pada

Gambar.3.

Pada Gambar.3 terlihat dengan bertambahnya

waktu inkubasi, jumlah massa krud biosurfaktan

juga bertambah. Hal ini terjadi untuk semua

variabel suhu yang dilakukan. Secara umum

jumlah massa krud biosurfaktan yang terbanyak

terjadi pada variabel suhu 45°C. Berdasarkan

grafik ini, dapat diketahui bahwa jumlah massa

krud biosurfaktan terbanyak yang diperoleh

diamati pada variasi temperatur 45°C dan diikuti

dengan temperatur 25 dan 35°C.

Gambar.3 Hubungan massa krud biosurfaktan

yang diperoleh pada fase stasioner terhadap

waktu produksi ; suhu 25°C ( ), 30

o

C ( )

35

o

C ( ),40

o

C ( ),45

o

C ( )

sedangkan penurunan tegangan permukaan

tertinggi diamati pada variasi suhu 35°C di jam

ke-14 sampai 22, yaitu sebesar 10,72 mN/m.

Biosurfaktan yang diperoleh dari variasi suhu

45°C pada jam ke-8 menunjukkan penurunan

tegangan permukaan terendah yaitu sebesar 0,77

mN/m, namun pada jam ke-10, 14 dan 20 mulai

mengalami penurunan tegangan permukaan

yang signifikan. Bila dilihat hubungan antara

krud biosurfaktan yang terbentuk terhadap

penurunan tegangan permukaan, menunjukkan

bahwa banyaknya massa krud biosurfaktan tidak

selalu

memberikan

penurunan

tegangan

permukaan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan

pada waktu pengujian tegangan permukaan,

biosurfaktan yang digunakan masih dalam

bentuk krud yang kemungkinan tercampur

dengan senyawa lain yang ikut mengendap pada

pH 2,0 seperti enzim-enzim ekstraseluler yang

juga dihasilkan yang kemudian terdenaturasi dan

mengendap. Berdasarkan uraian di atas maka

dipilih temperatur 35°C sebagai temperatur

optimum untuk memproduksi biosurfaktan. Bila

dibuat

hubungan

penurunan

tegangan

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 M a ss a k r u d b io su r fa k ta n (g r a m ) Waktu (jam)

(7)

permukaan dengan waktu inkubasi, maka

diperoleh Gambar 4.

Gambar.4

Hubungan

penurunan

tegangan permukaan krud biosurfaktan terhadap

waktu produksi; suhu 25°C ( ), 30

o

C ( )

35

o

C ( ),40

o

C ( ),45

o

C( )

Tegangan permukaan normal air berkisar

antara 72 mN/m [14], yang merupakan tegangan

permukaan media pada saat belum memproduksi

biosurfaktan (jam ke-0). Menurut Francy dkk

[15], penurunan nilai tegangan permukaan diatas

10 mN/m menunjukkan potensi bakteri dalam

menghasilkan biosurfaktan. Pada variasi

temperatur 35°C yang merupakan temperatur

optimum

untuk

produksi

biosurfaktan,

dihasilkan penurunan tegangan permukaan

sebesar

10,72

mN/m

sehingga

dapat

disimpulkan bahwa bakteri P. aeruginosa lokal

merupakan

salah

satu

bakteri

penghasil

biosurfaktan.

D.Pengaruh pH media pada pembentukan biosurvaktan

Faktor

yang

juga

mempengaruhi

pembentukan

biosurfaktan

adalah

pH

lingkungan

media

pertumbuhan

mikroba

penghasilnya. Hasil yang diperoleh dari fariasi

pH 6,0 sampai 8,0 yang dilakukan pada

temperatur 35

o

C diperoleh data pada tabel 1.

