• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dalam Konteks Negara Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dalam Konteks Negara Hukum"

Copied!
698
0
0

Teks penuh

(1)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

HUKUM

KONSTITUSI

IMPLIKASI AMANDEMEN UUD 1945

TERHADAP SISTEM KETATANEGARAAN

INDONESIA DALAM KONTEKS NEGARA

HUKUM

OLEH :

(2)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

PRAKATA

Puji Syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan sampai pada akhirnya berada ditangan pembaca seperti sekarang ini. Tulisan yang sedang saudara baca ini merupakan hasil revisi terhadap skripsi penulis untuk meraih gelar sarjana pendidikan (PPKn). Tentunya tulisan ini dapat terselesaikan, tidak lain dikarenakan belum adanya kesibukan, yang dapat digunakan untuk mengisi waktu luang di samping mengasah kembali kemampuan yang selama ini diperoleh di perguruan tinggi. Dengan adanya waktu luang yang tersedia tersebut, mungkin merupakan suatu kesempatan emas bagi penulis untuk belajar kembali dengan berusaha menulis hal-hal yang telah diketahui. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun di bangku kuliah, tidaklah banyak hal yang penulis ketahui berkaitan dengan apa yang nantinya disajikan dalam tulisan ini. Dengan demikian, tidak akan banyak yang mungkin dapat diberikan kepada pembaca, selain hanya sekedar mencoba untuk menyajikan sebuah tulisan singkat dengan segala kekurangan yang mungkin menyertainya kemudian.

Tujuan utama dari penyebarluasan tulisan ini, tidak lain semata-mata merupakan upaya penulis, dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang akademisi, yang sedikit banyaknya telah memperoleh sekedar pengetahuan berkenaan dengan tulisan ini. Dengan demikian, janganlah berharap terlalu banyak terhadap apa yang terdapat dalam tulisan ini. Karena disadari atau tidak, apa yang kemudian tertulis di sini hanyalah merupakan sebuah “ulangan” yang mungkin tidak bisa disampaikan secara utuh dan lugas. Sehingga bisa saja setelah saudara membacanya, mungkin nantinya banyak hal yang belum bisa untuk ditemukan apalagi hendak untuk dimanfaatkan dalam tulisan ini. Bahkan ada suatu tulisan yang mungkin merupakan kekeliruan penulis, untuk memahami apa yang sebenarnya hendak dimaksudkan untuk kemudian disampaikan kepada pembaca. Maksud dari tulisan ini tiada lain adalah, hanya untuk sekedar memberikan imformasi berkenaan dengan masalah apa saja yang dibahas dalam tulisan di bawah ini. Oleh karena itu, tidak akan ditemui pembahasan yang luas dan mendalam terkait dengan materi yang dipaparkan tersebut. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, penulis hanya mencoba untuk menghadirkan sebuah tulisan singkat dan sederhana, dengan menggunakan bahan-bahan serta materi kuliah yang dulunya didapat ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dalam kesempatan ini, patut penulis ucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Bapak Drs. I Wayan Ngabuk Astika, MSi (alm), walaupun menyadari dalam kondisi kesehatan yang kurang baik, namun dengan penuh semangat, dedikasi, keuletan

(3)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

serta kesabaran dan kebesaran hati beliau, untuk kemudian memberikan bimbingan dan bantuan, baik berupa nasehat, arahan sampai buku yang berhubungan dengan tulisan di bawah ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Untuk itulah, tulisan ini merupakan bentuk penghargaan penulis atas dedikasi beliau, terutama dalam pengabdiannya terhadap dunia pendidikan selama ini. Tidak lupa, juga ucapan terimakasih pernulis yang sebesar-besarnya serta penghargaan setinggi-tinggi terhadap orang-orang yang selama ini berjasa kepada penulis.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan permohonan maaf yang mendalam terhadap para pembaca. Tulisan ini hanyalah merupakan suatu percobaan sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan berpikir, serta mengamalkan ilmu yang penulis dapatkan selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan yang pastinya tersimpan dalam tulisan ini. Untuk itu tegur sapa dari pembaca sangat penulis harapkan, dalam upaya perbaikan-perbaikan yang dilakukan ke depannya

terhadap tulisan ini

.

Karangasem, September 2013

Penulis

(4)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

BAB I KONSTITUSI A. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi ... 1

B. Pengertian Konstitusi ... 16

C. Muatan, Tujuan dan Fungsi Konstitusi... 21

D. Klasifikasi Konstitusi ... 27

E. Nilai Konstitusi ... 49

F. Amandemen Konstitusi... 52

BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 A. Sejarah Singkat Perjalanan UUD 1945 ... 58

1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 (Revolusi)…………. 69

2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 (RIS) ... 82

3. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 (liberal) ... 101

4. Periode 5 Juli 1959 sampai 11 Maret 1966 (Orde Lama)... 111

5. Periode 11 Maret 1966 sampai 21 Mei 1998 (Orde Baru) ... 104

(5)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

6. Latar Belakang, Dasar Pemikiran Amandemen UUD 1945... 139

BAB III SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Teori Pembagian Kekuasaan ... 157

B. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 172

C. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Pasca Amandemen... 182

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ... 182

2. Presiden dan Wakil Presiden ... 207

3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ... 272

4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)... 309

5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)... 326

6. Mahkamah Agung (MA) ... 339

7. Komisi Yudisial (KY) ... 356

8. Mahkamah Konstitusi (MK) ... 372

BAB IV NEGARA HUKUM A. Negara Dan Hukum ... 412

B. Pengertian Negara Hukum... 429

C. Tipe-Tipe Negara Hukum ... 436

D. Latar Belakang Timbulnya Konsepsi Negara Hukum... 436

E. Prinsip-Prinsip Negara Hukum ... 463 v

(6)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

F. Negara Hukum Indonesia... 466 BAB V SEKILAS BEBERAPA PASAL DALAM UUD NRI 1945

A. Amandemen Pertama Terjadi Pada Sidang Umum MPR, Tahun 1999 Disahkan 19 Oktober 1999 ... 489 B. Amandemen Kedua Terjadi Pada Sidang Tahunan MPR, Disahkan 18

Agustus 2000 ... 537 C. Amandemen Ketiga Terjadi Pada Sidang Tahunan MPR, Disahkan 9

November 2001 ... 585 D. Amandemen Keempat Terjadi Pada Sidang Tahunan MPR, Disahkan

10 Agustus 2002 ... 623 Daftar Pustaka ... 640 Biodata Penulis... 688

(7)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

BAB I KONSTITUSI A. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi

Sebelum masuk ke dalam pembahasan UUD 1945, lebih tepatnya tentang perubahan atau amandemen UUD 1945, termasuk pula berkaitan dengan hasil dari perubahannya tersebut, alangkah baiknya apabila terlebih dahulu penulis mengajak pembaca untuk lebih memahami secara umum tentang teori konstitusi. Tidak lain disebabkan UUD 1945 merupakan konstitusi bagi bangsa Indonesia, yang pastinya juga memiliki berbagai persamaan maupun perbedaan, baik dalam hal teori sebagai sebuah konstitusi, yang menjadi dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecuali itu, dengan harapan akan diperoleh nilai-nilai yang kemudian menjadi standar, untuk selanjutnya dapat dikatakan bahwa suatu konstitusi dianggap sebagai pedoman utama, dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Standar-standar tersebut, merupakan prinsip-prinsip utama untuk selanjutnya memberikan suatu penilaian, tentang betapa pentingnya keberadaan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan negara, yang sekaligus juga kedudukannya sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya dapatlah dikatakan bahwa konstitusi merupakan sumber hukum terpenting dan utama bagi negara. Pada zaman modern dapat dikatakan tidak ada negara yang tidak mempunyai konstitusi (Chaidir,2007;29). Hal mana disebabkan adanya

hubungan klausal antara negara dan konstitusi atau undang-undang dasar

(Soemantri,1992;71). Hubungan tersebut timbul tidak lain disebabkan setiap negara memiliki konstitusi (Kelsen,2011;373). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Winarno, 2009;64). Begitupun dengan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara, yang kemudian dapat dipastikan memiliki UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi. UUD 1945 berfungsi sebagai konstitusi Indonesia sebelumnya telah disahkan oleh lembaga bernama PPKI, yang merupakan lembaga berwenang pada waktu itu untuk melaksanakan tugas tersebut. Kemudian pada sidang yang pertama PPKI akhirnya berhasil mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal ini berarti konstitusi sudah ada sejak berdirinya sebuah negara, bahkan terkait dengan keberadaannya sudah dikenal seiring dengan perkembangan serta kompleksitas kehidupan bernegara.

