• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Anak

1.1. Definisi anak

Anak adalah seseorang yang berumur belum 18 (delapan belas) tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Perlindungan

Anak No. 23 pasal 1 tahun 2003), dalam keperawatan anak yang dimaksud

anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun, anak

berada dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik fisik,

psikologis, sosial, dan spiritual.

Hockenberry & Wilson (2007) fase perkembangan anak terdiri dari

fase prenatal (masa kehamilan sampai anak dilahirkan), fase neonatal (usia

0-28 hari), fase infant (usia 1-12 bulan), fase todler (usia 1-3 tahun), fase

prasekolah (usia 3-6 tahun), fase sekolah (usia 6-12 tahun), dan fase remaja

(usia 13-18 tahun).

1.2. Tahapan perkembangan anak

1.2.1. Bayi

a. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson penanaman rasa percaya adalah hal yang sangat

mendasar pada fase ini. Terbentuknya kepercayaan diperoleh dari

hubungannya dengan orang tua dan asuhan yang diterima anak. Rasa

(2)

fisik, yang membantu mereka mengahadapi situasi tidak dikenal dan tidak

diketahui dengan rasa takut yang minimal (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget masa bayi merupakan tahap sensorimotor. Pada

tahap ini, anak mengembangkan aktivitasnya dengan menunjukkan

perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ualang untuk meniru perilaku

tertentu dilingkungannya. Jadi, perkembangan intelektual dipelajari

melalui sensasi dan pergerakan (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial bayi pada awalnya dipengaruhi oleh perilaku

refleksifnya, seperti mengenggam, dan pada akhirnya bergantung pada

interaksi anatara bayi dan pemberi asuhan utama. Menangis dan perilaku

refleksif adalah metode untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam periode

neonatal dan senyum sosial merupakan langkah awal dalam komunikasi

sosial. Bermain adalah agen sosialisasi utama dan memberikan stimulasi

yang diperlukan untuk belajar dan berinteraksi dengan lingkungan (Wong,

2009).

1.2.2. Toddler

a. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson tugas perkembangan pada masa toddler adalah

menguasai sensasi autonomi sementara, sensasi ragu, dan malu. Mereka

(3)

Perkembangan otonomi berpusat pada kemampuan anak untuk mengontrol

tubuh dan lingkungannya. Pada fase ini, anak akan meniru perilaku orang

lain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknya,

perasaan malu dan ragu akan timbul apabila anak dipaksa oleh orang

tuanya atau orang dewasa lainnya untuk memilih atau berbuat sesuatu

yang dikehendaki mereka (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget karakteristik utama perkembangan intelektual pada

tahap ini adalah fase sensorimotor dan prakonseptual. Fase sensori motor

(13-18 bulan) anak menngunkan percobaan yang aktif untuk mencaai

tujuan yang sebelumnya belum tercapai. Fase prakonseptual (usia 2-3

tahun) anak lebih berpikir berdasarkan persepsi mereka terhadap suatu

kejadian. Penyelesaian masalah didasarkan pada apa yang mereka lihat

atau dengar secara langsung daripada benda atau kejadian yang mereka

ingat (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Todler memilki pemahaman dan kesadaran tentang sifat permanen

benda dan kemampuan untuk menahan kepuasan yang terlambat dan

mentoleransi frustasi tingkat sedang. Akibatnya, toddler akan beraksi

terhadap orang asing secara berbeda dibandingkan bayi. Orang yang tidak

dikenal tidak menimbulkan ancaman yang cukup bermakna terhadap

(4)

1.2.3. Prasekolah

a. Perkembangan psikososial

Masa prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode

perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah,

yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap

apa yang ada di sekelilingnya. Anak usia prasekolah adalah pelajar yang

energik, antusias, dan memiliki imajinasi yang aktif, apabila orang tua

tidak dapat menerima imajinasi dan aktifitasnya maka anak akan merasa

bersalah. Keluarga merupakan orang terdekat bagi anak usia prasekolah

(Muscari, 2005).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah (3 sampai 6

tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan intuitif

(Muscari, 2005). Pada fase prakonseptual (usia 2 sampai 4 tahun), anak

membentuk konsep yang belum matang dan tidak logis dibandingkan

dengan orang dewasa, membuat klasifikasi yang sederhana,

menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain, dan mempunyai

pikiran yang berorientasi pada diri sendiri.

