PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PEMODELAN EROSI
DAN LAHAN KRITIS DI NEGARA INDONESIA
AGUNG DWI PUTRA
Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21170 / +62-736-22105, email: dwiputra_agung89@yahoo.co.id
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis secara umum agar dapat dipergunakan dalam suatu pemodelan erosi dan lahan kritis khususnya di negara Indonesia. Estimasi dari erosi tanah pada lahan pertanian dapat dihitung dengan menggunakan metode USLE. Pembuatan peta erosi menggunakan peta tematik yang merupakan faktor-faktor pendorong terjadinya erosi seperti peta erosivitas hujan, peta erodibilitas tanah, peta lereng, dan peta penggunaan lahan. Peran SIG dalam pembuatan peta erosi ini adalah pada proses overlay yaitu dengan menggabungkan setiap faktor erosi menjadi suatu data baru dengan atribut yang lebih lengkap. Perkembangan lahan kritis pada tahun 1980 sampai 1994 menunjukkan ada penurunan. Namun pada tahun 1994 sampai 2003 luas lahan kritis semakin meningkat tajam.
Kata kunci : Erosi, Indonesia, Lahan Kritis, SIG.
PENDAHULUAN
Penginderaan jauh adalah pengumpulan informasi tentang suatu objek atau daerah dari kejauhan, biasanya menggunakan data yang diambil dari satelit, pesawat, atau kendaraan bawah air. Pada sistem penginderaan jauh, metode yang digunakan kebanyakan meliputi fotografi, radar, spektroskopi, dan magnet (Geologinesia, 2016). Menurut seorang ahli yang bernama Lindgren dalam Somantri 2008, penginderaan jauh adalah berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi (Edukasia, 2017).
Pemodelan secara umum, dimengerti sebagai proses merepresentasikan objek nyata atau realita sebagai seperangkat persamaan matematika, grafis ataupun bagan agar mudah dipahami oleh pihak yang berkepentingan. Lebih khusus lagi, istilah ini sering digunakan untuk proses menggambarkan konsep yang mewakili obyek-obyek dalam pengembangan sistem informasi (Sudirwan, 2014).
Departemen Kehutanan RI mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air (Baharuddin 2009).
Erosi umumnya diartikan sebagai proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan air dan angin (Alie 2015). Erosi alami atau erosi geologi merupakan proses pengikisan yang berjalan lambat dan tidak membahayakan. Kerusakan erosi yang hebat terjadi ketika manusia atau faktor-faktor lain merusak keseimbangan alami dan tanah yang
terbuka menjadi mangsa kekuatan perusak hujan, angin dan sinar matahari. Faktor-faktor penyebab erosi yang sangat beragam tersebut menyebabkan prediksi mengenai laju erosi dan sedimentasi yang terjadi di lahan sangat sulit untuk dilaksanakan (Sucipto 2007).
Negara Indonesia terdapat banyak sekali lahan kritis, untuk itu diperlukan pemetaan/pemodelan khusus untuk lahan kritis dan erosi agar dapat memudahkan kita untuk melihat dimana terdapat lahan kritis tersebut, jumlah lahan kritis, serta seberapa besar luas lahan kritis tersebut. Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam pemodelan erosi dan lahan kritis di negara indonesia. Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran/model erosi dan lahan kritis di negara Indonesia melalui pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.
2. Sebagai bahan acuan/literatur untuk penulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis khususnya untuk pemodelan erosi dan lahan kritis.
Bahan dan Metode
pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar 3,1 juta km2sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996 dalam Fany 2010).
Di Indonesia ada 5 dari 13 pulau terbesar di dunia, yaitu : Kalimantan (Borneo) sebagai pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas total 726.000 km² dan wilayah Indonesia seluas 539.460 km², Sumatera sebagai pulau terbesar keenam dengan luas 443.068 km², Papua sebagai pulau terbesar kedua didunia dengan luas total 800.000 km² dan wilayah Indonesia seluas 421.981 km², Sulawesi sebagai pulau terbesar kesebelas di dunia dengan luas total 174,600 km² dan pulau Jawa sebagai pulau terbesar ketigabelas di dunia dengan luas 138.793,6 km2(Fany 2010).
Faktor Topografi
Secara topografi Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau. Setiap pulau memiliki karakteristik topografi yang berbeda yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan hingga pegunungan. Selain itu sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagian besar (kira-kira 2/3 nya) terdiri atas perairan laut. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur 12 mil adalah 5 juta Km2, terdiri dari daratan 1,9 juta km2. Ini berarti seluruh laut Indonesia 3,1 juta km2atau sekitar 62% dari seluruh wilayah Indonesia.
