• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pada aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pada aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Mata

2.1.1 Sistem Lakrimal

Pada aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu sistem sekresi dan selanjutnya adalah sistem ekskresi air mata. Berikut ini adalah gambar anatomi dari sistem lakrimalis (Wagner, 2006).

(Wagner, 2006)

Gambar 2.1

Anatomi sistem lakrimalis

Kelenjar lakrimalis selalu menjaga permukaan mata agar tetap lembab. Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari glandula sebasea palpebra (kelenjar Meibom), kelenjar lakrimal utama, kelenjar lakrimal assesoris, dan terdapat sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem sekresi ini terdiri dari dua bagian, yaitu sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi air mata dimana tanpa ada stimulus dari luar ialah sekresi basal, sedangkan sekresi air mata yang terjadi

(2)

hanya apabila ada rangsangan eksternal disebut sebagai reflex sekresi (Prabha, 2014).

Sistem ekskresi terdiri dari punkta, kanikuli, sakkus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis. Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus kemudian bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebelum ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikulus, terdapat katup Rosenmuller yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang 12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Disini juga terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran balik (Sardi, 2003).

2.1.2 Fisiologi Pengeluaran Air Mata

Air mata diproduksi secara terus-menerus oleh mata untuk menjalankan berbagai fungsi vital air mata, produksi ini disebut produksi basal. Jumlah produksi air mata basal perhari berkisar 7,5 gram hingga 11 gram. Air mata yang diproduksi akibat adanya iritasi disebut air mata reflek. Pemicu air mata reflek antara lain mual, muntah, debris di mata, substansi yang mengiritasi misalnya bawang, asap rokok, dan rangsangan dari lidah maupun mulut. Produksi air mata juga dapat dipengaruhi oleh aspek psikologis. Perasaan emosional seperti stres, nyeri, marah, dan sedih dapat memicu produksi air mata yang umumnya disebut menangis (Martini, 2009).

Air mata merupakan salah satu proteksi mata disamping bulu mata, alis, tulang rongga mata, reflek berkedip, kelopak mata serta sel-sel yang berada pada permukaan konjungtiva dan kornea. Aliran konstan air mata menjaga

(3)

permukaan konjungtiva tetap lembab dan bersih, lisozim dan antibodi yang terkandung pada air mata berfungsi menyerang patogen sebelum masuk ke tubuh. Air mata akan bercampur dengan produk dari glandula aksesori dan glandula tarsal yang sifatnya berminyak. Campuran ini akan melumasi mata dan mencegah evaporasi dari air mata sehingga mata tidak kering. Fungsi lain dari air mata adalah mensuplai nutrisi dan oksigen bagi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Saat membasah mata, air mata juga berfungsi sebagai lubrikan sehingga bola mata dapat bergerak dengan lebih nyaman dan membersihkan mata dari debris. Air mata menjaga permukaan kornea agar rata, permukaan kornea yang licin dan rata akan memperbaiki penglihatan. (Martini, 2009)

Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 μL pada setiap mata. Albumin merupakan 60% total dari protein total dalam air mata. Globulin dan lisozim berjumlah sama banyak pada bagian sisanya. Lisozim merupakan 21-25% dari protein total dan bekerja secara sinergis dengan gamaglobulin dan faktor anti bakteri non-lisozim lain, membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi. Terdapat Immunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling banyak adalah IgA (Vaughan, 2009).

(4)

(Pflugfelder, 2004)

Gambar 2.2 Komposisi Air Mata

Selama beberapa dekade, komposisi air mata dipercaya terdiri dari 3 lapisan air mata. Lapisan paling luar adalah lapisan lipid anterior sebagai perlindungan terhadap penguapan. Dibagian tengah adalah lapisan aqueous (cair) sebagai penyedia volume terbanyak air mata. Dan bagian paling dalam adalah lapisan musin yang memberi perlindungan dan lubrikasi terhadap epitel kornea dan konjungtiva (Gillan & H., 2010).