Pada fase intuitif (usia 5 sampai 7 tahun), anak menjadi mampu

membuat klasifikasi, menjumlahkan, dan menghubungkan objek-objek,

tetapi tidak menyadari prinsip-prinsip di balik kegiatan tersebut. Anak

menunjukan proses berfikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah

(5)

c. Perkembangan moral

Perkembangan moral anak usia prasekolah adalah adanya

kemampuan untuk mengidentifikasi tingkah laku sehingga akan

menghasilkan hukuman apabila tindakannya salah dan mendapat hadiah

apabila tindakannya benar, serta dapat membedakan antara benar dan salah

(Potter & Perry, 2009). Anak usia prasekolah berada pada tahap pra

konvensional, yaitu munculnya perasaan bersalah dan menekankan pada

pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada

orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau

mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).

1.2.4. Sekolah

a. Perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial anak sebagai periode laten dimana

anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis dan

memulai ketertarikan pada lawan jenis. Interaksi sosial lebih luas dengan

teman dan penerimaan dari kelompok akan membantu anak mempunyai

konsep diri yang positif. Kemampuan anak untuk berinteraksi dengan

teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan perasaan

sukses (sense of industry). Anak usia sekolah mulai mengembangkan

keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna

(6)

b. Perkembangan kognitif

Pada usia sekolah anak memiliki kemampuan untuk

menghubungkan serangkaian kejadian untuk menghambatkan mental anak

yang dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Piaget

menyatakan tahap ini sebagai operasional konkret, ketika anak mampu

menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan.

Anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal

dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian berdasarkan

apa yang mereka lihat sampai membuat penilaian berdasarkan alasan

mereka (pemikiran konseptual) (Wong, 2009).

c. Pekembangan moral

Pada saat pola pikir anak berubah dari egosentrisme ke pola pikir

yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan

kesadaran diri dan standar moral. Anak sekolah usia 6-7 tahun

mempercayai bahwa apa yang orang lain katakan pada mereka untuk

melakukan sesuatu adalah benar dan apa yang mereka pikirkan adalah

salah. Oleh karena itu, anak usia 6-7 tahun kemungkinan

mengintepretasikan kecelakaan dan ketidakberuntungan sebagai hukuman

kesalahan atau akibat tindakan “buruk” yang dilakukan anak. Anak usia

sekolah yang lebih besar mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat

dibandingkan akibat yang dirasakannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi

bersifat otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan

(7)

d. Perkembangan sosial

Salah satu agen sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia

adalah kelompok teman sebaya, selain orang tua dan sekolah. Kelompok

teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada anggotanya.

Melalui kelompok teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi

dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan pemegang

kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik (Wong, 2009).

1.2.5. Perkembangan remaja (usia 13-18 tahun)

a. Perkembangan psikososial

Anak remaja mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda,

unik dan terpisah dari setiap individu yang lain. Mereka menunjukkan

perannya dengan sangat dekat dengan kelompoknya, bergaul dan

mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya, untuk dapat mengambil

keputusannya sendiri (Wong, 2009).

b. Perkembangan Kognitif

Pada tahap ini remaja berada pada periode operasional formal,

yaitu remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual yang

merupakan cirri berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap

kemungkinan peristiwa yang akan terjadi (Wong, 2009).

c. Perkembangan Moral

Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada

prinsip yang dimiliki dan diyakininya. Apapun tindakan yang diyakininya

(8)

moral harus berdasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip moral yang

diyakini dan memberi mereka sumber untuk mengevaluasi tuntutan situasi

dan merencanakan serangkaian tindakan yang konsisten dengan ide-ide

mereka (Wong, 2009).

d. Perkembangan sosial

Masa remaja adalah masa dengan kemampuan bersosialisasi yang

kuat dan sering kali merupakan suatu masa kesepian yang sama-sama kuat.

