• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP KIMIA DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMAN 3 DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP KIMIA DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMAN 3 DENPASAR"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP KIMIA DAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KREATIF SISWA SMAN 3 DENPASAR

Oleh:

Anak Agung Sri Sugiarti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui perbedaan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, (2) mengetahui perbedaan pemahaman konsep kimia siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STAD, dan (3) mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model kooperatif STAD.

Penelitian ini menggunakan rancangan Post-Test Only Control Group Design. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara group random sampling dengan jumlah sampel 4 kelas.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe GI, yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikenakan pada kelompok kontrol. Sedangkan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif dalam penelitian ini berperan sebagai variabel terikat. Data yang telah dikumpulkan dianalisa menggunakan teknik analisis deskriptif dan statistik MANOVA dilanjutkan dengan uji LSD.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD (2) terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD (X A1Y1 = 74,592 >

X A2Y1 = 61,776), dan (3) terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara

kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD (X A1Y2 = 74,758 >

X A2Y2 = 67,650).

Berdasarkan temuan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran mempengaruhi peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam mata pelajaran Kimia pada siswa SMAN 3 Denpasar.

Kata-kata kunci: model pembelajaran kooperatfif GI, pehaman konsep kimia, dan kemampuan berpikir kreatif siswa.

(2)

THE EFFECT OF IMPLEMENTATION GI COOPERATIVE LEARNING MODEL TOWARDS THE CHEMISTRY CONCEPT COMPREHENSION AND CREATIVE THINKING CAPABILITY OF SMAN 3 DENPASAR'S STUDENTS

By:

Anak Agung Sri Sugiarti

ABSTRACT

The purposes of these study were: (1) to know the difference on chemistry concept comprehension and student's creative thinking capability between the group of students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD cooperative learning model, (2) to know the difference on student's chemistry concept comprehension between the group of students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD learning model, and (3) to know the difference on student's creative thinking capability between the group of students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD cooperative learning model.

These studies used Post-Test Control Group Design. Sampling technique in this study was group random sampling technique with the samples of 4 classes.

Independent variable in this study were GI cooperative learning model which imposed on experiment group and STAD cooperative learning model which imposed on control group, while chemistry concept comprehension and creative thinking capability have a role as dependent variable in this study. Data which had been collected anallited by descriptive analysis and MANOVA statistic, followed by LSD test.

Data analysis results showed that: (1) there is differences on concept comprehensive and creative thinking capability between the group of students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD cooperative learning model, (2) there is differences on concept comprehension between the group of students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD cooperative learning model (XA1Y1 = 74,592 >

XA2Y1 = 61,776), and (3) there is difference on creative thinking between the group of

students who study using GI cooperative learning model and the group of students who study using STAD cooperative learning model (XA1Y2 = 74,75 8 > XA2Y2 = 67,650).

Based on the result of this study, can be concluded that learning model affects on concept comprehensive improvement and student's creative thinking capability on chemistry lesson on the students of SMAN 3 Denpasar.

Keywords: GI and STAD cooperative learning model, chemistry concept comprehension, and student's creative thinking capability

I. PENDAHULUAN

Pada era globalisasi sekarang ini kejayaan, keharmonisan, dan kesejahteraan masyarakat suatu negara ditentukan oleh pemikiran kritis dan kreatif berupa: penemuan-penemuan

baru, gagasan atau ide-ide baru, dan teknologi baru dari masyarakat. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat cepat dan pesat, sehingga menuntut adanya peningkatan Sumber

(3)

Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan bernalar tinggi. Peningkatan Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan salah satu tugas utama dalam bidang pendidikan. Sehingga lembaga pendidikan bertugas untuk melahirkan dan menumbuhkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, berinisiatif, dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan IPTEK (Suastra, 2006). Hal ini bertujuan agar taraf kehidupan masyarakat dapat meningkat seiring berkembangnya zaman.

Pendidikan IPA merupakan salah satu pendidikan yang berpotensi memainkan peranan strategis dalam kemajuan dan perkembangan IPTEK. Saat ini, cara belajar siswa lebih cenderung menghafal pengetahuan hanya untuk mendapatkan nilai tes yang tinggi. Padahal dalam proses pembelajaran pendidikan IPA, pemahaman konsep jauh lebih penting. Permasalahan penting yang dihadapi oleh dunia pendidikan sampai saat ini adalah bagaimana mengupayakan membangun pemahaman (Brooks & Brooks, 1993) dan memberdayakan kemampuan berpikir (Gagne, 1980; Krulik & Rudnick, 1995).

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan IPA. Beberapa upaya yang telah dilakukan adalah (1) meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan, seperti penyediaan buku paket, bantuan alat & bahan percobaan, dan bantuan operasional siswa, (2) peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui penataran dan pelatihan serta seminar, Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan program kemitraan antar sekolah dengan lembaga kependidikan, (3) perbaikan & pengembangan kurikulum, yang salah satunya adalah perubahan kurikulum dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta program-program pemerintah yang lain yang menunjang peningkatan mutu pendidikan. Usaha-usaha tersebut telah dilakukan secara berkala dan intensif, tetapi permasalahan tersebut belum sepenuhnya terpecahkan. Dengan kata lain, masih tetap diperlukan usaha-usaha yang lebih inovatif untuk pelaksanaan reformasi pendidikan.