Faktor Curah Hujan
Terjadinya curah hujan dengan intensitas besar dan durasi lama disebabkan karena adanya pusat tekanan rendah di atas Selat Sunda dan di Samudera Hindia. Pusat tekanan rendah tersebut menyebabkan massa uap air yang basah yang berasal dari Asia berkumpul di tempat tersebut sehingga menimbulkan badai hujan (Nugroho 2002). Salah satu alat yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian curah hujan di Indonesia yaitu menggunakan mikrokontroler arduino dan GSM shield (Muliantara et al 2015) .
Faktor Erodibilitas Tanah
Data untuk analisis erodibilitas tanah dapat menggunakan metode persamaan Wischmeier-Smith ataupun dengan nomograf (Ashari 2013). Setelah semua data diperoleh dilakukan penghitungan nilai erodibilitas tanah menggunakan nomograph dan dilanjutkan penghitungan nilai erosi tanahnya menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), dimana besarnya erosi (kehilangan) tanah merupakan fungsi dari
erosivitas hujan, erodibilitastanah, panjang dan kemiringan lereng serta faktor tanaman dan pengelolaan tanah (Suripin, 2001 dalam arifin 2010), yang umum ditulis sebagai persamaan dibawah ini.
Dimana:
A = Jumlah tanah yang hilang (ton/ ha/th) R =Erosivitas huian tahunan rata rata (cm) K = Indeks erodibilitas tanah
LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng
CP = Indeks pengelolaan tanaman & konservasi tanah
Faktor Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.
Intersepsi hujan oleh tajuk tanaman.2.
Mempengaruhi kecepatan aliranpermukaan dan kekuatan perusak air.
3.
Pengaruh akar dan kegiatan-kegiatanbiologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap porositas tanah.
4.
Transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah (Arsyad 1983 dalam Alie 2015).HASIL DAN PEMBAHASAN
Lahan Kritis
Penetapan lahan kritis menurut Perdirjen P.4/V-SET/2013 mengacu pada tutupan lahan, erosi, topografi, dan manajemen. Lahan yang termasuk di dalam kategori lahan kritis akan kehilangan fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro, dan retensi karbon. Kekritisan lahan diklasifikasikan ke dalam kategori sangat kritis, agak kritis, dan tidak kritis. Direktorat PDASHL memprioritaskan penanganan lahan kritis pada lahan dengan kriteria kritis dan sangat kritis. Berdasarkan kriteria tersebut, luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia pada tahun 2015 tanpa DKI Jakarta seluas ± 24.303.294 ha, yang terdiri dari:
• Kritis : 19.564.911 ha
• Sangat Kritis : 4.738.384 ha (Sumber: Kemenlhk, 2015) Perkembangan lahan kritis pada tahun 1980 sampai 1994 menunjukkan ada penurunan. Namun pada tahun 1994 sampai 2003 luas lahan kritis semakin meningkat tajam (Grafik 1).
Gambar1. Grafik perkembangan lahan kritis pada tahun 1980 sampai 1994.
Pada awal tahun 2000-an, terdapat 23,25 juta ha lahan kritis, 15,11 juta ha diantaranya berada di luar kawasan hutan, dan 8,14 juta ha di dalam kawasan hutan. Selanjutnya, luas lahan kritis tersebut meningkat lebih dari 3 kali lipat, menjadi 77,80 juta ha, dengan rincian 26,77 juta ha berada di luar kawasan hutan, dan 51,03 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Apabila diperhatikan, ternyata bahwa total kerusakan lahan di dalam kawasan hutan lebih luas lagi. Dalam kurun waktu yang relatif pendek, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan bertambah hampir 2 kali di luar kawasan hutan, dan lebih dari 8 kali di dalam kawasan hutan. Peningkatan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan yang sangat besar diperkirakan karena terjadi peningkatan laju deforestasi yang sangat cepat (Kurnia et al LitbangPertanian.go.id).