Penerimaan oleh teman sebaya, beberapa teman dekat, dan jaminan rasa

cinta dari keluarga yang mendukung merupakan syarat-syarat untuk proses

kematangan interpersonal (Wong, 2009).

2. Rawat Inap

2.1. Definisi Rawat Inap

Rawat inap merupakan proses karena alasan berencana, darurat,

mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Wong, 2009).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak saat rawat inap,

yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. Stressor utama dari rawat

inap meliputi perpisahan, hilang kendali, cidera tubuh dan nyeri (Wong,

2009).

2.2. Reaksi Anak Terhadap Rawat Inap

Reaksi anak terhadap rawat inap dipengaruhi usia, persiapan,

(9)

layanan kesehatan, dan status emosi anak (Price & Gwin, 2008 dalam Lestari,

2013). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, keterampilan

terhadap koping, dan pengaruh budaya terhadap reaksi anak sakit (James &

Aswill, 2007 dalam Lestari 2013). Reaksi anak terhadap rawat inap menurut

Wong (2009) yaitu:

1. Cemas akibat Perpisahan

Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap

penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Pada kondisi cemas akibat

perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.

Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu:

a. Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif dengan menangis dan

berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar orang lain tahu

bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian

orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan.

b. Fase putus asa, dimana tangisan akan berhenti, anak tampak tegang dan

muncul depresi yang terlihat yaitu anak kurang begitu aktif, tidak

tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari

orang lain.

c. Fase menolak merupakan fase terakhir yaitu fase pelepasan atau

penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu menyesuaikan diri

terhadap kehilangan, tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan

(10)

tersebut dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan

merupakan kesenangan.

2. Kehilangan Kendali

Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat

mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak

sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat perkembangannya.

a. Bayi

Bayi sedang mengembangkan cirri kepribadian sehat yang paling

penting yaitu rasa percaya yang dibangun melalui pemberian kasih sayang

secara terus menerus dari orang yang mengasuhnya. Bayi berusaha

mengendalikan lingkungannya dengan ungkapan emosional seperti menangis,

tersenyum. Asuhan yang tidak konsisten dan penyimpangan dari rutinitas

harian bayi dapat menyebabkan rasa tidak percaya dan menurunkan rasa

kendali (Wong, 2003 ).

b. Todler

Sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan

dalam mengembangkan otonominya. Keterbatasan aktifitas, kurangnya

kemampuan untuk memilih dan perubahan rutinitas dan ritual akan

menyebabkan anak merasa tidak berdaya. Jika rutinitas tersebut terganggu,

maka dapat terjadi kemunduran terhadap kemampuan yang sudah dicapai atau

(11)

c. Prasekolah

Usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa

ketakutan. Jika anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif,

dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar ruangan. Selain itu

ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul

perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan

kemandiriannya terhambat (Wong, 2003).

d. Sekolah

Rutinitas di rumah sakit seperti tirah baring yang dipaksakan,

penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi,

kegiatan mandi di tempat tidur, penggunaan kursi roda atau brankar dapat

menyebabkan ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah. Akan

tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali dengan cara

melibatkannya dalam setiap prosedur yang memungkinkan, mereka akan

berespon dengan sangat baik terhadap prosedur apa pun (Wong, 2003).

e. Remaja

Segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian, pengakuan diri, dan

kebebasan dalam pencarian identitas diri pada remaja akan menimbulkan

ancaman dan kehilangan kendali. Penyakit yang membatasi kemampuan fisik

seseorang dan rawat inap yang memisahkan seseorang dari sistem

pendukungnya merupakan krisis situasional yang utama. Remaja bereaksi

(12)

dengan pengkuan diri, marah atau frustasi sehingga staf rumah sakit sering

menganggap remaja sebagai pasien yang sulit dan tidak dapat diatur.

