• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KAJIAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian tradisibatagak panguludan analisis teks dengan menggunakan pendekatan analisis wacana teori van Dijk sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan terutama yang berkenaan dengan teks pasambahan (persembahan) dan teks pidato adat dengan menggunakan pendekatan lain sudah pernah dilakukan.

Rosa (2001) menulis sebuah makalah berjudul “Berpidato yang Sarat Formula

dalam Tradisi Lisan ‘Batagak Gala’ di Minangkabau” dan Rosa (2015) menulis disertasi dengan judul “Struktur, Makna, dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau.” Penelitian yang dilakukan Rosa (2015) mengambil empat pidato adat malewakan gala, yaitu tiga pidato adat batagak gala pangulu diambil dari tiga luhak di Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dan satu pidato adatmalewakan gala (memberikan gelar) kepada laki-laki di Minangkabau yang mau berumah tangga sesuai pepatah di Minangkabau ketek banamo gadang bagala (kecil bernama besar bergelar)12. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti tradisi batagak pangulu di Minangkabau dengan memfokuskan kepada tradisi lisan itu sendiri mulai dari performansi, analisis teks, ko-teks, dan konteks untuk

12

(2)

mendalami tradisibatagak pangulutersebut, menemukan makna dan fungsi, nilai dan norma serta kearifan lokal tradisi batagak pangulu dan membuat model revitalisasi tradisi batagak pangulu dalam hal pengelolaan agar tradisi ini tetap berjalan dalam masyarakat Minangkabau. Untuk analisis teks penulis menggunakan teori analisis wacana yang dikemukakan oleh van Dijk (1987) sedangkan Rosa (2001 dan 2015) menganalisis teks menggunakan teori formula yang dikemukakan oleh Lord.

Penelitian lain dengan menggunakan pendekatan lain yang mengkaji pidatopasambahanadat Minangkabau baik pidatopasambahan batagak pangulu maupun pidato pasambahan yang lain seperti pidato pasambahan kematian dan pasambahan perkawinan juga sudah pernah dilakukan seperti dilakukan oleh Kasih (1993) dengan pendekatan etnolinguistik, Kasih (1994) dengan teori implikatur, Hasanuddin (1996) dengan tinjauan refleksi budaya, dan Dhamayanty (2008) dengan pendekatan estetika.

Penelitian lain yang berkaitan dengan gelar-gelar penghulu dan peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau dilakukan oleh Noverita (2005) mengkaji nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau dari kajian semantik, Zulhelmi (2006) mengkaji etika kepemimpinan penghulu di Minangkabau dari perspektif filsafat, dan Hestia (2008) mengkaji peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa tanah adat di Minangkabau.

(3)

Pangulu, Local Wisdom, and Model of Inheritance. Makalah ini disajikan di

International Conference Empowering Local Wisdom in Support of Nation

Identities tanggal 28 – 19 November 2014 kerjasama Program Studi Linguistik FIB USU dengan Balai Bahasa Sumatera Utara dan makalah ini dimuat di Proceding International Conference Empowering Local Wisdom in Support of

Nation Identities. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kearifan lokal dalam tradisibatagak panguludi Minangkabau.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Isman (2015) dalam bentuk makalah berjudul Pemberdayaan Kembali Peran Pangulu (Penghulu) sebagai Penyelesai Konflik Kaum (Suku) di Minangkabau. Makalah ini disajikan dalam

Seminar Internasional “Tradisi Lisan dalam Sistem Matrilineal” yang diadakan

oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang pada 26 – 27 Oktober 2015 dan makalah ini dimuat dalam Prosiding Seminar International Tradisi Lisan dalam Sistem Matrilineal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghulu

sebagai penyelelesai konflik harus diberdayakan kembali untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi oleh anggota kaum atau suku di Minangkabau.

2.2 Konsep

2.2.1 Tradisi Lisan

(4)

bukan milik individu atau kelompok kepentingan tertentu menjadi tidak tertulis, berharga, dan menandai identitas kelompok tersebut.

Tradisi lisan juga mempunyai pengertian yang beragam sesuai dengan latar belakang ahli yang mengemukakannya. Finnegan (1992:6) menyatakan tradisi lisan adalah tradisi yang lebih spesifik lisan atau dari mulut yang ditandai dengan (1) lisan, (2) tidak ditulis, (3) milik orang atau rakyat (4) fundamental dan dihargai serta diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebelumnya Vansina (1985:27-28) mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan verbal ini haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Pernyataan ini disampaikan melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi. Kemudian Sibarani (2012:47 dan 2015:71) menyatakan tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya baik tradisi itu berupa susunan kata-kata maupun tradisi lain yang bukan lisan/nonverbal. Sejalan dengan itu, Pudentia (2015:3) menyatakan tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan beraksara atau dikatakan juga sistem wacana yang bukan aksara.

(5)

Dengan pengertian tersebut, harus dibedakan antara tradisi lisan dengan tradisi kelisanan. Menurut Sibarani (2012:47) tradisi kelisanan adalah tradisi menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi lisan, sedangkan tradisi lisan adalah tradisi kegiatan tradisional yang disampaikan secara lisan seperti kebiasaan menari dan bermain gendang atau yang menggunakan kata-kata lisan seperti kebiasaan mendongeng.

Tradisi lisan sebagai objek penelitian memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks. Teks memiliki struktur, koteks memiliki elemen, dan konteks memiliki kondisi yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi lisan. Teks merupakan unsur verbal baik bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, prosemik, kenetik, dan unsur materil lainnya. Konteks merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi.

(6)

adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif.

Sibarani (2012:242-243) menyatakan agar tradisi lisan sebagai warisan leluhur bermanfaat untuk masa depan generasi berikutnya untuk membangun karakter dan identitas dalam rangka tercapainya perdamaian dan peningkatan kesejahteraan bangsa, penelitian tradisi lisan harus mampu menjelaskan tiga komponen besar tradisi lisan yaitu bentuk, isi, dan model revitalisasi.

Sebagai bidang kajian yang multidisiplin, komponen bentuk (struktur, ko-teks, dan konteks), komponen isi (makna dan fungsi, nilai dan norma, kearifan lokal), dan komponen revitalisasi (penghidupan/pengatifan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan) menjadi objek kajian tradisi lisan. Ketiga komponen tradisi lisan itulah yang dikaji dari latar belakang bidang ilmu setiap peneliti dengan atau tanpa bantuan bidang ilmu lain.