Hal ini tampak dari berbagai indikator yang menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas proses dan

(4)

produk pembelajaran IPA kita masih jauh dari harapan (Wartawan, 2006). Kualitas proses pembelajaran IPA dewasa ini pelaksanaannya tidak lebih sebagai kegiatan pembelajaran yang bersifat reguler yang menitik beratkan pada target pencapaian materi dalam kurikulum. Sedangkan kualitas produk pembelajaran IPA dapat dilihat dari nilai ulangan harian, nilai tes tengah semester dan nilai tes akhir semester.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap guru-guru IPA salah satunya mata pelajaran kimia di SMAN 3 Denpasar, pada umumnya mereka menyampaikan materi pelajaran dalam bentuk presentasi. Kemudian guru memberikan tes atau kuis yang berkaitan dengan materi tersebut kepada siswa secara individu tetapi dikerjakan berkelompok. Pada akhir proses pembelajaran, guru memberikan nilai pada tes yang sudah dikerjakan oleh siswa dengan batas waktu tertentu. Model pembelajaran seperti ini cenderung mendekati model pembelajaran kooperatif STAD.

Model pemebelajaran kooperatif STAD merupakan model pembelajaran yang menekankan berbagai ciri pembelajaran langsung, yang didasarkan pada prinsip bahwa

masing-masing siswa bekerja bersama-sama dalam belajar dan bertanggungjawab terhadap belajar teman-temannya dalam tim dan juga dirinya sendiri. Model pembelajaran STAD menempatkan siswa dalam kelompok belajar yang heterogen dalam hal tingkat prestasi akademik, jenis kelamin dan suku. Guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD selain mengacu kepada belajar kelompok siswa, juga menyajikan informasi akademik baru setiap minggu dengan menggunakan presentasi kelas.

Menurut Slavin (1995) terdapat lima tahapan dalam belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD. Tahapan tersebut yaitu: tahap menyajikan materi pelajaran (presentasi kelas), tahapan belajar kelompok, tahapan menguji kinerja individu, tahapan penskoran peningkatan individu, dan tahapan mengukur kinerja kelompok. Slavin (1995) juga memaparkan bahwa dengan pembelajaran STAD disamping mengubah norma yang berhubungan dengan peningkatan hasil belajar, juga memberikan keuntungan kepada siswa kelompok bawah maupun siswa kelompok atas yang bekerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.

(5)

Hal tersebut merupakan kelebihan model pembelajaran kooperatif STAD, namun model pembelajaran ini juga memiliki kekurangan yaitu peran guru yang masih mendominasi dalam proses pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari tahap awal yaitu penyajian materi sampai tahap akhir yaitu mengukur kinerja kelompok.

Model pembelajaran seperti ini belum sesuai dengan standar proses seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah dalam Standar proses menurut PP Nomor 19 Tahun 2005, yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal ini berarti bahwa pembelajaran yang didesain oleh guru harus berorientasi kepada aktivitas siswa sehingga dapat berpengaruh pada tingkat pemahaman masing-masing siswa yang dapat meningkatkan perkembangan bakat dan kreativitas siswa.

Terkait dengan pelaksanaan reformasi pendidikan, Gardner (1999) menyampaikan bahwa tujuan umum pendidikan seharusnya diarahkan pada pencapaian pemahaman untuk penguasaan berbagai bidang disiplin. Pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan transformasi ilmu pengetahuan (Gardner, 1999). Dalam beberapa taksonomi pembelajaran, pemahaman menduduki posisi pada tingkatan kognitif yang berbeda. Berdasarkan taksonomi Gagne, pemahaman berada pada level informasi verbal (verbal information), menurut taksonomi Bloom pada level comprehension, menurut taksonomi Anderson pada level pengetahuan deklaratif (declarative knowlwdge), berdasarkan taksonomi Merrill pada level remember paraphrased, dan menurut taksonomi Reigeluth pada level memahami hubungan-hubungan (understand relationship) (Reigeluth & Moore, 1999). Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa pemahaman memerlukan prasyarat pengetahuan pada level yang lebih rendah dan merupakan prasyarat untuk meraih pengetahuan pada level yang lebih tinggi seperti penerapan, analisis,

(6)

sintesis, evaluasi, wawasan, dan kebijakan seseorang.