Gambar 2 : Peta persebaran lahan kritis di Indonesia
EROSI
Pembuatan peta erosi menggunakan peta tematik yang merupakan faktor-faktor pendorong terjadinya erosi seperti peta erosivitas hujan, peta erodibilitas tanah, peta lereng, dan peta penggunaan lahan. Peran SIG dalam pembuatan peta erosi ini adalah pada proses overlay yaitu dengan menggabungkan setiap faktor erosi menjadi suatu data baru dengan atribut yang lebih lengkap. Penggunaan lahan ladang, tanaman campuran dan perkebunan memiliki nilai erosi yang besar, sedangkan penggunaan lahan sawah, permukiman dan hutan memiliki nilai erosi kecil, hal ini
dikarenakan penggunaan lahan sawah berada pada lereng yang datar dengan konservasi lahan yang baik dan banyak terdapat seresah yang dapat menahan aliran air dan memperkecil terjadinya erosi, sedangkan penggunaan lahan hutan juga disertai serasah yang cukup banyak yang mampu memperkecil erosi. Erosi pada penggunaan lahan yang sama tidak selalu memiliki besar yang sama. Hal ini dikarenakan erosi juga dipengaruhi oleh teknik konservasi lahannya. Teknik konservasi yang baik dan benar sesuai penggunaan dan keadaan lahannya akan memperkecil terjadinya erosi (Firdaus 2017).
Gambar 3 : Peta indeks bencana erosi di Indonesia
Kesimpulan
Perkembangan lahan kritis pada tahun 1980 sampai 1994 menunjukkan ada penurunan. Namun pada tahun 1994 sampai 2003 luas lahan kritis semakin meningkat tajam. total kerusakan lahan di dalam kawasan hutan lebih luas lagi. Dalam kurun waktu yang relatif pendek, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan bertambah hampir 2 kali di luar kawasan hutan, dan lebih dari 8 kali di dalam kawasan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aini A. 2007. Sistem Informasi Geografis Pengertian Dan Aplikasinya. Staff Pengajar
STMIK AMIKOM Yogyakarta.
Alie M.E.R. 2015. Kajian Erosi Lahan Pada Das
Dawas Kabupaten Musi Banyuasin – Sumatera Selatan. Jurusan Teknik Sipil
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Arifin M. 2010. Kajian Sifatfisik Tanah Dan
Berbagai Penggunaan Lahan Dalam
Hubungannya Dengan Pendugaan Erosi Tanah. Jurusan Agroteknologi, Fakultas
Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.
Ashari A. 2013. Kajian Tingkat Erodibilitas
Beberapa Jenis Tanah Di Pegunungan Baturagung Desa Putat Dan Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul.
Baharuddin. 2009. Pemanfaatan Inderaja Dan
Sistem Informasi Geografis (Sig) Dalam Inventarisasi Lahan Kritis Di Kabupaten Kolaka Utara.
Edukasia. 2017. Pengertian Penginderaan Jauh,
Manfaat Penginderaan Jauh, Sistem Penginderaan Jauh, Komponen-Komponen Penginderaa Jauh, Jenis-Jenis Citra Penginderaan Jauh, Beserta Penjelasan Penginderaan Jauh Terlengkap.
Fany A. 2010. Indonesia, Negara Kepulauan
Terbesar Di Dunia. World Press.com.
Firdaus A.N. 2017. Analisis Bahaya Erosi Permukaan Menggunakan Metode USLE Dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dan SIG Di Sub DAS Samin, Kabupaten Karanganyar Dan Sukoharjo. Program
Studi Geografi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Geologinesia. 2016. Pengertian, Komponen, dan
Manfaat Penginderaan Jauh.
KemenLHK. 2015. Statistik Kementerian
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tahun 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Kurnia et al. litbangpertanian.go.id. Perkembangan
Lahan Kritis.
Meurah R. C. 2010. Penginderaan Jauh.
Muliantara A., Sanjaya ER.N.A., Widiartha I. M. 2015. Perancangan Alat Ukur Ketinggian
Curah Hujan Otomatis Berbasis
Mikrokontroler. Program Studi Teknik Informatika. Fakultas MIPA. Universitas Udayana.
Nugroho SP. 2002. Evaluasi Dan Analisis Curah
Hujan Sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta. Peneliti di P3-TPSLK BPP
Teknologi. Jakarta.
Rupaidah E. 2008. Tingkat Kekritisan Lahan Di
Wilayah Pengembangan Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Departemen geografi FMIPA
Universitas Indonesia. Depok.
Sucipto. 2007. Analisis Erosi Yang Terjadi Di
Lahan Karena Pengaruh Kepadatan Tanah.
Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang.
Sudirwan. 2014. Pemodelan Dalam Pengembangan
Sistem Informasi. Binus of University.
School of Information System.
Syah A.F. 2010. Penginderaan Jauh Dan Aplikasinya Di Wilayah Pesisir Dan Lautan.