2.2.2 Performansi

Duranti (1997:14-16) menyatakan istilah performansi digunakan dalam berbagai bidang seperti linguistik dan seni serta dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Karena penelitian tradisi batagak pangulu fokus pada jalannya acara tersebut, pengertian performansi penulis ambil dari pendapat ahli yang mendukung penelitian tersebut yaitu pendapat Finnegan (1992).

(7)

pertunjukan berlangsung sebagai peristiwa yang sebenarnya dan terorganisir. Di samping itu, Finnegan juga menyatakan performansi adalah praktik komunikasi dalam proses pertunjukan. Sejalan dengan pendapat Finnegan, sebelumnya Lord (1981) menyatakan performansi adalah proses pertunjukan sastra lisan (tradisi lisan) itu sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa performasi adalah proses pertunjukan atau praktik komunikasi tradisi lisan sebagai suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu dan terorganisir.

Komponen-komponen dalam performansi menurut Finnegan (1992:89-97) mencakup komponen utama dan komponen lainnya. Komponen utama mencakup (1) pelaku (pemain) dan (2) penonton (khalayak) dan peserta sedangkan komponen lainnya mencakup (1) situasi dan organisasi pertunjukan, (2) organisasi internal, (3) media pertunjukan, dan (4) keterampilan pertunjukan dan konvensi.

(8)

(LKAAM) yang dilanjutkan dengan peresmian Balai Adat Gando oleh staf ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat Adat Prof. Dr. Rahman Sani, M. Sc. dan ditutup dengan makan bersama seluruh undangan serta masyarakat yang hadir.

2.2.3 Teks

Teks dalam tradisi lisan dapat dipandang sebagai unsur verbal baik

sebagai bahasa yang tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa

sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi (Sibarani, 2012:242). Struktur teks dapat dilihat dari struktur makro, superstruktur atau struktur alur, dan struktur mikro (van Dijk, 1987:1-8). Ketiga struktur tersebut saling mendukung dalam membangun sebuah teks sehingga kajian ketiganya sangat penting untuk memahami sebuah teks seperti teks tradisi lisan batagak pangulu di Minangkabau.

Struktur makro merupakan makna keseluruhan sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Topik atau tema merupakan unsur yang dikedepankan dalam sebuah teks. Topik ini menggambarkan apa yang ingin diungkapkan dalam sebuah teks. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu teks.

(9)

mampu mengungkap pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen teks itu (Sibarani, 2012:314-315).

Struktur mikro merupakan struktur teks secara linguistik seperti fonem, kata, frase, kalimat, makna, wacana, maksud, gaya bahasa, dan bahasa kiasan atau figuratif. Kajian struktur mikro dapat dilakukan bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji (Sibarani, 2012:316). Kajian struktur mikro ini akan merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastra mulai dari tataran bahasa yang paling rendah seperti bunyi sampai dengan tataran bahasa yang paling tinggi seperti wacana.

Ketiga struktur teks tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan saling mendukung. Ketiga struktur itu memiliki elemen masing-masing dan merperlihatkan kaidah masing-masing. Tema merupakan makna keseluruhan teks dalam tataran struktur makro didukung oleh kerangka atau skema teks dalam tataran struktur alur dan juga didukung oleh tataran struktur mikro.

2.2.4 Ko-teks

(10)

Unsur-unsur paraliguistik atau suprasegmental dapat berupa intonasi, aksen, jeda, dan tekanan. Unur-unsur paralinguistik ini mendampingi penggunaan teks dalam komunikasi dan berfungsi sebagai memperjelas makna atau maksud unsur-unsur segmental. Perbedaan penempatan paralinguistik akan mengakibatkan perbedaan makna sehingga akan mengganggu kelancaran komunikasi.

Di samping unsur paralinguistik, unsur lain yang muncul dalam komunikasi mendampingi teks verbal adalah kinetik. Unsur-unsur kinetik yang muncul saat berkomunikasi berupa gerakan tangan, ekspresi wajah, anggukan kepala, dan gerakan badan. Apabila penggunaannya bersamaan dengan teks verbal dalam tindak komunikasi, kinetik berfungsi memperjelas teks verbal.

Bentuk ko-teks lain yang perlu dikaji dalam tradisi batagak pangulu di Minangkabau adalah unsur material atau benda yang mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur yang digunakan seperti pakaian, warna, penataan lokasi dan dekorasinya, serta berbagai properti dengan fungsinya masing-masing. Semuanya itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji secara semiotik untuk memperkaya interpretasi makna tradisi lisan (Sibarani, 2012:322-323).

2.2.5 Konteks

(11)

didekontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan oleh setiap orang pada masanya. Konteks menjadi penting kalau dihayati secara tekstual sehingga menjadi terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja.

Halliday dan Hassan (1977) membedakan dua macam konteks, yaitu konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (context of situation). Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai tujuan komunikasi, sedangkan konteks situasi merupakan konteks yang mempengaruhi berbagai pilihan penutur bahasa, antara lain: pokok bahan, hubungan penyapa dan pesapa, serta saluran komunikasi yang digunakan.

Dalam hal pemahaman tradisi lisan, konteks tidak hanya terbatas pada konteks budaya dan situasi, tetapi juga terdapat konteks sosial dan ideologi. Menurut Sibarani (2012:324-331) kesemua konteks itu sangatlah penting untuk dikaji. Keberadaan konteks tersebut dalam rangka memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya.

Berkaitan dengan penelitian ini, konteks yang dikaji adalah konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi. Konteks budaya bertujuan untuk melihat tujuan budaya apa yang terdapat dalam tradisi batagak pangulu, konteks sosial bertujuan untuk melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tradisi batagak pangulu, konteks situasi bertujuan untuk melihat waktu, tempat, dan cara

(12)

melihat ideologi yang mendominasi dan mengusai pikiran masyarakat. Ideologi ini dapat dilihat secara positif dan dapat pula dilihat secara negatif.

2.2.6 Kearifan Lokal (Lokal Wisdom)

Kearifan lokal (local wisdom) pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai ini diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu, sangat beralasan Greertz (dalam Ridwan, 2007) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komuditasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur-unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

(13)

berkenaan dengan kehidupan sehari-hari dengan ciri-ciri: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomudasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengendalikan; (4) dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Sibarani, 2012:122).

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang didam-idamkan (Sibarani, 2012:111). Lebih lanjut (Sibarani, 2012:112) menyatakan kearifan lokal tersebut dapat diperoleh dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

(14)

sosial, (d) kerukunan dan penyelesaian konflik, (e) komitmen, (f) pikiran positif, dan (g) rasa syukur.

Pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai sebagai nilai-nilai budaya luhur bangsa dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Dampak dari manusia berkarakter atau mengamalkan kearifan lokal sangat besar untuk keberhasilan seseorang individu bahkan keberhasilan suatu bangsa. Karakter bangsa yang diharapkan adalah karakter yang berbasis kesejahteraan dan kedamaian. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan diharapkan seorang anak cerdas akan emosinya. Kecerdasan emosional ini adalah bekal yang penting dalam mempersiapkan anak menyonsong masa depan karena seorang yang memiliki kecerdasan emosional akan lebih mudah dan lebih berhasil menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan (Sibarani, 2012:148-149).

2.2.7 Revitalisasi

(15)

benda Indonesia meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan (Depdikbud, 2013).

Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah untuk melakukan revitalisasi budaya. Chaedar (2006:18) mengatakan adanya tiga langkah yang bisa dilakukan dalam merevitalisasi budaya, yaitu: (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2) pembangkitan kreativitas kebudyaaan. Revitalisasi itu sendiri menurut Chaedar (2006:18) adalah sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi maka ayat-ayat kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru akan mencerahkan manakala ada kaji banding secara kritis dengan berbagai budaya asing.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1172) dijelaskan revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya dan kurang mendapat perhatian dihidupkan atau digiatkan kembali sehingga menjadi penting dan perlu sekali.

(16)

terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.

Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya.

Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk lebih menyejahterakan masyarakat. Budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal, maka munculnya kekuatan yang disebut kearifan lokal atau lebih tegasnya revitalisasi kearifan lokal.

(17)

mempersiapkan masa yang akan datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Gagasan revitalisasi mengandung pikiran jernih yang mengisaratkan adanya pandangan positif tentang beberapa strateginya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi.

Konsep revitalisasi yang ditawarkan dalam tradisi lisan menurut Sibarani (2012:292) adalah memperdayakan pelaku tradisi lisan dan pendukung atau tradisi lisan secara bersama-sama. Pelaku tradisi lisan diperdayakan untuk mengelola dan menghasilkan tradisi lisan yang baik, berkenaan dengan bentuk dan isi tradisi lisan. Sedangkan pendukung atau penonton tradisi lisan dipersiapkan dengan memberi penyuluhan, sosialisasi, dan penerangan kepada masyarakat agar tertarik pada tradisi.

(18)

menyusun program revitalisasi; (3) membentuk kelompok tradisi lisan dengan program pelatihan dan pembelajaran; (4) mengelola kelompok tradisi lisan secara terus-menerus; (5) mensosialisasikan tradisi lisan kepada pendukungnya dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai kandungan tradisi lisan; dan (6) merancang regenerasi pelaku dan pendukung tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya.

Keenam langkah perencanaan tersebut menurut Sibarani (2012:294) dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen revitalisasi, yaitu (1) penghidupan atau pengaktifan kembali; (2) pengelolaan; dan (3) pewarisan tradisi lisan. Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang sudah punah, sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang masih hidup, tetapi sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menjadi bagian hidup masyarakatnya. Pengelolaan merupakan hal yang penting agar tradisi lisan menjawab kebutuhan masyarakat sedangkan pewarisan diperlukan untuk menjamin tradisi lisan.

(19)

dan kaum yang kaya, biaya yang besar itu tidak ada masalah, tetapi bagi penghulu dan kaum yang miskin (kurang mampu) tentu akan menimbulkan masalah karena mereka tidak akan mampu melaksanakannya sehingga gelar kebesaran penghulunya tidak akan pernah dikukuhkan atau diresmikan.

Perumusan model revitalisasi tradsisi lisan harus dilakukan secara seksama agar benar-benar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal ini perlu apalagi kalau tradisi lisan itu telah lama ditinggalkan oleh komunitasnya. Penelitian dan perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan seimbang dengan tujuan utama menghidupkan kembali suatu tradisi lisan atau membuat tradisi lisan itu lebih digemari oleh komunitas pendukungnya. Penelitian melibatkan pengumpulan data secara kualitatif. Informasi yang dikumpulkan berkenaan dengan model revitalisasi yang akan dilakukan sesuai dengan pandangan komunitas pemiliknya. Informasi itu bermanfaat untuk merencanakan program revitalisasi. Dalam perencanaan partisipatoris ini, masyarakat setempat harus diikutsertakan, bahkan merekalah yang menentukan mereka pulalah yang menentukan program dan mengimplementasikan kegiatan revitalisasi tradisi lisan itu (Sibarani, 2012:297).

2.2.8 Pidato Adat dan PidatoPasambahan(Persembahan)

(20)

dan pesta perkawinan. Pidato adat biasanya dilaksanakan secara berdiri. Sedangkan pasambahan adalah bentuk bahasa seperti dalam pidato adat, tetapi tidak dikaitkan dengan asal-usul dan tambo Minangkabau. Pidato pasambahan biasanya dilakukan bersila dalam tiap upacara yang dikemukakan di atas (Djamaris, 2002:51). Namun, ada juga pasambahan dilakukan berdiri seperti yang penulis temukan di JorongGando, Nagari Piobang.Pasambahandilakukan berdiri karena tukang sembah duduk di kursi bukan duduk bersila.

Selanjutnya Djamaris (2002:51) menyatakan strukturpasambahanterdiri atas:

Pertama, struktur pasambahan si pangka (tuan rumah) terdiri atas: (1) pembukaan kata oleh tuan rumah (P1) dan tamu (P2), maksudnya adalah juru sambahsebagai tuan rumah menyapa semua tamu yang hadir, satu per satu yang dalam penyampaian sapaan ini terlihat fungsi pasambahan itu adalah untuk menghargai dan menghormati orang lain; (2) pernyataan sembah (P1) dan (P2); (3) penyampaian maksud (P1); (4) mengakhiri sembah (P1); (5) penegasan (P2) dan (P1), dan (6) penangguhan sementara (mufakat (P1) dan (P2).

Kedua, struktur pasambahan si alek (tamu) terdiri atas: (1) pembukaan kata (P2) dan (P1); (2) pernyataan sembah (P2) dan (P1); (3) penyampaian ulang maksud (P2); (4) penegasan (P2) dan (P1); (5) jawaban persembahan dan mengakhiri sembah (P2); dan (6) penyesuaian (P1) dan (P2).