Berdasarkan deskripsi tersebut, maka pemahaman dalam pembelajaran IPA dimaksudkan sebagai kemampuan untuk: (1) mengingat dan mengulang konsep, prinsip, dan prosedur, (2) mengidentifikasi dan memilih konsep, prinsip, dan prosedur, (3) menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur. Ketiga dimensi pemahaman dalam penelitian ini merupakan kemampuan berpikir dasar (basic thinking skill) dalam tangga kemampuan berpikir (Krulik & Rudnick, 1995). Pemahaman adalah basic thinking skill yang merupakan dasar untuk pencapaian kemampuan berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kreatif adalah proses terorganisasi yang melibatkan proses mental yang menyangkut di dalamnya pemecahan masalah, pengambilan keputusan, menganalisis, dan aktivitas inkuiri ilmiah (Ennis, 1985). Berpikir kreatif menggunakan dasar menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi. Pola berpikir ini mengembangkan penalaran yang kohesif, logis, dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan (Ennis, 1985). Orang yang memiliki kemampuan berpikir

kreatif akan dapat bertindak secara normatif, siap bernalar tentang sesuatu yang dilihat, dengan atau pikirkan serta mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya (Redhana, 2003). Menurut Santyasa (2006), ciri-ciri orang yang memiliki kompetensi berpikir kritis dan kreatif adalah cermat, suka mengklasifikasi, terbuka, emosi stabil, segera mengambil langkah-langkah ketika situasi membutuhkan, suka menuntut, menghargai perasaan dan pendapat orang lain sehingga orang yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan selalu siap mengembangkan atau menemukan ide/hasil yang asli, estetis, konstruktif, khususnya dalam menggunakan informasi dan bahan untuk memunculkan atau menjelaskannya dengan perspektif asli pemikir.

Suastra (2006) mengemukakan terdapat berbagai keuntungan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pembelajaran IPA yaitu: (1) siswa memiliki kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, (2) kemampuan berpikir kreatif akan memberikan kepuasaan tersendiri pada individu artinya dalam proses pembelajaran siswa cenderung

(7)

bertambah semangat dan bergairah untuk belajar, (3) kemampuan berpikir kreatif melibatkan metakognisi meliputi kemampuan-kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajarnya, keberhasilan pencapainnya, dan memilih alternatif-alternatif mencapai tujuan itu, (4) kemampuan berpikir kreatif memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Jika sasaran pembelajaran yaitu siswa dapat memiliki pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif tidak tercapai, maka dapat menimbulkan salah pemahaman (misunderstanding) atau miskonsepsi (misconception) di kalangan siswa. Kompleksitas miskonsepsi siswa merupakan indikator bahwa proses pembelajaran IPA terutama di SMA secara umum belum optimal. Hal ini cukup menunjukkan bahwa secara umum pembelajaran IPA SMA seharusnya lebih memfokuskan pada aktivitas siswa untuk memahami konsep materi pelajaran dan dapat memberdayagunakan kemampuan berpikirnya. Dominasi peran guru dalam proses pembelajaran diduga dapat mempersempit ruang aktivitas dan kreativitas siswa. Dilihat dari masalah ini, maka perlu dilakukan

perubahan pada model pembelajaran IPA di SMAN 3 Denpasar.

Carin Sund (1975) menyarankan bahwa dalam belajar IPA agar diarahkan pada pemberian kesempatan kepada siswa secara aktif memperoleh pengetahuan, keterampilan berpikir, apresiasi dan pengertian tentang materi subyek (subject matter). Pendapat ini juga didukung oleh Marzano et.al. (1998) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan pemikir-pemikir yang matang yang dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Untuk itu strategi belajar hendaknya ditujukan kepada student centered. Dengan kata lain, siswa terlibat sepenuhnya pada proses pembelajaran. Dilihat dari pendapat tersebut model pembelajaran IPA sebaiknya mengalami perubahan dari model pembelajaran IPA yang peran gurunya lebih mendominasi menuju model pembelajaran IPA yang berorientasi pada pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif dimana siswa sebagai pusat dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran yang dalam prosesnya tidak melibatkan peran guru secara dominan berarti model pembelajaran tersebut berorientasi pada

(8)

aktivitas siswa dimana siswa harus bertanggungjawab atas kemampuan dan pemahaman yang dimilikinya masing-masing. Tetapi, hal ini memiliki kelemahan yaitu dapat memicu persaingan antar siswa yang berdampak menimbulkan rasa cemas yang justru bisa merusak motivasi dan menciptakan suasana permusuhan di kelas. Agar kelemahan tersebut tidak tercapai, maka dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa bekerja sama untuk memahami dan memecahkan suatu masalah. Solusi ini dapat kita peroleh dari model pembelajaran kooperatif.

Beberapa kelebihan belajar kooperatif diantaranya, para siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan masalah, menentukan strategi pemecahannya, dan menghubungkan masalah tersebut dengan masalah-masalah lain yang telah dapat diselesaikan sebelumnya. Belajar dalam kelompok kooperatif dapat melatih siswa untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat atau temuan-temuan tersebut dalam bentuk tulisan. Selain itu, pembelajaran koperatif juga dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif terhadap pelajaran IPA.

Menurut Slavin (1995) ada enam model pembelajaran kooperatif yaitu, (1) Divisi Tim Siswa Berprestasi (STAD), (2) Tim Turnamen Bermain (TGT), (3) Tim Individuasi Berbantuan, (4) Gergaji Silang (Jigsaw), (5) Belajar Bersama (Learning Together), dan (6) Investigasi Kelompok (GI).