Fungsi lipid adalah mencegah penguapan dari lapisan aqueous dan mempertahankan ketebalan lapisan air mata, dan berperan sebagai surfaktan sehingga lapisan air mata menyebar merata. Defisiensi lipid menyebabkan mata kering karena proses penguapan. Lapisan lipid mempunyai tegangan permukaan rendah yang mampu menyeragamkan penyebaran dari lapisan air mata sehingga permukaan air mata menjadi halus. Penghubung antara lapisan

(5)

lipid dan aqueous terdiri dari lipid polar, meliputi seramid, serebrosid, dan fosfolipid. Sedangkan penghubung lipid dengan udara meliputi beberapa komponen yaitu kolesterol ester, trigliserida, dan asam lemak bebas (Foster et al., 2013). Lapisan aqueous terdiri dari musin/aqueous gel yang mengandung protein, elektrolit, oksigen dan glukosa. Osmolaritas dari lapisan ini adalah 300 mOsm/L. Osmolaritas air mata berhubungan dengan sindrom mata kering dan kebanyakan dipakai sebagai dasar penentuan diagnosa dan klasifikasi penyakit. Osmolaritas yang normal penting untuk menjaga volume sel dan homeostasis sel. Sekresi aqueous sebesar 95% berasal dari kelenjar lakrimalis sedangkan sisanya disekresi oleh kelenjar Krause dan Wolfring. Sekresi dapat bekurang dengan penggunaan topikal anestesi dan ketika sedang tidur. Namun, dapat meningkat sebesar 500% ketika terdapat luka pada permukaan mata. Lapisan aqueous berfungsi menyediakan suplai oksigen untuk epitel kornea, komponen antimikroba seperti IgA, lisozim dan lactoferrin yang berfungsi untuk menghilangkan debris, iritan, alergen dan memfasilitasi leukosit setelah terjadi luka (Prabha, 2014). Komponen musin pada lapisan air mata glycocalyx gel disekresi oleh kelenjar lakrimalis dan sel goblet konjungtiva. Musin terdiri dari bermacam jenis glikoprotein yang berperan untuk mencegah perlekatan dan interaksi dari mikroba, debris dan sel-sel inflamasi terhadap sel epitel. Musin juga berperan memberikan viskositas sehingga dapat melindungi epitel kornea dari kerusakan karena kedipan mata berulang. Selain itu, musin juga mencegah lapisan air mata membentuk gumpalan pada kornea dan memastikan bahwa lapisan air mata melembabkan seluruh permukaan kornea dan konjungtiva (Foster et al., 2013)

(6)

2.2 Sindrom Mata Kering

2.2.1 Pengertian Sindrom Mata Kering

Istilah lain Sindrom Mata Kering ialah dry eye syndrom ( DES ), atau keratikonjungtiva sicca. SMK mewakili kelompok keadaan yang dikarakteristikkan oleh gejala-gejala ketidaknyamanan dan berhubungan dengan penurunan produksi air mata dan abnormalitas penguapan air mata yang sangat cepat (Reidy, 2012).

Sindrom mata kering (DES) atau keratoconjunctivitis sicca (KCS) adalah gangguan umum dari film air mata yang disebabkan oleh penurunan produksi air mata atau peningkatan penguapan dan bermanifestasi dengan berbagai tanda dan gejala (Phadatare et al., 2015).

Penyakit mata kering merupakan penyakit multifaktorial pada air mata dan permukaan mata yang menimbulkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan tear film dengan potensial merusak permukaan mata. Keadaan ini bisa diikuti dengan peningkatan osmolaritas tear film dan inflamasi permukaan mata ( Tear Film & Ocular Surface Society, 2007).

Gejala utama mata kering adalah kering dan rasa berpasir pada mata. Gejala tambahan seperti rasa panas atau gatal, sensasi benda asing, air mata berlebihan, nyeri dan mata kemerahan, dan fotofobia. Dapat diikuti dengan gangguan penglihatan dan memburuk saat kelembapan rendah dan suhu tinggi (Phadatare et al., 2015).