(21)

awal acarapasambahan dimulai. Juru sambah dari tuan rumah menyapa semua tamu satu pe rsatu dengan menyebut gelar adatnya. Hal ini sebagai tanda bahwa semua tamu dihargai oleh tuan rumah. Sesudah itu barulah juru sambah tuan rumah memulai sambutannya, menyampaikan maksud dan tujuan kepada para tamu. Kedua, nilai musyawarah, segala sesuatu yang dilakukan dan diputuskan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Juru sambah yang akan tampil ditentukan terlebih dahulu melalui musyawarah. Demikian pula jawaban yang akan disampaikan oleh juru sambah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Ketiga, nilai ketelitian dan kecermatan, dalam hal ini jurusambahdalam upacara pasambahanitu harus teliti dan cermat mendengarkan apa yang diucapkan oleh juru sambah lawan bicaranya. Keempat, terungkap dalam upacara pasambahan adalah nilai budaya ketaatan dan kepatuhan terhadap adat yang berlaku. Dalam upacara pasambahan itu segala sesuatu yang akan dilakukan ditanyakan dulu, adakah sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu syarat pokok permintaan dapat disetujui adalah permintaan itu sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Begitu juga dengan adatbatagak pangulu, tata cara sambah-manyambahjuga mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di nagari masing-masing.

2.2.9 Pangulu(Penghulu)

Pangulu (penghulu)13 dalam masyarakat Minangkabau merupakan sebutan kepada niniak mamak, pemangku adat yang bergelar datuak (datuk).

13

(22)

Istilah penghulu berasal dari kata “hulu” yang artinya kepala atau pemimpin

(Amir M.S., 2011:67). Jadi, pengertian penghulu adalah sama dengan pemimpin. Dengan demikian, seorang penghulu dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin. Sebagai pemimpin penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagari serta harta pusaka yang dimiliki oleh kaumnya. Penghulu bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini dikatakan sebagai kewajiban pangulu, seperti kata pepatah kusuik manyalasaikan, karuah mampajaniah (kusut menyelesaikan dan keruh memperjenih).

Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal. Penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, tetapi oleh kemenakannya yang bertali darah. Jabatan penghulu yang diperoleh seseorang karena diangkat oleh kaumnya sendiri tumbuahnyo ditanam, gadangnya diamba, tingginyo dianjuang(tumbuhnya ditanam, besarnya diambar, tingginya dianjung). Artinya, seseorang diangkat jadi penghulu karena kesepakatan kaumnya sendiri dan sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi pula di dalam kaumnya. Karena kelebihannya itu pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga tingginyo manyintak rueh/tingginya menyentak ruas (Dirajo, 2009:172).

(23)

penetapan calon penghulu tersebut tidak terlepas dari syarat pokok yaitu masih kamanakan di bawah daguak atau kamanakan batali darah/kemenakan di bawah

dagu atau kemenakan bertali darah (Dirajo, 2009:181-183).

Dalam sistem warih bajawek (waris yang berterima), kemenakan yang akan menggantikan gelar penghulu yang lama adalah kemenakan yang terdekat tali darahnya yaitu nan sajari, nan sajangka, atau nan saeto, (yang sajari, yang sejengkal, atau yang sehasta). Kamanakan nan sajari maksudnya anak laki dari saudara perempuan yang seibu dengan penghulu yang akan digantikan. Jika kemenakan lebih dari satu orang, calon penghulu harus dipilih berdasarkan kepatutan. Jika tidak ada atau tidak patut, calon penghulu yang dipilih kamanakan nan sajangka yaitu kamanakan nan saparuik (ibu calon penghulu tidak lagi seibu dengan penghulu yang digantikan). Jika tidak ada atau tidak patut, calon penghulu yang dipilih kamanakan nan saeto yang hubungannya dengan penghulu yang akan digantikannan saninik(yang satu ninik).

Dalam gadang bagilia (besar bergilir) penggantian penghulu tidak dapat dapat diturunkan langsung kepada kemenakan terdekat, tetapi harus pada jurai14 yang lain. Penghulu yang akan diangkat harus berlainan jurai dengan penghulu yang akan digantikan. Jika pada kepenghuluan itu terdapat beberapa jurai harus

14

Susunan masyarakat Minangkabau terkecil disebutparuik (perut). Yang dimaksudparuik di sini adalah suatu keluarga besar ataufamiliyang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut. Setiap anggota yang berasal dari satu perut dinamakansaparuik.Apabila anggotaparuik

(24)

terlebih dahulu dicari kesepakatan kepada jurai mana jatuhnya pengganti penghulu tersebut.

Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang (beralam lebar, berdada lapang). Artinya, seorang penghulu haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah dan mempunyai prinsiptak ado kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah (tidak ada kusut yang tidak selesai, keruh yang tidak kejernih). Dalam menyelesaikan masalah ini harus bijaksana dan diumpamakan seperti menarik rambut dalam tepung, tepung tidak berserak dan rambut tidak putus. Karena itu, tugas seorang penghulu penuh dengan kesadaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Dalam memimpin suku terutama penghulu pucuk atau penghulu tua, penghulu dibantu oleh empat orang pembantu, yaitu panungkek (penongkat), manti(mentri),malin(malim), dandubalang/hulubalang (Navis, 2015:167).

Pertama, panungkek (penongkat). Panungkek (penongkat) merupakan pembantu utama penghulu. Ia dapat mewakili penghulu, bila penghulu berhalangan. Namun, dalam kerapatan nagari, ia boleh mewakili selaku pendengar dan boleh menyampaikan pendapat apabila diminta anggota kerapatan. Ia juga menjadi calon utama pengganti penghulu.

(25)

yang berada dalam lingkup kepenghuluan yang diembannya; (3) Menerima laporan dan pengaduan serta menindaklanjutinya; (4) Menangani dan berusaha menyelesaikan silang selisih atau sengketa antarkaum; (5) Dalam bersikap dan berbuat berpedoman kepada ajaran-ajaran agama dan adat serta kepada apa yang sudah diadatkan; dan (6) Secara umum manti (mentri) bertugas mengurus kegiatan sehari-hari.

Ketiga, malin (malim). Malin (malim) merupakan pembantu penghulu di bidang agama. Tugas dan tanggung jawab seorang malin (malim) menurut adat, antara lain: (1) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seorang malin (malim) harus selalu teguh menegakkan agama; (2) Harus berusaha memelihara dan mengembangkan ajaran-ajaran agama kepada seluruh kaum serta anak dan kemenakan yang ada di dalamnya; (3) Mengurus masalah ibadah, keguruan, keagamaan dalam acara-acara adat; dan (4) Dengan syariat agama,malin(malim) juga bertugas mencuci segala yang kotor dan kumuh dalam kaum serta anak dan kemenakan.