Tahapan model pembelajaran kooperatif STAD sebagian besar sudah diterapkan dalam proses pembelajaran di SMAN 3 Denpasar, tetapi belum mencapai hasil yang optimal karena meskipun model pembelajaran ini bersifat kooperatif tetapi dalam tahapannya masih terdapat peran guru yang lebih dominan.

Model pembelajaran kooperatif TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement tetapi dalam pembelajaran TGT nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai indiviual siswa. Dengan demikian guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.

(9)

Tim Individuasi Berbantuan merupakan kombinasi antara belajar secara kooperatif dengan belajar secara individual. Siswa tetap dikelompokkan tetapi siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing. Masing-masing anggota kelompok saling membantu dan mengecek.

Model pembelajaran Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Materi akademik disajikan dalam bentuk teks dan setiap siswa bertanggung jawab atas penugasan materi belajar dan mampu mengajarkan bagian materi tersebut pada anggota tim lain. Kendala dalam model pembelajaran ini adalah jika terdapat perbedaan persepsi dalam memahami suatu konsep yang akan didiskusikan bersama dengan siswa lain.

Model pembelajaran yang kelima yaitu belajar bersama. Anggota kelompok bersifat heterogen dan menyelesaikan sebuah masalah secara bersama dan bila berhasil mereka memperoleh ganjaran positif secara kelompok.

Model koperatif GI merupakan model pembelajaran kooperatif yang mengkombinasikan dinamika proses demokrasi dengan proses inkuiri akademik (Yasa, 2007). Kelas dibuat sebagai miniatur demokrasi yang menghadapi masalah, dan melalui pemecahan masalah siswa memperoleh pengetahuan dan juga menjadi kelompok sosial yang lebih efektif. Dalam model kooperatif GI siswa dikelompokkan secara heterogen berdasarkan jenis kelamin, kemampuan akademik, dan etnik. Model kooperatif GI meletakkan dasar pada psikologi pendidikan John Dewey, yang mana dia percaya bahwa para siswa akan mengalami pembelajaran bermakna jika mereka mampu menunjukkan langkah-langkah penyelidikan ilmiah (Tsoi et.al., 2004).

Dalam proses pembelajaran dengan model kooperatif GI siswa diberikan memilih topik untuk diselidiki dan melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap topik yang dipilih. Selanjutnya siswa menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. Penerapan tahapan model pembelajaran kooperatif GI pada pelajaran IPA dapat memunculkan keterampilan proses IPA secara optimal,

(10)

sehingga siswa dapat mengetahui bagaimana proses penemuan dan pengetahuan yang dimilikinya serta bagaimana cara berinvestigasi dan cara berpikir dalam belajar (Suma, 2004). Menurut Slavin (1995), terdapat enam tahap dalam menerapkan model pembelajaaran kooperatif GI yaitu (1) tahap grouping, (2), tahap planning, (3) tahap investigation, (4) tahap organizing, (5) tahap presenting, dan (6) tahap evaluating.

Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini akan berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dari keenam model pembelajaran tersebut hanya STAD dan GI yang dalam penerapannya terdapat tahap evaluasi berupa penilaian siswa secara individu sehingga guru dapat mengetahui tingkat pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif masing-masing siswa. Sedangkan empat model pembelajaran lainnya yaitu Tim Turnamen Bermain (TGT), Tim Individuasi Berbantuan, Gergaji Silang (Jigsaw), dan Belajar Bersama (Learning Together) tidak terdapat tahap penilaian di akhir proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini model pembelajaran

kooperatif yang diimplementasikan adalah model Student Teams-Achievment Division (STAD) dan model Group Investigation (GI), dimana model STAD sebagai kontrol terhadap model GI. Hal ini karena model STAD pada umumnya sudah diterapkan di SMAN 3 Denpasar. Model GI digunakan sebagai solusi karena berpeluang dalam menyelesaikan masalah yang ada dan belum diterapkan di SMAN 3 Denpasar.

Model pembelajaran STAD memiliki tahapan yang berbeda dengan model pembelajaran GI. Model pembelajaran yang berbeda dan setting pembelajaran kooperatif yang berbeda, yang memiliki karakteristik teoritik dan langkah-langkah pembelajaran yang berbeda, diduga akan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar

(11)

dengan model pembelajaran kooperatif STAD?, (2) Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep kimia siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD?, dan (3) Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD?

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diungkapkan, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui perbedaan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, (2) Mengetahui perbedaan pemahaman konsep kimia siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STAD, dan (3) Mengetahui perbedaan kemampuan

berpikir kreatif siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD.

II. METODE PENELITIAN

Mengacu pada permasalahan yang dirumuskan, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, mengingat tidak semua variabel (gejala yang muncul) dan kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat. Maka penelitian ini dikatagorikan penelitian semu (quasi eksperimen). Desain ini dipilih karena eksperimen dilakukan di beberapa kelas tertentu dengan siswa yang telah ada atau sebagaimana adanya. Peneliti tidak mungkin mengubah kelas dalam menentukan kelas eksperimen dan kontrol. Dalam menentukan kedua kelompok ini dilakukan secara random terhadap kelas yang ada.