(8)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

Namun, berkaitan dengan hal tersebut tentunya dalam pengertian konstitusi yang pertama dalam suatu negara sebagaimana dimaksudkan di atas adalah sebuah negara kota (city state) seperti Athena. Thaib dkk (2010;2) menyatakan bahwa pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M.) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara. Oleh karena itu, dapatlah kemudian dikatakan bahwa konstitusi memiliki arti yang penting bagi suatu negara, meskipun fungsi konstitusi sebagaimana dimaksudkan seperti sekarang ini, baru lahir pada saat Amerika Serikat merdeka pada tanggal 4 Juli 1776. Dengan demikian, pada dasarnya undang-undang dasar/konstitusi merupakan wujud kehidupan daripada bangsa-bangsa yang telah beradab. Bahkan konstitusi tersebut sebagai dasar dalam menjalankan keberadabannya, yang selanjutnya didasarkan pada hukum tertinggi sebagai pedoman dalam rangka menjalankan pemerintahan di negara-negara tersebut. Samidjo (1985;231) berpendapat bahwa undang-undang dasar merupakan perwujudan daripada hukum tertinggi yang merupakan sumber bagi segala hukum yang lainnya. Jika pendapat Samidjo dikaitkan dengan Indonesia, maka akan diperoleh bukti/fakta bahwa negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 ini, juga memiliki konstitusi/undang-undang dasar yang disahkan oleh PPKI sebagai lembaga berwenang untuk membentuk negara pada saat itu. Bahkan, dapat diikatakan bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi memiliki kedudukan sebagai hukum dasar, sekaligus tentunya sebagai hukum yang kedudukannya tertinggi seperti dimaksudkan di atas. Karena sebagai hukum ia mengikat dan memaksa: (1) setiap lembaga negara, (2) setiap warga negara Indonesia, (3) setiap penduduk Indonesia, dan (4) setiap lembaga/organisasi kemasyarakatan (LSM, ormas, partai politik) (Hanapiah,2001;10) Lebih lanjut, ternyata konstitusi memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sebuah bangsa, dikarenakan terdapat hal-hal mendasar yang kemudian tercantum dalam konstitusi tersebut sebagai hukum dasar yang tertinggi. Menurut K.C Wheare (2005;96) konstitusi pada hakekatnya, bukan sekedar hukum biasa. Ia adalah hukum dasar, ia menyediakan landasan untuk membuat dan melaksanakan hukum. Ia adalah prasyarat dari hukum dan peraturan. Konstitusi (atau UUD) merupakan hukum dasar yang menjadi pegangan para warga (the citizen) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Marzuki,2009;19). Kecuali itu, ternyata UUD/konstitusi merupakan aturan dasar dalam penyelenggaraan negara, yang selanjutnya tidak hanya dipatuhi oleh warga negara, namun juga oleh setiap penyelenggara negara. Oleh karena itu, tentunya UUD memiliki sifat yang sebenarnya sama dengan norma-norma serta aturan yang lainnya, yaitu mengatur dan memaksa, bahkan sifat memaksanya terlihat dengan jelas lewat penjabarannya kembali dalam bentuk undang-undang sebagai noma pelaksana dari UUD tersebut. Dengan

(9)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

demikian, dapat dikatakan bahwa UUD memuat norma-norma, aturan-aturan atau

ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati (bersifat imperatif)

(Rindjin,2009;267).

Seiring dengan berjalannya waktu, setiap negara yang memiliki konstitusi atau UUD sudah pastinya akan berbeda, baik mengenai isi, maksud serta tujuan untuk diadakan/dibentuknya konstitusi tersebut. Bahkan hal yang mungkin paling mencolok terkait dengan adanya perbedaan antara satu konstitusi dengan konstitusi negara yang lainnya adalah berkenaan dengan materi muatan yang terkandung di dalamnya. Senafas dengan pendapat tersebut di atas, Manan dan Magnar (1997;145) menyatakan bahwa berbagai undang-undang (UUD) di dunia menunjukan berbagai perbedaan materi muatan. Perbedaan pokok dijumpai antara mereka yang menganggap konstitusi terutama dan hampir semata-mata sebagai dokumen hukum yang di dalamnya memuat peraturan-peraturan hukum dan mereka menganggap konstitusi sebagai semacam manifesto, sebuah pengakuan keyakinan, pernyataan cita-cita, atau, sebagaimana yang disebut podsnap, sebuah ‘piagam negara’ (Charter of the land) (K.C Wheare,2005;49). Selain adanya perbedaan tersebut, sebagaimana dengan dimaksudkan di atas, maka perbedaan juga bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti bentuk negara, pemerintahan, sejarah negara, cita-cita negara, termasuk perbedaan ideologi di bidang politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Di samping itu tidak kalah pentingnya, pengalaman negara yang bersangkutan acap kali menentukan corak UUD (Asshiddiqie dan Manan,2006;2).

Walaupun kenyataannya dapat dijumpai berbagai perbedaan muatan materi dalam setiap konstitusi di berbagai negara. Namun, pada dasarnya konstitusi sebagai dokumen formal, ternyata juga memiliki nilai dan kedudukan yang berbeda dengan dokumen-dokumen hukum lainnya. Diketahuinya perbedaan nilai dan kedudukan tersebut, sebenarnya dapat ditinjau dari kedudukan maupun fungsi konstitusi secara realitas yang diberikan di dalam negara itu sendiri, yaitu di negara tempat konstitusi tersebut berlaku. Jika dilihat dari kedudukannya, maka akan tampak bahwa hal-hal yang kemudian diatur dalam konstitusi memiliki nilai yang kedudukannya jauh lebih tinggi/luhur, apabila dibandingkan dengan hal-hal yang diatur dalam dokumen hukum lainnya. Dengan perkataan lainnya, isi konstitusi tersebut merupakan hal-hal yang kedudukannya paling penting dan mendasar, yang perlu diletakan di dalam konstitusi tersebut sebagai dokumen formal. Terkait dengan pendapat tersebut, lebih lanjut A.A.H. Struycken (dalam Hantoro,2009;1-2, Syahuri,2004;15, Huda,2010;149-150, Thaib,2010;57), menyatakan

(10)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

dengan tegas bahwa undang-undang dasar/konstitusi sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau;

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;

3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun

untuk masa yang akan datang;

4. Suatu keinginan mengenai arah perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa

yang hendak dipimpin.

Walaupun dari berbagai konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara dapat ditemui berbagai perbedaan, terutama berkaitan dengan kedudukan, fungsi maupun dalam materi yang kemudian diatur di dalam konstitusi tersebut. Tetapi perlu disadari bahwa pastinya ada berbagai kesamaan terhadap beberapa materi yang pada dasarnya bersifat pokok dan tentunya selalu terdapat di setiap konstitusi, sehingga negara yang memiliki konstitusi tersebut dapat selanjutnya dianggap sebagai negara konstitusional (constitutional

state). Materi pokok sebagaimana dimaksudkan di atas yaitu:

1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negara;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;

dan

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental(Soemantri,2006;60,Soemantri,1992;47,Thaib,2010;16,Syahuri,2004; 15).