(26)

mendapat hambatan atau ada pihak-pihak lain yang tidak mengindahkannya; (5) Ke dalam berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ke luar dubalang berfungsi sebagai penjaga pertahanan.

Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat

mulai dari tingkat kaum, suku, dan nagari, tidak semua kemenakan laki-laki bisa

menjadi penghulu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi

seorang penghulu yang telah digariskan oleh adat, yaitu: (1) baligh berakal; (2)

berilmu; (3) kaya budi danbaso15; (4) adil dan pemurah; (5) selalu ingat dan jaga,

maksudnya orang selalu waspada; dan (6) sabar dan pemurah ( Toeah, 1985:63

dan Piliang dan Sungut, 2014:194). Di sampaing syarat yang harus dipenuhi seorang penghulu, penghulu juga mempunyai martabat. Martabat penghulu adalah (1) kuat pendirian atas kebenaran; (2) kuat pekerjaan atas kebaikan; (3) suka memperbaiki pagar nagari; (4) kuat produksi dalam nagari; (5) tahu akan salah dan benar; dan (6) tahu menyelesaikan yang kusut (Toeah, 1985:63). Selain itu, ada lagi empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu, yaitu: (1) sidik, (2) tabhlig, (3) amanah, dan (4) fatonah (Toeah, 1985:63).

Dalam memimpin kemenakan penghulu mempunyai pula tugas dan kewajiban yang telah digariskan oleh adat. Ada empat tugas dan kewajiban yang

dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak dan kemenakan yaitu:

Pertama,menuruik alua nan luruih(menurut alur yang lurus), maksudnya

adalah tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah

menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu

15Baso

(27)

berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu

dapat dibuktikannya. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian,

yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat

Minangkabau yang asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh

penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka

artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek

moyang Dt. Katumanggungan dan Dt. Perpatih Nan Sabatang. Alur pusaka ini di

dalam adat dikatakan utang babaia, piutang batarimo; salah batimbang, mati

bakubua(utang dibayar, piutang diterima; salah ditimbang, mati dikubur).

Kedua, manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar),

maksudnya seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang

telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan

adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan

bergantang).

Ketiga, mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka),

maksudnya penghulu berkewajiban memelihara harta pusaka seperti dikatakan

warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong). Harta pusaka

merupakan kawasan tempat anak dan kemenakan berketurunan mencari

kehidupan, tempat beribadah, dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti

pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah

tangga, balai adat, dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah

diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk

(28)

Keempat, mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak dan

kemenakan), maksudnya penghulu berkewajiban memelihara anak dan

kemenakan seperti kata pepatah siang mancaliak-caliakkan, malam

mandanga-dangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, tabanam basilami

(siang melihat-lihat, malam mendengar-dengarkan, berubah disapa, bertukar

dipindah/digeser, hilang dicari, terbenam disilami).

Menurut Penghulu (1982:26) tugas seorang penghulu bukan hanya terbatas pada anak dan kemenakan semata, tetapi juga mencakup mayarakat kampung dan nagari. Tugas seorang penghulu tersebut mencakup segala bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, keamanan, dan agama serta menyelesaikan sebaik-baiknya jika terjadi perselisihan dalam lingkungan anak kemenakan dan masyarakat nagari. Tugas-tugas penghulu tersebut menurut Penghulu (1982:20) merupakan suatu karya penghulu dalam memberikan bantuan dan partisipasi terhadap lancarnya jalannya pembangunan dan roda pemerintahan di nagari. Penghulu juga berkewajiban memikirkan dan memecahkan persoalan pembangunan nagari seperti pembanguanan sekolah, mesjid, surau, irigasi, rumah, dan jalan raya. Karena itu, seorang penghulu tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kampung dan nagari.

Di samping tugas dan kewajiban yang dilaksanakan penghulu dalam

memimpin kaum, penghulu juga mempunyai hak. Hak penghulu tersebut adalah

(29)

Pertama, memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di

tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu

keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak

ditinggalkan unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak

ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan

kaum. Seorang penghulu tidak menerima saja apa yang diingini oleh anggota

kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjukkan dalam

sikap dan tindakannya.

Kedua, memperoleh sawah kebesaran. Karena tugas penghulu tersebut

cukup sibuk, baik urusan ke dalam maupun ke luar yang menyangkut dengan

kaumnya, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah,

maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kebesaran milik

kaumnya. Hasil sawah kagadangan (kebesaran) ini diperuntukkan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ketiga, menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan

suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan

sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari, dan anak serta

kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan

bersama-sama pada tingkat nagari menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan

diberlakukan kepada anak dan kemenakannya.

Keempat, memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga

mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari,

(30)

kalauik babungo karang(kerimba berbunga kayu, ke sawah berbunga emping, ke

laut berbunga karang).

Penghulu sebagai pemangku adat yang didahulukan selangkah dan yang

ditinggikan seranting mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh

dilakukannya. Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa

penghulu itu di tengah-tengah anggota kaumnya. Pantangan-pantangan penghulu

tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, marah. Penghulu harus bersifat sabar sebab dalam kehidupan

sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajaran

adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik ini, seorang penghulu

harus bijaksana dan pandai membawakan diri, seperti dikatakan juga harimau

dalam paruik, kambiang juo nan dikaluakan(harimau dalam perut, kambing juga

yang dikeluarkan). Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka

menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju karena

sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan

baju untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu yang

bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan

persoalannya kepadadubalang(hulubalang).

Kedua, berlari-lari. Walau bagaimanapun terburu-burunya seorang

penghulu karena sesuatu hal, penghulu dilarang berlari-lari apalagi berlari

kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti anak-anak. Seorang penghulu dapat

menyuruh anak dan kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dituruti dengan

(31)

Ketiga, menjinjing dan memikul beban. Menjinjing dan memikul beban

tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang

wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak dan kemenakan yang

dapat membantunya.

Keempat, memanjat-manjat. Pantangan bagi seorang penghulu memanjat

pohon apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.

