• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERBUATAN NOTARIS YANG DAPAT DIKELOMPOKKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

A. Aspek Hukum Pidana Penipuan

Menurut bahasa Indonesia penipuan berasal dari kata tipu yang berarti perbuatan atau perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan Penipuan merupakan proses dari tindakan menipu. Secara yuridis penipuan merupakan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaannya.32

Pengertian tersebut diambil dalam pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

(2)

melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai rangakaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur-unsur subyektif yang meliputi maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan hukum.33

B. Unsur-Unsur Objektif Penipuan

Unsur Obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.34

1. Perbuatan Menggerakkan (Bewegen)

Katabewegen selain diterjemahkan dengan menggerakkan, ada juga sebagian ahli dengan menggunakan istilah membujuk atau menggerakkan hati. KUHP sendiri tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah bewegen itu. Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain.

Objek yang dipengaruhi adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkret apabila dihubungkan dengan cara melakukannya. Cara melakukan perbuatan inilah sesungguhnya yang lebih berbentuk yang bila dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan dengan perbuatan yang tidak benar. Dengan perbuatan yang benar,

33 Konsultasi Hukum Gratis, “Sengketa Hutang Piutang= Sengketa Tindak Pidana Penipuan”, http:/konsultasihukumgratis.blogspot.com. diakses tanggal 30 Mei 2014

(3)

misalnya dalam pasal 55 (1) KUHP membujuk atau mengganjurkan untuk melakukan tindak pidana dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan dan lain sebagainya.35

Sedangkan dalam penipuan menggerakkan adalah dengan cara-cara yang didalamnya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat membohongi atau menipu. Jika menggerakkan dilakukan dengan cara yang sesungguhnya, cara yang benar dan tidak palsu, maka tidak mungkin kehendak orang lain (korban) akan menjadi terpengaruh, yang pada akhirnya ia menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Tujuan yang ingin dicapai pelaku dalam penipuan hanya mungkin dicapai dengan melalui perbuatan menggerakkan dengan cara-cara yang tidak benar.

2. Yang Digerakkan (Orang)

Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan Pasal 378 KUHP tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang digerakkan. Orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang bisa juga selain yang digerakkan, asalkan orang lain (pihak ketiga) menyerahkan benda itu atas perintah/kehendak orang yang digerakkan.

(4)

Artinya penyerahan benda itu dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain selain orang yang digerakkan. Kepada siapa barang diserahkan, atau untuk kepentingan siapa diberinya hutang atau dihapusnya piutang, tidak perlu harus kepada atau bagi kepentingan orang yang mengerakkan. Penyerahan benda dapat dilakukan kepada orang lain selain yang menggerakkan, asalkan perantaraan ini adalah orang yang dikehendaki oleh yang menggerakkan.36 Untuk ini ada arrest HR (24-7-1928) yang menyatakan bahwa: “Penyerahan merupakan unsur yang konstitutif dari kejahatan ini dan tidak perlu bahwa penyerahan dilakukan pada pelaku sendiri”. Dari unsur maksud mengguntungkan yang ditujukan dalam 2 hal, yaitu diri sendiri atau orang lain, maka dapat dipastikan bahwa dalam penipuan bukan saja untuk kepentingan yang menggerakkan semata-mata melainkan dapat juga untuk kepentingan orang lain.

3. Tujuan Perbuatan

a. Menyerahkan Barang

Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak. Pada pencurian, pemerasan, pengancaman dan kejahatan terhadap harta benda lainnya, dimana secara tegas disebutkan unsur milik orang lain bagi benda obyek kejahatan, berbeda dengan penipuan dimana tidak menyebutkan secara tegas adanya unsur yang demikian. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal

(5)

ini terkandung maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.37 Pendapat ini didasarkan pada, bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk menambah kekayaan.

b. Memberi hutang dan menghapuskan piutang,

Perkataan hutang disini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-1-1928) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan” oleh karena itulah memberi hutang tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian yang lebih luas sebagai membuat sesuatu perikatan hukum yang membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan/membayar sejumlah uang tertentu.38 Misalnya dalam suatu jual beli, timbul suatu kewajiban pembeli untuk membayar/menyerahkan sejumlah uang tertentu yakni harga benda itu kepada penjual. Demikian dengan istilah utang dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan.

Menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka. Menghapuskan piutang adalah menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, dimana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.

37LN & Associates, “Penipuan Dalam Hukum Pidana Indonesia”, http://www.lnassociates.com/articles-fraud-in-criminal-law-indonesia.html, terakhir diakses tanggal 30 Juli 2014.

(6)

4. Upaya-Upaya Penipuan

a. Menggunakan Nama Palsu (valsche naam),39

Ada dua pengertian nama palsu, pertama: diartikan sebagai suatu bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain. Misalnya Rahmat menggunakan nama temannya yang bernama Rochmat, kedua: suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya. Misalnya orang yang bernama Aldi menggunakan nama Samin, nama Samin tidak ada pemiliknya atau tidak diketahui secara pasti ada tidaknya orang yang menggunakannya.

b. Menggunakan Martabat/Kedudukan Palsu(valsche hoedanigheid),40

Ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid itu, ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan palsu. Kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut/digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak tertentu, padahal sesungguhya ia tidak mempunyai hak tertentu itu. Jadi kedudukan palsu ini jauh lebih pengertiannya daripada sekedar mengaku mempunyai sesuatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, notaris, dan sebagainnya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dariboedelwaris atau sebagai seorang wali, ayah atau ibu, kuasa dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (27-1-1893) menyatakan bahwa “perbuatan menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang agen,

(7)

seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh kepercayaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat”.

c. Menggunakan Tipu Muslihat (listige kunstgreoen) dan Rangkaian Kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels),41

Kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan/kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu: pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa rangkaian kebohongan berupa ucapan/perkataan. Tipu muslihat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar. Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak hati orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak hatinya/terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar orang lain (korban) berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.

C. Unsur-Unsur Subjektif Penipuan

Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.42

1. Maksud Untuk Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain,

Maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakkan harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah berupa unsur kesengajaan

41Ibid.

(8)

dalam penipuan. Kesengajaan sebagai maksud ini selain harus ditujukan pada menguntungkan diri, juga ditujukan pada unsur lain dibelakangnya seperti unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagainya. Kesengajaan dalam maksud ini sudah harus ada dalam diri orang yang menggerakkan sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan. Menguntungkan artinya menambah kekayaan dari sudah ada, menambah kekayaan ini baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.43

2. Dengan Melawan Hukum

Unsur maksud sebagaimana yang diterangkan di atas, juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan menggerakkan haruslah berupa maksud yang melawan hukum. Unsur maksud dalam rumusan penipuan ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur maksud itu juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum.44

Oleh karena itu tindakan melawan hukum disini adalah berupa unsur subjektif. Dalam hal ini sebelum melakukan atau setidaknya ketika memulai perbuatan menggerakkan, petindak telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan perbuatan itu adalah melawan hukum.45 Melawan hukum disini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh undang-undang atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih

43 Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), hlm.49.

44Ibid., hlm.50.

(9)

luas yakni sebagai pertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, suatu celaan masyarakat. Karena unsur melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka menjadi wajib dibuktikan dalam persidangan. Perlu dibuktikan ialah si petindak mengerti maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggerakkan orang lain dengan cara tertentu dan seterusnya dalam rumusan penipuan sebagai dicela masyarakat.

D. Bentuk-Bentuk Perbuatan Notaris Yang Dapat Dikelompokkan Sebagai Tindak Pidana Penipuan

Seorang Notaris dapat dipidanakan apabila dapat dibuktikan secara mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris yang merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut, maka diperlukan keterangan dari Notaris oleh penyidik disamping itu untuk menghindari terjadinya kesalahan dakwaan tersebut, maka diperlukan kehadiran Notaris dalam pemeriksaan pidana. Dengan kehadiran Notaris dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, sampai dengan persidangan, kiranya dapat membantu para penegak hukum untuk membuktikan apakah Notaris terlibat dalam tindak pidana yang dipersangkakan ataukah hanya berakibat pada akta yang dibuat yaitu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau menjadi batal demi hukum sebagaimana ketentuan pasal 84 UUJN.46

(10)

Faktor yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana apabila akta yang dibuat oleh Notaris menimbulkan kerugian yang diderita para pihak maupun pihak lain dan berdasarkan bukti awal bahwa Notaris patut diduga turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, berkaitan dengan kewenangan Notaris berdasarkan Pasal 15 UUJN yaitu membuat akta otentik dengan adanya unsur-unsur tindak pidana seperti :47 1. Pasal 55 KUHP yaitu turut serta melakukan tindak pidana;