Untuk lebih mengetahui secara mendalam berkaitan dengan materi undang-undang dasar/konstitusi sebagaimana dimaksudkan di atas, maka akan dibahas lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut di atas seperlunya. Masalah yang pertama untuk perlu dibahas dalam hal ini adalah hak asasi manusia, yang perlu untuk dicantumkan dalam konstitusi sebagai wujud daripada pengakuan bahwa negara tersebut adalah negara konstitusional (constitutional state). Hak asasi manusia berasal dari istilah droits de I home (Bahasa Perancis), human right (Bahasa Inggris), menslijke rechten (Bahasa Belanda), serta fitrah (Bahasa Arab). Ada yang menyebutkan bahwa hak tersebut sebagai hak fundamental

(11)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

(Mahmud MD,2001;127). Dikatakan fundamental, dikarenakan hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang hanya dimiliki serta melekat pada manusia. Pada hakekatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu persamaan dan hak kebebasaan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakan (Ali,2010;146). Sebagai hak yang bersifat fundamental, tentunya seharusnya mendapatkan jaminan hukum yang pada dasarnya fundamental juga, konstitusilah sebagai aturan fundamental yang selanjutnya dapat melindungi hak asasi manusia dari kekejaman penguasa. Konstitusi modern diharapkan bisa merupakan jaminan bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia serta paham

welfare state, sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstitusional (Thaib

dkk,2010;6). Dengan adanya muatan materi pokok konstitusi yang mengatur hak asasi manusia seperti di atas, membuktikan bahwa adanya konstitusi setidak-tidaknya dalam tataran teoritis, minimal dapat menjamin bahwa hak-hak dasar manusia tidak akan dilanggar oleh penguasa. Namun, perlu diperhatikan dengan saksama bahwa berkaitan dengan konstitusi dapat dikatakan, yaitu tidak hanya dengan adanya konstitusi, maka hak asasi manusia akan terjamin dengan sendirinya. Untuk adanya perlindungan konstitusional bagi hak-hak asasi manusia, masih banyak syarat yang selanjutnya diperlukan oleh sebuah negara yang mengaku sebagai pelindung hak asasi manusia. Pendapat tersebut dinyatakan, disebabkan tidak mungkina dengan sendirinya suatu negara yang memiliki konstitusi, dapat kemudian disebut sebagai negara pelindung hak asasi manusia. Oleh karena itu, kita harus melihat kembali isi konstitusi tersebut, apakah secara kenyataan aturan konstitusi tersebut memang memberikan jaminan hak asasi manusia sebagai ciri utama daripada negara hukum yang demokratis. Jadi, tidak cukup menjanjikan hak-hak demokrasi hanya melalui hukum tertulis, atau bahkan dengan suatu dokumen konstitusional. Hak-hak tersebut harus secara efektif dilaksanakan dan secara efisien tersedia bagi warga negaranya dalam prakteknya. Jika hal itu tidak terjadi, maka dalam hal ini sistem tersebut tidak demokratis, walau apa pun alasan yang dinyatakan oleh penguasanya, dan hiasan-hiasan “demokrasi” hanya sekedar fasada (permukaan) bagi aturan yang demokratis (Dahl,2001;69). Jadi, dapat saja apa kemudian yang diatur dalam konstitusi, ternyata berbeda dengan praktek di lapangan, yang pada dasarnya tindakan penguasa tersebut nyata-nyata bertentangan dengan isi (ketentuan) dari konstitusi itu sendiri, yang pada prinsipnya menekankan perlindungan hak asasi manusia. Namun, bukan berarti tidak ada gunanya, jika hak asasi manusia tersebut tertulis secara tegas (expressis verbis) dalam konstitusi. Namun, perlu ditegaskan kembali prinsip-prinsip konstitusional yang benar-benar dapat memberikan jaminan hak-hak asasi tersebut utamnya dalam realitas, pastinya hal tersebut akan dapat diketahui hanya dalam

(12)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya dengan demikianlah, kita kemudian dapat menilai tindakan negara tersebut apakah sudah konstitusional atau tidak. Hal tersebut semata-mata sebagai evaluasi terhadap praktek-praktek konstitusional daripada suatu negara. Apakah konstitusi tersebut memang menganut gagasan konstitusionalisme atau tidak, karena pada dasarnya konstitusi tanpa gagasan konstitusionalisme, merupakan suatu pengingkaran terhadap maksud awal daripada dibentuknya konstitusi itu sendiri. Konstitusi terkait dengan hal tersebut seharusnya dapat memberikan suatu jaminan agar hak-hak asasi manusia senyatanya dapat diselenggarakan dan dinikmati oleh rakyat. Bahkan dalam hal ini perlu adanya kembali jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama oleh pemerintah sebagai penanggungjawab utama yang tentunya juga perlu untuk dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi. Artinya, konstitusi itu sebenarnya tidak boleh memberi pembatasan atas HAM atau menjadikan sebagai sisa dari kekuasaan pemerintah semata (Mahmud MD,2010;153). Apalagi yang kemudian menyebut dirinya sebagai suatu negara hukum yang bersifat demokratis. Tentunya negara hukum demokratis memberikan jaminan serta adanya perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Karena pada dasarnya jaminan hak asasi manusia merupakan ciri khasnya yang paling utama sebagai suatu negara hukum, baik yang menganut konsep negara hukum formal maupun material. Oleh karena itu, asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia merupakan asas pokok, prinsip utama yang menentukan bahwa suatu negara merupakan suatu negara hukum atau bermaksud menegakan rule of law (Fadjar,2005;44). Negara hukum adalah suatu negara yang menentukan cara bagaimana hak-hak asasi dilindungi (Kusnardi dan Sarigih,2008;136). Namun, tidak berarti bahwa jaminan-jaminan HAM pertama-tama muncul dengan lahirnya pemikiran tentang negara hukum pada akhir abad ke -18, terhadap HAM tersebut telah ada sebelumnya (Tumpa,2010;51). Jadi, sebenarnya hak asasi manusia itu ada, dikarenakan oleh keberadaan manusia itu sendiri yang berkedudukan sebagai penyandang hak asasi tersebut. HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaannya diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia (Muhtaj,2007;6). Karenanya, tidak ada yang bisa mengurangi atau mencabut hak asasi manusia, tidak konstitusi sekalipun (Lubis1993;x). Hak asasi manusia tidak dapat dibatasi oleh kekuasaan, bahkan dengan hukum tertinggi sekalipun, karena hak asasi tersebut berasal dari harkat yang melekat pada setiap insan manusia (Nasution dkk,2001;90). Bahkan kekuasaan penguasa pun dibatasi oleh hak azasi ini (Soehino,1983;110). Pendapat tersebut selanjutnya membuktikan, bahwa hak asasi manusia merupakan bagian yang memang tak dapat dipisahkan dari eksistensi keberadaannya sebagai manusia yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi. Bukan kemudian malahan dilanggar dengan