Desain penelitian yang digunakan adalah post-test only control group design. Penggunaan tes awal (pra-tes) akan dapat mempengaruhi hasil akhir (post-tes). Kelas yang mengikuti tes awal kemungkinan dapat mengenali model dan materi tes sehingga menjadi lebih responsif terhadap materi pelajaran. Untuk menghindari pengaruh

(12)

tersebut dalam penelitian ini tes awal (pra-tes) tidak diadakan.

Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 3 Denpasar semester genap tahun ajaran 2011/2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua kelas XI IPA SMAN 3 Denpasar yang berjumlah 6 kelas yang terdiri dari kelas XI IPA1 = 38 orang, kelas XI IPA2 = 38 orang, kelas XI IPA3 = 38 orang, XI IPA4 = 38 orang, kelas XI IPA5 = 38 orang, dan kelas XI IPA6 = 38 orang. Dalam penelitian ini, sampel diambil dengan cara group random sampling yakni teknik pengambilan sampel karena individu dalam populasi telah terdistribusi dalam kelas sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu dalam populasi. Dari 6 kelas yang ada, untuk menentukan sampel penelitian semua kelas dirandom sehingga mendapatkan 4 kelas sebagai sampel penelitian yakni 2 kelas yang memperoleh pembelajaran GI yaitu kelas XI IPA3 dan XI IPA5 dan 2 kelas lagi yang memperoleh pembelajaran dengan STAD yaitu kelas XI IPA1 dan XI IPA2.

Tahapan-tahapan dalam penelitian ini terdiri atas tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir eksperimen.

Pada tahap persiapan langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Menetapkan tempat, waktu, dan populasi, (2) Mengadakan diskusi dan konsultasi dengan guru pengajar mata pelajaran kimia di kelas yang bersangkutan untuk mendapatkan data tentang kelas-kelas tersebut, dan (3) Menyusun dan merancang perangkat pembelajaran, yang terdiri atas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS) tentang pokok bahasan Kesetimbangan Ion dalam Larutan yang mendukung pembelajaran kooperatif GI dan STAD, serta menyusun tes pemahaman konsep dan tes kemampuan berpikir kreatif yang kemudian diuji coba agar layak dalam penelitian.

Pada tahap pelaksanaan masing-masing kelompok belajar yaitu kelompok eksperimen mendapatkan pembelajaran kooperatif GI dan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran kooperatif STAD.

Pada tahap akhir eksperimen langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Mengadakan post-test (tes akhir) pada pada masing-masing kelompok belajar untuk mengidentifikasi pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif yang

(13)

telah dicapai oleh siswa, dan (2) Menganalisis data pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Dalam penelitian ini terdapat dua data yang dikumpulkan yaitu; (1) data tes pemahaman konsep kimia dan (2) data tes kemampuan berpikir kreatif siswa. Tes pemahaman konsep kimia dibuat dan dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan persetujuan ahli, sedangkan tes kemampuan berpikir kreatif siswa di luar konten, yang diadaptasi dari Munandar (1999). Tes pemahaman konsep kimia dan tes kemampuan berpikir kreatif siswa diberikan setelah pembelajaran.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dengan metode analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis multivariant (MANOVA). Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif, sedangkan MANOVA digunakan untuk menguji hipotesis.

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis dan menjabarkan tingkat pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif. Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan skor rata-rata dan simpangan baku. Skor

rata-rata dan simpangan baku yang dideskripsikan adalah skor rata-rata dan simpangan baku yang diperoleh dari hasil post-test pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif.

Sebelum melakukan analisis, data yang diperoleh harus memenuhi asumsi dasar atau dilakukan uji persyaratan. Uji persyaratan yang dilakukan adalah uji normalitas sebaran data, uji homogenitas varians, dan uji kolinieritas.

Setelah dilakukan uji prasyarat, langkah selanjutnya adalah melakukan uji hipotesis yang merupakan suatu pernyataan tentang probabilitas dari suatu distribusi populasi yang mungkin saja dalam pengamatan dapat betul atau mungkin juga salah (Samsubar, 2001). Dalam penelitian ini hipotesis sepenuhnya diuji dengan uji F (dari hipotesis 1 sampai hipotesis 3) melalui uji manova untuk pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif. Dalam menganalisis data digunakan bantuan program computer yakni program SPSS-PC 15.00 for windows.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hipotesis nul yang pertama berbunyi “tidak terdapat perbedaan

(14)

pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD”. Berdasarkan hasil analisis MANOVA menunjukkan bahwa harga Fhitung untuk

Pillai's Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, dan Roy's Largest Root lebih kecil dari 0,05. Artinya semua nilai Pillai's Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, dan Roy's Largest Root signifikan. Jadi, hipotesis nul yang berbunyi tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, ditolak. Dengan demikian, terdapat perbedaan pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD.