2. Pasal 231 KUHP yaitu membantu pelaku dalam melakukan kejahatan; 3. Pasal 263 KUHP yaitu membuat surat palsu;

4. Pasal 266 KUHP yaitu memberikan keterangan palsu dalam akta otentik; 5. Pasal 372 KUHP yaitu penggelapan;

6. Pasal 378 KUHP yaitu penipuan;

7. Pasal 385 KUHP yaitu menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband(sekarang Hak Tanggungan) atas tanah yang belum bersertifikat.

E. Tanggung Jawab Notaris Secara Pidana Atas Akta Yang Dibuatnya

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tidak mengatur mengenai ketentuan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN, sanksi tersebut dapat berupa sanksi terhadap akta yang dibuatnya dan terhadap Notaris. Sanksi terhadap akta yang dibuatnya menjadikan akta yang dibuat oleh notaris turun derajatnya dari akta otentik

(11)

atau menjadi akta di bawah tangan, sedangkan untuk Notaris diberikan sanksi mulai dari teguran hingga berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat.

Nico membedakan tanggung jawab Notaris menjadi empat macam yaitu:48 1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap

akata yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

3. Tanggung Jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris.

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, apabila melakukan pelanggaran terhadap larangan tersebut maka akan diiukuti oleh sanksi yang berupa pidana tertentu. Dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris maka pidana yang dimaksudkan adalah pidana yang dilakukan oleh notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang diamanatkan oleh UUJN, bukan merupakan kapasitas pribadi atau individu dari notaris tersebut sebagai subjek hukum.

Unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:49

48 Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003), hlm.21.

(12)

1. Perbuatan (manusia)

Perbuatan merupakan tindakan dan kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut, Moeljatno berpendapat yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam undur-undur tindak pidana adalah kelakuan plus kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa:

“Dalam hukum pidana, kelakuan atau tingkah laku itu ada yang bersifat positif dan yang negatif. Di dalam hal kelakuan yang bersifat positif dan yang negatif. Di dalam hal kelakuan yang bersifat positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal yang bersifat negatif seseorang tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan kelakuan adalah sikap jasmani, sebab tidak berbuat sesuatu tidak dapat dimasukkan dalam pengertian tersebut dan yang termasuk dalam pengertian kelakuan tersebut terbatas hanya pada sikap jasmani yang disadari saja.”

2. Memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil)

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi rumusan atau unsur-unsur yang terkandung dalam aturan tersebut. Hal ini berasal dari adanya asas legalitas “nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali”, dimana seseorang tidak dapat dipidana atas perbuatan yang tidak ada

aturannya dalam ketentuan hukum pidana. 3. Bersifat melawan hukum

Selain dua unsur di ats, untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana juga harus memenuhi unsur yang ketiga yaitu unsur melawan hukum, unsur ini merupakan unsur yang mutlak dari tindak pidana.

(13)

membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup maknawillen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah:50

1. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;

2. “Menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui/menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda/ memberi hutang/ menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik);

3. “Mengetahui/ menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda/ memberi hutang /menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya, karena harus dibuktikan adanya maksud menguntungkan diri sendiri, adanya kehendak, adanya kesadaran dari pelaku delik yang bersifat immateriil. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban” penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian

(14)

murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi peluang usaha kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut namun kemudian tidak berjalan seperti yang diharapkan/merugi. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut menyampaikan informasi peluang usaha kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda/ hartanya dan seterusnya, informasi usaha tersebut adalah palsu/ bohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.51

Di samping itu, karena sifat/ kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil-materiil, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wanprestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.52

51 M. Abdul Kholiq, Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi, Penipuan dan Penggelapan, Jurnal, (Yogyakarta: UII, 2010), hlm.3

(15)

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“ Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :

1. Unsur Subyektif Delik

berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan

2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : a. Unsur barang siapa;

b. Unsur menguasai secara melawan hukum; c. Unsur suatu benda;

d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan e. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

(16)

unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya.53 Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :

1. “Menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum.

2. “Mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda.

3. “Mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain.