(13)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

prosedural formal semata, tanpa dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya jika hal tersebut dilihat secara substansial, terutama jika dihadapkan pada prinsip-prinsip negara hukum yang meletakan hak asasi sebagai ciri utamanya. Maka jika disuatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau pelanggaran HAM tidak dapat diatasi secara adil, negara ini tidaklah kemudian dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya (Asshiddiqie,2009;255). Oleh karenanya, negara seharusnya selalu berpedoman pada konstitusi dalam menegakan hak asasi manusia agar mendapatkan keadilan yang sejati. Tentu dikarenakan bahwa pada dasarnya kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi merupakan lambang negara hukum, yang di dalamnya mengatur cara-cara kehidupan bernegara, seharusnya mampu menjamin hak asasi manusia. Dikarenakan disepanjang sejarahnya hak-hak asasi manusia memang akan selalu secara langsung berhadapan dengan penguasa yang memiliki kekuasaan dan sewaktu-waktu dapat mengancam hak-hak asasi tersebut. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa tersebut harus tetap dalam garis batas yang telah disyaratkan sebagai negara konstitusional (constitutional state), yang kekuasaan tersebut tentunya harus berdasarkan konstitusi. Bahkan, dalam hal ini penguasa tentu seharusnya tetap mematuhi konstitusi dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia dalam setiap langkahnya. Dengan demikian, diharapkan tindakan penguasa tidak akan melanggar hak-hak asasi manusia. Hak-hak ini merefleksikan suatu tuntutan moral untuk perlakuan umum yang sama bagi setiap orang (Forstythe,1993;8). Untuk itu, perlu adanya suatu tempat guna meletakan hak-hak dasar tersebut, dengan tujuan utamnya agar hak-hak dasar tersebut tetap dihormati serta dijungjung tinggi dan juga tentunya selalu dilindungi oleh penguasa. Lebih lanjut tempat tersebut yang penulis maksudkan tiada lain adalah konstitusi yang pada dasarnya merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pada awal dibuatnya konstitusi adalah tiada lain berfungsi untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari penindasan penguasa, yang telah terbukti dalam lintasan sejarah, terutama dalam menjalankan kekuasaannya yang cenderung bersifat absolut serta melanggar hak asasi manusia, yang seharusnya hak-hak tersebut mendapatkan jaminan konstitusional. Berkaitan dengan hal tersebut, konstitusi merupakan peraturan-peraturan dasar yang membingkai batas-batas kekuasaan pemerintah dan memuat keharusan perlindungan HAM oleh negara (Mahmud MD,2010;269). Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang di manapun juga mereka berada, yang hakekatnya tidaklah dapat dihilangkan ataupun dimusnahkan dengan berbagai alasan apapun, bahkan dengan hukum tertinggi sekalipun. Dikarenakan berkaitan dengan sejarah hak-hak asasi itu sendiri ada, sebelum hukum tertinggi tersebut dibentuk kemudian. Hanya saja harus disadari bahwa dengan adanya

(14)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

hukum tertinggi tersebut adalah semata-mata sebagai bentuk daripada kesadaran rakyat, berupa suatu perlawanan terhadap penguasa yang bertindak secara sewenang-wenang, untuk kemudian menjamin serta mengukuhkan keberadaan daripada hak asasi manusia, yang memang ada sebelum negara tersebut terbentuk. Sehingga, penyangkalan terhadap universalisme hak asasi manusia, merupakan penyangkalan daripada eksistensinya sendiri sebagai seorang manusia, yang telah ditentukan sebagai penyandang predikat untuk memiliki harkat dan martabat. Kecuali itu, dikarenakan juga bahwa hak-hak asasi fundamental tidak berubah baik waktu maupun tempat dan hak-hak asasi tersebut adalah hak dasar bagi pembangunan manusia (Abdussalam,2007;103). Hak asasi sebagai mana dimaksud di atas menurut Abdurrahman dan Syahrani(1978;118) merupakan suatu hak asasi setiap insan yang hidup di permukaan bumi ini untuk menikmati hak hidup, kemerdekaan dan keamanan bagi dirinya, sebagaimana yang telah diakui secara tegas dalam pernyataan Umum Hak Azasi manusia. Kode ini (Deklarasi HAM 10 Desember 1948, pen) tidak hanya memiliki sifat dilaksanakan secara universal, akan tetapi juga mencakup prinsip-prinsip yang bernilai di bidang-bidang yang tadinya tidak diperhatikan dalam konstitusi-konstitusi negara-negara Barat (Cassese,2005;xx).

Dengan demikian, hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya (Trianto dan Tutik,2007;259). Oleh karena itu, pengingkaran atasnya tersebut berarti pula mengingkari terhadap martabat kemanusiaan. Negara, pemerintah atau organisasi apa pun berkewajiban untuk mengakui dan melindunginya pada setiap manusia tanpa kecuali (Prinst,2001;8). Perlindungan hak asasi manusia merupakan wujud utama keberadaan konstitusi dalam lintasan sejarah yang pernah ada. Namun, bisa saja suatu negara yang tidak memiliki konstitusi, tetapi memberikan jaminan terhadap perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam prakteknya seperti negara Inggris. Lagipula di Inggris tidak terdapat suatu piagam yang secara terperinci mencantumkan atau menjamin kebebasan-kebebasan warga-warga-negaranya, yang biasanya disebut hak-hak azasi manusia (Hartono,1982;8). Sekalipun demikian hak-hak azasi manusia di Inggris selalu dihormati, tidak hanya oleh sesama warga negaranya, akan tetapi juga oleh pemerintahnya (Hartono,1982;9). Konsep demikian telah menggambarkan, bahwa hak asasi manusia memang telah ada sejak dikenal dengan namanya manusia itu sendiri, yang berkedudukan sebagai penyandang harkat dan martabatnya terutama dalam berhadapan dengan bahaya yang berpotensi untuk menghilangkan atau menghapus hak asasi manusia itu sendiri. Bahkan, bukti-bukti sejarah telah menunjukan, baik di negara-negara barat maupun di

(15)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

negara-negara timur, hak asasi manusia rentan sekali terhadap penindasan/kekejaman, terutama jika hak-hak tersebut berhadapan secara langsung dengan kekuasaan penguasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia memiliki sifat yang universal, karena tidak hanya berlaku di negara-negara Barat saja, namun juga di negara-negara Timur. Yang dengan kata lain, semua bangsa dan semua orang akan menghormati hak-hak asasi manusia seandainya mengetahui tentang adanya dan bagaimanapun hak-hak dari semua orang tersebut tidak dicabut… (Morgenthau,1990;127). Namun, ICCE UIN (2010;121) menyatakan bahwa sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Seiring dengan perjalanannya ternyata konsep hak asasi manusia dipandang berbeda di antara berbagai negara, terkait dengan pengertian, konsep maupun pelaksanaan di lapangan, yang tentunya juga berimbas pada implikasi dari hak asasi manusia tersebut dalam kehidupan nyata. Perbedaan tersebut terjadi berkaitan dengan perjalanan sejarah daripada keberadaan negara-negara tersebut, seperti perbedaan konsep hak asasi manusia antara blok Barat yang dimotori oleh Amerika dan Eropa Barat dengan blok Timur yang dimotori oleh Uni Soviet dan negara-negara yang baru merdeka setelah perang dunia kedua. Dikarenakan dalam hal ini menurut Berten (2011;200) bahwa Bagi blok komunis hak-hak asasi manusia yang paling penting adalah adalah hak-hak sosial, sedangkan hak-hak individual paling banyak ditekankan oleh blok Barat. Menurut Dahl (2001;65) bahwa satu-satunya penyelesaian terhadap kontradiksi ini mungkin sebuah kode hak asasi manusia yang secara universal yang dilaksanakan di seluruh dunia secara efektif.

