• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Tanah Gambut

Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah yang terdapat pada deposit gambut. Ia mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan kedalaman gambut yang minimum. Istilah gambut mengacu pada tumpukan bahan yang terbentuk dari seresah organik tanaman yang terurai pada kondisi jenuh air, dimana laju penambahan material organik lebih cepat daripada laju peruraiannya.

Najiyati dkk (2005) mendefinisikan tanah organosol atau tanah histosol yang saat ini lebih populer disebuttanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organikseperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktuyang cukup lama. Tanah Gambut umumnya selalu jenuh air atau terendamsepanjang tahun kecuali didrainase.

Taksonomi Tanah mendefenisikan tanah histosol (gambut) dengan ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada ≥ 60% ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau b) apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar ≥ 4 0 cm, di an tara permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyusun ≥ 2/3 dari ketebalan

(2)

total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan total ≤ 10 cm atau; d) jenuh air selama ≥ 30 hari setiap tahun dalam tahun -tahun normal (atau telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah, dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) 60 cm atau lebih jika ¾ bagian atau lebih volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab, sebesar < 0,1 g/cm3; atau (2) 40 cm atau lebih apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari

serat-serat lumut dan berat jenisnya, lembab, sebesar ≥ 0,1 g/cm 3 (Soil Survey Staff, 2014).

Genesis dan Pembentukan Gambut

Bahan induk dari tanah histosol terbentuk dari bahan organik di alam. Bahan induk tanah histosol ini berbeda dengan berbagai macam bahan mineral yang berfungsi sebagai bahan induk untuk tanah lainnya. Kondisi yang menyebabkan akumulasi bahan induk organik sangat terkait erat dengan proses-proses yang membentuk berbagai horizon tanah organik. Sifat unik dari histosol disebabkan oleh bahan induk organik. Beberapa faktor yang mempengaruhi sifat bahan induk organik termasuk hydroperiod, kimia air dan jenis vegetasi. Akumulasi bahan induk organik sering terjadi selama jangka waktu yang lama dan di bawah kondisi yang berubah. Dengan demikian, stratigrafi dari rawa

mungkin mencerminkan ribuan tahun dari akumulasi bahan organik (Rabenhorst dan Swanson, 2000).Vegetasi benar-benar menciptakan sebagian

besar bahan tanah histosol. vegetasi ini yang membentuk tanah memegang kendali yang kuat atas sifat fisik dan kimianya. Gambut umumnya dibagi menjadi tiga

(3)

kelompok atas dasar komposisi botani: lumut, herba, dan gambut kayu (Rabenhorst dan Swanson, 2000).Lahan gambut dataran rendah Indonesia terbentuk sebagian besar dari vegetasi hutan, di bawah kondisi jenuh air, sehingga memiliki kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 2008). Gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa. Oleh karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang, dan akar tumbuhan yang besar (Najiyati dkk, 2005).

Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan. Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih daripada 2500 mm/tahun tanpa ada bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah 5 cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Oleh karena adanya kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan pengatusan

(4)

buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai sehingga terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya (Budianta, 2003).

Topografi memperngaruhi pembentukan tanah histosol, seperti halnya tanah lainnya. Pembentukan tanah histosol unik diantara tanah lain karena juga memodifikasi topografi. Akumulasi bahan organik tanah dapat mengisi depresi dan menciptakan topografi yang tinggi secara perlahan yang dapat mencegah air yang kaya basa pindah ke lahan gambut dan dengan demikian mengakibatkan terbentuknya sebuah rawa yang sangat masam (Rabenhorst dan Swanson, 2000).

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu(pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar kubah terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut di MuaraKaman Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont andPons, 1991). Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan carbondating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-5.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400 cm, 7.900-9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.000-26.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.

(5)

Proses awal dimana histosol terbentuk disebut paludisasi. Sejak genesis dari histosol bergantung pada endapan bahan organik, proses ini sering dianggap geogenik daripada pedogenik. Dalam arti ini, seseorang dapat mempertimbangkan awal endapan dari bahan organik adalah bahan induk dimana histosol bisa terbentuk oleh perubahan dari bentuk organik yang dapat dikenali dari daun, batang, dll., menjadi bahan organik yang tidak dapat dikenali; dan dari sebuah lapisan atau tumpukan tidak berstruktur menjadi butiran, gumpal, atau horizon berstruktur prisma (Buol dkk, 1980).