Hipotesis nul yang kedua berbunyi “tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model

pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD”. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan bantuan program SPSS 15.00 for windows diperoleh nilai F = 49,000 dan Sig = 0,000 Ini berarti bahwa nilai sig F lebih kecil dari 0,05. Itu berarti pula bahwa hipotesis H0 yang

menyatakan tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD.

Hipotesis nul yang ketiga berbunyi “tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD”.

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan bantuan program SPSS 15.00 for windows diperoleh nilai

(15)

F = 16,891 dan Sig = 0,000 (hasil selengkapnya lihat pada Lampiran 13). Ini berarti nilai sig F lebih kecil dari 0,05. Itu berarti pula bahwa hipotesis H0 yang menyatakan tidak terdapat

perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD.

Pembahasan hasil penelitian yang dipaparkan pada bagian ini adalah hasil-hasil analisis deskriptif dan analisis statistik yang meliputi variabel-variabel bebas yaitu model pembelajaran yang merupakan variabel perlakuan dan pemahaman konsep serta kemampuan berpikir kreatif sebagai variabel terikat. Pembahasan untuk analisis statistik terfokus pada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian, bahwa

pembelajaran yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe GI dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Ini dapat dilihat dari hasil analisis MANOVA untuk pemahaman konsep kimia yakni F = 49,000 dan Sig = 0.000. Data ini menunjukkan bahwa F hitung > F tabel. Hal ini berarti bahwa hipotesis Ho(1) ditolak atau Ha(1) diterima sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD. Rata-rata pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe GI adalah 74,592 lebih tinggi dari rata-rata pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu 61,776.

Sedangkan untuk variabel kemampuan berpikir kreatif, hasil analisis data menggunakan F-test

(16)

dengan bantuan program SPSS 15 for windows diperoleh nilai F = 16,891 dan Sig = 0,000. Data ini menunjukkan bahwa F hitung > F tabel. Ini berarti bahwa hipotesis Ho ditolak atau H1 diterima sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan kemampuann berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD. Rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe GI adalah 74,758 lebih tinggi dari rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu 67,650.

Berdasarkan hasil di atas menunjukkan secara keseluruhan bahwa pemahaman konsep maupun kemampuan berpikir kreatif kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe GI lebih tinggi dari kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe STAD. Temuan ini juga membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe GI dalam pembelajaran Kimia dapat meningkatkan pemahaman konsep dan

kemampuan berpikir kreatif siswa SMAN 3 Denpasar.

Temuan penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya, Sutama (2007), Luluk Muhibbah (2009), Tri Heriyanto (2009), Santyasa (2009), yang menyatakan, bahwa strategi kooperatif GI dan STAD memberikan dampak yang berbeda secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis, di mana tipe GI lebih efektif digunakan untuk pencapaian kemampuan berpikir kritis dan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar.

Model pembelajaran kooperatif tipe GI adalah suatu model pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan bersifat tidak tetap; (4) aktifitas belajar sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) belajar saling memahami satu sama lain; (6) belajar tentang dunia nyata, (7) mengutamakan keterlibatan higher order thinking; (8) siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya; (9) pertanyaan-pertanyaan bersifat terbuka; dan (10) learning how to learn.

(17)

Slavin (1995), model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki lima komponen utama yaitu: presentasi, kerja kelompok, tes kecil (kuis), menentukan skor kemajuan individu dan penghargaan team. Model pembelajaran kooperatif tipe GI merupakan pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil dimana

siswa yang bekerjasama

mengoptimalkan ketertiban dirinya sebagai anggota kelompok dalam belajar. Dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerjasama untuk memecahkan suatu permasalahan melalui interaksi sosial dengan teman-temannya (Lie, 2005).

Pembelajaran kooperatif bertujuan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik serta bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa antara lain: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok. Banyak ahli yang berpendapat bahwa model kooperatif unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit (Jihad, 2008).

Belajar dalam kelompok kooperatif, siswa akan melakukan

diskusi aktif dengan temannya sehingga siswa akan terlatih untuk berargumentasi dan mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat-pendapat tersebut Pada pembelajaran kimia melalui model pembelajaran kooperatif tipe GI siswa didorong untuk belajar lebih aktif yaitu selalu berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dengan demikian proses pembelajaran menjadi sesuatu yang bermakna dan mereka terlatih untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuannya sehingga pengalaman belajar dan pengetahuan yang didapatkan tertanam untuk jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran kimia yang menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Dalam penelitian ini diduga hal itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif antara siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe GI dan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

(18)

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santyasa (2009) yang menyatakan bahwa strategi kooperatif GI memberikan pengaruh yang lebih baik

dalam pemahaman konsep

dibandingkan dengan strategi kooperatif STAD. Pada situasi yang lain penelitian Arnyana (2004) menyatakan bahwa strategi kooperatif GI memberikan pengaruh yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan strategi kooperatif STAD.

Walaupun penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya namun terdapat beberapa pertanyaan yang memerlukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan kemampuan pemahaman konsep yang dicapai oleh siswa.