Masih berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, maka untuk itu, mau tidak mau, kekuasaan perlu dibagi antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi dengan tujuan agar dapat mempersempit celah dari penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa adanya pembagian kekuasaan yang jelas tentunya hak asasi manusia tidak akan pernah terjamin. Adalah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas-tugas pemerintah ke dalam ‘trichotomy; yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif (Suny,1986;15). Dasar pemikiran doktrin Trias Politica sebelumnya pernah ditulis oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh John Locke, dengan menyatakan bahwa yang membatasi penguasa yang absolut itu, bukan karena pemisahan kekuasaan melainkan hak asasi manusia itu sendiri (Latif,2009;24). Misi utama pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan, karena pada masa sebelumnya kekuasaan nampak sangat luas

(16)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

seolah tanpa batas (Chaidir, 2007;15). Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena sebelumnya semua fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu di tangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun temurun (2006;11). Dalil yang kemudian terkenal dari Lord Acton dalam Budiardjo (2008;107) yang menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalagunakannya secara tidak terbatas pula (Power tend to corrupt, but

absolute power corrupt absolutely). Dengan, adanya pemisahan kekuasaan dengan jelas,

maka kecendrungan seseorang untuk menjadi diktaktor akan dapat ditekan seminimal mungkin, paling tidak dalam tataran teoritis jaminan hak asasi memang memerlukan pemisahan kekuasaan yang ditentukan secara tegas dalam konstitusi. Bahkan, menurut Cassese (2005;27) bahwa setiap masyarakat yang tidak menjamin hak-hak asasi atau tidak menentukan pemisahan kekuasaan adalah sama sekali tidak memiliki kekuasaan. Dalam hubungan ini jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan “konstitusi” adalah suatu masyarakat yang modern dan terorganisasi, jadi lebih daripada hanya sebuah kesejajaran yang biadab dari pribadi-pribadi yang bertarung antara sesamanya. Sehingga hanya dengan membagi-bagi kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konstitusi, yaitu dengan meletakannya pada beberapa tangan berbeda, yang memang ditentukan dengan tegas oleh konstitusi, berutujuan untuk dapat menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Pada akhirnya diharapkan mampu melindungi hak asasi manusia sebagai suatu konsep yang mencirikan negara tersebut sebagai suatu negara hukum demokratis. Demikian pula halnya di USA, kewenangan konstitusi, lembaga pemisahan antara kekuasaan dengan konsep hak azasi, merupakan cerminan kehidupan politik (Depari dan MacAndrews,1995;149). Ajaran Trias Politica seperti halnya dengan mencegahnya adanya konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan dan prinsip checks and balances guna mencegah adanya campur tangan antar badan tersebut adalah jaminan dalam ajaran Montesquieu bagi adanya kebebasan politik (political freedom) (Kusnardi dan Sarigih,1986;31). Gagasan bahwa suatu kekuasaan harus dibatasi dengan membagi-bagi dalam beberapa badan, serta adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia yang harus dijamin dalam konstitusi, dengan demikian barulah negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara konstitusional (constitutional state). Prinsip-prinsip tersebut diwujudkan dalam pemisahan kekuasaan dan mekanisme checks and balances yang merupakan prinsip dasar dalam paham konstitusionalisme (Sjuhad,2009;54). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya paham negara berdasarkan atas konstitusi tidak dapat dipisahkan dari negara berdasarkan atas hukum (Manan dan Magnar,1997;104) yang di dalamnya mengatur

(17)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

pembagian kekuasaan, yang tentunya menjamin hak asasi manusia sebagai prinsip utamanya. Intinya negara yang memiliki konstitusi sebagai negara berdasar atas hukum, juga di dalamnya melindungi hak asasi manusia, yang merupakan salah satu ciri negara hukum. Hak asasi manusialah, yang merupakan jiwa konstitusi tersebut, disebabkan tanpa hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, negara tersebut merupakan negara yang selanjutnya hanya tinggal menunggu waktu untuk datangnya otoritarianisme. Tentunya jaminan hak asasi manusia dapat terwujud dalam implementasinya dikehidupan nyata, apabila konstitusi mengatur pembagian atau pemisahan kekuasaan (separation or

distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Dengan adanya jaminan hak asasi

manusia, serta adanya pembatasan kekuasaan penguasa, dapatlah negara tersebut disebut

sebagai negara konstitusional (constitutional state) yang menganut paham

konstitusionalisme. Negara yang konstitusional digambarkan sebagai lembaga negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan bagi hak-hak asasi manusia, serta pengendalian dan pengaturan kekuasaan (Syahuri,2004;15)

Tidak berbeda jauh dengan pernyataan di atas, Carl J. Friedrich (dalam

Winarno,2009;65,Budiardjo,2008;171,Huda,2010;156, Syahuri,2004;37) menyatakan

bahwa konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan

aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pembatasan yang dimaksud termaktub dalam konstitusi. Oleh karena itu,

penerapan konstitusi dapat dijadikan alat untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Dengan demikian, pembagian atau pemisahan kekuasaan merupakan syarat mutlak untuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power), sehingga hak asasi manusia dapat terjamin (Mahmud dalam Yudhanta,2011;th).

Asumsinya ialah bahwa peluang untuk menjadi tirani dan diktaktor dikurangi selama badan-badan pemerintahan legislatif dan eksekutif (dan yudikatif) dipisahkan baik dalam hal kelembagaan maupun personal (Rodee,2011;67). Kemudian dalam konstitusilah terlihat adanya pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, yang pada akhirnya mampu menjamin hak-hak rakyat sebagai sebuah perjanjian luhur yang mengikat tentunya. Dengan demikian, konstitusi pada dasarnya dibuat oleh rakyat sebagai wujud social contract yang bersifat mengikat, sehingga pada gilirannya hanya konstitusilah yang dapat membatasi tindakan rakyat, bukan penguasa yang hanya sebagai wakil rakyat. Fhaisal(2007;23) menyatakan konstitusi dilihat sebagai satu-satunya bagian bangunan negara yang

(18)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

mempunyai hak untuk menghakimi dan mengatur tatanan masyarakat. Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi, konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan prinsip-prinsip dasar pencapain tersebut (Asshiddiqie,2005; 18). Dengan demikian, rakyatlah yang menjadi tumpuan daripada keberlakuan suatu konstitusi, apalagi suatu negara yang menyatakan bahwa dirinya sebagai negara penganut demokrasi, yang pada dasarnya menghendaki kekuasaan rakyat merupakan sumber daripada kemauan negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan dalam sejarah pertumbuhan konstitusi-konstitusi modern seperti sekarang ini, realitasnya telah mampu meletakan dasar-dasar kehendak rakyat dalam konstitusinya masing-masing sebagai bentuk pernyataaan suatu negara yang memang menganut demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Keberadaan konstitusi pada awal pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari pengakuan adanya paham demokrasi, yang pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat (Isharyanto,2006;1). Demokrasi menjadi jaminan bahwa, kekuasaan dalam konstitusi merupakan delegasi dari rakyat sendiri sebagai pemegang kedaulatan, dalam arti yang sesungguhnya. Betapapun, demokrasi dilihat sebagai suatu

prinsip keabsahan pemerintah –vox populi, vox dei (suara rakyat suara

Tuhan)…(Feit,2001;12). Dengan demikian, kedaulatan berada di tangan rakyat, yang kemudian kedaulatan tersebut dituangkan ke dalam bentuk konstitusi, sebagai wujud daripada gagasan kehendak rakyat untuk melindungi hak-hak asasinya dari penguasa otoriter, yang nota bene merupakan wakil daripada rakyat itu sendiri. Maka dikembangkanlah konstitusionalisme sebagai ciri pemerintahan dalam negara demokrasi (Sani,2007;31). Dimana pada prinsipnya penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara demokrasi adanya suatu jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia dengan cara membatasi kekuasaan penguasa dalam bentuk konstitusi yang bersifat demokratis. Dengan demikian, konsep hak asasi manusia (human right), pembagian atau pemisahan kekuasaan (distribution or separation of power) dan demokrasi (democracy) memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, bahkan tidak dapat dipisahkan dengan konsep konstitusi yang menjadi landasannya. Kemudian berkaitan dengan demokrasi, Cangara (2009;63) menyatakan bahwa demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” yang berarti pemerintahan. Kata itu berasal dari kata Yunani untuk “Rakyat dan “memerintah” (Rodee,2011;59). Pada tahun 1863 oleh Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the

people and for the people) (Winarno,2009;92). Dengan demikian, dapat selanjutnya

(19)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

perlindungan HAM dan bentuk negara demokrasi untuk dapat tercapainya negara hukum. Menurut Mahmud MD (2010;279) bahwa gagasan tentang HAM dan demokrasi itu kemudian menuntut sistem negara hukum yang demokratis, dengan sistem pemerintahan yang dapat mengimplementasikan prinsip tersebut, yakni adanya pemerintah yang kekuasaannya dibatasi dan harus melindungi HAM yang dituangkan di dalam sebuah konstitusi. Maka dari itu sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional

government). Jadi constitutional government sama dengan limited government atau restrained government (Nurtjahjo,2006;42). Untuk selanjutnya berkaitan dengan

konstitusionalisme, Andrews (dalam Latif,2009;98, Huda,2010;161, Chaidir,2007;19) mengemukakan untuk tegaknya konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga kesepakatan, yaitu sebagai berikut.