Tabel 1.Pengaruh pH media Pada pembentukan

biosurfaktan

pH

Massa

Tegangan

permukaan

Penurunan

tegangan

media

biosurfaktan

( gram )

diamati

(mN/m)

permukaan

( mN/m)

6,0

0,0320

62,81

9,19

6,5

0,0320

62,83

9,17

7,0

0,0401

61,28

10,72

7,5

0,0395

61,30

10.70

8,0

0,0380

62,81

9,19

Dari tabel terlihat untuk pH 7,0 memberikan

massa biosurfaktan yang besar dan nilai

penurunan tegangan permukaan yang tinggi. Hal

ini menunjukan enzim-enzim yang terlibat pada

pembentukan biosurfaktan bekerja terbaik pada

pH 7.0 dibandingkan dengan pH yang lain

sehingga menghasilkan biosurfaktan terbanyak

pada pH ini.

E. Produksi dan Pemisahan Biosurfaktan

Hasil yang diperoleh dari produksi biosurfaktan

pada media sebanyak 2500 ml selanjutnya

dilakukan

pemisahan

biosurfaktan

yang

dihasilkan. Pemisahan dilakukaan dengan

menggunakan metoda pengendapan sebagai

mana yang dijelaskan pada metodologi.

Biosurfaktan (rhamnolipid) murni didapat dari

pengekstrakan biosurfaktan kering dengan

ekstraksi

berkali-kali

dengan

campuran

kloroform dan metanol (2:1). Pelarut diuapkan

dengan menggunakan rotary evaporator,

kemudian residu dikeringkan. Residu yang

sudah kering ditimbang untuk mendapatkan

massanya. Berat masa buiosurfaktan murni

yang diperoleh sebanyak 0,925 gram (0.016

gram perliter per jam).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa,

dapat diambil kesimpulan bahwa variasi

temperatur 25°C sampai 40

o

C dan pH 6.0

sampai 8.0 dapat mempengaruhi produksi

0 3 6 9 12 15 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 Pe n u r u n a n t eg a n g a n p er m u k a a n ( m N /m ) Waktu (jam)

(8)

biosurfaktan dengan kondisi media optimum

untuk memproduksi biosurfaktan dicapai pada

temperatur 35°C dan pH media 7,0. Penurunan

tegangan permukaan oleh endapan biosurfaktan

yang dihasilkan bernilai lebih besar dari 10

mN/m yang menunjukkan potensi bakteri P.

aeruginosa lokal sebagai bakteri penghasil

biosurfaktan.

Produksi

biosurfaktan

yang

dilakukan menghasilkan biosurfaktan sebesar

0,016 gram per liter per jam.

UCAPAN

TERIMA

KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Dirjen Perguruan Tinggi atas dana yang telah

diberikan melalui Penelitian Laboratorium Dana

BOPTN ITS tahun anggaran 2014

DAFTAR

PUSTAKA

[1]

Boulding,

J.R.

“EPA

Environmental

Engineering Sourcebook”. Michigan: Ann

Arbor Press, (1996).

[2]

Ferrari, M.D., Neirotti, E., Albornoz, C.,

Mostazo, M.R., Cozzo, M. “Biotreatment of

Hydrocarbons from Petroleum Tank Bottom

Sludge in Soil Slurries”. Biotechnology

Letters, (1996) 1241 – 1246.

[3]

Olivera, N.L., Esteves, J.L., Commendatore,

M.G.

“Alkane

Biodegradation

by

a

Microbial Community from Contaminated

Sediments

in

Patagonia,

Argentina”.

International

Biodeterioration

&

Biodegradation, (1997) 75 –79.

[4]

Cameotra,

S.S.,

Singh,

P.

2008.

“Bioremediation of Oil Sludge Using Crude

Biosurfactants”.

International

Biodeterioration & Biodegradation, (2008)

274-280.

[5]

Raghavan, P.U.M., Vivekanandan, M.

“Bioremediation

of

Oil-Spilled

Sites

through Seeding of Naturally Adapted

Pseudomonas

putida”.

International

Biodeterioration & Biodegradation, (2001)

29-32.

[6]

Barathi, S., Vasudevan, N. “Utilization of

Petroleum Hydrocarbons by Pseudomonas

Fluorescens

Isolated

from

Petroleum

Contaminated

Soil”.

Environmental

International, (2001) 413–416.

[7]

Bai, G., Brusseau, M.L., Miller, R.M.