Dilihat dari teorinya, model pembelajaran kooperatif tipe GI dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD masing-masing menggunakan landasan konseptual yang berbeda. Model kooperatif GI berakar pada filosofis John Dewey dan model pembelajaran kooperatif STAD dikonsepsikan menurut perspektif behavioristik (Jacobs et.al., 1996, dalam Yasa, 2007).

Konsepsi John Dewey tentang GI, bahwa (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan bersifat tidak tetap; (4) aktifitas belajar sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) belajar saling memahami satu sama lain; (6) belajar tentang dunia nyata; (7) mengutamakan keterlibatan higher order thinking; (8) siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya; (9) pertanyaan-pertanyaan bersifat terbuka; dan (10) learning how to learn.

Berdasarkan konsepsi tersebut langkah-langkah pembelajaran dengan strategi GI adalah (1) siswa belajar dalam kelompok 4-5 orang, (2) siswa membaca, eksperimen, dan mendiskusikan tugas dalam kelompok, (3) siswa menulis laporannya sendiri-sendiri, (4) kelompok tertentu mempresentasikan hasil diskusinya sementara siswa-siswa dalam kelompok lain bertanya, menanggapi, merevisi laporannya, (5) masing masing siswa dalam kelompok melaporkan secara tertulis laporan hasil diskusinya, dan (6) skor tugas diumumkan sebelum pembelajaran berikutnya.

Model pembelajaran kooperatif STAD memiliki landasan konseptual

(19)

menurut psikologi behavioristik (Jacobs et.al., 1996 dalam Santyasa 2009), bahwa (1) lebih menekankan motivasi ekstrinsik, (2) tugas-tugas pada tataran kognitif rendah, (3) memandang semua siswa secara seragam, (4) kemampuan pemecahan masalah diukur secara tes obyektif, (5) berorientasi pada hasil, (6) guru memutuskan apa yang akan dipelajari siswa dan memeberikan informasi untuk dipelajari pula oleh siswa.

Berdasarkan konsepsi teoretik tersebut, langkah-langkah pembelajaran dalam strategi STAD adalah (1) sebelum siswa belajar dalam kelompok, guru menjelaskan ringkasan materi pelajaran, (2) guru menugaskan siswa belajar dalam kelompok 5-6 orang, (3) siswa membaca dan berdiskusi dalam kelompok, (4) satu orang siswa dalam kelompok bertugas menulis laporan, (5) masing-masing kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusinya secara tertulis, (6) pada akhir pembelajaran siswa diberikan kuis, dan (7) skor tugas dan skor kuis diumumkan sebelum pembelajaran berikutnya.

Secara teoretik dan operasional empirik terhadap kedua model pembelajaran kooperatif tersebut,

tampak bahwa kedua model pembelajaran kooperatif menyediakan fasilitas untuk pencapaian learning to know, learning to do, learning to be, dan leraning to life together. Komponen pertama (knowing), komponen kedua (doing), dan komponen ketiga (becoming), strategi GI memiliki porsi lebih banyak dibandingkan dengan strategi STAD. Namun, komponen keempat (living together) akan diperoleh pada porsi yang sama pada kedua model. Di samping itu, strategi STAD masih mentoleransi paradigma transmisi pengetahuan oleh guru di awal pembelajaran. Hal ini akan mempengaruhi persepsi siswa, bahwa belajar tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka, tetapi sebagian merupakan tanggung jawab guru. Persepsi ini akan mempengaruhi berkurangnya upaya siswa untuk bekerja (doing) dan untuk tahu (knowing). Oleh sebab itu, strategi STAD memberikan peluang yang relatif sedikit untuk terjadinya belajar bermakana dibandingkan dengan strategi GI.

IV. PENUTUP

Penelitian ini, terfokus pada model pembelajaran kooperatif GI dan

(20)

model pembelajaran kooperatif STAD ditinjau dari pemahaman konsep kimia dan kemampuan berpikir kreatif siswa di SMA Negeri 3 Denpasar. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD, dimana kooperatif GI memberikan hasil yang lebih baik.

2. Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD (X A1Y1 = 74,592 > X A2Y1 =

61,776), dimana kooperatif GI memberikan hasil yang lebih baik. 3. Terdapat perbedaan kemampuan

berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif GI dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif STAD (X A1Y2 = 74,758

> XA2Y2 = 67,650), dimana

kooperatif GI memberikan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas, dan dalam upaya untuk mengoptimalkan hasil belajar kimia pada siswa dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

1. Guru hendaknya menggunakan model pembelajaran kooperatif GI dalam mengajar mata pelajaran, khususnya mata pelajaran Kimia untuk dapat memahami konsep yang mendalam dan meningkatkan kreativitas siswa mengingat dalam pembelajaran kooperatif GI siswa dituntut untuk belajar secara kolaboratif, berpikir kritis, dan berpikir analisis.

2. Dalam pembelajaran, guru hendaknya menyuruh siswa untuk mencari masalahnya sendiri sehingga siswa lebih terfokus dan termotivasi untuk menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan sendiri, yang pada gilirannya dapat meningkatkan konsep dan mengembangkan daya kreativitas siswa.