1. The general goal of society or general acceptance of the same philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita bersama tentang pemerintahan);

2. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang negara hukum

sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara);

3. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk

institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan).

Marzuki (2010;129) menyatakan istilah konstitusionalisme bukan padanan makna konstitusi. Konstitusionalisme bermakna; pemerintahan yang digaris batasi. Artinya, suatu negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme jikalau lembaga-lembaga negara dan proses politik dalam negara tersebut secara efektif dibatasi oleh konstitusi (Djafar,2010;151). Tentunya, walaupun pada kenyataannya suatu negara memiliki konstitusi, namun jika dalam konstitusi tersebut tidak terdapat pembatasan kekuasaan terhadap lembaga-lembaga negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya, maka pada gilirannya akan menindas hak asasi manusia. Padahal hak asasi manusian seharusnya mendapatkan perlindungan dari konstitusi, maka dengan demikian tidaklah dapat dikatakan negara tersebut sebagai negara konstitusional (constitutional state). Bahkan berkaitan dengan pendapat tersebut di atas, maka Kusnardi dan Sarigih (2008;154) menyatakan bahwa di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, maka konstitusi mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Menurut Randireksa (2009;139) bahwa konstitusi adalah dokumen organik dari

(20)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

pemerintahan, yang mengatur kekuasaan pilar-pilar yang berbeda sekaligus acuan batasan kewenangan pemerintah. Dengan demikian, tujuan utama yang diharapkan adalah hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Berkaitan dengan konstitusionalisme, Muhammad Yamin dalam Syahuri (2011;35) memberikan pengertian konstitusionalisme, yang terdiri dari tiga pengertian, yaitu.

1. Bahwa pengakuan dan deklarasi hak asasi manusia merupakan persyaratan mutlak

bagi setiap deklarasi kemerdekaan suatu negara;

2. Kekuasaan rakyat atau kedaulatan rakyat harus diselaraskan dengan keadilan;

3. Kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat tidak hanya perlu dicatat dalam istilah

jelas, tetapi harus diwujudkan pula dalam pasal-pasal yang jelas di dalam undang-undang dasar.

Pembatasan kekuasaan terhadap lembaga-lembaga negara sebagaimana yang dimaksudkan di atas tersebut, menurut Padmo Wahyono dalam Hadi (2007;17), setidaknya harus meliputi 2 hal yaitu sebagai berikut.

1. Pembatasan kekuasaan yang meliputi isi kekuasaannya,

2. Pembatasan yang berkenaan dengan waktu dijalankannya kekuasaan tersebut.

Pembatasan kekuasaan dalam arti isi mengandung arti, bahwa dalam konstitusi ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara. Bahkan terhadap lembaga yang mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam usaha menciptakan tujuan negara, dalam hal ini pemerintah, masih mendapat pengawasan dari lembaga/ permusyawaratan rakyat. Pembatasan dalam arti kedua adalah pembatasan kekuasaan mengenai waktu kekuasaan itu dapat dijalankan. Hal ini berkenaan dengan masa jabatan masing-masing lembaga negara atau pejabatnya dalam menjalankan kekuasaannya. Dengan demikian, dalam waktu-waktu yang telah ditentukan harus dilakukan penggantian atau pembaharuan si pejabat (Thaib dkk,2010;23). Hal ini tentu dikarenakan bahwa karena sifat dan hakikatnya, kekuasaan tersebut untuk dapat bermanfaat harus ditentukan ruang lingkup, arah, dan batas-batasnya. Untuk itu diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri dan hendaknya dipegang secara teguh (Soekanto,2009;207).

Konstitusi sebagai pembatas kekuasaan menimbulkan makna bahwa sebagian hak individu di dalam masyarakat melalui persetujuan bersama untuk bernegara maka tujuan

(21)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

yang hendak dicapai adalah untuk mendapatkan perlindungan yang dikehendaki adanya suatu negara (Sunarno,2009;23). Hal ini jelas terlihat berbeda dalam konstitusi komunis yang menyatakan bahwa In fact, bourgeois constitutions in all their essence reflecting and

protecting the division of society into classes and the class domination of exploiters start of course from the class antagonism of bourgeois society, but pass it by in silence and suppress it (Vyshinsky,1948;136). Dengan demikian, pada dasarnya konstitusi komunis

hanya melindungi satu kelas yaitu kaum proletar, sedangkan untuk kaum borjuis harus dihancurkan, karena hanya dianggap sebagai kelas yang melakukan eksploitasi atau kelas yang bersifat menindas. Selain itu, karena masyarakat kelas kita penuh dengan terorisme, karena kelas penguasa terus mengeksploitasi, mengorganisasi, membujuk, dan menghukum dalam rangka mencapai tujuan-tujuan (Kurzweil,2004;114). Dengan demikian, di negara-negara komunis pada masa lalu gagasan konstitusionalisme seperti diuraikan di atas tidak dikenal. Sesuai dengan pandangan bahwa seluruh aparatur serta aktivitas kenegaraan harus ditujukan kepada tercapainya masyarakat komunis, maka kaum komunis menolak prinsip konstitusionalisme seperti yang dikenal di negara-negara demokratis (Budiardjo,2008;175). Sehingga, boleh dikatakan bahwa konstitusi negara komunis tidaklah dapat diartikan sebagai negara yang menganut gagasan konstitusionalisme, yang pada prinsipnya membagi kekuasaan ke dalam beberapa lembaga ataupun tangan yang berbeda dengan tujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Bahkan, sebenarnya perlindungan yang kemudian diberikan terhadap hak asasi manusia, tidaklah membedakan antara satu kelas dengan kelas yang lainnya sebagaimana dimaksudkan di atas. Karena, menurut Syahuri (2004;34) bahwa konstitusi lahir sebagai tuntutan dan harapan masyarakatnya untuk mencapai suatu keadilan.

Namun demikian, bahwa konstitusi sangatlah penting dalam kehidupan suatu bangsa, karena di dalamnya terdapat berbagai hal yang selanjutnya mendasari kehidupan bernegara untuk dapat menjalankan aktivitasnya. Menurut Djokosoetono dalam sunarno (2005;27), melihat pentingnya konstitusi (gronwet) dari dua segi. Pertama, dari segi isi (naar de

inhoud) karena konstitusi memuat dasar (gronslagen) dari struktur (inrichting) dan memuat

fungsi (administratie) negara. Kedua, dari segi bentuk (naar demaker) karena yang membuat konstitusi bukan sembarang orang. Oleh karena itu, untuk menghindari kekuasaan yang bersifat absolut dari raja-raja terdahulu, maka konstitusi timbul seiring dengan kesadaran dan kehendak rakyat, untuk mengatur diri mereka serta dapat membatasi tindakan-tindakan penguasa, dan tentu selanjutnya rakyat sendiri terikat kepada konstitusi tersebut. Sehingga apa yang kemudian menjadi isi daripada konstitusi tersebut pada

(22)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

dasarnya merefleksikan kehendak rakyat, serta menunjukan kedaulatannya di hadapan para penguasa yang menjalankan pemerintahan untuk mengemban amanat rakyat, bukan sebagai manusia yang berdaulat serta tak bisa diganggu gugat. Hal mana adalah sesuai sekali dengan pendapat dari Wheare (2005;9) yang menyatakan bahwa jika kita mengkaji asal-muasal konstitusi modern, konstitusi-konstitusi itu, tanpa kecuali, dalam prakteknya, disusun dan diterapkan karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, yang berkaitan dengan sistem pemerintahan mereka.