3. Cedera tubuh dan nyeri

a. Bayi

Penelitian mengenai perkembangan konsep sakit dan pemahaman anak

tentang sakit berkaitan dengan ketakutan terhadap cedera tubuh tidak ada hasil

temuannya pada anak-anak yang belum dapat bicara. Indikator distress yang

paling konsisten adalah ekspresi wajah terhadap ketidaknyamanan. Gerakan

tubuh termasuk menggeliat, menyentak, dan memukul-mukul.sebagian bayi

dapat mengangis dengan keras setelah prosedur, sedangkan yang lainnya

mudah ditenangkan dengan dipeluk.

b. Todller

Pengalaman seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan

suhu rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan todler

bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan. Secara umum,

anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan kemarahan emosional

yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman nyeri baik yang aktual

maupun yang dirasakan.

Perilaku yang mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan,

mengatupkan gigi dan atau bibir, membuka mata lebar-lebar,

mengguncang-guncang, menggosok-gosok, dan bertindak agresif, seperti menggigit,

menendang, memukul, atau melarikan diri. Todler biasanya mampu

(13)

mereka rasakan, meskipun begitu anak belum mampu menggambarkan jenis

dan intensitas nyeri.

c. Prasekolah

Anak prasekolah sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan,

dimana mereka percaya bahwa sakit yang alami disebabkan pikiran atau

tindakannya sendiri. Prosedur yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak

merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya

belum berkembang baik. Mereka bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya

dengan nyeri saat jarum dicabut dan takut intrusi atau pungsi pada tubuh tidak

akan menutup kembali dan "isi tubuh" mereka akan keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan reaksi anak usia todler,

akan tetapi anak usia prasekolah memiliki respon yang lebih baik ketika

diberikan penjelasan dan distraksi terhadap prosedur yang dilakukan. Pada

umumnya anak menggunakan ekspresi verbal dengan mengatakan "Pergi dari

sini", mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh,

mencoba mengamankan peralatan atau berusaha mengunci diri di tempat yang

aman untuk mempengaruhi orang agar menyerah dalam melakukan prosedur.

Anak prasekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan dapat

menggunakan skala nyeri dengan yang tepat.

d. Sekolah

Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika

dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti atau kematian.

(14)

efek prosedur dan prosedur yang menyakitkan atau tidak. Anak usia sekolah

mampu mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan

dengan letak, intensitas dan deskripsinya.

Secara umum, mereka telah mempelajari koping menghadapi nyeri

seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi atau

mencoba bertindak berani dengan meringis atau berteriak. Anak usia sekolah

juga menggunakan kata-kata untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap

nyeri. Sebagian besar anak menghargai penjelasan prosedur yang diberikan

dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi

dan sebaliknya anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali dengan

berupaya menunda kejadian tersebut.

e. Remaja

Citra tubuh remaja yang berubah dengan cepat membuat mereka

sangat khawatir terhadap abnormalitas yang dapat disebabkan oleh penyakit

yang diderita. Mengajukan banyak pertanyaan, menarik diri, menolak orang

lain, atau mempertanyakan keadekuatan perawatan merupakan respon

terhadap kekhawatiran tersebut. Jika menderita suatu penyakit, mereka takut

pertumbuhan mereka akan mengalami kemunduran, sehingga mereka

tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Remaja sudah memiliki pengendalian diri yang lebih baik ketika

berespon terhadap nyeri. Sejalan dengan perkembangan kognitif, remaja sudah

mampu menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan dan menggunakan

(15)

3. Atraumatic care

3.1. Definisi atraumatic care

Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan

oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak melalui

penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun psikologis

yang dialami anak maupun orang tua (Wong, 2009).

Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis berupa menyiapkan

anak-anak untuk prosedur pemeriksaan sampai pada intervensi fisik terkait

menyediakan ruang untuk orang tua dan anak tinggal bersama dalam satu

ruangan (rooming in). Distres psikologi meliputi kecemasan, ketakutan,

kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik

meliputi kesulitan mobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang

mengganggu seperti rasa sakit, bunyi keras, cahaya yang menyilaukan atau

kegelapan (Wong, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan

atraumatic care adalah suatu tindakan perawatan terapeutik yang dilakukan

oleh perawat dengan menggunakan intervensi melalui cara mengeliminasi atau

meminimalisasi stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan

keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan.