Adapun sindrom mata kering jika dibiarkan bisa menyebabkan keratitis. Keratitis bakteri adalah infeksi dan peradangan pada kornea yang menyebabkan

(7)

rasa sakit, berkurang penglihatan, sensitivitas cahaya dan robek atau keluar dari mata yang bisa, dalam kasus yang parah menyebabkan hilangnya penglihatan. Keratitis bakteri berkembang dengan cepat dan kerusakan kornea mungkin terjadi lengkap dalam 24 - 48 jam dengan beberapa bakteri yang lebih ganas. Tingkat keparahan infeksi kornea biasanya tergantung pada kondisi yang mendasari kornea dan patogenisitas bakteri yang menginfeksi. Keratitis bisa mempengaruhi satu mata atau kedua mata dengan derajat ringan, sedang, atau parah dan mungkin berhubungan dengan peradangan bagian mata lainnya (Sap, Demmers, & Nimit Patel, 2012).

2.2.2 Etiologi Sindrom Mata Kering

Banyak penyebab sindrom mata kering yang mempengaruhi lebih dari satu komponen film air mata atau berakibat pada perubahan permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Ciri histopatologis berupa timbulnya bintik-bintik kering pada epitel kornea dan konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non goblet, dan peningkatan keratinisasi (Vaughan, 2009).

2.2.3 Klasifikasi Sindrom Mata Kering

Mata kering dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain (Tear Film & Ocular Surface Society, 2007). Berdasarkan etiopatologi, mata kering dikelompokkan menjadi dua, yaitu Mata Kering Defisiensi Aqueous (MKDA) Mata Kering Evaporasi (EDE).

(8)

1. Mata Kering Defisiensi Aqueous (MKDA)

Disebabkan oleh kegagalan sekresi air mata lakrimal akibat disfungsi kelenjar lakrimal asinar atau penurunan volume sekresi air mata. Keadaan ini menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi tetap berlangsung normal. Hiperosmolaritas menstimulasi mediator inflamasi (IL-1α, IL-1β, TNF α, matriks metaloproteinase 9, MAP kinase, dan NFkβ pathway). MKDA dikelompokkan menjadi dua sub-kelas, yaitu Mata Kering Sindrom Sjogren (MKSS) dan Mata Kering Bukan Sindrom Sjogren (MKBSS) ( Tear Film & Ocular Surface Society, 2007). MKSS merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar lakrimal, kelenjar saliva, dan beberapa organ lain. MKBSS merupakan kelompok MKDA akibat disfungsi kelenjar lakrimal yang bukan bagian dari autoimun sistemik. Keadaan yang paling sering ditemukan adalah mata kering berkaitan dengan usia. Defisiensi kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat penyakit lain seperti sarkoidosis, AIDS, atau keadaan obstruksi duktus kelenjar lakrimal juga berperan dalam MKBSS. Pada Beave Dam Study ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM 18,1% dibandingkan dengan pasien non-DM (14,1%) ( Tear Film & Ocular Surface Society, 2007).

2. Mata Kering Evaporasi (MKE)

MKE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit permukaan mata atau pengaruh obat topika ( Tear Film & Ocular Surface Society, 2007).

(9)

(Reidy, 2012)

Gambar 2.3

Klasifikasi Sindrom Mata Kering 2.2.4 Manifestasi Klinis Sindrom Mata Kering

Pasien dengan mata kering paling sering mengeluhkan sensasi tergores atau berpasir seperti ada benda asing. Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, ketidakmampuan menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, kemerahan, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus kental kekuningan kadang-kadang terlihat dalam forniks conjungtivae inferior. Pada konjungtiva bulbaris tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema dan hiperemis (Vaughan, 2009).

(10)

2.2.5 Faktor Resiko

Menurut (Asyari, 2007), banyak faktor yang berperan pada terjadinya dry eye baik pada wanita maupun pria yang beberapa diantaranya tidak dapat dihindari, seperti :

1. Usia lanjut. Dry eye syndrome hampir dialami oleh semua penderita usia lanjut, 75 % diatas 65 tahun baik laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan karena ketika bertambah usia, kemampuan memproduksi air mata akan semakin berkurang, dan kelopak mata menjadi kurang sensitif untuk meratakan air mata ke seluruh permukaan mata.

2. Faktor hormonal, estrogen menyebabkan perempuan lebih banyak terkena neuropati akibat penyerapan iodium pada usus terganggu sehingga proses pembentukan mielin saraf tidak terjadi sehingga terjadi gangguan pada reflex berkedip.