B. Pengertian Konstitusi

Menurut Wirjono Prodjodikoro (dalam Chaidir 2007;21,Tutik,2008;101) bahwa Perkataan “konstitusi” berarti “pembentukan” berasal dari kata kerja “constituer” (Perancis) yang berarti “membentuk”. Terkait dengan konstitusi yang dalam bahasa Inggris, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi (Soemantri,1993;29). Sementara itu, istilah UUD merupakan terjemahan dari perkataaan Belanda Gronwet. Dalam kepustakaan Belanda, selain gronwet juga digunakan istilah “constitutie”. Dalam bahasa Indonesia, wet diterjemahkan sebagai undang-undang, dan

grond berarti tanah (Winarno,2009;67, Huda,2010;142). Maksud pemakaian istilah

konstitusi ini adalah pembentukan suatu negara, menyusun dan menyatakan suatu negara (Aminnudin,2006;57). Dalam literatur, dibedakan antara constitutie dan gronwet dalam bahasa Belanda, atau konstitusi dan UUD dalam bahasa Indonesia. Konstitusi diartikan lebih luas daripada UUD, yaitu bahwa konstitusi terdiri dari konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis, dimana UUD merupakan konstitusi tertulis (Fatmawati,2010;49). Pendapat tersebut adalah sesuai dengan pernyataan ICCE UIN (2010;60) yang pada dasarnya menyatakan bahwa istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Lubis dalam Syahuri (2004;30-31) menyatakan bahwa konstitusi memiliki dua pengertian, yaitu konstitusi tertulis (undang-undang dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).Terkait dengan pandangan ini, maka menurut penulis untuk sekarang ini telah diterima pandangan bahwa konstitusi dan undang-undang dasar memiliki makna yang sama bahkan dalam kenyataannya merupakan suatu pengertian yang selanjutnya dapat diterima secara umum. Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan disebagain besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia (Thaib dkk,2010;7). Senada dengan pendapat penulis di atas, Budiardjo (2008;169) menyatakan bahwa UUD adalah bagian tertulis dari

(23)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

suatu UUD, sedangkan UUD memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, setiap UUD tertulis ada unsur “tidak tertulisnya”, sedangkan setiap UUD tak tertulis ada unsur “tertulis”.

Lebih lanjut terkait dengan pengertian konstitusi, maka dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah preposisi yang berarti “bersama dengan…”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kemudian kata

statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agak berdiri atau mendirikan/menetapkan”.

Dengan demikian bentuk tunggal (constitution) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan (Tahib dkk,2010;8, Huda,2010;142, ICCE UIN,2010;60).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konstitusi memiliki arti yang sangat penting dalam pembentukan negara di samping tiga syarat lain seperti pemerintahan yang berdaulat, wilayah, dan rakyat. Karena, sebelum ada konstitusi tidak mungkin pemerintahan dapat dijalankan secara efektif, tidak lain dikarenakan bahwa konstitusi mengatur ketiga syarat di atas sebagaimana sebuah negara berdiri. Sehingga dapatlah kemudian dikatakan bahwa

konstitusi menjadi barometer dalam menjalankan kehidupan suatu negara, yang mampu

mengarahkan bangsa tersebut mengenai apa yang hendak dicapai. Di mana dalam konstitusi tersebut juga diatur mengenai lembaga-lembaga negara, sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, walaupun terkait dengan pengaturan hubungan antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan yang lain, tentunya akan berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Bahkan, bisa saja untuk sekarang ini, dengan kompleksnya kehidupan negara berkaitan dengan tugas-tugasnya dalam mencapai tujuan negara, tidak mungkin hanya dapat mengandalkan ketiga lembaga negara tersebut. Namun, setidaknya untuk di setiap negara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif akan selalu berdampingan dengan lembaga negara pentingnya lainnya, asalkan konstitusi menunjuk dengan jelas. Eric Barendt dalam bukunya yang berjudul “An

Intoduction to constitutional law”menyatakan bahwa:

The constitution of a state is the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and other important national institution

(Syahuri,2004;30, Chaidir,2007;33).

Lebih lanjut pengertian yang tersebut di atas diberikan dalam buku lainnya menyatakan bahwa konstitusi dapat diartikan sebagai dokumen yang tertulis yang secara garis besarnya mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif, dan Yudikatif serta lembaga negara penting lainnya (Syahuri,2011;29). Sedangkan Joeniarto (1983;22, juga Mahmud MD dan

(24)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

Marbun,2000;32) memberikan pengertian undang-undang dasar yaitu suatu dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya. Tampaknya Joeniarto membedakan aturan hukum yang terdapat dalam konstitusi dengan aturan hukum yang ada di bawahnya. Lebih konkretnya, pembedaan beliau didasarkan pada prosedur perubahan konstitusi dengan prosedur perubahan peraturan yang lainnya. Suatu konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang pada prinsipnya merupakan dasar bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Karena tingkatannya yang lebih tinggi, dan juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum lainnya, maka pembuat konstitusi menetapkan perubahannya tidak mudah, dengan maksud agar tidak mudah orang mengubah hukum dasarnya (Tutik,2008;112). Memang seharusnya perubahan konstitusi dengan peraturan yang kedudukannya berada di bawahnya akan berbeda. Tidak saja karena konstitusi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Selain itu, karena didasarkan dari bentuk konstitusi yang berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya dalam sistem ketatanegaraan suatu negara. Lebih tegas lagi dalam masalah ini, Kelsen (2011;180) menyatakan adanya bentuk khusus bagi hukum konstitusi atau bentuk konstitusional adalah disebabkan oleh konstitusi material. Jika ada bentuk konstitusi, maka hukum konstitusi harus dibedakan dari hukum biasa. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa pembentukan, dan itu berarti pengundangan, perubahan, dan penghapusan hukum konstitusi adalah lebih sulit dari pembentukan, pengundangan, perubahan, dan penghapusan hukum biasa. Ada prosedur khusus, bentuk khusus bagi pembentukan hukum konstitusi, yang berbeda dari prosedur pembentukan hukum biasa. Ditinjau dari sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih sempurna dan lebih tinggi daripada undang-undang biasa (Budiardjo,2008;184). Sebab jika saja dalam kenyataanya konstitusi sering diubah, akan berakibat pada turunnya wibawa konstitusi itu sendiri, bahkan kestabilan jalannya pemerintahan dipertaruhkan. Untuk itu, syarat-syarat perubahan yang berat diperlukan bertujuan untuk tidak dengan mudah mengubah konstitusi tanpa adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Tentu pada akhirnya semua sangat tergantung pada ada tidaknya dukungan politik.

Terkait dengan pengertian konstitusi, dalam kamus Balck Law Dictionary seperti yang dikutip oleh Latif (2009;20, Chaidir,2007;35) menjelaskan pengertian konstitusi adalah the fundamental and organic law of a nation or state, establishing the conception,

(25)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

character, and organization of its government,as well as prescribing the extent of its sovergn power and the manners of exercise. K.C Wheare (2005;1) memberikan pengertian

konstitusi, yaitu untuk menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Sedangkan, C.F, Strong (2005;14-15) dengan mengutip pendapat dari James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain, hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. Definisi yang diberikan oleh Strong dengan mengutip pendapat dari James Bryce tidaklah berlebihan, karena konstitusi merupakan hukum dasar dalam menyelenggarakan negara. Yang mana tentunya juga termasuk di dalamnya mengatur kehidupan rakyatnya sebagai pendukung utama daripada negara. Tanpa konstitusi, maka tidak dapatlah dibentuk aturan hukum, yang mampu menjadi dasar serta legitimasi dalam meletakan lembaga-lembaga negara serta memberikan tugas dan kewenangan kepadanya. Untuk lebih lanjut berkaitan dengan materi konstitusi akan diatur kembali dalam bentuk undang-undang organik yang kedudukannya berada di bawahnya. Dapatlah dikatakan bahwa pengertian konstitusi sebagaimana di atas, merupakan tinjauan konstitusi dalam arti materil yang mengutamakan perhatian terhadap isinya yang terdiri atas pokok yang sangat penting dari struktur dan organisasi negara (Busroh,2001;89). Hal mana adalah sesuai sekali dengan pengertian konstitusi yang diberikan oleh E.C.S. Wade dalam bukunya “Constitutional Law”, yang pada dasarnya menyatakan konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-badan tersebut (Huda,2010;143, Budiardjo,2008;170, Kusnardi dan Sarigih,2008;139-140).