3.2. Prinsip atraumatic care pada anak

Asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care

menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Berkaitan

dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang

(16)

keperawatan adalah meminimlakan stresor, memaksimalkan manfaat rawat

inap, memberi dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan

mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Wong, 2009).

Ada tiga prinsip yang mendasari dalam mencapai tujuan tindakan

atraumatic care (Wong et. al., 2009) yaitu:

1) mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan orang tua

Dampak perpisahan dari keluarga, anak akan mengalami gangguan

psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan

ini akan mengambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan anak.

Mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan keluarga dapat

dilakukan dengan membangun hubungan yang baik antara anak dan orang tua

selama perawatan di rumah sakit, menyiapkan anak sebelum dan setelah

prosedur yang tidak dikenalinya, memfasilitasi orang tua berada didekat muka

anak dengan memberikan kesempatan untuk bernyanyi dan menyentuh

(Hockenberry & Wilson, 2009). Mendampingi anak di ruang persiapan operasi

sampai anak tertidur setelah diberikan anestesi (Gauderer, Lorig & Eastwood,

1989; Fina et al 1997).

2) Meningkatkan pengendalian diri pada anak

Mengurangi rasa takut pada anak dengan memberikan informasi yang

tidak diketahui terkait lingkungan perawatan, diagnosis dan membuat

lingkungan yang nyaman. Memberi kesempatan pada anak untuk kontrol

(17)

jadwal yang konsisten dan memberikan saran secara langsung terhadap proses

perawatan yang diberikan.

Memberikan peningkatan pengetahuan keluarga terkait kondisi

kesehatan anak, dan keterampilan untuk mengawasi kondisi anak (Wong,

2009).

3) Mencegah atau meminimalkan nyeri dan cedera pada tubuh

Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stress.

Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam

keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan

tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik nonfarmakologi

(Wong, 2009).

Teknik farmakologi yang dapat dilakukan, misalnya pada anak yang

akan dilakukan sirkumsisi maka terlebih dahulu meminta persetujuan dari

orang tua dan memberi analgesik (Catudal, 1999). Pemberian sukrosa atau

EMLA pada bayi saat dilakukan pengambilan sampel darah (Joseph & Ulrich,

2007).

Teknik nonfarmakologi dengan meminimalkan rasa takut terhadap

cedera tubuh dan rasa nyeri dilakukan dengan cara mempersiapkan psikologis

anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri

yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan.

Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara

cepat akan tetapi dapat dikurangi dengan berbagai teknik misalnya distraksi,

(18)

nyeri lebih dapat ditoleransi dan menurunkan kecemasan (Vessey dan Carlson,

1996, dalam Wong, 2009).

Pada pemasangan infus dengan cairan salin diberi kebijakan sampai

dua kali penusukan (Catudal, 1999). Pemberian restraint mempertimbangkan

sesuai dengan kebutuhan anak seperti memasang spalk tangan, dan mengatur

jam tindakan perawatan 60-120 menit sebelum anak tidur (Joseph & Ulrich,

2007).

Tindakan perawatan atraumatic care yang harus dimiliki oleh tim

kesehatan dalam merawat pasien anak diantaranya adalah mengorganisir

hubungan orang tua dengan anak selama rawat inap, persiapan anak sebelum

tindakan atau prosedur yang tidak menyenangkan, mengontrol rasa nyeri,

mengijinkan privasi anak, mengalihkan dengan bermain untuk menghilangkan

rasa takut, suara bising, bau yang tidak sedap, bersikap empati kepada

keluarga dan anak yang sedang dirawat serta memberikan pendidikan

kesehatan tentang kondisi sakit yang dialami anak.

3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

Prosedur yang dilakukan pada anak yang dirawat mengalami rawat

inap bermacam-macam. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah

pemasangan infus. Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif

yang sering dilakukan pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur

penusukan vena dalam pemasangan infus dapat menimbulkan trauma fisik

berupa nyeri dan trauma psikologis seperti rasa cemas, takut, marah, dan

(19)

Trauma fisik dan psikologis ini menimbulkan persepsi negatif anak

tentang rumah sakit, untuk itu perlu ada cara agar tindakan invasif menimbulkan

trauma yang minimal. Berbagai upaya dilakukan oleh perawat untuk mengurangi

efek trauma pada anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat

anak sesuai perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan

atraumatic care (Kubsch, 2000 dalam Sulistiyani, 2009).