3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye syndrome seperti: diabetes, kelainan tiroid, dan penyakit autoimun. Penyakit autoimun seperti pada sindrom Sjögren. Dalam sindrom Sjögren, sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar yang memproduksi air mata dan air liur, hal tersebut menyebabkan tidak hanya mata menjadi kering, tetapi mulut juga. Penyakit mata tiroid, atau penyakit mata Graves, adalah gangguan autoimun lainnya. Dalam hal ini, sistem kekebalan tidak hanya menyerang kelenjar tiroid, tetapi juga otot dan jaringan di sekitar mata yang dapat berakibat menyebabkan mata kering.

4. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan, dekongestan, antihistamin, dan antihipertensi. Karena kerjanya berefek

(11)

pada penurunan produksi protein yang merupakan bagian dari komponen air mata. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan mata semakin mengering karena produksi air mata menurun. Sedangkan pada obat jerawat oral dapat menurunkan sekresi seluruh kelenjar tubuh, termasuk kelenjar yang ada di kelopak mata. Hal ini yang menyebabkan jumlah air mata berkurang.

5. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung kadar air tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri, menimbulkan rasa tidak nyaman atau intoleransi saat menggunakan lensa kontak. Selain itu adanya lensa kontak pada permukaan mata yang akan mengganggu kestabilan air mata dan menyebabkan penipisan lapisan air mata. Akibatnya, air mata menjadi lebih mudah menguap dan menimbulkan gejala dry eye syndrome (Lemp, 2007).

6. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara, angin, berada di ruang ber AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi air mata.

7. Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa berkedip seperti saat membaca, menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel. Keadaan ini memicu penguapan air mata yang lebih besar sehingga meningkatkan risiko dry eye syndrome.

8. Pasien yang telah menjalani operasi bedah refraktif seperti Photorefractive keratectomy (PRK), laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan mengalami dry eye, ini terjadi selama tiga bulan setelah operasi, tetapi akan membaik dalam rentang waktu tiga hingga enam bulan pasca operasi.

(12)

Terdapat dua teori yang menjelaskan bahwa mekanisme operasi refraktif dapat menyebabkan mata kering. Teori pertama adalah the neurogenic theory, teori ini menjelaskan bahwa operasi refraktif akan menyebabkan kerusakan pada pleksus saraf subepitel, sehingga menstimulus terjadinya penurunan sekresi dari kelenjar air mata, hal ini yang menyebabkan defisiensi air mata. Teori kedua adalah inflammatory theory, teori ini menjelaskan bahwa operasi bedah refraktif akan menstimulus keluarnya sitokin pro-inflamasi, sehingga menyebabkan lesi pada saraf kornea yang berfungsi sebagai stimulus produksi air mata (Turu, Alexandrescu, Stana, & Tudosescu, 2012)

2.2.6 Ocular Surface Disease Index (OSDI)

Gambar 2.4

(13)

Ocular Surface Disease Index (OSDI) adalah sebuah taksiran pada sebuah skala dari 0 sampai 100, dengan skor yang lebih tinggi untuk menggambarkan ketidakmampuan yang besar. Indeks tersebut menunjukkan kepekaan dan kespesifikan dalam membedakan antara subyek yang normal dengan pasien yang menderita penyakit mata kering. OSDI adalah sebuah alat yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur penyakit dry eye (normal, ringan sampai sedang, dan berat) (Schiffman, 2000).

Penilaian dry eye syndrome gunakan jawaban D dan E anda untuk membandingkan jumlah skor untuk semua pertanyaan yang telah dijawab (D) dan nomor pertanyaan yang dijawab (E) dengan grafik dibawah ini. Temukan dimana skor pasien berada. Cocokkan corak warna merah koresponden untuk kunci dibawah untuk menentukan apakah skor pasien anda menunjukkan penyakit dry eye yang normal, ringan, sedang, atau berat.

(14)

Gambar 2.5 Tabel OSDI

(15)

2.3 Diabetes Melitus

2.3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, jantung, saraf dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2014).