Penghulu sebagai pemimpin kaum harus menjaga perangai dan kelakuan

agar tidak menurunkan wibawanya di hadapan anak dan kemenakan. Ada enam macam perangai buruk penghulu di Minangkabau, yaitu:

Pertama, pangulu nan di tanjuang (penghulu yang di tanjung), artinya penghulu yang diibaratkan tinggal di tanjung sehingga ia dapat berenang ke sebelah kanan dan kiri. Situasi ini menggambarkan seorang penghulu dengan mudah memberi alasan atau dalih apabila ada orang tidak bisa menemuinya. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang mengelak dari tanggung jawab.

Kedua,pangulu ayam gadang(penghulu ayam jago), yaitu penghulu yang diibaratkan seperti ayam jago yang berkokok merdu. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang pandai berbicara, tetapi tidak mau bekerja.

Ketiga, pangulu balah batuang (penghulu belah bambu), yaitu penghulu yang sikapnya seperti orang membelah bambu yang sebelah ditekan dan sebelah ditarik. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang tidak adil.

(32)

Kelima, pangulu tupai tuo (penghulu tupai tua), yaitu penghulu yang sikapnya seperti tupai tua. Hal ini mengiaskan penghulu yang tidak mau berusaha karena takut salah, seperti orang tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri.

Keenam, pangulu busuak hariang (penghulu busuk haring), yaitu penghulu yang sikapnya seperti orang yang bau kencing. Hal ini mengiaskan penghulu yang bertingkah laku seperti orang yang membawa keresahan ke mana-mana.

2.2.10 Batagak Pangulu(Pengangkatan Penghulu)

Batagak pangulu adalah upacara pengukuhan atau peresmian gelar kebesaran penghulu. Upacara ini bertujuan untuk memberitahumasyarakat ramai mengenai diri seseorang yang telah memakai gelar kebesaran kaumnya. Acara

peresmian atau pengukuhan penghulu merupakan acara adat terbesar di

Minangkabau karena dalam peresmian atau pengukuhan ini menyembelih kerbau

dan bisa dilaksanakan sampai berhari-hari tergantung pada kemampuan keluarga

kaum yang mengadakan acara tersebut.

Makna tersirat dari kerbau yang disembelih tanduak ditanam, dagiang

dilapah, kuah dikacau (tanduk ditanam, daging dipotong-potong, kuah dikacau),

yaitutanduak ditanampunya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang

sifat-sifat buruk yang mungkin melukai orang. Dagiang dilapah maknanya sari

daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti bahwa dalam diri

seseorang penghlu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang

buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan

(33)

santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik

(tidak enak karena santan, tidak kuning karena kunyit), artinya seorang penghulu

itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari

dirinya sendiri (Attubani, 2012:118).

Acara batagak pangulumerupakan tradisi adat yang sangat sakral karena bersumber dari kearifan budaya lokal dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Seluruh masyarakat Minangkabau mengetahui bahwa tugas seorang penghulu tersebut sangat mulia yang dikenal dengan martabat yang enam, yaitu kusuik nan akan manyalasaikan, karuah nan akan manjaniahkan, manjunjuang

tinggi undang–undang, mamaliharo anak kamakan, mamaliharo nagari,

mamaliharo adaik (kusut yang akan manyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan, menjunjung tinggi undang–undang, memelihara anak kamenakan, memelihara nagari, memelihara adat).

Upacarabatagak panguludilaksanakan di rumah gadang atau di balai adat yang dihadiri oleh ninik mamak pucuk adat, ninik mamak empat suku, ninik mamak di lingkungan kegarian tersebut, manti, malin, bundo kanduang, dan undangan serta anak nagari tanpa pengeculian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di nagari tersebut karena setiap nagari mempunyai kesepakatan tersendiri dalam menyelenggarakan batagak pangulu seperti dikatakan adaik salingka nagari(adat selingkar negeri)16.

16

(34)

Ada beberapa sebab diadakan upacara peresmian atau pengukuhan penghulu baru, yaitu:

Pertama, mati batungkek budi (mati bertongkat budi). Artinya, apabila

seorang penghulu meninggal dunia pada hari itu juga dicarikan gantinya.

Penyelenggaraan pengangkatan penghulu baru itu dilakasanakan di tanah tasirah

(perkuburan). Syarat pengangkatan penghulu di tanah tasirah ini adalah sepakat

kaum dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.

Kedua, iduik bakarilaan (hidup berkerelaan). Artinya, penghulu yang

akan digantikan mengundurkan diri. Ada beberapa sebab penghulu lama

mengundurkan diri karena (1) sudah tua (uzur) sehingga tidak dapat lagi

menjalankan tugasnya; (2) sakit; (3) yang menggantikan dapat didampingi,

dibimbing, dan dibekali dengan ilmu pengetahuan sehingga kelak bisa mandiri

apabila yang digantikan sudah menggal dunia; dan (4) agar lebih lancar karena

ada karisma dan kewenangan penghulu menunjuk pengganti selagi masih hidup.

Ketiga, baju salai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua). Artinya,

pengangkatan penghulu terjadi karena kesepakatan untuk membelah kaum satu

menjadi dua. Hal ini terjadi karena warga kaum sudah berkembang sehingga satu

penghulu tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya seperti kata pepatahlurah tak

taturuni bukik tak tadaki (lurah tidak terturuni dan bukit tidak terdaki) sehingga

dibutuhkan penghulu yang baru. Pembelahan penghulu satu menjadi dua diikuti

dengan pembelahan kaum dan harta pusaka. Pembelahan harta pusaka

berdasarkan ganggam bauntuak (genggam beruntuk) yang sudah berada dan

(35)

Sedangkan kalau ada tanah ulayat atau harta pusaka yang belum dibagi ditetapkan

melalui musyawarah dan kesepakatan.

Keempat, mangambang nan talipek(mengembang yang terlipat). Artinya,

ketika penghulu meninggal dunia belum ada kesepakatan kaum siapa

penggantinya, pengangkatan penghulu tertunda sampai ada kesepakatan baru.

Karena tidak ada kesepakatan kaum, gelar penghulu dilipek (dilipat) dahulu.

Penghulu baru bisa diangkat apabila sudah ada kesepakatan kaum.

Kelima, gadang menyimpang (besar menyimpang). Artinya, sebagian

anggota kaum memisahkan diri dari kaum yang sudah ada dan meminta

kepenghuluan yang baru. Hal ini terjadi karena jumlah anggota keluarga dalam

sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Di samping itu, bisa juga terjadi karena

kaum hidup di pememukiman baru. Gelar penghulu yang diberikan bisa gelar

penghulu yang asli dan bisa juga gelar penghulu yang baru sesuai dengan

kesepakatan menurut adat yang berlaku.