3. Dalam menerapkan pembelajaran GI guru hendaknya mendorong

(21)

siswa agar mau bekerja secara berkolaboratif karena bagaimanapun juga pemikiran orang banyak akan lebih baik daripada pemikiran secara individual.

4. Keterlibatan sekolah sebagai penyedia sarana dan prasarana sangat menunjang berkembangnya wawasan dan kemampuan siswa dalam menuangkan gagasan-gagasan kreatif yang selama ini terpendam.

5. Bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan misi untuk mendidik calon-calon guru mata pelajaran kimia, hendaknya secara terus-menerus memperkenalkan dan melatih siswa untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe GI dalam memahami materi kimia.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks & Brooks, 1993. In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classrooms. Alexandria, VA: Association of Supervision and Curriculum Development.

Carin, A.A., Sund RB. 1975. Teaching Science Through Discovery. Colombus Ohio: CE Merrill.

Ennis, R.H. 1985. A Logical Basis for Measuring Critical Thinking Skills. Pacific Grove, CA: Midwest Publications.

Gardner, Howard. 1999. Intelligence Reframed: Multiple intelligences for the 21st Century, New York: Basic Books.

Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan Historis). Bandung: Multi Pressindo.

Krulik, S. and Jesse A. Rudnick. 1995. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Boston: Allyn & Bacon.

Lie, Anita. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Marzano, R.J et al.1988. Dimension of Thinking A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandra, Virginia: Assosiation for Supervisions and CurriculumDevelopment (ASCD). Munandar, Utami. 1999. Kreativitas Dan Keberbakatan: Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif Dan Bakat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Redhana, W. 2003. “Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Koperatif dengan Strategi Pemecahan Masalah” (halaman 11-23). Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

(22)

Samsubar, Saleh. 2001. Statistik induktif, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Santyasa, I W. 2006. Metodelogi Penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran (PPKP): Research for Instructional Improvement (RII). Makalah IKIP Negeri Singaraja. Disajikan dalam Pelatihan para Dosen Universitas Pendidikan Ganesha tentang Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi tanggal 2 November 2006 di Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Reasearch, and Practice 2nd Edition. Boston: Alyin and Bacon.

Suastra, I W. 2006. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif Melalui Pembelajaran Sains. Jurnal IKA (23-26).

Suma, K. 2003. Pengembangan Proses Berpikir dan Keterampilan Problem Solving dalam Pembelajaran Sains (Fisika dan Kimia). Dalam: Makalah IKIP Negeri Singaraja. Seminar Guru-guru Sains (Fisika dan Kimia) se Bali Serangkaian dengan HUT Jurusan Pendidikan Sains (Fisika dan Kimia).

Tsoi, M. F. dkk. 2004. Using group Investigation for Chemistry in Teacher Education. Science and Technology Education Academic Group Nation Institute of

Education. Singapore: Nanyang Technological Universitas.

Wartawan, P. G. 2006. “Implementasi Strategi Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Sains (Fisika dan Kimia) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar Siswa” (halaman 69-78). Jurnal IKA Universitas Pendidikan Ganesha, November 2006.

Yasa, P. 2007. Inovasi Model Belajar Sains untuk Menunjang Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam: Makalah Undiksha. Seminar Jurusan Pendidikan Sains (Fisika dan Kimia), Undiksha (11 Oktober 2007). Singaraja: Undiksha Singaraja.

(23)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

GI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP KIMIA DAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KREATIF SISWA SMAN 3 DENPASAR

ARTIKEL

Oleh :

ANAK AGUNG SRI SUGIARTI NIM : 1029061002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

JULI 2012

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data Kejahatan Pengguguran Kandungan atau Abortus Provocatus Criminalis yang telah dikemukakan oleh penulis sebelumya, kita dapat melihat bahwa masih

Dalam melaksanakan kegiatan ini sangat dibutuhkan partisipasi dari pemerintah desa selaku tuan rumah, dan masyarakat sebagai peserta supaya program dapat berjalan

Interaksi sosial Majikan dan PRT baik yang asosiatif maupun yang disasosiatif sebagaimana dikemukakan oleh Soekamto, S (2004) adalah sebuah realitas dan penyebabnya diduga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut yang menjadi prioritas konsumen dalam membeli sayur diurutkan dari yang paling penting adalah ketersediaan produk, harga dan

Aktivitas belajar siswa dapat ditingkatkan melalui pendekatan kontekstual model Expanding Panel dalam Pembelajaran bahasa Indonesia Kelas 6 pada Kompetensi Dasar

XVDKD \DQJ FXNXS MDUDQJ XQWXN NDZDVDQ 6XUDED\D GDQ SHQJDODPDQ LQGXVWUL \DQJ EHUPDQIDDW 3RWHQVL \DQJ GLPLOLNL ROHK 6LQDU 6XU\D 3HODQJL VDQJDWODK WLQJJL GLNDUHQDNDQ NDODX 6LQDU

Permasalahan yang diakibatkan oleh gaya hidup biasanya mengalami perkembangan yang cepat seiring dengan perkembangan dari gaya hidup tersebut, begitu juga