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus menurut ADA (American Diabetes Association) tahun 2009 dibagi menjadi 4 tipe yaitu Diabetes Melitus tipe 1, Diabetes Melitus tipe 2, Diabetes Melitus tipe Lain, Diabetes Kehamilan (Purnamasari, 2014).

a. Diabetes Mellitus tipe1

Diabetes mellitus (DM) tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat

terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh

hiperglikemia kronis. Keadaan ini disebabkan oleh proses autoimun yang merusak sel β pankreas sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti, penderitanya akan memerlukan asupan insulin eksogen. Penyakit

(16)

ini menimbulkan komplikasi kronik sehingga memerlukan manajemen pengobatan yang berkelanjutan dan edukasi pada pasien serta keluarganya. Penyakit yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi metabolisme, gangguan makrovaskular dan mikrovaskular yang menyebabkan penurunan kualitas dan harapan hidup penderita (Rini, 2012).

b. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus (Suyono, 2014).

Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Departemen Kesehatan, 2005).

Diabetes melitus tipe 2 merupakan golongan diabetes dengan prevalensi tertinggi. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya faktor lingkungan dan faktor keturunan. Faktor lingkungan disebabkan karena adanya urbanisasi sehingga mengubah gaya hidup seseorang yang mulanya konsumsi makanan yang sehat dan bergizi dari alam menjadi konsumsi makanan yang cepat saji. Makanan cepat saji berisiko menimbulkan obesitas sehingga seseorang berisiko diabetes mellitus tipe 2. Orang dengan obesitas

(17)

memiliki risiko empat kali lebih besar mengalami diabetes mellitus tipe 2 daripada orang dengan status gizi normal (Chan, 2014).

c. Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes melitus tipe lain ini sering ditemukan di daerah tropis dan negara berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein yang nyata. Diduga zat sianida yang terdapat pada cassava atau singkong yang menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia dan Afrika berperan dalam patogenesisnya. Di Jawa Timur sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi diabetes di pedesaan adalah 1,47& sama dengan di perkotaan (1,43%). Sebesar 21,2% dari kasus diabetes di pedesaan adalah jenis diabetes ini. Diabetes jenis ini dimasa datang masih akan banyak mengingat jumlah penduduk yang masih berada dibawah kemiskinan yang masih tinggi. Dulu, jenis ini disebut diabetes terkait malnutrisi Malnutrition Related Diabetes Mellitus (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas, maka jenis ini pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai MRDM tetapi disebut diabetes tipe lain (Suyono, 2014).

d. Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Dimana meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Suyono, 2014).

(18)

2.3.3 Prevalensi Diabetes Melitus

(Kementrian kesehatan RI, 2018)

Gambar 2.5

Prevalensi Diabetes Melitus berdasarkan Diagnosis Dokter Pada Penduduk Umur >15 Tahun Menurut Provinsi, 2013-2018

Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit diabetes melitus adalah masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta penderita (IDF, 2011).

Prevalensi diabetes untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030. Jumlah total penderita diabetes diproyeksikan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada 2030. Prevalensi diabetes lebih tinggi pada pria daripada

(19)

wanita, tetapi ada lebih banyak wanita dengan diabetes dibandingkan pria. Populasi perkotaan di negara berkembang diproyeksikan meningkat dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2030 (ADA, 2004).

Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dari 24417 responden berusia > 15 tahun, 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram), diabetes melitus lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko diabetes melitus adalah obesitas, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (RISKERDAS, 2014).

2.3.4 Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2

Pada awal patofisiologis diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak, dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada diabetes melitus tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi

(20)

insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita diabetes melitus tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen (Muchid, 2005).

2.3.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Manifestasi klinis diabetes melitus bervariasi dari pasien ke pasien. Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan hiperglikemia (poliuria, polidispsia, polifagia), tetapi kejadian pertama mungkin berupa dekompensasi metabolik akut yang menyebabkan koma diabetik. Kadang-kadang penampakan awal berupa penyulit degeneratif seperti neuropati tanpa gejala hipergllikemia (Daniel & Fooster, 2013).