Menurut Wong (2003) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus

sebagai berikut :

1) Jelaskan prosedur pada anak sesuai dengan tingkat perkembangannya;

2) Berikan perawatan atraumatik

Berikan EMLA secara topical diatas area penusukan bila waktunya

memungkinkan (sedikitnya 60 menit) atau gunakan lidokain buffer (diinjeksikan

secara intradermal dekat vena dengan jarum 30G) untuk mengebaskan kulit.

Biarkan persiapan kulit tersebut mengering dengan sempurna sebelum kulit

ditusuk.

Gunakan metode nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri dan ansietas,

seperti distraksi anak dengan percakapan, berikan anak sesuatu untuk

berkonsentrasi (misal, memeras tangan, mencubit hidung sendiri, menghitung, dan

berteriak).

Metode yang lain misalnya: tempatkan kompres dingin atau es batu yang

dibungkus, di area injeksi kira-kira satu menit sebelum injeksi, atau berikan

pendinginan pada sisi kontralateral. Mengajarkan anak untuk mengungkapkan

(20)

keluarga bila mereka ingin berpartisipasi saat tindakan keperawatan. Restrain

anak hanya bilaa diperlukan agar prosedur dapat dilakukan dengan aman.

3) Anjurkan orang tua untuk menyamankan anak dan memuji anak setelah

tindakan keperawatan.

Menurut Kyle (2013) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus

sebagai berikut :

1) Bina hubungan dengan anak dan orang tua. Beri tahu mereka tentang terapi

IV dan apa yang diharapkan. Bersikap jujur pada anak.

2) Jelaskan bahwa venapunktur akan menimbulkan sakit, tetapi hanya sebentar.

Berikan anak kerangka waktu yang dapat ia pahami, seperti waktu yang

diperlukan untuk menggosok giginya atau memakan kudapan.

3) Jika memungkinkan pilih lokasi menggunakan vena tangan dan bukan vena

pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi risiko flebitis. Hindari

penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi jika memungkinkan

karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan

komplikasi lainnya.

4) Pastikan pereda nyeri yang adekuat menggunakan metode farmakologi dan

non-farmakologi sebelum pemasangan peralatan.

5) Biarkan antiseptik yang digunakan untuk mempersiapkan lokasi mengering

secara sempurna sebelum melakukan upaya pemasangan.

6) Gunakan sawar, seperti perban atau waslap atau lengan baju gaun anak

(21)

7) Jika vena sulit ditemukan, gunakan peralatan untuk membuat vena terlihat

jelas.

8) Lakukan hanya dua kali upaya untuk mendapatkan akes IV, jika tidak

berhasil setelah dua kali upaya, biarkan individu lain melakukan dua kali

upaya untuk mengakses lokasi IV. Jika masih tidak berhasil, evaluasi

kebutuhan untuk pemasangan alat lain

9) Dorong partisipasi orang tua jika tepat dalam membantu memposisikan anak

atau memberikan posisi kenyamanan, seperti pelukan terapeutik.

Referensi

Dokumen terkait

In this way the names reflect the fact that each Module, Requirement and Test is owned by a single Requirements Class or Conformance Class, and each Requirements Class or

An XML Schema that implements a minor revision of a standard SHALL incorporate all prior revisions of the same major version by importing the all-components schema document for

1.2.12 Selisih kurang antara PPA dan cadangan kerugian penurunan nilai atas aset produktif 1.2.13 Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset non produktif yang wajib dihitung

(2) PPID Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pejabat struktural yang membidangi pengelolaan informasi dan dokumentasi pada perangkat daerah

 Konflik (pengertian, konsep karl marx, jenis konflik, potensi dalam masyarakat majemuk).. Orang dan atau kelompok

Perlu dingatkan dan dipertegas kembali, bahwa ketidakhadiran / hadir tetapi tidak membawa surat kuasa / hadir tidak membawa dokumen asli dan/atau dokumen salinan yang sah /

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten