• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA), lima kawasan cagar budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA), lima kawasan cagar budaya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Kawasan Kotabaru merupakan Kawasan Cagar Budaya yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2011 melalui Surat Keputusan Gubernur DIY No. 186/KEP/2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya. Bersama dengan Kotabaru, lima wilayah lain juga ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya yaitu Pakualaman, Kraton, Kotagede, Malioboro, dan Imogiri. Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA), lima kawasan cagar budaya tersebut masuk ke dalam Kawasan Strategis Pariwisata Daerah yang akan dikembangkan.

Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah, pasal 17 ayat 8 menyebutkan strategi pengembangan Kawasan Kraton- Malioboro dan sekitarnya adalah mengembangkan Kawasan Cagar Budaya Pakualaman, Kraton, Kotagede dan Malioboro. Pada pasal 17 ayat 9 dari peraturan daerah yang sama, strategi pengembangan Kawasan Kasongan- Tembi- Wukirsari dan sekitarnya mencantumkan Kawasan Cagar Budaya Imogiri sebagai salah satu kawasan yang akan dikembangkan. Dalam RIPPDA tersebut satu-satunya kawasan cagar budaya yang tidak disebutkan dalam strategi pengembangan adalah Kawasan Cagar Budaya Kotabaru. Padahal sebagai kawasan cagar budaya, Kawasan Kotabaru dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya.

(2)

Perkembangan yang terjadi di Kawasan Kotabaru sejauh ini masih mementingkan nilai komersil atau ekonominya sehingga banyak bangunan asli yang diubah bentuk façade bangunannya (Wahyu, 2011: 3). Perlakuan ini membuat Kotabaru sedikit demi sedikit kehilangan aksen budaya Indisnya. Padahal pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya telah disebutkan bahwa pengembangan Cagar Budaya berbentuk bangunan harus mempertahankan ciri asli fasad bangunan dan ciri asli lanskap pada kawasan cagar budaya. Faktanya, peraturan ini masih diabaikan oleh sebagian besar masyarakat di kawasan Kotabaru.

Pengembangan kawasan Kotabaru sebagai suatu destinasi juga memiliki peluang pasar yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan selama lima tahun sejak tahun 2009 hingga 2013, berdasarkan Statistik Kepariwisataan 2013 (Dinas Pariwisata DIY, 2013), wisatawan tertinggi berasal dari Belanda dengan rata-rata presentase 16,89% dan rata-rata jumlah wisatawan Belanda 29.313 wisatawan. Wisatawan dari Belanda ini banyak yang datang untuk melihat dan mengunjungi bangunan peninggalan leluhur mereka.

Banyaknya aktivitas di kawasan ini memunculkan sebuah konsep yang sesuai dengan intensitas kegiatan dan kebutuhan untuk mengembangkan kawasan sebagai destinasi wisata alternatif perkotaan yaitu citywalk1). Pengembangan kawasan Kotabaru dengan konsep citywalk ini juga dapat menjadi salah satu solusi

1Citywalk hampir sama dengan pedestrian mall yaitu koridor jalan yang menghubungkan

objek komersial, dengan lebar jalan dua sampai enam meter (sumber:

http://mpkd.ugm.ac.id/pedestrian-kota-city-walk-sarana-ruang-public/ diakses pada

(3)

minimnya ruang terbuka publik di Yogyakarta. Pesatnya pembangunan yang dilakukan oleh Kota Yogyakarta mengurangi lahan-lahan potensial untuk digunakan sebagai ruang terbuka hijau yang potensial menjadi ruang terbuka publik2. Selain itu, Yogyakarta sebagai kota wisata perlu menambah ruang terbuka publik agar dapat dinikmati oleh warga kotanya maupun wisatawan yang berkunjung.

Tantangan dalam pengembangan konsep ini adalah bahwa Kawasan Kotabaru merupakan Kawasan Cagar Budaya. Batasan diperlukan agar tidak terjadi pertentangan antara konsep pengembangan dan konsep pelestariannya. Pengembangan di Kawasan Kotabaru harus mengutamakan pelestarian bukan hanya kegiatan wisatanya agar dapat berjalan selaras. Oleh karena itu dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang konsep pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kotabaru sebagai citywalk, alternatif wisata perkotaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian yang akan dibahas, yaitu:

a. Apakah Kawasan Cagar Budaya Kotabaru memiliki daya tarik untuk dimanfaatkan sebagai destinasi wisata?

b. Bagaimana keadaan fisik Kawasan Kotabaru saat ini untuk dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata citywalk?

2http://berita.suaramerdeka.com/ruang-terbuka-hijau-kota-jogja-masih-di-bawah-standar/

(4)

c. Bagaimana konsep pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kotabaru yang sesuai sebagai citywalk?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

a. Mengetahui bentuk daya tarik Kawasan Cagar Budaya Kotabaru untuk dimanfaatkan sebagai destinasi wisata.

b. Mengetahui keadaan fisik Kawasan Kotabaru untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata citywalk.

c. Merencanakan pengembangan konsep citywalk untuk diterapkan di Kawasan Cagar Budaya Kotabaru sebagai alternatif wisata perkotaan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta tambahan kajian dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Pariwisata.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kawasan Kotabaru sebagai kawasan akomodasi wisata sekaligus sebagai upaya pelestarian kawasan cagar budaya tersebut.

(5)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan Kotabaru pada umumnya merupakan penelitian mengenai perubahan citra kawasan, seperti yang dilakukan oleh Kesuma melalui penelitian tesis yang berjudul “Karakter Visual Kawasan Kotabaru, Yogyakarta berdasarkan Konsep Garden City” (2013). Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor penentu karakter visual kawasan Kotabaru berdasarkan konsep garden city. Kesuma menitikberatkan pada pengamatan elemen pembentuk karakter visual kawasan berupa elemen urban solid (massa/ bangunan dan vegetasi) dan elemen urban void (ruang terbuka hijau dan ruang jalan). Hasil penelitian ini menunjukkan faktor penentu karakter visual kawasan berdasarkan garden city adalah potensi fisik lahan; pola ruang kawasan yang berbentuk ring dan radial konsentris; pembagian zonasi yang jelas; boulevard sebagai jalur utama kawasan dan pengarah dan skala ruang jalan; ketinggian dan setback bangunan terkait dengan ruang visual pengamat; bentuk dan penampilan bangunan yang disesuaikan dengan iklim tropis; sempadan bangunan dan ruang antar bangunan; Kridosono sebagai main public open space di inti/ pusat kawasan; sempadan Sungai Code sebagai jalur hijau kawasan; dan vegetasi kawasan.

Pemanfaatan bangunan Indis diuraikan oleh Wahyu dalam penelitian tesis yang berjudul “Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis di Kawasan Kotabaru” (2011). Dalam penelitian ini Wahyu melakukan identifikasi bangunan Indis dan mengelompokkannya ke dalam 7 kelompok blok. Selanjutnya, Wahyu menguraikan perubahan fisik dan pemanfaatannya serta nilai penting bangunan. Hasil penelitian menunjukkan perubahan bentuk fisik dan pemanfaatannya banyak

(6)

terjadi pada kelompok bangunan rumah tinggal. Perubahan ini karena kebutuhan ruang untuk dimanfaatkan. Penelitian ini juga menghasilkan rancangan strategi pengembangan dan pemanfaatan bangunan Indis berupa penetapan Kawasan Cagar Budaya dan Bangunan Cagar Budaya, insentif berupa keringanan pajak bagi pemilik bangunan Indis terawat dan disinsentif berupa penerapan pajak tinggi bagi pemilik bangunan Indis yang dimodifikasi, mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam pelestarian, sosialisasi mengenai pentingnya bangunan Indis, melakukan adaptasi bangunan sebagai upaya observasi, serta melakukan preserved by record yaitu tindakan mendata fisik melalui pengukuran dan penggambaran.

Kebijakan tentang pembangunan di kawasan cagar budaya dengan lokus Kotabaru dipaparkan Sukirno dalam penelitian tesis “Preservation Urban Heritage Through Building Permit Implementation and the Role of Institutional Framework the Case of Kotabaru, Yogyakarta” (2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahu peran izin pembangunan dalam mengontrol pengembangan Kotabaru sebagai cagar budaya. Sukirno menggunakan studi kasus berdasarkan fenomena yang terjadi di kawasan sebagai metode analisisnya. Hasil penelitian menunjukkan kegagalan implementasi izin pendirian bangunan dalam melindungi bangunan cagar budaya. Kegagalan disebabkan oleh kurang lengkapnya peraturan yang ada, kurang koordinasi antar instansi pemerintah, dan masalah sistem kepemilikan bangunan dan hukum pertanahan nasional.

Penelitian yang menghubungkan langsung kawasan Kotabaru dengan pariwisata adalah penelitian yang ditulis oleh Atmosudiro dan Adrisijanti (1996) dan diterbitkan dalam “Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora III”.

(7)

Penelitian yang berjudul “Kawasan Kota baru: Alternatif Pengembangan Pariwisata di Yogyakarta” memaparkan potensi pariwisata di Kawasan Kotabaru. Potensi pariwisata tersebut adalah citra kawasan yang meliputi bangunan berarsitektur Eropa- tropis awal abad XX, boulevard lebar dengan pohon perindang, ruang terbuka sebagai pra sarana olahraga dan taman . dan gedung yang memiliki peranan dalam revolusi kemerdekaan RI. Citra Kawasan Kotabaru dapat menjadi alternatif objek wisata yang berjenis wisata warisan budaya dengan atraksi city tour. Pangsa pasar wisata ini adalah wisatawan nusantara untuk bangunan bersejarah dan wisatawan mancanegara untuk citra kawasan yang memiliki persamaan dengan citra kawasan di Eropa. Atmosudiro dan Adrisijanti juga mengungkapkan kendala pengembangan yaitu pembongkaran dan penambahan bangunan yang tidak sesuai dengan citra kawasan. Kendala tersebut dapat diatasi dengan cara penyebarluasan Undang-Undang tentang Pelestarian Cagar Budaya, pembuatan master plan untuk konservasi, menghimbau instansi terkait untuk mempertahankan serta menjaga kelestarian kawasan dan mempertahankan boulevard, taman dan jalan yang lebar.

1.6 Landasan Teori

Kotabaru merupakan salah satu kawasan cagar budaya peninggalan Belanda yang ada di Indonesia. UNESCO dalam Perjanjian tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia Tahun 1987 menyebutkan kawasan cagar budaya atau kelompok bangunan merupakan kelompok bangunan yang terpisah atau saling berhubungan, yang karena arsitekturnya, kesamaan, ataupun pemandangannya, memiliki nilai universal lebih dari sudut pandang sejarah, seni dan ilmu pengetahuan. Pemerintah DIY melalui Peraturan Daerah DIY No. 6 tahun 2012

(8)

pasal 1 ayat 7 mendefinisikan kawasan cagar budaya sebagai satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Kawasan Cagar Budaya perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan (Republik Indonesia, 2010). Sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 22 menyebutkan bahwa pelestarian cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan. Salah satu bentuk pemanfaatan Cagar Budaya adalah untuk kepentingan pariwisata (Republik Indonesia, 2010). Pemanfaatan ini secara lebih lanjut diatur dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 62 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Pasal 39 menyebutkan pemanfaatan Cagar Budaya untuk pariwisata didasarkan pada nilai ekonomi yang layak jual, kapasitas ruang yang memungkinkan untuk pengunjung, tidak membahayakan pengunjung, dan daya tarik yang dapat membangkitkan minat kunjung wisatawan. Pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya juga berhubungan dengan pengembangannya. Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan pedoman nilai penting Cagar Budaya, penambahan fasilitas secara terbatas sesuai dengan kebutuhan, pengubahan susunan ruang secara terbatas, dan gaya arsitektur, konstruksi asli serta keharmonisan dengan estetika lingkungannya (Pemerintah DIY, 2013). Lebih lanjut, pengembangan cagar budaya berbentuk bangunan harus mempertahankan ciri asli fasad bangunan dan ciri asli lanskap pada kawasan cagar budaya.

(9)

Pengembangan kawasan cagar budaya Kotabaru tentunya tidak lepas dan perencanaan pariwisata. Perencanaan pariwisata adalah proses berkelanjutan yang mempertimbangkan sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam konteks spasial tentang pengembangan, konservasi, dan penggunaan lahan dengan kerangka mempertahankan objektivitas dan peraturan pengembangan pariwisata (Evans dalam Yang dan Wall, 2004: 34; Inskeep, 1991: 29).

Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, Kotabaru dapat dimanfaatkan sebagai wisata perkotaan atau biasa dikenal sebagai urban tourism. Wisata perkotaan menurut UNWTO, dalam Tourism 2020 Vision, adalah perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan ke kota atau tempat yang memiliki tingkat kependudukan tinggi. Durasi perjalanan ini biasanya pendek (satu hingga tiga hari) maka dari itu dapat dikatakan wisata perkotaan berhubungan dekat dengan pasar yang memiliki masa istirahat/ liburan pendek (UNWTO, 2002). Wisata perkotaan dapat mendorong inner city untuk pengembangan kembali dan revitalisasi (Inskeep, 1991: 237), sehingga sesuai untuk diterapkan di Kawasan Cagar Budaya.

Perencanaan wisata perkotaan memiliki beberapa prinsip dasar yang salah satunya diuraikan Inskeep (1991: 240) sebagai berikut:

“Pedestrianisasi, jika memungkinkan, di area wisata agar dapat digunakan dan meningkatkan pejalan kaki dengan pengembangan yang baik terhadap sistem jalur pejalan kaki di sisi jalan, jalur jalan yang melalui taman, dan pedestrianisasi area belanja dengan cara menutup jalan dan melengkapi area dengan taman dan furniture jalan. Pengembangan sistem ‘urban trail’ yang dapat diikuti oleh wisatawan melalui bagian kota yang menarik dan menghubungkan dengan atraksi”

Pedestrianisasi secara menyeluruh merupakan salah satu solusi perencanaan wisata perkotaan di Kawasan Cagar Budaya. Konsep ini sangat ideal untuk turis

(10)

melihat-lihat dan dapat mengurangi polusi yang dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan cagar budaya (Inskeep, 1991: 244).

Pedestrianisasi merupakan konsep utama dari citywalk. Citywalk berasal dari dua kata bahasa Inggris city dan walk. Berdasarkan Oxford Advance Learner’s Dictionary kata city dapat berarti large important town atau kota besar yang penting. Sedangkan kata walk diartikan sebagai perjalanan dengan kaki biasanya untuk kesenangan atau olah raga, dapat juga diartikan jalan atau rute untuk berjalan kaki. Jika diartikan secara kesatuan maka city walk dapat diartikan sebagai jalan atau rute untuk berjalan kaki di kota besar yang penting. Rute jalan kaki ini dalam istilah ilmu tata kota disebut pedestrian mall. Pedestrian mall memiliki beberapa prinsip dasar dalam perancangannya. Menurut Yeang (2000:71) pedestrian mall memiliki lima prinsip dasar perancangan yang disebut Five C Principles yaitu connections (koneksi), convenience (kemudahan), convivial (atraktif), comfortable (kenyamanan), dan conspicuousness (kejelasan). Prinsip ini juga digunakan sebagai tolok ukur kualitas pedestrian mall.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menguraikan secara detail suatu keadaan agar dapat ditemukan jawaban dari permasalahan penelitian (Tan, 1994: 29; Azwar, 1998).

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui wawancara dan observasi lapangan. Data sekunder didapat melalui

(11)

studi pustaka. Metode wawancara dilakukan dengan narasumber berasal dari Dinas Pariwisata Derah Istimewa Yogyakarta dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Data yang didapat dari wawancara ini berupa keterangan mengenai perencanaan pariwisata secara keseluruhan di DIY dan peranan pemerintah kota terhadap pengelolaan Kawasan Kotabaru. Metode observasi dilakukan untuk mengamati keadaan pariwisata di Kawasan Kotabaru serta melihat keadaan infrastruktur penunjang pariwisata terutama jalur pedestrian. Studi pustaka dilakukan dengan membuka buku, laporan penelitian, laman web dan peraturan yang terkait dengan Kawasan Kotabaru. Kemudian studi pustaka juga dilakukan terhadap hasil studi kasus terhadap atraksi wisata yang memiliki konsep citywalk di dalam dan luar negeri melalui website resmi, dan hasil penelitian.

1.7.2 Metode Analisis Data

Data yang didapat akan dianalisis dengan cara diatur, diurutkan, dikelompokkan, diberi kode, dikategorikan, diartikan dan diinterprestasikan atau ditafsirkan (Antara, 2010 via Utama dan Mahadewi, 2012: 145). Data akan dianalisis secara bertahap. Tahap pertama adalah menganalisis daya tarik Kawasan Cagar Budaya Kotabaru untuk kepentingan pariwisata dengan menggunakan komponen destinasi. Menurut Mill dan Morrison (2009: 18) komponen destinasi terdiri atas atraksi, fasilitas, infrastruktur, transportasi, dan hospitalitas. Tahap kedua adalah menganalisis keadaan fisik Kawasan Kotabaru untuk dikembangkan sebagai kawasan citywalk. Komponen fisik yang menunjang citywalk adalah jalur pedestrian, sehingga jalur ini perlu dianalisis lebih lanjut. Jalur pedestrian dianalisis menggunakan Five C Principles yang diuraikan oleh Yeang (2000:71) yaitu

(12)

connections, convenience, convivial, comfortable, dan conspicuousness. Tahap terakhir adalah menyusun konsep yang sesuai dengan Kawasan Kotabaru sebagai citywalk. Konsep dibuat berdasarkan dengan hasil analisis tahap satu dan tahap dua serta pertimbangan dari sisi pelestarian Kawasan Cagar Budaya.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi menjadi empat bab dengan pembahasan yang berbeda. Setiap bab ini dapat saling terkait sehingga dapat menjadi kesatuan yang menjelaskan secara keseluruhan penelitian yang dilakukan.

Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi tentang penjabaran alasan pengambilan tema dan lokus penelitian.

Bab dua merupakan gambaran umum dari kawasan Kotabaru, mulai dari deskripsi lokasi hingga potensi pariwisata yang ada di kawasan tersebut.

Bab tiga merupakan analisis pengembangan Kawasan Kotabaru sebagai citywalk. Bab ini terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah analisis pariwisata Kawasan Kotabaru dengan menggunakan komponen destinasi. Bagian kedua adalah analisis kualitas jalur pedestrian di Kawasan Kotabaru. Bagian ketiga adalah paparan konsep citywalk yang sesuai untuk Kawasan Kotabaru.

Bab empat merupakan simpulan dari penelitian yang dilakukan sehingga dapat menjadi kontribusi nyata bagi pengembangan pariwisata di kawasan Kotabaru.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dalam me- ningkatkan empati dalam berinteraksi sosial me- lalui dinamika kelompok pendekatan experiential learning pada siswa kelas VIII E di SMP Negeri

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam

Kemurnian radiokimia merupakan hal yang mutlak dan harus ditentukan agar dapat menjamin bahwa sediaan tersebut berada dalam bentuk senyawa kimia seperti yang diinginkan,

Di dalam novel “Kitchen” bagian pertama, terdapat 35 partikel “ga” yang termasuk dalam klasifikasi kakujoshi, 1 partikel “ga” yang termasuk klasifikasi

orangtua mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dari tenaga kesehatan, perawat memperkenalkan anggota timnya yang merawat bayinya, menjelaskan apa yang menjadi

Pada Gambar 6a menunjukkan bahwa dalam simulasi ETAP nilai tegangan disisi sumber dari penyulang Cengkong Abang setelah dilakukan rekonfigurasi dengan penyulang

Wardiyanta, Metode Penelitian Pariwisata, Andi, Yogyakarta, 2006, hlm.. menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan memanfaatkan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh pada pengungkapan tanggung jawab sosial di