(21)

2.3.6 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

(Kementrian kesehatan RI, 2018)

Gambar 2.7 Kriteria Diagnosis DM

Menurut Konsensus Perkeni 2015, terdapat 4 kriteria diagnosis DM yaitu :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. 2. Glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

≥200 mg/dL. TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa 75 gram glukosa

3. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

(22)

2.3.7 Komplikasi Diabetes Mellitus

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut terjadi pada saat kadar glukosa darah plasma mengalami perubahan yang relatif akut. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain; hipoglikemi, ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik. Hipoglikemia dapat terjadi seumur hidup selama program pengobatan yang disebabkan karena efek samping pemberian obat stimulus insulin dalam tubuh maupun obat insulin dari luar. Ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik, keduanya dapat terjadi karena kadar insulin yang sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosiuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas (Goguen, et all, 2018).

3. Komplikasi Kronik a. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan. Retinopati diabetik adalah suatu kelainan mata pada pasien diabetes mellitus yang disebebkan oleh kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan, sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari ringan sampai berat bahkan sampai kebutaan total dan permanen (Pandelaki, 2014).

b. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal pada pasien yang mendapat terapi pengganti ginjal. Nefropati

(23)

diabetik merupakan penyebab paling sering terjadinya penyakit ginjal tahap akhir yang memerlukan dialisis di Amerika Serikat (Hendromartono, 2014).

c. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetic merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes melitus. Manifestasinya bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat, infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki (Subekti, 2014).

d. Penyakit Jantung Koroner

Penyebab kematian dan kesakitan utama pasien diabetes adalah penyakit jantung koronek (PJK). Dasar terjadinya peningkatan risiko PJK pada pasien DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada pasien DM, dan pasien DM mempunyai risiko thrombosis yang lebih tinggi. (Shahab, 2014).

e. Kaki Diabetik

Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik yang paling sering ditakuti. Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati sensorik maupun motorik yang mnegakibatkan perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan

(24)

mempermudah menyebabkan ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas (Waspadji, 2014).

2.3.8 Penatalaksanaan Diabetes

a. Terapi nutrisi medis

Merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan terapi nutrisi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta diabetisi dan keluarganya). Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan terapi nutrisi medis sesuai dengan kebutuhan guna mencapai sasaran terapi. Terapi ini pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau komplikasi yang telah ada (Tjokroprawiro A, 2014).

Terapi nutrisi medis dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes bagi penderita yang mempunyai resiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah terdiagnosis diabetes serta mencegah atau memperlambat laju perkembangan komplikasi diabetes (Tjokroprawiro A, 2014).

b. Kegiatan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan

(25)

jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

c. Insulin

Insulin masih merupakan obat utama untuk terapi DM tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2, tetapi memang banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karena terapi edukasi pada pasien DM sangatlah penting, agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin meski diberikan secara suntikan. Suntikan insulin dapat dilakukan berbagai cara seperti intravena, intramuskular, dan umum nya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai pemberian subkutan. (Tjokroprawiro A, 2014).

2.4 HbA1c

Hemoglobin terglikasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan HbA1c menunjukan rata-rata konsentrasi glukosa dalam darah waktu

(26)

1-3 bulam sebelumnya. Pemeriksaan ini sangat diperlukan dalam upaya menejemen DM yang optimal untuk memperkecil resiko komplikasi diabetes (Fakhrualdeen & AL Shaerify, 2004).

Hemoglobin terglikasi (HbA1c) adalah tes darah untuk diabetes tipe 2 dan prediabetes. HbA1c digunakan untuk mengukur gula darah rata-rata selama tiga bulan terakhir. Tes ini dapat dikombinasikan dengan tes diabetes lainnya untuk membuat diagnosis. HbA1c dapat digunakan untuk melihat seberapa baik pasien diabetes melitis mengelola penyakitnya. Tes ini berbeda dari pemeriksaan gula darah yang dilakukan oleh penderita diabetes setiap hari, dimana hasil tes HbA1c diberikan dalam persentase. Semakin tinggi persentasenya, maka menandakan semakin tinggi pula kadar gula darah dalam tubuh (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2018).

Tingkat HbA1C normal adalah di bawah 5,7 persen. Sedangkan prediabetes adalah antara 5,7 hingga 6,4 persen. Prediabetes merupakan faktor risiko untuk menjadi diabetes melitus tipe 2. Orang dengan pradiabetes perlu tes ulang setiap tahun. Sedangkan apabila kadar HbA1c diatas 6,5% maka dikatakan positif diabetes melitus (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2018).

Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1c dalam mendiagnosis DM antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil untuk memantau kondisi hiperglikemia selama tiga bulan yang lalu tanpa dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1c dapat digunakan sebagai screening bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM. Sedangkan kerugian pemeriksaan ini adalah biaya yang lebih mahal (WHO, 2011).

(27)

(ADA, 2005)

Gambar 2.8

Hubungan HbA1c dengan Kadar Glukosa Rata-Rata

Pengujian A1C, dinyatakan sebagai persentase hemoglobin yang terglikasi, mengukur glikemia kronis dan secara luas digunakan untuk menilai kecukupan pengobatan diabetes dan menyesuaikan terapi. ADA berusaha untuk mendefinisikan hubungan matematis antara A1C dan kadar glukosa rata-rata (AG) dan menentukan apakah A1C dapat diekspresikan dan dilaporkan sebagai AG di unit yang sama. Uji A1C diterima secara luas dan digunakan sebagai cara yang paling dapat diandalkan untuk menilai glikemia kronis (Saudek CD, 2006). Pengobatan diabetes disesuaikan berdasarkan hasil A1C, dinyatakan sebagai persentase hemoglobin yang terglikasi. Glikemia kronis (A1C) biasanya

(28)

dinyatakan sebagai persentase hemoglobin yang terglikasi, sedangkan pemantauan dan terapi diabetes sehari-hari didasarkan pada kadar glukosa akut yang dinyatakan dalam miligram per desiliter atau milimol per liter. Perbedaan ini selalu bermasalah. Jika kita dapat dengan andal melaporkan kontrol metabolik kronis dan tujuan manajemen jangka panjang sebagai glukosa rata-rata (AG), yaitu, dalam unit pengukuran yang sama dengan glikemia akut, itu akan menghilangkan sumber-sumber potensi kebingungan ini. ADA melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara glukosa rata-rata, dinilai selengkap mungkin dengan kombinasi pemantauan glukosa terus-menerus dan pengujian glukosa kapiler ujung jari yang sering, dan level A1C dari waktu ke waktu untuk memperkirakan hubungan antara keduanya.

2.5 Hubungan HbA1c Terhadap Sindrom Mata Kering

Hiperglikemi kronik yang ditandai dengan meningkatnya kadar HbA1c

menyebabkan mikroangiopati yang mendasari timbulnya neuropati.

Mikroangiopati dan neuropati pada struktur komponen unit fungsional lakrimal mengganggu homeostatis sekresi lapisan air mata (Suri, et al,. 2015)

Menurut (Surasmiati, 2014)menunjukan bahwa terdapat hubungan antara kadar HbA1c dengan sekresi air mata pada pasien DM, dimana dikatakan bahwa semakin tinggi kadar Hba1c maka akan memiliki resiko lebih besar untuk terjadi penurunan sekresi air mata dibandingkan kadar HbA1c yang normal.

Patofisiologi DM menyebabkan sindrom mata kering ialah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu metabolik, vaskular, dan stres oksidatif. Keadaan hiperglikemia kronis menyebabkan aktivasi jalur poliol meningkat sehingga terjadi akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf akan menyebabkan

(29)

keadaan hipertonik intraseluler sehingga terjadi edema sel saraf. Faktor vaskular terjadi akibat keadaan hiperglikemia kronis merangsang pembentukan radikal bebas oksidatif (reactive oxygen species) yang dapat merusak endotel. Faktor stress oksidatif adalah akumulasi dari Advanced Glycation End Products (AGEs) pada membran basal kornea sehingga mengganggu fungsi barier epitel kornea yang berakibat menurunnya sensitifitas kornea (Nuho, et al,. 2004)

Pasien DM sering dikaitkan dengan peningkatan stres oksidatif dan produk radikal bebas yang akan merusak komponen seluler seperti membran plasma yang mengakibatkan sel lisis. Radikal bebas merusak konjungtiva dan kelenjar lakrimal. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya sel goblet dan metaplasia squamous konjungtiva yang berefek pada berkurangnya lapisan musin air mata. Gangguan pada kelenjar lakrimal menyebabkan berkurangnya lapisan aqueous air mata (Surasmiati, 2014)

Kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka panjang pada penderita DM memicu terjadinya proses glikasi lipid dan protein yang mengakibatkan peningkatan AGE (advanced glycation end-product). Advanced glycation end product berperan penting dalam proses dan peningkatan derajat keparahan komplikasi (Al-Farabi MJ, 2013.