Keenam, mangguntiang siba baju (menggunting sebar baju). Artinya,

pengangkatan penghulu baru berawal dari tidak ada kesepakatan dan bahkan

menjurus kepada sengketa yang tidak bisa didamaikan antara dua atau lebih kubu

yang bersangkutan. Gelar penghulu yang lama masih tetap berjalan menurut

jalurnya, sedangkan gelar penghulu yang baru masih tetap dalam rumpun gelar

yang asli. Penghulu yang baru mendapat pengikut para kemenakan yang melekat

menurut tali darah sesuai dengan asas kekerabatan dan harta pusaka yang telah

(36)

Tujuh, manurunkan nan tagantuang (menurunkan yang tergantung).

Artinya, pengangkatan penghulu yang tertunda sudah cukup lama walaupun

calonnya sudah ada. Penundaan terjadi karena kaum belum siap untuk

meyelenggarakan upacarabatagak pangulu karena dana belum ada atau bisa juga

terjadi karena calon penghulu yang diangkat berhalangan.

Delapan, mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam).

Artinya, pengangkatan penghulu yang sudah puluhan tahun terendam atau

tersimpan. Tersimpanya gelar penghulu disebabkan oleh (1) calon pengganti

penghulu yang meninggal tidak ada (belum ada kemenakan laki-laki bertali darah

yang ada hanya kemenakan perempuan). Penggantinya ditunggu lahir kemenakan

laki-laki yang memenuhi syarat menurut adat dan (2) Gelar penghulu terlipat

sejak lama karena pihak-pihak yang bersengketa tidak mau damai dan tidak ada

kesepakatan mencari jalan keluarnya. Kesepakatan muncul setelah ada generasi

baru dan bentuk kesepakan itu bisa berupa baju salai babagi duo (baju sehelai

dibagi dua) dan kembali ke jalur semula.

Kesembilan, baju basasah (baju disasah/dicuci). Artinya, pengangkatan penghulu baru menggantikan penghulu yang lama karena penghulu yang lama membuat maksiat seperti mencuri, menipu, mabuk-mabukan, dan kejahatan lainnya. Perangai penghulu yang seperti ini sudah merusak martabat dan kebesaran penghulu itu sendiri serta kaum. Bagi kaum yang arif akan segera mengganti penghulunya dengan penghulu yang baru.

(37)

larangan-larangan adat yang sangat berat sehingga diputuskan untuk diganti berdasarkan Peradilan Adat Nagari. Hukuman yang diberikan kepada penghulu yang melanggar larangan-larangan adat oleh peradilan adat berupa (1) memperbaiki atau membetulkan kembali apa yang dilanggar itu disertai dengan mengadakan perjamuan dengan memotong ternak berkaki empat seperti kambing, sapi, atau kerbau sesuai dengan ketentuan adat nagari yang berlaku dan (2) mengganti penghulu tersebut kalau pelanggarannya sudah sangat berat.

Kesebelas, bungo bakarang (bunga dikarang). Artinya, pengangkatan penghulu baru karena berkembangnya anggota kaum dan penyebaran pemukiman sehingga dimungkinkan untuk menata kembali kepenghuluan. Dalam kepenghuluan nan saindu (yang seinduk), misalnya, dua kepenghuluan ditata menjadi tiga kepenghuluan atau tiga kepenghuluan ditata menjadi empat kepenghuluan. Penataan tersebut disertai dengan perpindahaan kepenghuluan kemenakan dari satu penghulu (datuk) ke penghulu (datuk) yang lain. Hal ini memungkin karena kondisi alam dan letak pemukiman. Sebelum pengangkatan pangulu bungo bakarang ini, calon penghulu sudah disepakati kaum dan persetujuan lembaga kerapatan adat di tingkat nagari (Dirajo, 2009:183-188; lihat juga Toeah, 1985:66-67; Piliang dan Sungut, 2014: 217-222).

2.3 Kajian Teori

2.3.1 Teori Analisis Wacana

(38)

masih jarang terutama dalam bahasa Indonesia (Darma, 2013:2). Di samping itu, dilihat dari awal kemunculannya istilah wacana bukan muncul dari ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh psikolog, antropolog, dan sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian bahasa, yaitu wacana (Darma, 2013:2)

Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Pemahaman ini menurut (Darma, 2013:2) pada wacana kohesi dan koheren. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif dan mengandung satu ide.

(39)

(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam kesatuan yang koheren, dibentuk baik oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain (Darma, 2013:3).

Analisis wacana kritis merupakan teori yang memfokuskan kajian pada ketidakadilan dalam masyarakat ketika wacana digunakan untuk menentukan kekuasaan dan ideologi. Analisis wacana kritis tidak semata dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai dengan tujuan dan praktik tertentu seperti ideologi dan kekuasaan (Eriyanto, 2008:7).

(40)

mental masyarakat. Berikut beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan analisis wacana kritis.

Fowler (1996) menyatakan dengan analisis wacana kritis bahasa dapat dipahami sebagai representasi yang berperan untuk membentuk subjek, tema, dan strategi wacana tertentu. Karena itu, bahasa tidak hanya dikaji berdasarkan penggunaan bahasa melalui teks tertentu, tetapi wacana dapat juga dikaji berdasarkan konteksnya. Perpaduan kajian kedua kedua sudut pandang tersebut memberi peluang pada pembongkaran makna sebuah teks. Dalam hal ini wacana sebagai pembungkus teks. Setiap analisis bahasa dalam teks selalu dihubungkan dengan konteks penggunaannya seperti koneks budaya dan konteks situasi.

Van Dijk (1987) menyatakan sebuah wacana bisa dikaji atau dianalisis secara kritis. Analisis yang dimaksud adalah analisis yang menyangkut aspek-aspek sebuah wacana secara mendalam dan menyeluruh, baik aspek-aspek struktur maupun maknanya. Menurut van Dijk, penelitian wacana tidak cukup hanya analisis teks semata, tetapi juga meneliti mengapa wacana itu diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial (Eriyanto, 2008:221). Selanjutnya van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu.

(41)

Dalam level dimensi teks yang diteliti adalah struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu, dalam level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks, sedangkan dalam level analisis sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis van Dijk (Eriyanto 2008:225).