“Biosurfactant

Enhanced

Removal

of

Residual Hydrocarbon from Soil”. Journal

of Contaminant Hydrology, (1997) 157–

170.

[8]

Ilori, M.O., Amobi, C.J., Odocha, A.C.

“Factors Affecting Biosurfactant Production

by Oil Degrading Aeromonas spp. Isolated

from

a

Tropical

Environment”.

Chemosphere, (2005) 985-992.

[9]

Déziel, E.F., Lépine, F., Dennie, D.,

Boismenu, D., Mamer, O.A., Villemur, R.

“Liquid

Chromatography/Mass

Spectrometry Analysis of Mixtures of

Rhamnolipid Produced by P. aeruginosa

strain 57rp Grown on Mannitol or

Naphthalene”. Biochimica et Biophysica

Acta – Molecular and Cellular Biology of

Lipids, (1999) 244–252.

[10]

Amani, H., Sarrafzadeh, M.H., Haghighi,

M., Mehrnia, M.R. “Comparative Study of

Biosurfactant Producing Bacteria in MEOR

Applications”.

Journal

of

Petroleum

Science and Engineering, (2010) 209–214.

[11]

Schlegel, Hans G. “Mikrobiologi Umum”.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

(1994) 501.

[12]

Sa’id,

E.G.

“Bioindustri:

Penerapan

Teknologi

Fermentasi”.

Jakarta:

PT

Mediatama Sarana Perkasa, (1987).

[13]

Rosenberg, E., Ron, E.Z. “High- and

Low-Molecular-Mass Microbial Surfactants”.

Appl Microbiol Biotechnol, (1999) 154-162.

[14]

Desai,

J.D.,

Banat,

I.M.

“Microbial

Production of Surfactants and Their

Commercial Potential”. Microbiology and

Molecular Biology Review, (1997) 47-64.

[15]

Francy, D.S., Thomas, J.M., Raymond,

R.L., Ward, C.H. “Emulsification of

Hydrocarbons by Surface Bacteria. J ind

Microbiology, (1991) 234-246.

[16]

Alami, N.H., Ni’matuzahroh, Surtiningsih,

T.

“Ekstraksi

dan

Karakterisasi

Biosurfaktan Pseudomonas putida T1(8)

pada Molase”. Berk. Penel. Hayati Edisi

Gambar

Grafik  hubungan  jumlah  krud  biosurfaktan  terhadap  waktu  produksinya  ditunjukkan  pada  Gambar.3
Tabel  1.Pengaruh  pH  media  Pada pembentukan  biosurfaktan  pH  Massa  Tegangan  permukaan  Penurunan tegangan  media  biosurfaktan      ( gram )  diamati  (mN/m)  permukaan ( mN/m) 6,0 0,0320 62,81 9,19 6,5 0,0320 62,83 9,17 7,0 0,0401 61,28 10,72 7,5 0

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, KTSP memberi peluang bagi guru untuk menyusun bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum dan kondisi siswa dengan merujuk pada berbagai sumber

Berdasarkan hasil analisis dari pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pengukuran untuk operator wanita menunjukkan bahwa 80% konsumsi energi

Mandala Surabaya, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran yang bermanfaat untuk peneliti dan telah memberikan ilmu selama peneliti berkuliah di

Senyawa hasil isolasi yang didapat diuji terlebih dahulu dengan sianidin test untuk memastikan bahwa kristal yang didapat adalah flavonoid, setelah diuji dengan pereaksi

Penulis melakukan observasi pada saat Praktek Lapangan Kerja (PPL) terhadap siswa kelas X IIS SMA Nusantara Palangka Raya, hasil observasi menunjukan bahwa

Sampai saat ini terdapat beberapa penelitian yang telah dipublikasikan di bidang Visible Light Communication, diantaranya pada judul Implementasi Visible Light

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Ada hubungan positif antara layanan bimbingan sosial dengan aktivitas sosial siswa, dengan mengetahui hasil perhitungan nilai rx1y =

Masih kurang akan kesadaran tentang sampah, masih banyaknya masyarakat yang membakar sampah, mencampur sampah yang organik dengan unorganik, selain itu dengan adanya