Berikut ini merupakan beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli mengenai pengertian konstitusi yaitu sebagai berikut.

1. Pandangan Hermann Heller (staatslehre) dalam bukunya (staatrecht), professor

Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu sebagai berikut. a. Die politische verfassung als gesellchaftlichwirklichkeit. Konstitusi dilihat

dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial politik yang nyata dalam masyarakat;

b. Dieverselbstandigte rehtverfassung. Konstitusi dilihat dari arti yuridis sebagai

(26)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

c. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam satu naskah

undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara (Thaib dkk,2010;9-10).

2. F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungwesen, membagi pengertian konstitusi

dalam dua pengertian, yaitu sebagai berikut.

a. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip).

Konstitusi adalah sintesa dari faktor-faktor kekuatan nyata (dereele

machtfactoren) dalam masyarakat. Jadi, konstitusi menggambarkan hubungan

antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi.

b. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang

memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan (Daud Busroh dan Bakar Busroh,1991;73).

4. Sedangkan, Carl Schmitt dalam bukunya yang berjudul, Verfasungslehre,

konstitusi dapat dipahami dalam 4 (empat) kelompok pengertian. Keempat kelompok pengertian itu adalah: (a) konstitusi dalam arti absolut (absolute

verfassung begriff), (b) konstitusi dalam arti relatif (relative verfassung begrif),

(c) konstitusi dalam arti positif (derpositive verfassung begrif), (d) konstitusi dalam arti ideal (ideal begrif der verfassung) (Asshiddiqie,2006; 126).

Sebenarnya, sangat banyak pakar yang memberikan pandangan ilmiah tentang konstitusi, namun pandangan mereka mengandung esensi yang sama (Mahmud MD,2010;154). Oleh karena itu, menurut Ali (2010;76) bahwa pengertian konstitusi adalah lebih luas karena bersifat fundamental yang berkaitan dengan negara yang meliputi asas-asas dasar, pranata-pranata, asas-asas-asas-asas hukum, norma-norma dasar, dan aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Tentunya jika kita hanya menyatakan apa yang tertulis itu merupakan suatu konstitusi, maka kita hanya berpikiran tentang pengertian konstitusi dalam arti sempit saja. Hal tersebut tidak lain dikarenakan adanya aturan dasar yang tidak tertulis, namun dalam kenyataannya tidak kurang pentingnya dengan konstitusi yang tertulis, bahkan kadang-kadang lebih efektif dalam pelaksanaannya dibandingkan dengan konstitusi yang tertulis. Bahkan, para pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 menganut pandangan yang sangat luas terkait dengan pengertian konstitusi itu sendiri, yang

(27)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

kemudian dinyatakannya kembali dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum di hapus. Di dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis. Biarpun aturan dasar tersebut tidak tertulis, namun bisa saja dalam praktiknya ternyata memiliki kedudukan yang tidak kalah penting dengan konstitusi, yang kemudian biasanya disebut dengan konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution). Menurut Kusnardi dan Sarigih (2008;139) bahwa konstitusi berarti hukum dasar yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dasar tertulis biasanya disebut sebagai undang-undang dasar, sedang hukum dasar yang tidak tertulis disebut dengan konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan yang dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Sedangkan untuk pengertian sama, namun dalam kata yang berbeda diberikan oleh Wheare (2005;185) tentang tradisi adalah aturan yang mengikat, aturan perilaku yang dianggap wajib oleh mereka yang peduli dengan berjalannya konstitusi. Dengan demikian, pengertian tradisi yang diberikan oleh Wheare memiliki makna yang sama dengan konvensi. Budiardjo (2008;179) berpendapat tentang konvensi ialah aturan perilaku kenegaraan yang tidak pada undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan kenegaraan dan preseden. Bahkan, Konvensi-konvensi ketatanegaraan itu diakui sebagai sumber hukum yang penting dalam praktek (Asshiddiqie,2006;240). Dan perlu ditekankan bahwa konvensi sebagai sumber hukum tidak dapat dituntut didepan pengadilan untuk pelaksanaannya (Mahmud MD dan Marbun,2000;35).

C. Muatan, Tujuan dan Fungsi Konstitusi

Konstitusi sebagai aturan dasar dalam kehidupan penyelenggaraan bernegara, memiliki nilai yang sangat tinggi/luhur. Karena apa yang kemudian diatur di dalamnya merupakan nilai-nilai bersifat luhur dari suatu bangsa yang sebelumnya telah mendapatkan kesepakatan dari bangsa tersebut. Sehingga apa yang kemudian menjadi isi daripada konstitusi tersebut, dijungjung tinggi dan dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa dengan patuh sebagai hukum tertinggi yang mengatur serta mengikat. Meskipun, dengan ketentuan bahwa isi konstitusi setiap negara berbeda, hal mana dikarenakan oleh adanya perbedaan-perbedaan ideologi, politik, sosial yang menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan negara dan bangsanya. Oleh karena itu, dengan berbagai variasi yang menjadi

(28)

I Gusti Ngurah Santika, SPd

muatan materi dari konstitusi, tentunya juga akan berimplikasi terhadap implementasinya dalam kehidupan bernegara yang akan berbeda-beda pula. Hal mana sebenarnya adalah tergantung daripada tujuan-tujuan untuk diadakan konstitusi tersebut, yang mana tentunya juga akan berbeda antara negara yang konstitusinya liberal, sosialis, komunis dan lain-lain.

Namun, menurut Mirriam Budiardjo (2008;177) dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu

Politik, walaupun undang-undang dasar atau konstitusi berbeda namun secara umum

dapatlah dikatakan bahwa biasanya suatu konstitusi memuat (isi) ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut.

1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif.

eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (misalnya federal atau negara kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaraan yuridiksi oleh salah satu badan negara atau pemerintah dan sebagainya. Dalam arti ini UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.

2. Hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of rights kalau berbentuk naskah

tersendiri).

3. Prosedur mengubah UUD (amandemen).

4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat-sifat tertentu dari UUD. Hal

ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya munculnya seorang diktaktor atau kembalinya monarki. Misalnya, UUD Federasi Jerman melarang untuk mengubah sifat federalisme karena dikhawatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktaktor seperti Hitler.

5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan

lembaga negara tanpa terkecuali.

Penulis berpendapat bahwa apa yang kemudian menjadi isi daripada konstitusi seperti apa yang terdapat dalam tulisan Mirriam Budiardjo tersebut, merupakan standar minimum materi muatan yang memang terdapat dalam konstitusi-konstitusi modern seperti sekarang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang;

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan ditambah

Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan calon hakim

Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai dasar konstitusi Negara Indonesia merupakan pokok hukum yang telah mengatur segala fungsi dan kedudukan lembaga

DPR adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.Perubahan pertama UUD 1945 membawa dampak perubahan pada

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga- lembaga negara lain yang fungsinya

Dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konstitusi telah menjadi sebuah yang lebih demokratis dan modern, suatu konstitusi