4. “Mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut : 1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang

lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai

benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.

(17)

2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.

3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

(18)

Berdasarkan pasal 91 UUJN yang merupakan pasal penutup dengan tegas mencabut dan menyatakan tidak berlakunya peraturan-peraturan yang terdahulu mengenai jabatan notaris, sehingga yang menjadi acuan dalam pelaksanaan jabatan Notaris saat ini adalah UUJN. Tanggung jawab Notaris dalam UUJN secara eksplisit disebutkan dalam pasal 65 UUJN yang menyatakan bahwa Notaris (Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan pejabat sementara Notaris) bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol Notaris.

Terdapat korelasi yang sangat kuat antara UUJN dengan kode etik profesi. Kode etik profesi mengatur Notaris secara internal dan UUJN secara eksternal. Menurut Muhammad, sebagaimana dikutip Nico, dan Abdul Ghofur Anshori, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:54

1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya.

2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akata yang dibuatnya itu.

(19)

3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

(20)

berstatus sebagai tahanan POLRI. Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Poldasu, sebanyak 153 kasus. Dimana 10 (sepuluh) orang Notaris sebagai tersangka dan sebanyak 143 orang Notaris jadi saksi.55

Dalam pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan Notaris/PPAT telah ada suatu kesepakatan antara POLRI dengan Ikatan Notaris Indonesia yang tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia yaitu No. Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006, Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah No.Pol: B/1055/V/2006 dan Nomor: 05/PPIPPAT/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006 tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme Di Bidang Penegakan Hukum. Notaris yang melanggar hukum dalam melaksanakan jabatannya baik disengaja maupun karena kelalaian kini tidak bisa tenang lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat membuat pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan Kepolisian. Apabila Notaris mengabaikan tugas jabatannya dan keluhuran dari martabatnya dan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku maka Majelis Pengawas dapat bertindak tegas mengenakan sanksi. Bahkan dapat memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk

(21)

mencabut izin operasionalnya. Kepada Notaris yang bersangkutan tidak tertutup kemungkinan untuk dituntut ke pengadilan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata.56

Atas dugaan Notaris turut serta melakukan tindak pidana dan atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta, maka Notaris harus bertanggung jawab secara pidana, mulai mengikuti pemeriksaan dalam proses penyidikan hingga proses pembuktian di persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan apabila terbukti bersalah akan dijatuhi sanksi pidana mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tindak lanjut dari putusan sanksi pidana terhadap seorang Notaris yang terbukti bersalah maka Majelis Pengawas Notaris akan mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut ijin operasionalnya, apabila dijatuhi dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih maka Notaris yang bersangkutan akan diberhentikan dengan tidak hormat dan protokolnya diserahkan kepada Notaris lain yang ditunjuk menteri atas usulan Majelis Pengawasan Pusat.

Referensi

Dokumen terkait

Wajib pajak akan berprilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban peprajakan apabila wajib pajak dapat memperoleh banyak manfaat atas kepemilikan NPWP, wajib pajak

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui efektivitas berbagai bahan pengisi kemasan dalam mempertahankan suhu rendah agar kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis

Luaran dari tahap pelaksanaan kegiatan ini adalah: Guru-guru MTs Muqimus Sunnah Palembang mampu menggunakan Media Audio Visual untuk membuat media pengajaran, tolak

Pengecekan teman sejawat yang dimaksudkan disini adalah mendiskusikan proses dan hasil penelitian dengan teman mahasiswa yang sedang atau telah mengadakan

Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis hubungan pengetahuan dengan minat ibu nifas tentang postnatal massage di Puskesmas Jelakombo, Kecamatan Jombang, Kabupaten

Boiler merupakan suatu alat dengan prinsip kerja seperti ketel, yang digunakan sebagai tempat pemanasan air (feedwater) menjadi uap kerja (steam). Perubahan dari fase cair

Satu bayi dalam penelitian ini mempunyai berat badan lahir 900 gram (BBLSAR/KMK) menunjukkan toleransi minum yang baik dengan pemberian enteral feeding pada usia kurang dari 24 jam

Lihat Kode dan Nama Kapal Lihat Kode dan Nama Kapal Lihat Kode Dan Nama Pelabuhan Asing Leading space Leading space Leading space Numeric Numeric 1-3, 8 dan 9 1 Liner Conference 2