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau

dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen,

dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).

(6)

Klasifikasi Lahan Gambut

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu gambut eutrofik, gambut oligotrofik, dan gambut mesotrofik. 1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral,

terutamakalsium karbonat: sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin.

2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral, khususnya kalsium dan magnisium, serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4).

3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan di atas. (Noor, 2001).

Berdasarkan tingkat kematangan, gambut dikelompokkan dalam 3 kelas, yaitu:

(a) fibrik, gambut mentah, memiliki kandungan serat tinggi (>66 persen), kematangan gambut kasar, dan warna air jernih,

(b) hemik, setengah matang, kandungan serat sedang (33-66 persen), warna air bersih sampai gelap, dan

(c) saprik, matang, berkadar serat halus (<33 persen), air berwarna gelap.

Kematangan gambut juga dapat dengan metode Von Post, yaitu dipilah berdasarkan warna larutan gambut, kehalusan serat (Barchia, 2006).

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

1. gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan,

(7)

2. gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

(Agus dan Subsika, 2008).

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: 1. gambut dangkal (50 – 100 cm),

2. gambut sedang (100 – 200 cm), 3. gambut dalam (200 – 300 cm), dan 4. gambut sangat dalam (> 300 cm) (Agus dan Subsika, 2008).

Karakteristik Fisik dan Kimia Lahan Gambut

Lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tipe lahan lainnya. Lahan gambut tropika di tandai dengan kubah berbentuk, keanekargaman yang unik, kapasitas yang besar sekali untuk mempertahankan dan menyimpan lengas, dan karakteristik kimia dan fisik yang unik. Lahan gambut tropika juga merupakan ekosistem yang sangat rapuh sangat rentan terhadap gangguan, dan sumber yang praktis tidak dapat diperbaharui dengan tingkat deposisi yang rendah. Dalam hal sifat fisik, tanah gambut tropika ditandai dengan bulkdensiti rendah, kapasitas menahan beban rendah, porositas tinggi, kapasitas mempertahankan kelembaban sangat tinggi, dan cenderung tidak kembali seperti semula setelah di drainase. Dalam hal sifat kimia, tanah gambut tropika ditandai dengan pH rendah, rendahnya ketersediaan dari banyak nutrisi esensial, rasio C/N tinggi, KTK tinggi, kadar abu rendah, dan kadar asam organik tinggi, karakteristik yang membatasi pertumbuhan tanaman (Radjagukguk, 2008).

(8)

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya. Artinyagambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1-0,2 g cm-3tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.

Sifat fisik lain yang penting pada tanah gambut adalah sifat kering tak balik (irreversible drying) bila terjadi pengeringan yang berlebihan. Sifat ini menunjukkan bahwa bila gambut menjadi terlalu kering, maka tidak akan dapat lagi menjadi basah, karena gambut tidak mampu meyerap air kembali (Hardjowigeno, 1996).

Subsiden (subsidence) atau penurunan permukaan lahan merupakan kondisi fisik yang sering dialami lahan gambut yang telah didrainase. Proses drainase menyebabkan air yang berada di antara massa gambut mengalir keluar (utamanya bagian air yang bisa mengalir dengan kekuatan gravitasi), akibat proses ini gambut mengempis atau mengalami penyusutan. Subsiden juga bisa terjadi akibat massa gambut mengalami pengerutan akibat berkurangnya air yang terkandung dalam bahan gambut. Proses lainnyayang menyebabkan penurunan permukaan gambut adalah proses pelapukan (dekomposisi) (Dariah dkk, 2015).

Kematangan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan organik yang menjadi komponen utama dari tanah gambut. Kematangan gambut sangat

(9)

menentukan tingkat produktivitas lahan gambut, karena sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah gambut, dan ketersediaan hara. Ketersediaan hara pada lahan gambut yang lebih matang relatif lebih tinggi dibandingkan lahan gambut mentah. Struktur gambut yang relatif lebih matang juga lebih baik, sehingga lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, tingkat kematangan gambut merupakan karakteristik fisik tanah gambut yang menjadi faktor penentu kesesuaian gambut untuk pengembangan pertanian. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik (setengah matang), dan fibrik (mentah) (Dariah dkk, 2015).

Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam danditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti

selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11% (Hartatik dkk, 2011)

Secara umum gambut beraksi masam. Hal ini disebabkan oleh keluarnya asam-asam organik (humat dan fulvat). Hasil penelitian Suhardjo dan Adhi (1976), Pangudiatno (1974) gambut Riau mempunyai pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N, Ctotal masing -masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8-54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan

(10)

74,83-83,84% (Kalimantan). Selanjutnya kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah (Budianta, 2003).

Tingkat kemasaman tanah gambut mempunyai kisaran sangat lebar. Umumnya, tanah gambut tropik, terutama gambut ombrogen (oligotrofik), mempunyai kisaran pH 3,0 – 4,5, kecuali yang mendapatkan pengaruh penyusupan air laut atau air payau. Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal (Noor, 2001).

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan

Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci (Agus dan Subsika, 2008)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut berkisar dari <50 sampai lebih dari 100 cmol(+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar berat, tetapi relatif rendah bila dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 2000), tetapi menurut Kussow (1971) dalam Barchia (2006) KTK gambut dapat berkisar antara 100 hingga 300 me 100 g-1. KTK gambut ombrogen di Indonesia (Tabel 1) sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat.

(11)

Tabel 1. Komposisi senyawa Gambut Ombrogen di Indonesia dan Kapasitas Tukar Kationnya (Driessen, 1978 dalam Barchia, 2006).

Senyawa Bobot (%) KTK (me 100 g-1) Lignin 64 – 74 150 – 180 Senyawa Humik 10 – 20 40 – 80 Selulosa 0,2 – 10 7 Hemiselulosa 1 – 2 1 – 2 Lainnya < 5 -

Bahan Organik Gambut 100 190 – 270

Kadar abu dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah lahan gambut. Kadar abu tanah gambut beragam antara 5% - 65%. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Kadar abu gambut jenis oligotrofik sekitar 2%, mesotrofik sekitar 2,0% - 7,5% dan eutrofik > 14% (Widjaja Adhi 1986 dalam Noor 2001). Makin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu gambut sangat dalam (tebal > 3 m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (tebal 1–3 m) berkisar 11% - 12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001).

Penyebaran Lahan Gambut

Negara yang paling luas mempunyai lahan gambut adalah Kanada, disusul oleh bekas negara Uni Soviet dan Amerika Serikat, Indonesia termasuk sebagai negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di dunia. Menurut Notohadiprawiro (1996), luas lahan gambut di Indonesia sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia menmpati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai

(12)

gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta hektar, disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta hektar. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar, yaitu Kalimantan, Sumatra, dan Papua (Noor, 2001).

Luas dan penyebaran lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun2002, berdasarkan ketebalan dan jenis gambut, diurutkan mulai dari penyebaran pada provinsi yang terluas. Dapat diketahui bahwa luas total lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun 2002, adalah sekitar 7,204 juta ha, atau 14,90% dari luas seluruh daratan Pulau Sumatera (luasnya 48,24 juta ha). Luas lahan gambutpada masing-masing provinsi diurutkan dari yang terluas, adalah sebagai berikut: (i) Riau4,043 juta ha (56,12% dari luas total lahan gambut); (ii) Sumatera Selatan1,484 juta ha (20,60%); (iii) Jambi 0,717 juta ha(9,95%); (iv) Sumut0,325 juta ha(4,51%); (v) Nanggroe Aceh D.0,274juta ha(3,80%); (vi) Sumatera Barat0,210 juta ha(2,92%); (vii) Lampung 0,088 juta ha(1,22%); dan (viii) Bengkulu0,063 juta ha (0,87%). Berdasarkan ketebalan lapisan gambut, lahan gambut Sumatera dapat dikelompokkan seperti berikut ini: (i) gambut-dangkal 1,925 juta ha (26,72%) dari luas total lahan gambut); (ii) gambut-sedang 2,327 juta ha (32,30%); (iii) gambutdalam 1,246 juta ha (17,30%); dan (iv) gambut-sangat dalam 1,706 juta ha (23,68%) (Wahyunto dan Mulyani, 2011).

Permasalahan Lahan Gambut

Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca diatmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mmgambut per tahun (Parish dkk, 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t

(13)

CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase,

makakarbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah

satu gasrumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunanpermukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukankehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutangambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenaikarakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi (Agus dan Subiksa, 2008).

Penghambat lain yang mungkin ditemukan pada tanah gambut Sumatera adalah adanya lapisan (berpotensi) sulfat masam yang umumnya berupa lapisan dengan kadar pirit yang tinggi. Bila lapisan ini teroksidasi maka akan terbentuklah asam sulfat yang dapat menyebabkan pH tanah menjadi sangat masam (pH < 3.5) yang sangat berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Walaupun demikian data-data menunjukkan bahwa kandungan pirit pada tanah gambut sumatera umumnya rendah atau terdapat jauh dari permukaan tanah, sehingga pengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman di daerah ini tidak terlalu besar. Menurut Diemont dan Wijngaarde (1974) rendahnya kandungan pirit di daerah ini adalah karena besarnya pengikisan (accretion) dan sedimentasi (Hardjowigeno, 1989).

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyanggabeban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan

(14)

roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen sawit (Agus dan Subiksa, 2008).

Tanaman sering mengalami kahat hara mikro pada tanah gambut terutama hara mikro Cu. Kekahatan terjadi karena rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah serta kuatnya ikatan kompleks Cu-organik sehingga tidak tersedai bagi tanaman. Kekurangan unsur hara mikro yang lain pun sering terjadi seperti Fe, B, Zn. Tanah gambut dalam umumnya memiliki kadar abu yang sangat rendah, yang menunjukkan bahwa gambut tersebut sangat miskin (Hardjowigeno, 1996).

Profil tanah gambut

Kedalaman profil yang diamati untuk profil tanah gambut mencapai 130 cm dari permukaan tanah. Hal ini dikarenakan tanah gambut tropika tidak berasal dari sphagnum, hypnum, atau lumut-lumut yang lain, dan tidak memiliki berat volume kurang dari 0.1 g/cm3. Menurut Soil Survey Staff (2014) untuk tujuan praktis, berdasarkan pertimbangan objektif suatu penampang kontrol telah ditetapkan untuk klasifikasi Histosol. Tergantung dari jenis bahan tanah di dalam lapisan permukaan, penampang kontrol mempunyai ketebalan 130 cm atau 160 cm dari permukaan tanah, apabila tidak terdapat kontak densik, litik atau paralitik, lapisan air yang tebal, atau permafrost di dalam masing-masing batas tersebut. Penampang kontrol yang lebih tebal (160 cm) digunakan, apabila lapisan permukaan sampai sedalam 60 cm, memenuhi salah satu berikut: tiga perempat bagian atau lebih dari volume serat-seratnya berasal dari sphagnum, hypnum, atau lumut-lumut yang lain, atau mempunyai berat vulume kurang dari 0.1 g/cm3.

Penampang kontrol untuk ketiga profil dibagi menjadi tiga tier, sesuai dengan Soil Survey Staff (2014) yaitu:

(15)

- Surface Tier (Lapisan Permukaan) dengan kedalaman 0–30 cm

- Subsurface Tier (Lapisan Sub-permukaan) dengan kedalaman 30–60 cm - Bottom Tier (Lapisan Dasar) dengan kedalaman 60–130 cm.

Gambar

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi penunjuk arah berbahasa indonesia berbasis Android sebagai pencari lokasi ini akan membantu pengguna mencari dan melihat lokasi apa saja yang disediakan untuk

Berdasarkan penelitian terdahulu [13], telah ditetapkan konstruk yang akan menjadi komponen model pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan transfer

Jika seseorang bertanya, “Yang manakah lebih utama; sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan atau sepuluh hari awal Dzulhijjah?” Pendapat sebahagian ‘ulama ialah bahawa hari-hari

Berdasarkan hasil didapatkan data pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus tahun 2019, memiliki penyesuaian diri yang cukup

Bertanam kacang hijau pada kondisi kering di musim kemarau dapat memberikan hasil tinggi bila teknologi diterapkan dengan tepat terutama penggunaan varietas unggul yang berumur

Setelah tarian ini dikemas dengan ditambahkannya tarian yang bersifat suci, maka kembalilah masyarakat meminta untuk tarian ini di pentaskan pada Upacara Ngusabha

ANALISIS TINGKAT KERAWANAN DAN ARAHAN MITIGASI BENCANA BANJIR DI KECAMATAN SIDOHARJO KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 (Sebagai Suplemen Materi Pembelajaran Geografi Pada

Berdasarkan hasil model design lereng pada section NE akan stabil jika menggunakan nilai sudut overall slope sebesar 44 o yang digambarkan pada Gambar 6. Nilai overall slope