Van Dijk membagi struktur wacana atas: (1) struktur makro, (2) superstruktur atau struktur alur, dan (3) struktur mikro. Struktur makro merupakan tema global sebuah wacana. Struktur makro ini memberikan informasi yang penting dari sebuah wacana dan memainkan peran penting sebagai pembentuk kesadaran sosial. Superstruktur atau struktur alur merupakan struktur skematik atau kerangka sebuah wacana. Kerangka yang dimaksud adalah penyusunan elemen-elemen wacana secara utuh dan menyeluruh dalam sebuah wacana. Kerangka wacana secara umum adalah pendahuluan, isi, dan penutup. Sedangkan struktur mikro merupakan struktur pemaknaan wacana terutama apabila dilihat melalui penganalisisan kata, frasa, kalimat, proposisi, paragraf, dan makna sebuah wacana.

(42)

diperoleh. Dengan demikian, cara seperti ini sudah sejalan dengan pemikiran van Dijk. Penganalisisan suatu wacana secara kritis atas dasar pemakaian bahasa oleh sekelompok masyarakat erat kaitannya dengan suatu peristiwa komunikasi yang didasarkan pada praktik-praktik sosial etnografis. Pengembangan penganalisisan bahasa dalam penggunaannya lebih lanjut sangat bergantung pada konteks budaya dan situasi atau konteks di luar bahasa.

Van Dijk mengisyaratkan bahwa bahasa bukan semata-mata berfungsi sebagai alat komunikasi dan sebuah sistem kode, melainkan bahasa merupakan kegiatan sosial yang dikonstruksi secara khusus oleh latar sosial dan budaya. Oleh karena itu, sebagai wujud representasi latar dan hubungan sosial tersebut,

bahasa yang direpresentasikan melalui wacana senantiasa digunakan untuk membentuk subjek-subjek, topik-topik, tema-tema, dan ideologi-ideologi tertentu.

Analisis wacana merupakan suatu upaya untuk mengungkapkan makna dan maksud yang tersembunyi dari komunikator (penutur) yang mengungkapkan suatu pernyataan. Dengan demikian, penyingkapan pengungkapan yang tersirat dalam sebuah wacana dapat dipahami. Pemahaman seperti ini juga mengiring pemahaman terhadap ideologi pencipta secara lebih baik.

(43)

senada dengan pendapat Fowler yang menekakan pada aspek-aspek yang dikaji dari sebuah wacana secara mendalam.

Ahli lain yang memberikan pandangannya tentang analisis wacana kritis adalah Fairclough (1997). Fairclough (1997) menyatakan bahwa analisis wacana kritis merupakan analisis penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa menurut Fairclough bisa terjadi dalam wujud tuturan dan tulisan. Penggunaan bahasa tersebut merupakan bentuk praktik sosial.

(44)

2.3.2 Semiotika

Kata semiotika berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Dengan demikian semiotika adalah ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993:3). Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial dan fenomena kebudayaan merupakan tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang lain dalam kapasitas atau pandangan tertentu. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, atauran-aturan, konvensi-konsvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2001:71; Danesi, 2012:8).

Pierce menyatakan sesuatu itu dapat dikatakan sebagai tanda jika mewakili sesuatu yang lain. Tanda yang mewakilinya disebut dengan representamen (referent). Jika sebuah tanda mewakilinya, hal ini adalah fungsi utama tanda. Misalnya, gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan dan anggukan kepala mewakili persetujuan. Agar berfungsi tanda harus ditangkap dan dipahami dengan bantuan kode. Proses perwakilan tersebut disebut semiosis, yaitu suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandai.

Pierce membedakan tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu:

(45)

objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Misalnya, foto, gambar, dan peta geografis.

Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Misalnya, asap menandakan adanya kebakaran dan wajah ceria menandakan hati yang senang.

Ketiga, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat atbitrer, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan prosedural antara tiga titik, yaitu representamen (R), objek (O), dan interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental yang merujuk pada sesuatu yang mewakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Karena itu, tanda bagi Pierce tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif (Christomy, 2010:117).

2.3.3 Fungsi

(46)

sebagai (1) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan pemiliknya; (2) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) alat pendidikan anak; dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Analisis fungsi tradisibatagak pangulu berusaha menggali fungsi tradisi batagak pangulu bagi masyarakat Minangkabau. Dengan menganalisis fungsi tardisi batagak pangulu di Minangkabau akan diungkap angan-angan masyarakat Minangkabau tentang penghulu, pranata-pranata dan lembaga-lembaga apa yang disahkan, nilai-nilai pendidikan apa yang ada di dalamnya, dan norma-norma apa yang harus dipatuhi oleh kaum yang penghulunya diresmikan.

2.4 Bagan Konsep dan Teori Analisis Data Penelitian

(47)

Bagan 2.1 Konsep dan Teori Analisis Data Penelitian

Performansi (Finnegan)

Teks (Struktur Makro, Alur, Mikro), Kognisi Sosial, Analisis Sosial (van Dijk)

Ko-teks: Paralinguistik, Material (Pierce)

Konteks: Budaya, Sosial, Situasi, Ideologi (Sibarani)

Makna dan Fungsi (Pierce dan Bascom)

Nilai dan Norma (Theodorson)

Kearifan Lokal: Kemakmuran dan Kedamaian (Sibarani)

Revitalisasi:

Penghidupan/Pengaktifan,

Pengelolaan, Pewarisan (Sibarani) Tradisi Lisan

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dengan Rismardi (Wali Nagari Guguak VIII Koto), pada tanggal 7 Januari 2008 di Kantor Wali Nagari Guguak VIII Koto, Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.. bersifat

Tujuan penelitian ini adalah (1)Mendekripsikan pola pekerjaan “urang kandang ” (2)Menganalisis pola ekonomi kekerabatan Minangkabau dan pemberdayaan pada usaha

Keuntungan dari tradisi berburu babi tidak hanya bagi para pemburu yang ada di Nagari Limbanang, tetapi juga dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Hal itu

Ulama Syafi‟iyyah mengatakan bahwa pemberian itu harus dikembalikan kepada peminangnya, baik barang itu masih utuh atau sudah berubah, baik itu pihak laki-laki yang

Petatah petitih adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berbentuk puisi dan berisi kalimat atau ungkapan yang mengadung pengertian yang dalam, luas, tepat,

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa melaksanakan tradisi manjalang janjang bagi pasangan suami istri di Nagari Batu Payuang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten

Petatah petitih adalah salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang berbentuk puisi dan berisi kalimat atau ungkapan yang mengadung pengertian yang dalam, luas, tepat,

Oleh karena itu, tradisi manjalang janjang bagi pasangan suami istri di Nagari Batu Payuang Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota setelah pesta pernikahan ini boleh