Saraf pada bola mata dan kelenjar lakrimal merupakan salah satu saraf perifer yang memungkinkan terkena komplikasi. Neuropati perifer yang terjadi pada saraf sensori aferen di permukaan bola mata dan saraf eferen di kelenjar lakrimal akan menyebabkan terganggunya sekresi air mata pada pasien DM. Akumulasi AGE pada membran basal kornea pada pasien DM akan mengganggu fungsi barier epitel kornea dan berakibat menurunnya sensitivitas kornea. Reflek

(30)

air mata dipengaruhi oleh sensitivitas kornea, sehingga penurunan sensorik pada permukaan mata akan berakibat pada menurunnya sekresi kelenjar lakrimal (Surasmiati, 2014).

Keadaan gula darah yang tidak terkontrol dapat mempercepat terjadinya komplikasi pada pasien diabetes melitus terutama pada kerusakan mikrovaskular. Kerusakan mikrovaskular kelenjar akan menyebabkan hipoksia jaringan dan kemudian akan mengganggu metabolik dan mitogenik sel. Jika keadaan tersebut berlangsung terus menerus maka akan terjadi kerusakan sel-sel kelenjar lakrimal. Hal tersebut yang kemudian akan menyebabkan penurunan produksi aqueous dari kelenjar lakrimal. Faktor lain yang penting penyebab penurunan kuantitas air mata di karenakan penurunan refleks berkedip. Refleks berkedip diatur oleh tiga sistem stimulasi yaitu sistem sensoris tepi, sistem stimulasi retina (cahaya), dan sistem psikogenik. Pada pasien diabetik, penurunan refleks berkedip merupakan akibat dari kerusakan saraf tepi (neuropati diabetik) yang mengatur sinkronisasi antara kepekaan kornea dan konjungtiva dengan kelenjar air mata. Hal tersebut menyebabkan penurunan signal stimulasi dari permukaan bola mata ke kelenjar lakrimal sehingga mengganggu regulasi sekresi air mata (Oktaviani LI, Supono TS, Suharno, 2011). Hal di atas menjelaskan bahwa keadaan hiperglikemia kronis ditandai kadar HbA1c yang tinggi pada pasien DM menyebabkan komplikasi-komplikasi yang dapat merusak struktur-struktur unit fungsional lakrimal, sehingga mempengaruhi refleks lakrimasi dan menimbulkan Sindrom Mata Kering (SMK).

Gambar

Gambar 2.2  Komposisi Air Mata
Gambar 2.5  Tabel OSDI
Gambar 2.7  Kriteria Diagnosis DM

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa bisnis fashion muslimah “Butik Amalia” adalah bisnis yang menarik untuk dijalankan (Tabel 4. 3 Five. Forces Model). Dari tiga lingkungan yang

adalah persaan tidak tenang, k persaan tidak tenang, kecemasan, dan ketakuta ecemasan, dan ketakutan apabila sawah mereka tidak n apabila sawah mereka tidak memberikan hasil. Mereka

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) saya yang berjudul ”Dukungan Sosial Terhadap Lansia (Studi di Pondok Lansia Al-Ishlah Kelurahan Pandanwangi Kecamatan Blimbing

Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemimpin harus mampu menyeleksi kembali pelatihan yang diberikan kepada para pegawainnya karena menurut penelitian banyak pegawai yang

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas paving block dan menentukan komposisi yang tepat adalah dengan

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah memeriksa, membaca, mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan yang terdiri

maka Pokja 5 (lima) Unit Layanan Pengadaan Kordinator Wilayah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan Pemenang pada Paket tersebut di atas sebagai berikut

Kerajaan Negeri dalam usaha menyediakan kemudahan asas untuk golongan berpendapatan rendah, antara lain telah membina banyak rumah pangsa dan rumah awam kerajaan di seluruh